• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Inter-Responden (Anto, Sony, Tom)

Dalam dokumen Kebermaknaan Hidup yang Dimiliki oleh Ateis (Halaman 164-182)

Anto Sony Tom

Latar Belakang Berasal dari keluarga yang

memeluk agama Islam sepanjang hidup mereka. Sedari kecil, diajari oleh ibu mengenai hal keagamaan mulai dari iman pada Tuhan hingga ritual keagamaan melalui pengajian, membaca Al Quran, mendengar

ceramah bersama, dan hal-hal lainnya. Anto akan mendapat hukuman fisik berupa cubitan bila tidak melaksanakan ritual kegamaannya.

Sewaktu masih beragama, menganggap bahwa Tuhan adalah sosok serba "Maha" serta penolong hidupnya melalui doa yang ia panjatkan. Anto juga takut pada neraka sehingga sebisa mungkin melaksanakan ajaran agamanya agar tidak dihukum Tuhan. Ia juga mempercayai khasiat-khasiat yang terdapat dalam agamanya bila

melakukan sholat. Anto menganggap hidup adalah proses sementara yang harus dilalui sebagai acuan

penghakiman Tuhan di hari kiamat.

Orangtua Sony berpisah ketika ia berusia sekitar 5 tahun. Ibunya adalah seorang mualaf.

Ibu Sony sebisa mungkin mengajari agama Islam pada Sony, misalnya sholat, berpuasa dan membaca Al Quran. Ia tidak pernah memberikan hukuman bila Sony tidak melakukan kewajiban agamanya. Meski demikian, Sony menganggap ibunya tidak mengetahui ajaran agamanya secara mendalam karena pernah mengizinkan keinginan adik Sony untuk melepas jilbab. Sewaktu masih beragama, Sony menganggap Tuhan adalah penolong dalam hidupnya dan doa adalah perantara mereka. Sony menganggap bahwa hidup adalah sarana untuk mengumpulkan pahala

melalui ajaran agamanya agar ia bisa masuk ke dalam surga.

Sedari bayi diasuh oleh paman dan Bibi-nya. Bibi Tom adalah seorang Muslim yang kemudian menjadi seorang Kristiani. Keluarga kandung adalah umat Kristiani.

Bibi Tom mengajarinya mengenai hal keagamaan mulai dari membaca Alkitab dan membawa Tom ke Sekolah Minggu di Gereja. Namun, ketika Paman Tom meninggal, bibinya pergi sehingga Tom kembali pada keluarga kandungnya yang jarang beribadah. Hal ini membuatnya tidak lagi memiliki sosok yang dapat membimbingnya mengenai hal keagamaan di rumahnya.

Keadaan keluarga kandung Tom juga tidak baik. ia menduga ibunya mengidap schizophrenia. Abang Tom ada yang memakai narkoba serta melakukan hubungan intim di luar nikah.

Sewaktu masih beragama, Tom menganggap Tuhan adalah pencipta dan penolong yang harus disembah. Tom

menganggap hidup adalah sebuah bentuk ujian yang nantinya akan dinilai Tuhan untuk dapat masuk ke dalam surga atau neraka, namun Tom optimis ia akan masuk surga karena ia mempercayai bahwa ia diselamatkan oleh Yesus.

Peralihan dari Teis Menjadi Ateis Merasa gelisah dan merasa

bersalah karena telah

mempertanyakan kebenaran ajaran agamanya serta kecewa karena tidak mendapat apa yang menurutnya seharusnya ia dapat sebagai umat

beragama yang telah

melaksanakan kewajibannya. Merasa gelisah dan tidak nyaman akan keadaan diri yang datang pada Tuhan bila membutuhkan saja.

Berdiskusi dengan Ustadz, namun merasa tidak puas sehingga mencari tahu lebih banyak melalui buku dan internet, kemudian

merasionalisasikan informasi yang diterimanya

menggunakan logikanya. Mengaitkan bacaan-bacaan yang ia terima dengan logikanya sehingga ia

menganggap bahwa eksistensi Tuhan dalam agama apapun tidak memiliki bukti nyata,

Merasa tidak nyaman dan merasa bersalah atas dirinya yang mempertanyakan kebenaran agama. Selain itu, ia tidak memiliki orang yang dapat ia ajak berdiskusi perihal agama di rumahnya. Mengalami kebingungan untuk tetap percaya pada agamanya atau tidak karena ia masih takut akan neraka, namun bukti dalam sains, membuatnya meragukan agamanya.

Merasa gelisah atas keadaan dirinya yang mempercayai Tuhan berdasakan definisi barunya, namun nyatanya tidak ada bukti juga mengenai hal tersebut.

Berdiskusi dengan Ustadz, namun merasa tidak puas sehingga mencari tahu lebih banyak melalui buku dan rasionalisasi sendiri karena belum mengenal internet. Setelah mengenal internet,

Merasa kecewa atas keadaan hidupnya yang ditinggal oleh Bibi serta kondisi

keluarganya yang kurang baik.

Merasa bersalah karena mempertanyakan kebenaran ajaran agamanya dan menjadi ragu karena sains dan agama sangat berbeda. Sains

memiliki bukti, tidak seperti agama yang selama ini ia percayai.

Merasa tidak nyaman dengan keadaaan dirinya yang mempercayai Tuhan namun tidak mempercayai ajaran agama.

Berdiskusi dengan Pendeta, namun merasa tidak puas sehingga mencari tahu lebih banyak melalui buku dan internet, kemudian

merasionalisasikan informasi yang diterimanya

lagipula setiap agama sama- sama merasa paling benar sehingga ia enggan untuk beralih ke agama lain dan menjadi Ateis.

informasi yang didapatkannya menjadi lebih banyak

mengenai sains dan kesalahan berpikir umat beragama yang kemudian ia rasionalisasikan menggunakan logikanya. Menyimpulkan bahwa bahwa definisi baru tentang Tuhan yang ia buat berasal dari keinginannya sendiri, padahal sebenarnya Tuhan memang tidak ada serta argumen- argumen yang selama ini ia anggap kuat, ternyata juga memiliki kesalahan-kesalahan logika sehingga ia tidak mau lagi percaya pada Tuhan dan menjadi Ateis.

Menyediakan waktu untuk membaca artikel di internet serta membaca buku-buku yang membahas kesalahan berpikir agama dan

menyimpulkan bahwa Tuhan adalah dongeng yang tidak memiliki bukti nyata sehingga ia menjadi Ateis.

Value Sebagai Seorang Ateis Menganggap bahwa nilai

kolektif bermasyarakat merupakan hal yang paling penting dalam hidup. Baginya, ia tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Pengorbanan tidak dilakukan atas dasar ajaran agama, namun karena keinginan sendiri untuk berbuat baik. Moral tidak harus berasal dari ajaran agama, namun melalui aturan masyarakat dan pengalaman hidup

Empati adalah nilai terpenting untuk memahami orang lain sehingga mengetahui mana yang baik dan yang tidak. Kebenaran adalah suatu hal yang memiliki bukti sehingga dapat dipercaya.

Moral tidak harus berasal dari agama, namun dari aturan yang berlaku di masyarakat.

Kebebasan tidak dapat diraih seutuhnya dalam hidup.

Setiap orang seharusnya melakukan hal di bidang yang ia senangi karena yang terpenting adalah minat, bukan bakat.

Tidak ada kebenaran mutlak karena setiap hal bernilai relatif, tergantung sudit pandang yang digunakan. Belief Sebagai Seorang Ateis

sehingga ingin

memaksimalkan hidup. Tuhan hanyalah dongeng. Doa tidak memiliki manfaat dalam hidup.

Ajaran agama merendahkan kemampuan manusia, misalnya dalam melakukan perbuatan baik dan tidak masuk akal karena tidak memiliki bukti konket.

hidup.

Agama hanyalah kebohongan untuk membuat penganutnya merasa nyaman dan tidak masuk akal karena tidak memiliki bukti konket. Segala hal yang terjadi di dunia adalah proses alamiah, bukan berasal dari Tuhan karena Tuhan adalah fiktif. Tidak percaya akan adanya after life sehingga ingin menikmati hidup sebaik mungkin.

berguna karena tidak ada bukti nyata keberadaan-Nya. Ajaran agama tidak masuk akal dan hanyalah sebuah pembodohan.

Tidak percaya akan after life sehingga berusaha menjalani hidup untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Doa tidak bermanfaat dalam penyelesaian masalah.

Tujuan Hidup Sebagai Seorang Ateis Ingin menjalani hidup yang

bermanfaat bagi orang lain yang tidak dilandasi atas kepercayaan pada Tuhan melalui agama. Usaha realisasi :

- Melakukan berbagai kegiatan terarah yaitu, tidak melakukan perbuatan jahat yang

merugikan dirinya dan orang lain, sebisa mungkin

membantu orang lain, seperti teman dan orangtua, dalam bentuk pikiran, tenaga maupun waktu, kecil apapun. - Berusaha untuk selalu

mencari solusi yang tepat ketika mengalami masalah hidupnya. Baginya, yang

Ingin berguna bagi sesama karena menganggap pada masa sekarang ini, belum banyak orang yang peduli terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Sony yakin bahwa rasa empati lah yang membuatnya mampu memahami apa yang dirasakan orang lain sehingga ia ingin bermanfaat bagi

masyarakat. Usaha realisasi :

- Melakukan berbagai kegiatan terarah yaitu,

mengembangkan pribadi menjadi lebih baik dengan menjalankan kuliah sebaik mungkin dan melatih keahlian komunikasi dengan mengikuti ajang lomba debat, sehingga nantinya dapat

Ingin melakukan pekerjaan di bidang yang ia senangi, yaitu politik, filsafat atau sejarah Tom belum melakukan usaha untuk mewujudkan tujuan hidupnya, namun ia sudah memiliki rencana, yaitu : - Mengikuti organisasi mahasiswa di kampus. - Mengirimkan artikel di surat

kabar kampus mengenai politik.

- Mengikuti tes masuk perguruan tinggi di bidang Filsafat.

Selain itu, ia telah menjadi salah satu admin media sosial ask.fm

terpenting adalah menghadapi masalah tersebut secara langsung, apa yang harus dilakukan daripada berlarut- larut dalam penyesalan. .

mengabdi dalam bidang Psikologi yang ia senangi, menjadi pembawa tongkat estafet ilmu sebagai upaya untuk berguna bagi

masyarakat.

- Memberitahu apa yang ia anggap sebagai kebenaran dibalik propaganda politik, yaitu mengenai laragan penggunaan ganja, sehingga ia mengikuti gerakan

melegalkan ganja karena sebenarnya ganja memiliki banyak manfaat, mulai dari pengobatan penyakit hingga dapat berperan dalam pengurangan pemanasan global.

dan LINE bernama “Agnostik Indo.

Keadaan Saat Ini Bahagia dengan kehidupan yang

dijalaninya karena akhirnya bisa terlepas dari ritualisme agama dan jujur dan mengakui apa yang selama ini ia ragukan. Ia juga bahagia bisa menemukan teman- teman yang menghormati pilihannya. Meski demikian, menurut Anto, kebahagiaan dalam hidup akan lengkap bila ia telah berhasil mewujudkan tujuannya untuk bermanfaat bagi orang banyak. Hal ini

membuktikan bahwa Anto mulai memiliki kehidupan bermakna karena ia sudah merasakan kebahagiaan karena terlepas dari penderitaannya terdahulu yang

Mulai memiliki kehidupan bermakna karena bahagia dengan tidak lagi terikat pada ajaran agama serta lebih menikmati hidup karena menghargai bahwa hidup hanyalah berlangsung sekali tanpa perlu menjalaninya demi masuk ke dalam surga. Ia juga bahagia karena memiliki keluarga dana teman-teman yang tidak mempersoalkan

identitasnya. Meski demikiaan, Sony merasa kebahagiannya akan utuh bila ia berhasil memenuhi tujuan hidupnya untuk menjadi penerus ilmu yang bermanfaat bagi sesama.

Tom sudah merasa bahagia dengan identitas Ateisnya karena telah berhasil jujur pada diri sendiri, walaupun ia belum mencapai tujuan hidupnya. Meskipun ia merasa banyak hal tidak baik dapat terjadi dalam hidup, ia tetap optimis hari

depannya akan menjadi lebih baik dengan berusaha melakukan hal- hal yang dapat membuatnya bahagia melalui hal-hal yang ia senangi.

bingung, ragu dan kalut atas kebenaran agamanya dan sekarang, ia sedang berusaha untuk menggapai kehidupan bermakna dengan berusaha mewujudkan impiannya untuk berguna bagi orang banyak

C. Pembahasan

Sebelum menjadi Ateis, ketiga responden adalah pemeluk agama tertentu yang sama dengan keluarganya masing-masing. Terkait dengan pengalihan belief dari Teis menjadi Ateis, hal ini dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal ialah kemampuan kognitif yang semakin berkembang seiring bertambahnya usia. Sementara faktor eskternal dapat berupa informasi yang diperoleh melalui buku, internet dan media massa yang dapat diakses dengan cepat dan mudah seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi.

Awal responden I, responden II dan responden III mulai mempertanyakan kebenaran ajaran agama adalah ketika berada di kelas 2 SMP dan 1 SMA (sekitar usia 14-17 tahun). Berdasarkan tahap perkembangan kognitif yang digagas oleh Piaget (dalam Galotti, 2004), rentang usia ketiga responden saat mempertanyakan agama termasuk dalam tahap formal operasional. Pada tahap ini, kemampuan berpikir abstrak individu, lebih baik dari tahap sebelumnya, yakni konkret operasional sehingga rasa penasaran akan suatu hal meningkat yang memicu idealisme individu untuk menyadari bahwa terdapat berbagai kemungkinan dan berbagai cara dalam menghadapi masa depan. Pada tahap ini, kemampuan logika individu juga meningkat, yang memungkinkan individu untuk memperoleh pengetahuan baru dan memahaminya hanya dengan menggunakan pemikiran mereka sendiri dan refleksi abstrak. Hal ini dikenal dengan istilah reflective abstract yang membuat individu dapat menyadari adanya ke-tidak-konsistenan pada belief –nya. Hal ini berguna dalam pemikiran naluriah, terutama mengenai

sosial dan moral yang memungkinkan individu untuk memahami sudut pandang orang lain dalam memikirkan suatu masalah (Galotti, 2004).

Ketiga responden sama-sama menggunakan kemampuan reflective abstract ketika menyadari adanya ke-tidak-konsistenan antara belief berdasarkan agama yang selama ini dianut dengan kenyataan dunia yang diamati, misalnya melihat orang beragama yang diajarkan kebaikan oleh agamanya, ternyata mampu berbuat kejahatan ataupun mendapat informasi mengenai sains yang membuktikan usia Bumi berbeda dengan pernyataan agama. Mereka pun lalu menggunakan logika untuk memikirkan perbedaan-perbedaan tersebut dengan mengaitkan berbagai informasi yang didapat melalui buku dan internet mengenai sejarah, sains hingga Ateis. Hal ini membuat mereka menyadari ada cara pandang berbeda dalam memahami dunia dari yang mereka ketahui sebelumnya sehingga mereka menemukan bahwa ternyata mereka memiliki pilihan dalam memandang suatu hal.

Berdasarkan hasil analisa data, peneliti juga menemukan faktor eksternal yang mempengaruhi pengalihan individu Teis menjadi Ateis. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan faktor-faktor yang diungkapkan oleh Thompson (2004) dalam bukunya yang berjudul The Many Faces, Causes of Unbelief, yaitu : orangtua dan cara asuh, perkembangan sains, intimidasi secara intelektual, kejahatan, rasa sakit dan penderitaan serta kemunafikan, ketidakadilan dan tindakan buruk yang dilakukan oleh orang beragama. Pada responden I, yang menjadi penyebab eksternal menjadi Ateis ialah intimidasi secara intelektual, rasa sakit dan penderitaan, serta tindakan buruk yang dilakukan oleh orang beragama.

Reponden I juga mengingat berbagai masalah yang terjadi dalam kehidupannya, terlebih lagi sebuah masalah pribadi yang enggan ia utarakan pada peneliti, yang membuatnya menganggap bahwa percaya pada Tuhan adalah sia-sia karena tidak berpengaruh dalam penyelesaian masalahnya

Pada responden II, penyebab eksternal pengalihannya menjadi Ateis memiliki peran yang lebih sedikit karena ia lebih banyak menggunakan pemikirannya untuk merasionalkan keberadaan Tuhan. Penyebab eksternal yang ia miliki adalah perkembangan sains yang membuatnya terintimidasi secara intelektual serta melihat penderitaan dan kejahatan yang terjadi di dunia. Sementara pada responden III, yang menjadi penyebab pengalihannya menjadi Ateis adalah intimidasi secara intelektual serta melihat banyaknya penderitaan di dunia. Hal ini membuat ia terintimidasi secara intelektual sehingga imannya melemah karena sains dan sejarah lebih masuk akal bila dipikirkan dengan logika serta memiliki bukti dan proses penelitian yang nyata. Responden III juga mempertanyakan penyebab berbagai penderitaan yang terjadi di dunia. Ia bingung terhadap sosok Tuhan yang dikenal sebagai sosok maha kuasa namun mengapa tidak mampu melenyapkan penderitaan di dunia.

Salah satu faktor eksternal lain yang juga menjadi penyebab ketiga responden menjadi Ateis lainnya adalah rendahnya kualitas hubungan dengan keluarga, terlebih lagi di usia remaja yang merupakan fase pencarian identitas. Denton (2006) mengungkapkan bahwa kualitas hubungan yang baik antara orangtua dan anak, kehangatan keluarga serta penerimaan orangtua terhadap anak merupakan perantara tumbuhnya religiusitas dalam diri anak remaja karena bila

hubungan orangtua-anak adalah baik, maka transmisi nilai-nilai keagamaan pada anak juga akan baik. Hal ini tidak dialami oleh ketiga responden. Hubungan antar anggota keluarga responden I tidak terlalu dekat. Bahkan, terakhir mereka berlibur bersama saja sekitar delapan tahun yang lalu. Responden I berkomunikasi dengan kakak dan abangnya seperlunya saja, bahkan mereka tidak pernah saling berbagi curahan hati. Responden I juga tidak terlalu dekat dengan kedua orangtuanya, namun sebisa mungkin ia membantu mereka apabila membutuhkan bantuan dari dirinya. Responden I yang tidak dekat dengan keluarganya, membuat ia tidak terbuka pada anggota keluarganya dan enggan untuk berdiskusi seputar agama dengan mereka karena merasa segan dan takut dipandang negatif karena telah mempertanyakan Tuhan.

Sedangkan keluarga responden II juga merupakan keluarga yang cukup rajin melaksanakan ibadah agamanya, meskipun ibunya adalah seorang mualaf. Namun, ketika responden memiliki banyak pertanyaan di dalam dirinya mengenai Tuhan dan agama, hubungan dengan ibunya sedang renggang, karena di saat yang bersamaan, ia banyak membuat kenakalan remaja yang kerap membuat ibunya memarahinya. Hal ini membuat ia enggan untuk berdiskusi seputar agama dengan ibunya karena hubungan mereka yang sedang tidak baik. Ia juga enggan berdiskusi dengan ibunya karena menganggap pengetahuan agama Islam ibunya tidaklah mendalam. Selain itu, ibunya juga bekerja di kedai kopi miliknya yang jauh dari rumah dari pagi hingga malam sehingga jarang berada di rumah. Hal ini membuat responden II tidak memiliki sosok yang bisa diajak berdiskusi di rumahnya.

Sementara pada responden III, awalnya ia memiliki sosok orangtua, yaitu bibi yang mengajarinya mengenai kepercayaan pada Tuhan hingga hal tersebut tertanam dalam dirinya. Namun, saat ia duduk di kelas 5 SD, bibinya pergi dan ia kembali pada keluarga kandungnya yang sangat jarang beribadah. Hal ini membuat responden III kehilangan panutan dalam beribadah, instruksi dan kedisplinan beribadah pun berkurang sehingga muncul rasa skeptis pada Tuhan.

Selanjutnya, berdasarkan hasil analisa data, responden I dan responden II mulai memasuki kehidupan bermakna, sementara responden III terhenti pada tahap penemuan makna. Meski demikian, ketiga responden sama-sama memiliki Will to meaning untuk meraih kehidupan bermakna. Will to meaning merupakan motivasi dasar manusia untuk meraih hidup yang bermakna (Sahakian dalam Bastaman, 2006). Pembedanya adalah responden I dan II telah menetapkan dan sedang merealisasikan tujuan hidup mereka melalui berbagai kegiatan terarah, sementara responden III masih merencanakan beberapa pilihan kegiatan terarah yang akan dilakukan sebagai usaha realisasi tujuan hidupnya, namun belum dilakukan karena masih mempertimbangkan kegiatan apa yang sebaiknya ia lakukan.

Ketiga responden yang mengadopsi identitas Ateis, membuktikan bahwa mereka menggunakan kebebasan berkehendak (freedom of will) untuk menentukan sikap terhadap kondisi yang dialami. Freedom of will merupakan kebebasan menentukan sikap terhadap kondisi biologis, psikologis, sosiokultural dan kesejarahannya, namun harus diimbangi dengan tanggung jawab agar tidak berkembang menjadi kesewenangan (Bastaman, 1996). Dalam hal ini, ketiga

responden memiliki kebebasan untuk tetap percaya pada Tuhan melalui ajaran agama ataupun melepaskan kepercayaan tersebut. Mereka memilih untuk menjadi Ateis dan menerima konsekuensi atas hal tersebut.

Dalam proses peralihan menjadi Ateis, ketiga responden melalui tahapan- tahapan. Tahap pertama ialah tahap detachment yang ditandai dengan mempertanyakan dan memisahkan diri secara emosional terhadap agama. Pada tahap ini, ketiga responden sama-sama merasa tidak nyaman, gelisah, merasa bersalah karena telah mempertanyakan agama, namun enggan untuk melepas hal tersebut. Meski demikian, mereka belum mampu membenarkan skepstisme dan keraguan terhadap keyakinan agama karena belum memiliki sudut pandang yang berbeda selain agama dalam memandang suatu hal.

Selajutnya, emosi-emosi negatif yang dirasakan karena mempertanyakan agama, membuat para responden mencari tahu lebih banyak tentang sejarah, sains dan agama melalui buku dan internet. Mereka membandingkan lini waktu cerita yang dipaparkan oleh kitab suci agama dengan cerita sejarah dan hasil penelitian sains. Kemudian, mereka mengaitkan itu semua dengan logika yang pada akhirnya membuat mereka lebih mempercayai sejarah dan sains, namun masih enggan melepaskan Tuhan karena masih takut dengan dosa dan neraka. Ini membuktikan bahwa ketiga responden berada pada tahap doubt, sebuah tahap ketika individu sudah mengetahui apa yang membuat mereka tidak nyaman, tidak puas terhadap identitas agama yang dimiliki (Krueger, 2014).

Ketiga responden memang sudah lebih percaya pada sains dan sejarah, namun mereka enggan melepaskan sosok Tuhan dalam hidup mereka meskipun

sudah ragu sehingga mereka mengganti konsep Tuhan sesuai dengan kehendaknya agar dapat menyelamatkan iman masing-masing. Mereka mengalami kebingungan harus percaya pada sains yang telah memiliki bukti atau tetap berpegang pada agama yang selama ini diimani karena mereka juga msih takut terhadap dosa dan neraka. Ketiga responden pun berpindah dari tahap doubt ke tahap dissociation mengenai peralihan menjadi Ateis karena mereka mulai mejauhkan diri dari belief maupun praktek agama. Hal ini terlihat pada responden I dan responden III hanya berkomunikasi pada Tuhan bila menginginkan sesuatu saja, sementara responden II sesekali beribadah sebagai antisipasi bila ternyata agama-lah yang benar. Pada tahap dissociation, individu tidak lagi memikirkan diri mereka berdasarkan identitas agama sebelumnya, namun belum langsung mengadopsi identitas Ateis (Krueger, 2014).

Ketiga responden yang enggan melepaskan konsep Tuhan, namun belum berani menjadi Ateis pun akhirnya mengadopsi keyakinan baru mengenai Tuhan yang berbeda dari yang mereka percayai sebelumnya. Responden I menganggap Tuhan adalah alam itu sendiri, tanpa campur tangan agama. Responden II menganggap Tuhan adalah sebuah kekuatan yang lebih tinggi dan tidak terlihat yang mencipatkan alam raya yang amat sangat luas serta tidak bersifat personal, tidak memperhatikan manusia secara individual karena tentu banyak hal yang menjadi urusan-Nya. Sementara, responden III menganggap Tuhan adalah merupakan sosok yang mengetahui isi hati manusia secara personal, namun bukan berasal dari agama karena agama hanyalah ciptaan manusia. Hal ini mereka

Dalam dokumen Kebermaknaan Hidup yang Dimiliki oleh Ateis (Halaman 164-182)