• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alasan-alasan Amerika Serikat (AS) Menginvasi Irak

KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP IRAK

B. Alasan-alasan Amerika Serikat (AS) Menginvasi Irak

Dalam invasi pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS) terhadap Irak ini, ada 3 (tiga) tujuan yang menurut Presiden Bush mengapa Irak harus diserang dengan kekuatan militer. Yang pertama adalah memusnahkan senjata pemusnah masal. Lalu yang kedua, menyingkirkan ancaman terorisme internasional dan yang ketiga adalah membebaskan warga Irak dan penindasan rezim Saddam dengan cara memulihkan demokrasi di Irak. Kendati DK PBB tidak memberikan izin, AS dan sekutunya tetap melancarkan serangan militer. Presiden George W. Bush sendiri sejak jauh hari

58 Ibid.

menyatakan bahwa jalan yang ditempuh oleh bangsa Amerika tidak harus bergantung pada keputusan atau sikap dan negara-negara lain 59. Ucapan Bush ini jelas menampilkan sikap arogansi kebijakan AS yang sangat berlebihan. Lebih dan itu, Bush seakan-akan sedang memberikan peringatan kepada PBB bahwa AS ‘mampu’ melancarkan aksi militer tanpa harus menunggu apakah keputusan dan PBB atau negara lain. Tapi benarkah 3 (tiga) alasan tersebut memang menjadi tujuan dibalik invasi militer AS ke Irak apa kaitan serangan militer ke Irak itu dengan ambisi “The Hawkish”

(Kelompok Rajawali) AS untuk mempertahankan sistem dunia yang unipolar ? Mencermati ketiga alasan tersebut secara lebih dalam akan membeberkan dengan jelas bahwa tujuan AS menginvasi Irak ternyata tidak sesuai dengan apa yang dipaparkan sebelumnya. Hal itu dapat kita lihat sebagai berikut:

Pertama, invasi militer AS ke Irak dengan tujuan memusnahkan “Weapons of Mass Destruction WMD (Senjata Penghancur Masal) adalah merupakan upaya AS untuk membohongi masyarakat internasional. Bila AS memang menghindari adanya senjata penghancur massal tersebut, mengapa presiden Bush tidak mengerahkan semua kemampuan AS, misalnya pasukan dan upaya diplomasi ? Dalam Perang teluk kali ini, Pentagon dan Inggris masing-masing hanya mengirimkan 230.000 dan 45.000 personilnya ke Teluk. Dari jumlah tersebut, hanya 90.000 prajurit AS dan 20.000 prajurit Inggris yang merupakan pasukan tempur.60

Kenekatan Pentagon mengirimkan pasukan dalam jumlah kecil pada akhirnya telah sempat menimbulkan perselisihan tajam antara kubu Donald Rusmfeld (Menteri

59

“Perspective’, dalam Newsweek,10 Februari 2003, h. 6

60

Pertahanan) dengan Collin Powell (Menteri Luar Negeri). Para petinggi militer AS rata-rata mendukung Powell karena ia adalah mantan jenderal yang termasuk sangat memahami situasi di Timur Tengah. Sedangkan Rumsfeld ingin menunjukkan kepada dunia bahwa AS mampu menaklukan suatu negara hanya dengan kekuatan kecil. Tetapi langkah Rumsfeld memang menemui kecaman dikalangan petinggi militer AS. Menurut Rumsfeld Irak akan jatuh dalam tempo beberapa hari ternyata tidak terbukti. Baghdad jatuh setelah 3 (tiga) minggu pasukan koalisi pimpinan AS memborbardir Irak.61

Pertanyaannya sekarang adalah mengapa dulu Irak dibiarkan menggunakan senjata kimia untuk menghancurkan pertahanan militer Iran pada tahun 1982 ? Jika Irak digempur dengan alasan mempunyai senjata pemusnah masal, mengapa Korea Utara didiamkan ? Padahal, Pyongyang jelas-jelas memiliki senjata pemusnah massal. Sangat boleh jadi, AS masih ‘takut’ untuk mengerahkan militernya ke Korea Utara karena Rusia dan Cina pasti tidak akan tinggal diam. Pemerintah Hu Jintao (Presiden Cina yang sekarang) sudah menyatakan akan menentang aksi militer AS ke Korea Utara 62. Sikap keras Beijing itu tentu diperhatikan dengan teliti oleh para pembuat keputusan di Washington dan Pentagon.

Kebohongan AS pun semakin nyata ketika ketika muncul keragu-raguan di kalangan anggota Kongres AS. Setelah Baghdad jatuh dan beberapa minggu kemudian pasukan koalisi pimpinan AS belum berhasil menemukan senjata kimia Irak, Komisi Intelejen Kongres Amerika menuduh Dinas Intelejen AS melakukan kebohongan besar

61

“Amerika Penjajah”, Sabili, … Op.Cit., h. 44

62

George Wehrfritz, & Richard Wolfe, “The Chinese Puzzle”, dalam Newsweek, 5 Mei 2003, h. 30-31

dalam masalah kepemilikan senjata kimia Irak. Pada tanggal 20 Mei 2003, anggota Partai Demokrat dan Los Angeles, Jane Harman beserta ketua Komisi Intelejen Kongres AS dan Partai Republik (Florida) Porter Gross mengirimkan sebuah surat kepada Direktur Central Intelligence Agency (CIA) George Ternet, memintanya melakukan penjelasan tentang dasar-dasar yang digunakan oleh CIA untuk menuduh Irak menyimpan senjata kimia ataupun Al-Qaeda berada di Irak.63

Pemerintah Bush juga semakin dipermalukan dengan adanya pernyataan susulan dan Komandan Pasukan Gerak Cepat ke-1 Marinir AS di Irak, Letjen James Conway kepada wartawan di Washington melalui telekonferensi bahwa Dinas Intelejen AS telah melakukan kesalahan dengan menyatakan rezim Saddam akan menggunakan senjata kimia atau biologi terhadap pasukan AS. Namun menanggapi kritikan-kritikan tersebut, George Ternet segera mengeluarkan pernyataan yang isinya adalah informasi dan pihaknya telah dipolitisasi. Akan tetapi pemerintah memang tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan, tidak saja kepada dunia internasional melainkan juga

kepada wakil rakyat yang ada di Kongres Amerika. Seandainya pasukan AS telah menemukan senjata

kimia Irak, tentulah Direktur Badan Intelejen Pentagon, Mayjen Keith Dayton tidak perlu dikirim ke Baghdad untuk memimpin 1.400 pakar persenjataan guna mencari keberadaan senjata kimia Irak.

Para kalangan intelejen AS juga ada yang merasa ‘gerah’ dengan tudingan yang diarahkan oleh anggota Kongres AS. Seorang analisis CIA yang khusus membidangi

63

Mohammad Irshad, “After Iraq: Who Is Next?” dalam Defense Journal,(Islamabad: DHA Hockey Stadium), V81. 6, No.10, edisi Mei 2003, h 40

masalah Irak, Patrik Lang, menyatakan bahwa informasi-informasi yang dipasok dinas intelejen telah disalahgunakan oleh Gedung Putih. Mantan anggota Inspeksi Senjata Badan Energi Atom, David Albright menuduh Gedung Putih sengaja memilih informasi-informasi yang hanya mengarah pada fakta bahwa Irak adalah merupakan sebuah ancaman yang serius. Bahkan Vincent Canistraro, mantan Direktur Operasi Counter-terrorism CIA, dengan tegas manyatakan bahwa sebagian besar kalangan intelejen meyakini adanya ‘skandal’ yang dilakukan pemerintah Bush dalam kasus kepemilikan senjata kimia Irak.64

Kedua, menggempur Irak atas nama memerangi terorisme yang didengungkan Gedung Putih juga tidak dapat diterima begitu saja. Tuduhan Washington bahwa Baghdad memiliki hubungan dengan Al-Qaeda, organisasi yang sangat ditakuti oleh AS, sangat tak masuk akal. Disatu sisi Al-Qaeda adalah organisasi yang ingin menggulingkan pemerintahan berpaham liberal ataupun sekuler. Sementara partai Baath pimpinan Saddam Husein tidak memiliki paham fundamentalisme seperti halnya A1-Qaeda. Bahkan rezim Saddam sendiri termasuk yang harus dihancurkan oleh A1Qaeda, karena berseberangan paham dengan A1-Qaeda. Oleh karenanya, selain pemerintah AS tidak punya bukti kuat tentang hubungan A1-Qaeda dengan Irak, baik Osama bin Laden maupun Presiden Irak Saddam Husein jelas tidak mungkin melakukan kerjasama. Apalagi, ketika Irak menduduki Kuwait 2 Agustus 1990, Osama justru menawarkan diri kepada Raja Fahad (Arab Saudi) untuk mengirim veteran Arab-Afgan untuk membantu Kuwait mengusir pasukan Saddam.

64

Akan tetapi pemerintah Bush sengaja membohongi rakyatnya, juga dunia internasional, melalui propaganda-propagandanya. Walaupun Irak sudah tidak lagi menyimpan senjata kimia serta tidak memiliki hubungan dengan jaringan Al-Qaeda, kelompok ‘neo conservative’ AS terus mendengungkan isu tersebut. Karena terus menerus dipropagandakan, maka tidak heran bila dalam sebuah polling di AS pada bulan Februari 2003, hampir 77 persen warga AS mulai mempercayai bahwa secara pribadi Saddam Husein memiliki link dengan Al-Qaeda.

Ketiga, AS menyembunyikan kebohongannya dibalik invasi militernya ke Irak. Klaim Washington bahwa penggulingan Saddam dimaksudkan agar rakyat Irak dapat mendirikan sebuah pemerintahan yang benar-benar demokratis juga cacat dari sisi hukum. Dari mana AS dapat memperoleh legitimasi untuk mencampuri urusan dalam negeri negara lain ? dalam kasus Irak, apapun sistem yang telah dan akan diterapkan oleh di negeri itu, demokrasi atau monarki, maka hal itu seluruhnya menjadi hak rakyat Irak untuk menentukannya.

Menyimak hubungan masa lalu Irak-AS, kita akan menemukan betapa sejumlah petinggi pemerintahan Bush sekarang, sebut saja Dick Cheney dan Donald Rumsfeld, ternyata ‘merestui’ kediktatoran Presiden Saddam di tahun 1980-an. Dalam kebijakan AS dikenal istilah ‘the enemy of our enemy‘ adalah friend (sahabat). Karena itulah, Irak dirangkul. Sebab Iran, yang juga musuh Irak, adalah musuh bebuyutan AS. Ketika pemerintah Saddam melakukan pelanggaran HAM terhadap rakyat Irak dan Baghdad kemudian menggunakan senjata kimia untuk menyerang markas-markas militer Iran, Washington justru tidak bersuara. Apakah sikap AS yang ‘membisu’ pada waktu itu

karena ketidaktahuan atau karena sejumlah perusahaan besar AS memiliki kepentingan minyak dengan Irak?

C. Legalitas Invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak