• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKTUALISASI NILAI-NILAI AL-HIKMAH DALAM PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

Pada bab ini akan dijelaskan aktualisasi dari nilai-nilai hikmah dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, hususnya dalam pengambilan keputusan ( kebijakan ) publik. Pembahasan pada bab ini, penulis berusaha menguraikannya secara integral dengan pisau analisa yang sudah penulis tuangkan pada bab dua dan bab tiga tentang pengertian al-hikmah, yang akan dikaitkan dengan pengambilan keputusan, sehingga menghasilkan keputusan yang bijak dan berkeadilan. Dari pembahasan ini diharapkan dapat didapatkan sebuah kesimpulan yang spesifik, terkait dengan kiat-kiat membuat keputusan ( kebijakan publik ) yang dilandasi nilai-nilai al-hikmah yang tertuang di dalam al-Qur'an.

Adapun penjelasan pada bab ini dilandasi oleh suatu kaidah bahwa keberadaan manusia di pentas dunia ini adalah sebagai khalifah yang mengemban amanat Penciptanya untuk memakmurkan bumi.1 Pengejawantahan amanat tersebut salah satunya adalah bagaimana mengolah bumi dengan segala isinya sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan al- Qur'an. Pengolahan dan pengelolaan tersebut tidaklah mungkin berjalan sendiri-sendiri, karena akan berbenturan kepentingan satu sama lain. Oleh karena itu haruslah dilakukan pengaturan yang jelas dan benar melalui media organisasi formal, informal maupun non formal, baik skala regional, nasional maupun internasional. Akan tetapi organisasi-organisasi tersebut ( misalnya negara, ormas, NGO, organisasi Filantropi dan lain-lain ) tidaklah mungkin bisa berjalan dengan baik apabila prinsip-prinsip tata kelola organisasinya tidak dilandasi oleh hikmat kebijaksanaan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan. Pada bab

1

Q.S. al-Baqarah ; 30 ﺔﻔﯿﻠﺧضرﻷاﻲﻓﻞﻋﺎﺟﻲﻧإﺔﻜﺋﻼﻤﻠﻟﻚﺑرلﺎﻗذإو dan Hûd ; 61: وضرﻷاﻦﻣﻢﻛﺄﺸﻧأﻮﻫ

ﺎﻬﯿﻓﻢﻛﺮﻤﻌﺘﺳا. Ada bebrapa makna kata khalîfah, di antaranya : Pertama ; yang datang sesudah siapa yang datang

sebelumnya ( pengganti ), Kedua ; yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan

menerapkan ketetapan-Nya, sebagai penghormatan kepadanya. Ketiga : pelerai perpisahan dan penegak hukum.

١٦٩

ini penulis hanya membatasi permasalahan kebijakan yang berkaitan dengan pemerintahan suatu negara ( state ) vis a vis masyarakat ( warga )nya.

Untuk mendapatkan kebijakan yang penuh hikmat dan berkeadilan, terlebih dahulu harus dilakukan internalisasi terhadap pihak yang berwenang dalam pengambilan kebijakan tersebut, yaitu dengan menciptakan kondisi intern ( pemerintahan ) yang baik, bersih dan berwibawa, atau dikenal dengan istilah good and clean governance ( GCG ). Wacana GCG seringkali dikaitkan dengan tuntutan akan pengelolaan pemerintah yang profesional, akuntabel dan bebas KKN ( korupsi, kolusi dan nepotisme ). Berangkat dari tesis di atas, maka penulis mencoba untuk menuangkan gagasan tentang aktualisasi nilai-nilai al-hikmah yang tertuang di dalam al-Qur'an, dalam pengambilan keputusan atau kebijakan publik. Dengan keterbatasan pemahaman yang ada pada diri penulis, penulis memposisikan para mufassir, pakar, dan ahli melalui karya-karyanya yang dijadikan sebagai referensi atau

marâji', sebagai fasilitator bagi tercapai dan selesainya tesis ini ditambah dengan atikel- artikel yang terkait dengan permasalahan tulisan ini..

Kebijakan yang memberikan kepuasan kepada banyak pihak, tidaklah mungkin terealisasikan sebelum melakukan perbaikan ke dalam ( internalisasi ) terhadap pihak-pihak yang mempunyai wewenang dan kekuasaan terhadap pengambilan kebijakan tersebut. Oleh karena itu yang harus dilakukan pertama kali adalah menciptakan lingkungan pengambil kebijakan tersebut yang bersih dan sehat. Pemerintahan yang bersih dan berwibawa ( sebagai pengambil kebijakan ) dikenal dengan istilah clean and good Governance2

Secara umum istilah clean and good governance memiliki pengertian akan segala hal yang terkait dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, mempengaruhi urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari- hari.

2

Istilah clean andgood governance merupakan wacana baru dalam kosa kata ilmu politik. Ia muncul

١٧٠

Istilah good governance memiliki pengertian pengejawantahanan nilai-nilai luhur3 dan mengarahkan warga negara (citizens) kepada masyarakat dan pemerintah yang berperadaban melalui wujud pemerintahan yang bersih dan damai. Pemerintah yang baik adalah sikap dimana kekuasaan yang dilakukan oleh masyarakat yang diatur oleh berbagai level pemerintah negara yang berkaitan dengan sumber-sumber sosial, budaya, politik, serta ekonomi. Dalam prakteknya pemerintahan yang bersih (clean goverments), adalah model pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, transparan, bertanggung jawab, responsive terhadap kebutuhan rakyat, dalam susunan demokratis, akuntabel serta transparan.4

Pengelolaan pemerintahan yang profesional dan akuntabel bertumpu pada peran sentral warga negara dalam proses sosial dan politik bertemu dengan prinsip-prinsip dasar good governance, yaitu pengelolaan pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang dirumuskan bersama oleh keduanya. Sejalan dengan prinsip di atas, pemerintahan yang baik berarti baik dalam proses maupun hasil-hasilnya. Semua unsur dalam pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat, dan bebas dari gerakan-gerakan anarkis yang bisa menghambat proses pembangunan. Pemerintahan juga bisa dikatakan baik jika pembangunan dapat dilakukan dengan biaya yang sangat minimal namun dengan hasil yang maksimal. Faktor lain yang tak kalah penting suatu pemerintahan dapat dikatakan baik, jika produktifitas bersinergi dengan peningkatan indikator kemampuan ekonomi rakyat, baik dalam aspek produktifitas, daya beli, maupun kesejahteraan spiritualitasnya.

Demi tercapainya tujuan di atas, negara dengan birokrasi pemerintahannya dituntut untuk mengubah pola pelayanan publik dari persepktif birorkrasi elitis menjadi birokrasi

3

Nilai-nilai luhur yang dimaksud adalah nilai-nilai universal yang digali dari al-Qur'an dan as- Sunnah, kemudian dielaborasikan dengan nilai-nilai tradisi lokal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal tersebut.

4

Indonesian Center for Civic Education ( ICCE ), Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, UIN Syahid Jakarta, 2006, h. 216

١٧١

populis, yang berorientasi melayani dan berpihak kepada kepentingan masyarakat5. Pada saat yang sama, sebagai komponen di luar birokrasi negara, masyarakat harus pula dilibatkan untuk berperan serta dalam proses pengelolaan sumber daya dan perumusan kebijakan publik. Dengan kata lain, implementasi prinsip good governance akan berjalan maksimal jika ditopang oleh komitmen untuk melaksankan prinsip-prinsipnya baik oleh negara maupun komponen masyarakat madani.

Pemerintahan yang profesional dan akuntabel yang bersandar pada prinsip-prinsip

good governance, harus menerapkan delapan aspek fundamental, sebagai hubungan sinergis dan konstruktif antara tiga pilar negara ; pemerintah, sektor swasta dan masyarakat yaitu6: 1. Partisipasi ( Participation )

Semua warga masyarakat mempunyai suara dan pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun, berdasarkan prinsip demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif.7 Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam seluruh aspk pembangunan, termasuk dalam sektor-sektor kehidupan sosial lainnya selain kegiatan politik, maka regulasi birokrasi harus diminimalisasi.

Peradigma birokrasi sebagai pusat pelayanan publik, seyogyanya diikuti dengan deregulasi barbagai aturan, sehingga proses sebuah usaha dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Efisiensi pelayanan publik pelayanan yang tepat waktu dengan biaya murah.

5

Hal ini sesuai dengan kaidah bahwa al-aimmah khâdimu al-ummah ( Pemimpin adalah pelayan bagi

rakyatnya )

6

Sembilan aspek etrsebut dirumuskan oleh LAN ( Lembaga Administrasi Negara ), sebagaimana yang

dikutip oleh Riant Nugroho dalam bukunya Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, ( PT

Elex Media Komputindo, Jakarta, 2004, h.219-220 )

7

Kebebsan berkumpul dan berpendapat tersebut harus menjunjung tinggi nilai-nilai yang berlaku dan dibarengi dengan tanggung jawab, baik dalam skala individu maupun tataran kelompok ( -pen )

١٧٢

Paradigma ini tentu saja mengharapkan perubahan orientasi birokrasi dari yang dilayani menjadi birokrasi yang melayani.8

2. Penegakan Hukum (Rule of Law)

Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan hukum dan penegakannya secara konsekuen, pertisipasi publik dapat berubah menjadi tindakan publik yang anarkis. Dengan kata lain, pelaksanaan kenegaraan dan pemerintahan juga harus ditandai oleh sebuah sistem dan aturan hukum yang kuat serta memiliki kepastian. Tanpa kepastian dan aturan hukum, proses politik tidak akan berjalan dan tertata dengan baik, seperti lalu lintas tanpa rambu-rambu jalan.

Untuk mewujudkan cita-cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan rule of law dengan cara menegakkan supremasi hukum9, kepastian hukum,10 penegakkan hukum yang konsisten dan tidak diskriminatif, yakni penegakan hukum berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu11, independensi peradilan dan dimulai dari kasus-kasus yang menjadi sorotan publik.

8

Ada ungkapan yang menyatakan bahwa " Pemimpin adalah pelayan bagi masyarakatnya ".

9 Yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan Negara, dan peluang partisipasi masyarakat dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara ini didasarkan pada hukum dan aturan yang jelas dan tegas, dan dijamin pelaksanaannya secara benar serta independen. Supremasi hukum akan menjamin tidak terjadinya tindakan

penguasa atas dasar diskresi (tindakan sepihak berdasarkan pada kekuasaan yang dimilikinya).

10

Bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegara itu diatur oleh hukum yang

jelas dan pasti, tidak duplikatif dan tidak bertentangan antara satu dengan lainya. Pada tataran praktis, hukum itu berjalan secara independen tidak dipengaruhi oleh kekuatan kekuasaan, sehingga masyarakat merasa aman karena pelanggar hukum tidak akan memiliki peluang untuk hidup apalagi berkembang. Berkaitan dengan ini, kepastian hukum juga diperlukan untuk menjaga dan melindungi hak-hak asasi manusia sebagai hak universal yang menjadi milik setiap orang

11

Ada suatu hadist Nabi saw yang menegaskan bahwa hukum tidak mengenal diskriminasi, walaupun

itu berhadapan dengan sanak keluarga : قﺮﺳاذإوهﻮﻛﺮﺗﻒﯾﺮﺸﻟاﻢﻬﯿﻓقﺮﺳاذإاﻮﻧﺎﻛ ﻢﻬﻧأﻢﻜﻠﺒﻗﻦﯾﺬﻟاﻚﻠﻫأﺎﻤﻧإ :ﻢﻌﻠﺻﻲﺒﻨﻟالﺎﻗ

ﺎﻫﺪﯾﺖﻌﻄﻘﻟﺖﻗﺮﺳﺪﻤﺤﻣﺖﯿﺑﺔﻣدﺎﻓنأﻮﻟﷲاﻢﯾاوﺪﺤﻟاﻪﯿﻠﻋاﻮﻣﺎﻗأﻒﯿﻌﻀﻟاﻢﻬﯿﻓ : " Nabi saw bersabda : " Sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang sebelum kalian adalah bila ada di antara mereka dari kalangan orang

terpandang melakukan pencurian, mereka tidak mau menegakkan hadd, tetapi bila yang mencuri dari kalangan orang lemah ( pinggiran ) mereka menegakkan hukuman. Demi Allah seandainya Fâthimah binti Rasulillah

١٧٣

3. Transparansi (Transparency)

Transparansi (keterbukaan untuk umum) adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good governance yang akan menghasilkan pemerintahan yang bersih (clean goverment). Akibat tidak ada prinsip transparansi ini, menurut banyak ahli, Indonesia telah terjerembab ke dalam kubang korupsi yang berkepanjangan dan parah, untuk tidak mengulangi pengalaman masa lalu dan pengelolaan kebijakan publik, khususnya bidang ekonomi, pemerintah harus menerapkan prinsip transparansi dalam proses kebijakan publik. Hal ini mutlak dilakukan dalam rangka menghilangkan budaya korupsi di kalangan pelaksana pemeritahan baik pusat maupun di bawahnya.

Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa sesuai dengan cita– cita good governance, seluruh mekanisme pengelolaan negara harus dilakukan secara terbuka, melalui mekanisme transparansi dalam aspek-aspek di antaranya : penetapan posisi, jabatan atau kedudukan melalui Fit and Proper Test (uji kelayanan), penetapan kekayaan pejabat publik, pemberian penghargaan, penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan12, kesehatan, moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik keamanan dan ketertiban, serta kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat13

4. Responsif (Responsive)

Asas responsif adalah bahwa pemerintah harus responsif terhadap persoalan- persoalan masyarakat. Pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakatnya, jangan menunggu mereka menyampaikan keinginan-keinginannya, tapi pemerintah harus

saw mencuri, sungguh akan aku potong tangannya ". HR. Al-Bukhâri, urutan hadist ke-3216. CD al-Kutub at- Tis'ah.

12

Termasuk di antaranya penetapan gaji dan pemberian tunjangan yang berlandaskan keadilan dan jauh dari ketimpangan. Interval gaji dan tunjangan antara pejabat negara tertinggi dan pejabat terendah seharusnya tidak lebih dari rasio 1 : 10

13

Pendapat ini dikemukakan oleh Affan Gaffar dan Guru Besar di Universitas Gajah Mada Yogyakarta dan Pakar politik

١٧٤

proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat, untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum.

Sesuai dengan asas responsif, setiap unsur pemerintah harus memiliki dua etika, yakni etika individual dan etika sosial, kualifikasi etika individual menuntut pelaksana birokrasi pemerintah agar memiliki kriteria kapabelitas dan loyalitas profesional. Sedangkan etika sosial menuntut mereka agar memiliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan publik. Namun demikian, merumuskan keragaman partikular dari kebutuhan dan permasalahan sosial secara umum bukanlah hal yang mudah. Menjembatani persoalan ini pemerintahan dapat dilakukan generalisasi terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat yang universal, di antaranya dengan : mengangkat kondisi dasar masyarakat terutama bagi mereka yang paling tidak beruntung, melakukan segala sesuatu yang membuat semua orang menjadi lebih baik, atau setidaknya tidak seorang pun menjadi lebih buruk dan kebahagian terbesar bagi jumlah besar.14

Pemerintahan itu bisa dikatakan baik jika telah melahirkan bebagai kebijakan yang berdampak terhadap sebagian besar warganya, sebaliknya pemerintahan itu dikatakan buruk jika telah membuat sebagian besar warganya hidup tidak selayaknya. maka menyelenggaraan pemerintah harus memenuhi prinsip-prinsip efektifitas, yakni berdayaguna, efisien atau berhasil guna dan equity atau persamaan.

5. Kesetaraan (Equity)

Terkait dengan asas konsensus, transparansi dan responsif, clean and good governance juga harus didukung dengan asas kesetaraan15 (equity), yakni kesamaan

14

Atau dengan kata lain memberikan kepuasan kepada lebih banyak pihak, sesuai dengan salah satu makna keadilan.

15

Q.S. al-Hujurât ; 13 . Pada suatu ketika di pertengahan hari-hari tasyriq;, Rasulullah saw bersabda : Wahai manusia sekalian, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, bapak kalian adalah satu, ketahuilah bahwa tidak ada kelebihan ( keutamaan ) bangsa Arab atas bangsa yang lain ( 'Ajamiyy ), demikian pula sebaliknya tidak ada keistimewaan bangsa 'ajamiyy atas bangsa Arab, tidak ada kelebihan bangsa yang berkulit merah atas yang hitam, demikian juga tidak ada keutamaan bangsa yang berkulit hitam atas yang berkulit merah kecuali (

١٧٥

dalam perlakuan dan pelayanan. Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua penyelenggara pemerintahan baik pusat maupun daerah.

6. Efektivitas (Effectiveness) dan Efisiensi (Efficiency)

Untuk menunjang asas-asas yang telah disebutkan di atas, pemerintahan yang baik dan bersih juga harus memenuhi kriteria efektif dan efesiensi yakni berdaya guna dan berhasil-guna. Kriteria efektivitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Sedangkan asas efisiensi umumnya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Maka pemerintahan tersebut termasuk dalam kategori pemerintahan yang efisien16.

Konsep efektivitas dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda, yakni efektivitas dalam pelaksanaan proses-proses pekerjaan, baik oleh pejabat publik maupun pertisipasi masyarakat, dan kedua, efektivitas dalam konteks hasil, yakni mampu memberikan kesejahteraan sebesar-besarnya pada kelompok dan lapisan sosial. Demikian pula makna efisiensi yang mencakup, antara lain efisiensi teknis, efesiensi ongkos dan efisiensi kesejahteraan, yakni hasil guna dari sebuah proses pekerjaan yang terserap penuh oleh masyarakat, dan tidak ada hasil pembangunan yang tak bermanfaat.

diistimewakan ) dengan takwanya, Apakah aku sudah menyampakain ( kepada kalian ) ? " sudah ", jawab para

para sahabat. Kemudian Rasulullah saw meneruskan sabdanya : " Hari apakah ini ? , " hari yang harâm ", jawab

sahabat. " Bulan apakah ini ? ", " bulan yang harâm ", jawab sahabat, " Negeri apakah ini ? ". " Negeri yang harâm ", jawab sahabat. Rasulullah kemudian berkata : " Sesungguhnya Allah telah mengharamkan di antara kalian darah-darah kalian dan harta benda kalian, Rasulullah berkata : " Dan saya tidak tahu,...dan kehormatan-

kehormatan kalian , atau tidak..seperti ke-harâm-an hari ini pada bulan dan negeri ini. Apakah aku sudah

menyampaikan ( kepada kalian ) ?, " sudah ", jawab para sahabat. Kemudian Rasulullah memerintahkan : " Yang hadir agar menyampaikan kepada yang tidak hadir ! ".

16

Ajaran wasath yang disampaikan al-Qur'an menjadikan ajaran Islam berada pada posisi moderat,

yaitu posisi antara dua ekstrim. Keberanian adalah pertengahan antara kecerobohan dan sifat pengecut, kedermawanan adalah pertengahan antara pemborosan dengan kekikiran. Jadi efisiensi adalah menjauhi sikap tabdzîr ( pemborosan ) dan sikap kikir ( tidak berani mengambil resiko atas terpakainya harta milik ). Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektif berarti ada efek dan pengaruhnya atau mujarab dan berhasil guna,

sedangkan efisien berarti tepat atau sesuai untuk mengerjakan ( menghasilkan ) sesuatu ( dengan tidak

membuang-buang waktu, tenaga dan biaya ) dan mampu menjalankan tugas dengan tepat dan cermat seta tepat guna. Bukankah definisi ini sesuai dengan salah satu butir makna hikmah ?.

١٧٦

Agar pemerintahan itu efektif dan efiseien, maka para pejabat perancang dan pelaksana tugas-tugas pemerintahan harus mampu menyusun perencanaan-perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat, dan disusun secara rasional dan terukur17.

7. Akuntabilitas (Accountability)

Asas akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Setiap pejabat publik dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat.18 Inilah yang dituntut dalam asas akuntabilitas dalam upaya menuju cita-cita good governance.

Pengembangan asas akuntabilitas dalam kerangaka good governance tiada lain agar para pejabat atau unsur-unsur yang diberi kewenangan mengelola urusan publik senantiasa terkontrol dan tidak memiliki peluang melakukan penyimpangan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kalangan terdekat (KKN). Dengan asas ini mereka terus memacu produktifitas profesionalnya sehingga pemenuhan kepentingan publik dapat tercapai secara optimal.

Secara teoritik, akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan antara pemegang kekuasaan dengan rakyatnya, antara pemerintah dan warganya. Rakyat melalui parta politik, LSM dan istitusi-istitusi lainnya berhak meminta pertanggungjawaban kepada pemegang kekuasaan negara. Pemegang kekuasaan atau jabatan publik dalam

. ﻲﻐﻟاﻦﻣﺪﺷﺮﻟاﻦﯿﺒﺗﺪﻗ .Kata rusyd sebagai salah satu makna al-hikmah yang menjadi tema tulisan ini, mempunyai

pengertian : " ketepatan mengelola sesuatu serta kemantapan dan kesinambungan dalam ketepatan itu ". ( Lihat

Q.S. al-Baqarah ; 256 )

17

Rasionalitas ( al-'aql ) adalah salah satu yang dikandung oleh makna al-hikmah.

18

Lihat hadits : " Setiap kalian adalah pemimpin dan akan mempertanggungjawabkan

١٧٧

struktur kenegaraan harus menjelaskan kepada rakyat apa yang telah, sedang dan akan dilakukannya di masa yang akan datang, sebagai wujud akuntabilitas manajerialnya terhadap publik yang memberi kewenangan.

Akuntabilitas vertikal memiliki pengertian bahwa setiap pejabat harus mempertanggungjawabkan berbagai kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya terhadap atasan yang lebih tinggi. Dan masih ada satu tanggung jawab lagi yang lebih vertikal dari lembaga-lembaga di atas yaitu Tuhan semesta alam, karena semua perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di aherat. Inilah siklus akuntabilitas dalam negara demokrasi ( islami ) dimana kedaulatan dan kekuasaan merupakan amanah dari Allah swt, dan berada di tangan rakyat melalui perwakilannya untuk kemudian diejawantahkan dalam berbagai kebijakan melalui prosedur yang berlaku.

8. Visi Strategis (Strategic Vision)

Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam kerangka perwujudan good governance, karena perubahan dunia dengan kemajuan teknologinya yang begitu cepat. Dengan kata lain, kebijakan apapun yang akan diambil saat ini, harus diperhitungkan akibatnya pada sepuluh atau dua puluh tahun ke depan19.

A. Aplikasi Makna al-Hikmah dalam Pengambilan Kebijakan ( Publik )

Kebijakan publik adalah penggerak seluruh kehidupan bersama, seluruh organisasi, baik pemerintah atau organisasi kemasyarakatan. Itulah sebabnya, keunggulan suatu negara ditentukan apakah kebijakan publik yang dimiliki unggul apa tidak. Kebijakan publik adalah sisi krusial dalam pemerintahan, yang terkadang diabaikan, sehingga apa yang disebut

19

Lihat Q.S. al-Hasyr ; 18 : " Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan

hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dikedepankannya ( diperbuatnya ) untuk hari esok ( masa depan ).."

١٧٨

kebijakan publik tidak lain adalah selera penguasa atau selera kekuasaan. Dalam sub ini, penulis berusaha menggali nilai-nilai al-hikmah yang tertuang dalam al-Qur'an sebagai landasan dasar untuk mengambil kebijakan publik. Paling tidak ada tiga nilai al-hikmah yang tertuang dalam al-Qur'an yang perlu diperhatikan dalam mengambil sebuah kebijakan, di antaranya adalah :, adanya motivasi yang lurus dalam menjalankan tugas, akurasi dalam pengambilan suara ( musyawarah mufakat ) dan menjunjung tinggi dan menghayati nilai- nilai kesepakatan.

1. Motivasi yang Lurus

Apapun aktifitas yang dilakukan, semestinya dilandasi dengan motif, dorongan , alasan yang kuat yaitu untuk menggapai keridlaan Allah swt.20 Sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat Nabi saw.ketika melakukan baiat ( janji setia yang dikenal dengan bai'at ar-ridhwân )21 dengan penuh kerelaan dan kesadaran untuk membela agama Allah, melawan para penantangnya sampai memperoleh kemenangan atau kematian menjemput mereka22. Semangat dan motivasi para sahabat dalam membela kebenaran dan ajaran Rasul semestinya menjadi teladan bagi umatnya, termasuk bagi para pemegang wewenang dalam pengambilan kebijakan untuk menempatkan ridla Allah sebagai puncak motivasi dalam menjalankan tugas yang diembannya. Motivasi yang dibangun haruslah menjauh dari hal-hal yang bersifat keduniaan seperti ingin mendapat pujian, penghargaan, ataupun untuk memperoleh kepentingan-kepentingan sesaat. Manusia tidaklah diperintah kecuali supaya mereka

20

Ridla Allah adalah limpahan karunia-Nya yang melebihi karunia surga ( at-Taubah ; 72 : ﻦﻣناﻮﺿرو

ﺮﺒﻛأﷲا ). Lafad ridlâ jika disandangkan kepada manusia, maka kata tersebut mempunyai arti kondisi jiwa yang

menjadikan penyandangnya menerima dan merasa puas dengan sesuatu, sehingga tidak terbetik dalam benak dan jiwanya kecuali rasa senang dan bahagia.

Lihat juga Q.S al-Mumtahanah : 1 : " ……….Jika kalian keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan (

dengan motivasi ) untuk menggapai keridlaan-Ku, ( janganlah kamu berbuat demikian yaitu menjadikan orang- orang yang memusuhi dan mengusir Rasulullah dan orang-orang mukmin sebagai teman setia ).."

21

Al-Biqâ'iyy, Burhân ad-Dîn Abi al-hasan Ibrâhîm ibn 'Umara al-Biqâ'iyy, Nadlm ad-Durarfî Tanâsu

al-Ăyât wa as-Suwar, Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1995 Jilid 7, 204

Dokumen terkait