• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

D. Waktu dan Tempat Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. Analisis Sifat Fisikokimia Gelatin

Sifat fungsional gelatin merupakan sifat fisikokimia yang sangat mempengaruhi perilaku gelatin dalam sistem makanan selama proses penyimpanan, penyiapan, dan pengkonsumsian (De Man, 1997). Hasil analisis sifat fisikokimia gelatin tulang ikan tuna, gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium dapat dilihat pada Tabel 15.

53 Tabel 15. Hasil Analisis Sifat Fisikokimia Gelatin

Parameter Gelatin Tulang

Ikan Tuna

Gelatin Komersial

Gelatin Standar Laboratorium*)

Kekuatan Gel (gr bloom) 151,8 178,90 -

Viskositas (cP) 5,57 5,90 7,00

pH 5,01 5,90 5,00

Titik Gel (0C) 9,00 16,20 1,20

Titik Leleh (0C) 25,30 29,70 16,30

Titik Isoelektrik Protein 7,67 7,00 8,00

Derajat Putih (%) 33,7 38,2 35,89

*) Fahrul (2004).

Hasil analisis sifat fisikokimia gelatin dibahas lebih lanjut di bawah ini:

a. Kekuatan Gel

Kekuatan gel adalah kekuatan untuk membentuk gel yang disebut sebagai kekuatan gel, karena kekuatan gel menunjukkan kemampuan gelatin dalam pembentukan gel. Oleh karena itu kekuatan gel merupakan salah satu sifat fisik yang penting pada gelatin (Glicksman, 1969). Menurut Ward dan Courts (1977) pembentukan gel terjadi karena pengembangan molekul gelatin pada waktu pemanasan. Panas akan membuka ikatan-ikatan pada molekul gelatin dan cairan yang semula bebas mengalir menjadi larutan kental. Larutan tersebut akan membentuk gel secara sempurna jika disimpan pada suhu dingin (100C) selama 17 ± 2 jam.

Hasil pengukuran kekuatan gel dapat diketahui bahwa kekuatan gel gelatin tulang ikan tuna adalah 151,8 gr bloom, nilai tersebut lebih rendah dari gelatin komersial yang bernilai 178,90 gr bloom. Pada gelatin standar laboratorium tidak membentuk gel setelah disimpan pada suhu 100C selama 17 jam sehingga tidak diperoleh nilai kekuatan gel dari gelatin tersebut. Gelatin standar laboratorium tidak membentuk gel kemungkinan dikarenakan berdasarkan keterangan dari produk tersebut bahwa fungsi dari gelatin ini bukan sebagai bahan pembentuk gel (gelling

agent) tetapi hanya sebagai bahan pemblok (blocking agent) saja sehingga kekuatan gel tidak begitu penting untuk produk di atas. Menurut Glicksman (1969) kekuatan gel dipengaruhi oleh asam, alkali dan panas yang akan merusak struktur gelatin sehingga gel tidak terbentuk. Menurut Geltech (2000) kekuatan gelatin sangat dipengaruhi oleh konsentrasi gelatin, pH, suhu, dan waktu inkubasi.

Lebih rendahnya kekuatan gel gelatin tulang ikan tuna dari gelatin komersial dikarenakan bahan baku yang berbeda dimana gelatin komersial berasal dari tulang sapi. Nilai kekuatan gel gelatin tulang ikan tuna yaitu sebesar 151,8 gr bloom, gelatin hasil penelitian ini memenuhi gelatin standar pangan dan farmasi yang dikeluarkan oleh Norland Product yaitu 140 – 240 gr bloom dan standar gelatin yang dikeluarkan oleh British Standard (1975) yaitu 50 – 300 gr bloom.

b. Viskositas Gelatin

Viskositas merupakan sifat fisik gelatin yang penting setelah kekuatan gel, karena viskositas mempengaruhi sifat fisik gelatin yang lainnya seperti titik leleh, titik jendal dan stabilitas emulsi. Viskositas gelatin berpengaruh terhadap sifat gel terutama titik pembentukan gel dan titik leleh. Dimana viskositas gelatin yang tinggi menghasilkan laju pelelehan dan pembentukan gel yang lebih tinggi dibandingkan gelatin yang viskositasnya rendah, dan untuk stabilitas emulsi gelatin diperlukan viskositas yang tinggi (Leiner, 2006).

Dari hasil pengukuran dapat diketahui bahwa viskositas gelatin tulang ikan tuna adalah 5,57 cP. Nilai tersebut lebih rendah dari gelatin komersial yang bernilai 5,90 cP dan viskositas gelatin standar laboratorium yang nilainya 7,00 cP . Hal ini diakibatkan oleh penguraian kolagen menjadi gelatin belum optimal bila dibandingkan pada proses pembuatan gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium sehingga rantai amino yang terbentuk tidak cukup panjang dan viskositasnya menjadi rendah (Lehninger, 1997).

Nilai viskositas gelatin tulang ikan tuna adalah 5,57 cP, nilai viskositas tersebut memenuhi gelatin standar pangan (Norland Product,

55 2003) yaitu lebih besar dari 2,5 cP dan standar mutu gelatin (British Standard, 1975) yaitu 1,5 – 7 cP. Nilai viskositas gelatin tulang ikan tuna yang lebih rendah dari gelatin komersial (sapi) tidak sesuai, karena menurut Leuenberger (1991) bahwa pada dasarnya gelatin ikan dapat dibedakan dari gelatin sapi dan babi berdasarkan sifat fisiknya yaitu viskositas larutan yang tinggi, titik leleh yang rendah dan suhu pembentukan gel (titik gel) yang rendah.

c. Titik Gel dan Titik Leleh Gelatin

Titik gel adalah suhu dimana larutan gelatin dalam konsentrasi tertentu mulai membentuk gel. Titik leleh gelatin adalah suhu ketika gelatin yang membentuk gel mencair ketika dipanaskan perlahan-lahan (Baker, 1994).

Dari hasil pengukuran titik gel dan titik leleh gelatin dapat diketahui bahwa titik gel dan titik leleh gelatin tulang ikan tuna adalah 9,000C dan 25,300C, suhu tersebut lebih rendah dari titik gel dan titik leleh gelatin komersial yaitu 16,200C dan 29,700C, tetapi lebih tinggi dari titik gel dan titik leleh gelatin standar sebesar 1,200C dan 16,300C. Hasil pengukuran tersebut juga menunjukkan bahwa suhu titik gel berbanding lurus dengan suhu titik leleh, dimana jika titik gelnya rendah maka titik lelehnya juga rendah, demikian pula sebaliknya.

Rendahnya titik gel dan titik leleh gelatin tulang ikan tuna dan gelatin standar laboratorium disebabkan karena gelatin komersial bahan bakunya berasal dari tulang sapi, dimana gelatin yang diperoleh dari sapi dan babi memiliki titik jendal dan titik leleh yang lebih tinggi dibandingkan gelatin dari ikan (Poppe, 1992). Gelatin dari tulang sapi atau babi mempunyai keunggulan dibandingkan dari hewan lainnya. Rendahnya titik gel dan titik leleh gelatin tulang ikan tuna dan gelatin standar diakibatkan oleh rendahnya kandungan asam amino glisin dan hidroksiprolin di dalam gelatin, yang mengakibatkan hilangnya ikatan hidrogen dari gelatin terhadap air dalam larutan (Utama, 1997).

Titik gel gelatin tulang ikan tuna yang sebesar 9,000C sesuai menurut Food Chemical Codex (1996) yang menyatakan bahwa gelatin yang diekstrak dari ikan memiliki titik gel pada kisaran 5 – 100C. Berbeda dengan gelatin standar yang juga bahan bakunya ikan, titik gelnya jauh dibawah kisaran titik jendal gelatin ikan secara umum. Makanya pada pengukuran kekuatan gel gelatin standar tidak membentuk gel karena suhu inkubasinya hanya berkisar ±100C. Titik leleh gelatin tulang ikan tuna yang sebesar 25,300C, masih termasuk dalam kisaran standar suhu titik leleh gelatin secara umum. Sebagaimana menurut Food Chemical Codex (1996) bahwa produk gelatin adalah produk yang pada suhu < 350C sudah mengalami pelelehan dan dapat mencair dalam mulut.

d. Titik Isoelektrik Gelatin

Titik Isoelektrik protein (pI) adalah pH dimana protein memiliki jumlah muatan ion positif dan negatif yang sama (Lehninger, 1997). Pada titik isoelektriknya, kelarutan protein rendah sehingga terjadi penggumpalan atau pengendapan protein. Dengan demikian titik isoelektrik gelatin penting diketahui karena akan berpengaruh pada penggunaannya dalam berbagai produk terutama kaitannya dengan tingkat kelarutan gelatin. Menurut Baker (1994) pada bahan pangan, titik isoelektrik sangat penting karena pada titik ini beberapa bahan bersifat maksimum dan minimum, sebagai contoh kelarutan protein selalu minimum pada titik isoelektriknya.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa titik isoelektrik gelatin tulang ikan tuna adalah 7,67. Nilai tersebut lebih tinggi dari pada gelatin komersial yang bernilai 7,00 dan lebih rendah dari gelatin standar yang bernilai 8,00. Titik isoelektrik yang lebih tinggi dari pada titik isoelektrik gelatin komersial karena proses pembuatannya menggunakan metode asam, sedangkan gelatin komersial yang berasal dari tulang sapi biasanya menggunakan metode basa. Menurut Poppe (1992) titik isoelektrik protein dapat bervariasi tergantung jumlah gugus karboksil amida pada gelatin. Apabila titik isoelektrik protein tinggi (9,4), maka tidak ada modifikasi terhadap gugus amida dan apabila titik

57 isoelektriknya rendah (4,8) maka 90 – 95% protein dari gelatin merupakan gugus karboksil. Titik isoelektrik gelatin berkisar antara 4,8 – 9,4, dimana gelatin yang dihasilkan dengan proses asam mempunyai titik isoelektrik yang lebih tinggi dibanding gelatin yang dihasilkan dari proses basa.

Seperti sifat protein lainnya, gelatin bersifat amfoter, sehinga gelatin dapat digunakan pada kondisi asam maupun basa. Pada larutan asam, gelatin akan berperan sebagai alkali atau bermuatan positif, sedangkan dalam larutan basa gelatin akan berperan sebagai asam atau bermuatan negatif (Lehninger, 1997). Kemampuan gelatin yang dapat bereaksi sebagai asam maupun basa ini, maka gelatin disebut sebagai protein ampoterik (Budavari, 1996). Oleh karena itu pada titik isoelektriknya protein memiliki tingkat kelarutan yang rendah, maka hendaknya dalam melarutkan gelatin tulang ikan tuna dilakukan di atas atau di bawah pH 7,67.

Titik isoelektrik gelatin juga erat kaitannya dengan viskositas gelatin itu sendiri, dimana viskositas gelatin terendah diperoleh pada pH titik isoelektriknya (Poppe,1992). Oleh karena itu untuk mendapatkan viskositas larutan gelatin yang tinggi, maka larutan yang digunakan untuk melarutkan gelatin tersebut hendaknya lebih besar atau lebih rendah dari pH isoelektriknya.

e. Derajat Putih

Derajat putih merupakan gambaran secara umum dari warna gelatin, dimana umumnya derajat putih gelatin diharapkan mendekati derajat putih blanko sebesar 85,4%. Gelatin yang bermutu tinggi biasanya tidak berwarna (bening) sehingga aplikasinya lebih luas. Menurut Budavari (1996) salah satu sifat fisik gelatin adalah tidak berwarna atau agak berwarna kuning dan transparan.

Dari hasil pengukuran ini derajat putih dapat diketahui bahwa derajat putih gelatin tulang ikan tuna adalah 33,7%, nilai ini lebih rendah dari nilai derajat putih gelatin komersial yang bernilai 38,2% dan gelatin standar yang bernilai 35,89%. Rendahnya nilai derajat putih pada gelatin

tulang ikan tuna disebabkan oleh kualitas bahan baku yang mengalami proses pemanasan pada saat degreasing sehingga terjadi proses pencoklatan non-enzim atau reaksi maillard yang menyebabkan terjadinya pigmen coklat atau melanoidin. Poppe (1992) menyatakan bahwa derajat putih gelatin dipengaruhi oleh bahan baku, metode pembuatan dan ekstraksi.

Teknik pengeringan gelatin juga berpengaruh terhadap nilai derajat putih. Hasil penelitian Sopian (2002) menunjukkan bahwa derajat putih gelatin kulit ikan pari dengan perlakuan pengering oven lebih rendah dibandingkan pada perlakuan pengering freeze dryer. Dengan demikian dapat diduga bahwa gelatin komersial dan gelatin standar kemungkinan besar tidak menggunakan pengering oven seperti pada gelatin tulang ikan tuna.

Dokumen terkait