• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Isi Kebijakan Pemanfaatan Kayu di Kabupaten Jayapura

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Isi Kebijakan Pemanfaatan Kayu di Kabupaten Jayapura

Kebijakan perijinan pemanfaatan kayu pada hutan alam di Kabupaten Jayapura dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) periode waktu, yaitu :

a. Kebijakan sebelum Otonomi Khusus (sebelum tahun 2001) :

Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan kayu meliputi perijinan Hak Pengusahaan Hutan (HPH)/Ijin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA), Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), Ijin Pemanfaatan Kayu Limbah (IPKL). Perijinan- perijinan ini membutuhkan persyaratan administrasi dan tekhnis yang sulit untuk dipenuhi oleh masyarakat adat. Misalnya dalam perijinan IPK, pemohon wajib menyetor dana sebagai garansi bank yang jumlahnya sama dengan jumlah tarif PSDH dan DR sesuai target produksi IPK. Persyaratan-persyaratan ini membatasi masyarakat untuk dapat memanfaatkan perijinan yang ada.

b. Kebijakan saat Otonomi Khusus hingga Operasi hutan Lestari II (2001 – 2005) Pada periode ini perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan kayu berupa perijinan IPK, Ijin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) di hutan produksi, dan perijinan yang dibangun sesuai semangat UU Otsus Papua yaitu Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat (IPK-MA)/Kopermas. Pada periode ini masyarakat adat banyak terlibat dalam kegiatan pemanfaatan kayu sesuai perijinan IPK-MA.

c. Kebijakan saat Otonomi Khusus pasca Operasi hutan Lestari II (2005 – sekarang) Pada periode ini perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan kayu berupa perijinan IPK, dan IPHH. Perijinan IPK-MA telah dicabut pemberlakuannya. Kegiatan pemanfaatan kayu banyak diarahkan pada areal penggunaan lain (APL) seperti areal lahan usaha dua transmigrasi dengan menggunakan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK).

Penghentian perijinan IPK-MA oleh Kementerian Kehutanan tidak diikuti oleh kebijakan yang menjawab kelemahan-kelemahan IPK-MA dan penguatan kelembagaan lokal. Kementerian Kehutanan justru membatasi perijinan pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat. Masyarakat hanya diberi kesempatan untuk memanfaatkan kayu dengan menggunakan perijinan IPHH pada hutan produksi.

Kenyataan di lapangan IPHH tidak dipakai oleh masyarakat adat, masyarakat lebih memilih untuk memanfaatkan kayu tanpa perijinan. Untuk mengetahui penyebab masyarakat tidak memanfaatkan perijinan IPHH dalam kegiatan pemanfaatan kayu maka dilakukan analisis terhadap isi kebijakan IPHH sesuai SK Menhut No.6886/Kpts-II/2002 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemberian IPHH dan perubahannya sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.46/Menhut/2009. Analisis isi kebijakan menggunakan pendekatan terhadap Rule, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, Ideology / ROCCIPI (Seidman, et al. 2001) disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 . Hasil Analisis Isi Kebijakan SK.Menhut 6886/2002 dan P.46/Menhut/2009

Isi Peraturan Hasil Analisis

SK. Menhut 6886/2002 & P.46/Menhut/2009 Peraturan (Rule)

Inkonsisten & Diskriminatif

IPHHK-HA tdk diperdagangkan, sementara aturan ini mengacu pada PP No.6 /2007 yang menjelaskan : IPHHK adalah izin untuk mengambil hasil hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan, pengangkutan, dan pemasaran untuk jangka waktu dan volume tertentu.

Kayu dari perijinan lain seperti IUPHHK-HA, IPK, dapat diperdagangkan namun memiliki persyaratan yang sulit dipenuhi oleh masyarakat, sementara IPHHK-HA yang persyaratannya dapat dipenuhi oleh masyarakat tidak diijinkan untuk diperdagangkan.

Peluang (Opportunity) Disinsentif

Peraturan ini tidak memberikan manfaat (pendapatan) berupa uang dan justru menambah biaya karena pemegang ijin IPHHK wajib membayar PSDH.

Kapasitas (Capacity) Memadai

Dinas Kehutanan dapat menjalankan tugas administrasi sesuai perijinan IPHH, hal ini dapat dilihat dengan kelancaran pengurusan IPHH-bukan kayu (gaharu, kulit masohi).

Komunikasi (Communication)

Sosialisasi peraturan ini telah dilakukan dan mendapat respon yang baik dari masyarakat adat berupa pengurusan perijinan IPHH-bukan kayu.

Kepentingan (Interest)

Hak kepemilikan kayu

Masyarakat adat menilai aturan ini tidak mengakui hak kepemilikan mereka atas hutan adat, sehingga untuk menggunakan kayu (kebutuhan sendiri tanpa dijual) dari areal ulayatnya mereka harus memohon ijin kepada pemerintah.

Proses (Process) Top-down

P.46/2009 tidak menjawab kelemahan SK Menhut 6886/2002 Proses pembentukan aturan ini tidak melalui tahapan pembuatan kebijakan yang tepat. (prosedur pembuatan kebijakan menurut Dunn, 1994, yaitu : Perumusan Masalah, Peramalan, Rekomendasi, Pemantauan, Penilaian.).

Ideologi (Ideology) Mengalihkan kegiatan pemanfaatan kayu ke pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.

Hasil hutan bukan kayu tidak menyebar merata seperti halnya kayu sehingga tidak semua masyarakat beralih dari kegiatan pemanfaatan kayu ke pemanfataan hasil hutan bukan kayu.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan yang ditawarkan oleh pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan) tidak menjadi solusi atas masalah pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat. Kebijakan tersebut justru memberi peluang untuk tidak ditaati karena tidak memberikan manfaat (disinsentif) terhadap kebutuhan masyarakat. Kebijakan ini juga melemahkan kapasitas lembaga pemerintah di lapangan khususnya Dinas Kehutanan karena masyarakat menilai kehutanan tidak mampu mengakomodir kepentingan masyarakat adat. Masyarakat juga menilai pemerintah mengabaikan keberadaan mereka bahkan mengingkari legitimasi sistem hak kepemilikan yang ada sebelumnya atas sumber daya alam berbasis tanah adat. Menurut Peluso (2006) negara sering memaksakan pelaksanaan hukum yang rumusannya bertentangan dengan kepercayaan, hukum adat, dan desakan kebutuhan materi. Masyarakat sering menanggapinya dengan perlawanan sebagai bentuk protes terhadap hilangnya akses atas sumber daya.

5.2. Saluran Pemasaran

Pemasaran kayu di Kabupaten Jayapura dibedakan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu pemasaran kayu legal dan pemasaran kayu illegal. Kayu legal atau kayu yang berasal dari kegiatan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) pemasarannya disesuaikan dengan perjanjian kerjasama antara pemegang IPK dan industri kayu. Kayu illegal atau tanpa ijin pemasarannya melibatkan beberapa pihak yaitu masyarakat adat, kelompok penggesek, industri kayu, kios kayu, dan konsumen lainnya. Pihak-pihak ini membentuk pola saluran pemasaran seperti pada Gambar 3.

Gambar 3. Pola Saluran Pemasaran Kayu Tanpa Ijin di Kabupaten Jayapura Keterangan :

: Saluran Pemasaran 1 (Masyarakat adat – Kelompok penggesek – industri/kios kayu/konsumen lain)

: Saluran Pemasaran 2 (Masyarakat adat – industri/kios kayu/konsumen lain)

Masyarakat di Distrik Unurumguay dan Distrik Kaureh memasarkan kayu dengan menggunakan saluran pemasaran 1. Masyarakat di kedua distrik ini banyak berhubungan dengan kelompok-kelompok penggesek kayu. Kelompok penggesek merupakan masyarakat pendatang dari Sulawesi Utara yang menetap sementara di hutan dan warga transmigrasi (Jawa) yang ada di Distrik Nimbokrang. Kelompok penggesek memiliki keterampilan dalam mengoperasikan gergaji rantai (chain saw) dan hubungan kerjasama dengan industri maupun kios kayu, kadang merupakan bentukan dari industri atau kios kayu. Penggesek biasanya terdiri dari operator gergaji rantai, regu sarad/pemikul dari dalam hutan ke pinggiran jalan.

Pada saluran pemasaran 1, masyarakat adat memberikan ijin kepada kelompok penggesek kayu untuk mengolah kayu pada areal hutan milik masyarakat adat. Pada saluran pemasaran ini penggesek lebih berkepentingan dibandingkan masyarakat adat. Hal ini dibuktikan dengan keaktifan mereka dalam mencari lokasi maupun membangun kerjasama dengan masyarakat melalui negosiasi-negosiasi yang memotivasi masyarakat adat untuk memberikan ijin pemanfaatan kayu pada areal hutan masyarakat adat. Ijin yang diberikan oleh masyarakat adat umumnya berupa ijin lisan (verbal), ada pula ijin tertulis yang telah disiapkan oleh kelompok penggesek untuk ditanda tangani oleh masyarakat adat. Ijin tertulis inilah yang kemudian dipakai oleh penggesek untuk mengamankan setiap kegiatan penebangan hingga pengangkutan kayu ke industri atau kios kayu.

Masyarakat Adat Kel. Penggesek

• Industri Kayu; • Kios Kayu; • Konsumen lain 1

Setelah memperoleh ijin dari masyarakat adat, kelompok penggesek dapat mulai melakukan kegiatan penebangan pohon, penggergajian, dan pengangkutan kayu. Masyarakat adat menerima kompensasi sesuai laporan lisan tentang volume dan jenis yang telah diambil dari areal hutannya. Kelompok penggesek memasarkan kayu dalam bentuk kayu pacakan dengan jenis dan ukuran sesuai permintaan industri maupun kios kayu. Jenis kayu merbau (Intsia,sp.) dijual ke industri kayu dengan ukuran 3m x 14cm x 14cm, untuk yang dijual ke kios kayu selain merbau juga kayu dari kelompok rimba campuran seperti matoa (Pometia sp.) dan lain-lain dengan ukuran bervariasi yaitu 4m x 5cm x 10cm ; 4m x 5cm x 15cm; 4m x 10cm x 10cm .

Kelompok penggesek dalam melakukan kegiatannya mampu mencapai jarak ± 2 km dari pinggiran jalan. Pengerjaan pohon menjadi kayu pacakan dilakukan di lokasi penebangan dengan menggunakan gergaji rantai. Pengangkutan kayu dari lokasi penebangan ke pinggiran jalan menggunakan tenaga manusia (dipikul), ternak (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi untuk digunakan pada rel yang telah disiapkan. Dalam sehari setiap operator gergaji rantai mampu menghasilkan 1 – 2 meter kubik kayu pacakan jenis merbau. Jenis non merbau pengerjaannya lebih mudah sehingga dalam sehari mampu mencapai 3 – 4 meter kubik.

Pengangkutan kayu dari pinggiran jalan ke industri atau kios kayu menggunakan truk. Kapasitas angkut truk untuk kayu merbau ± 4 meter kubik dan kayu non merbau ± 5 meter kubik. Dalam perjalanan truk akan melewati pemeriksaan di pos polisi kehutanan dan beberapa pos keamanan (TNI/polisi). Di pos polisi kehutanan pemeriksaan dilakukan terhadap surat angkutan kayu (faktur angkutan), volume dan jenis kayu yang diangkut. Untuk menghindari pemeriksaan dan kemungkinan penahanan kayu illegal dan truk pengangkut, supir truk atau pemilik kayu biasanya membayar sejumlah uang di setiap pos yang dilewati. Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk melewati pos kehutanan, Pos TNI, dan Pos Polisi selama perjalanan dari hutan hingga Kota Sentani berkisar antara Rp. 750.000 hingga Rp. 900.000,-. Biaya ini dapat bertambah jika dalam perjalanan ada pemeriksaan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian yang sedang melakukan patroli.

Masyarakat di Distrik Kemtuk memasarkan kayu mereka dengan menggunakan saluran pemasaran 2. Masyarakat yang mengusahakan kayu di distrik ini merupakan mantan karyawan perusahaan kehutanan/HPH yang mempunyai pengalaman dalam mengoperasikan gergaji rantai dan mengenal pihak pihak pemilik

kios kayu dan konsumen lain . Konsumen lain yang membeli kayu dari masyarakat berasal dari pelaksana pembangunan perumahan dan proyek pembangunan lainnya di kabupaten dan kota Jayapura. Areal hutan yang dikelola masyarakat dapat mencapai ± 1 km dari pinggiran jalan dengan medan yang relatif datar. Pengangkutan kayu dari dalam hutan ke pinggiran jalan menggunakan tenaga manusia (dipikul). Pemanfaatan kayu biasanya dilakukan jika ada kebutuhan mendesak misalnya untuk kebutuhan perayaan natal dan kebutuhan sekolah anak pada saat tahun ajaran baru. Tingginya biaya angkutan dan pungutan oleh pihak berwenang yang tidak bertanggungjawab menyebabkan masyarakat di distrik ini lebih memilih untuk menunggu pihak kios kayu atau konsumen lain yang mendatangi mereka daripada membawa sendiri atau mendatangi konsumen ke Kota Sentani. Masyarakat yang menggunakan saluran pemasaran 2 jarang menjual kayu ke industri. Hal ini disebabkan menurut mereka pengukuran yang dilakukan oleh tenaga pengukur kayu (grader) sering merugikan mereka.

Kedua pola saluran pemasaran ini dan produk IPK menjadi sumber pemenuhan kebutuhan kayu industri hasil hutan kayu untuk kepentingan ekspor dan kebutuhan kayu lokal di kabupaten dan kota Jayapura. Kenyataan di lapangan sulit sekali membedakan kayu yang berasal dari IPK dan kayu ilegal. Hasil pengamatan di lapangan terdapat IPK yang tidak beroperasi namun memiliki dokumen-dokumen penatausahaan kayu dari IPK ke beberapa industri yang ada di Kabupaten Jayapura. Kondisi ini dapat terjadi karena rendahnya kredibilitas petugas kehutanan yang bertugas di IPK, di pos pengendalian peredaran kayu, dan di industri kayu. Rendahnya kredibilitas petugas disebabkan oleh kurangnya dukungan dana dan fasilitas dari pemerintah. Dalam melaksanakan tugas fungsional sebagai petugas di perusahaan (IPK/IUIHHK) pembiayaan berupa honor/insentif ditanggung oleh perusahaan sehingga petugas ikut merasa bertanggungjawab untuk mengamankan aktivitas perusahaan sekalipun melanggar aturan. Dwiyanto (2011) menjelaskan bahwa salah satu masalah dalam birokrasi pemerintah adalah rendahnya penghasilan aparatur birokrasi. Pemerintah bahkan sering membiarkan aparaturnya berburu rente dari kewenangan pelayanan yang dimilikinya.