• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tumbuhan Beracun

A.2. Komponen Senyawa Beracun dalam Tumbuhan

A.2.4. Asam Oksalat

Kadar asam oksalat pada tumbuhan tergantung dari tempat tumbuh dan iklim, yang paling banyak adalah saat akhir musim panas dan musim gugur. Karena oksalat dihasilkan oleh tumbuhan pada akhir produksi, yang terakumulasi dan bertambah selama tumbuhan hidup. Gejala yang ditimbulkan adalah mulut dan kerongkongan terasa terbakar, lidah membengkak hingga menyebabkan kehilangan suara selama dua hari, dan hingga menyebabkan kematian jika terhirup.

A.2.5. Resin

Resin dan resinoid termasuk ke dalam kelompok asam polycyclic dan penol, alkohol dan zat-zat netral lainnya yang mempunyai karakteristik fisis tertentu. Efek keracunan yaitu iritasi langsung terhadap tubuh atau otot tubuh.

Termasuk juga gejala muntah-muntah. Apabila terkontaminasi dengan air buahnya menyebabkan bengkak dan kulit melepuh.

A.2.6. Phytotoxin

Phytotoxin adalah protein kompleks terbesar yang dihasilkan oleh sebagian kecil tumbuhan dan memiliki tingkat keracunan yang tinggi. Akibat terkontaminasi adalah iritasi hingga menyebabkan luka berdarah dan pembengkakan organ tubuh setelah terhirup.

A.2.6. Saponin

Saponin adalah glikosida tanaman yang ditandai dengan munculnya busa dipermukaan air bila dicampurkan atau diaduk, yang telah dikenal serta diakui sebagai sabun alami dan telah menyebabkan beberapa tanaman seperti soapwort (Saponaria officinalis) umum digunakan sebagai sabun untuk waktu yang lama. Saponin ketika dikonsumsi dalam jumlah yang lebih besar dari pada yang diizinkan, senyawa ini menjadi tergolong beracun. Gejala yang ditimbulkan bagi manusia apabila dikonsumsi secara berlebihan adalah dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa pencernaan sehingga menderita muntah-muntah, sakit perut, perdarahan, pusing, maag dan begitu terkontaminasi ke sistem peredaran darah, senyawa ini dapat merusak ginjal dan hati serta mempengaruhi sistem saraf bahkan dapat mengakibatkan serangan jantung.

A.2.7. Tanin

Tanin adalah senyawa polifenol yang bersifat terhidrolisa dan kental. Senyawa ini telah dikembangkan oleh tanaman sebagai bentuk pertahanan terhadap seranga eksternal dari predator yang memiliki rasa pahit atau kelat. Jika terkonsumsi lebih dari 100 mg bisa menghsilkan masalah pada saluran pencernaan

seperti diare, sakit perut, urin bercampur darah, sakit kepala, kurang napsu makan dan lain-lain.

B. Pestisida

Tarumingkeng (2008) menyatakan bahwa pembasmi hama atau pestisida adalah bahan yang digunakan untuk mengendalikan, menolak, memikat, atau membasmi organisme penggangu. Pestisida seringkali disebut racun dalam bahasa sehari-hari. Nama ini berasal dari pest (hama) dan memiliki akhiran – cide (pembasmi).

Sasaran pestisida bermacam-macam seperti serangga, tikus, gulma, burung, mamalia, ikan atau mikroba yang dianggap menggangu. Pestisida digolongkan berdasarkan sasarannya dapat berupa akarisida/ mitesida (tungau atau kutu), alvisida (burung), bakterisida (bakteri), fungisida (jamur atau cendawan), herbisida (gulma), insektisida (serangga), larvasida (ulat atau larva), molluksisida (siput), nematisida (nematoda yaitu semacam cacing yang hidup di akar), ovisida (telur), pedukulisida (kutu atau tuma), piscisida (ikan), rodentisida ( binatang pengerat seperti tikus) dan termisida (rayap) (Tarumingkeng, 2008).

Pestisida yang digolongkan berdasarkan cara penggunaannya dapat berupa Atraktan (zat kimia pembau sebagai penarik serangga dan menangkapnya dengan perangkap), komosterilan (zat yang berfungsi untuk mensterilkan serangga serta hewan bertulang belakang), defoliant (zat yang dipergunakan untuk menggugurkan daun supaya memudahkan panen pada tanaman kapas dan kedelai), desiccant (zat yang digunakan untuk mengeringkan daun atau bagian tanaman lainnya), desinfektan (zat yang digunakan untuk membasmi mikroorganisme), zat pengatur tumbuh (zat yang dapat memperlambat atau

mempercepat pertumbuhan tanaman), Repellent (zat yang berfungsi sebagai penolak atau penghalau serangga atau hama yang lainnnya; contohnya kamper untuk penolak kutu, minyak sereb untuk penolak nyamuk), sterilan tanah (zat yang berfungsi untuk mensterilkan tanah dari jasad renik atau biji gulma), pengawet kayu (biasanya digunakan pentaclilorophenol/PCP), Stiker (zat yang berguna sebagai perekat pestisida supaya tahan terhadap angin dan hujan), Surfaktan/agen penyebar (zat untuk meratakan pestisida pada permukaan daun), Inhibitor (zat unuk menekan pertumbuhan batang dan tunas) dan Stimulan tanaman (zat yang berfungsi untuk menguatkan pertumbuhan dan memastikan terjadinya buah) (Martono, 2004).

Untung (2001) menyatakan bahwa prinsip penggunaan pestisida adalah harus kompatibel dengan komponen pengendalian lain seperti komponen hayati, efesien untuk mengendalikan hama tertentu, harus minim residu, tidak

persitent/harus mudah terurai, dalam perdagangan (transport, penyimpanan,

pengepakan, labelin) harus memenuhi persyaratan keamanan yang maksimum, harus tersedia antidote untuk pestisida tersebut, sebisa mungkin aman bagi lingkungan fisik dan biota, relatif aman bagi pemakai (LD 50 dermal dan oral relatif tinggi) dan harga terjangkau bagi petani.

C. Biopestisida

Biopestisida adalah bahan yang berasal dari alam, seperti tumbuh- tumbuhan yang digunakan untuk mengendalikan Organisme Pengganggu Tanaman atau juga disebut dengan pestisida hayati. Biopestisida merupakan salah satu solusi ramah lingkungan dalam rangka menekan dampak negatif akibat penggunaan pestisida non hayati yang berlebihan. Saat ini Biopestisida telah

banyak dikembangkan di masyarakat khususnya para petani. Namun belum banyak petani yang menjadikan biopestisida sebagai penangkal dan pengedali hama penyakit untuk tujuan mempertahankan produksi, (Anonim, 2007).

Menurut Sutanto (2002) mengatakan bahwa sesungguhnya penggunaan biopestisida ini telah lama dikenal dan diterapkan oleh nenek moyang kita sebagai salah satu kearifan lokal. Sangat disayangkan bahwa kearifan lokal ini sudah banyak dilupakan oleh masyarakat kita, padahal keuntungan dari penerapannya dapat dirasakan dalam jangka panjang. Bahan-bahan pembuatannya pun mudah dan relatif murah, bahkan terkadang melimpah di alam. Dalam kaitannya dengan program penerapan Sistem Pertanian Berkelanjutan pun, biopestisida merupakan salah satu komponen teknologi yang direkomendasikan oleh banyak ahli. Bahan- bahan yang digunakan untuk pembuatan biopestisida berasal dari bahan hidup seperti tumbuh-tumbuhan (empon-empon, jarak, jengkol, biji srikaya, tembakau, nimbi, dll) dan mikroba (cendawan, bakteri, virus dan protozoa). Berdasarkan penelitian, sebagian tumbuhan mengandung bahan kimia yang dapat membunuh, menarik dan menolak serangga, sebagian juga menghasilkan racun, mengganggu siklus pertumbuhan serangga, sistem pencernaan atau mengubah perilaku serangga.

Cakupan biopestisida sangat luas, yaitu mencakup semua organisme hidup yang dapat difungsikan sebagai agen pengendali hayati organisme penganggu tanaman. Sementara jenis dan macamnya disesuaikan dengan sasaran target organisme penganggu. Misalnya untuk hama serangga disebut bioinsektisida, untuk jamur atau fungi disebut biofungisida, dan untuk gulma disebut dengan bioherbisida, (Sutanto 2002).

Dokumen terkait