• Tidak ada hasil yang ditemukan

SRI BADUGA MAHARAJA

Dalam dokumen Sejarah Kerajaan Tatar Sunda (Halaman 81-85)

CATALAN PARA AKHLI

B. SRI BADUGA MAHARAJA

Menurut Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2, Jayadewata mula–mulaa gelar Prabuguru Dewataprana. Kemudian dalam bulan Caitra

tahun 1404 Saka (Maret/April 1482 M), ia menerima tahta kerajaan Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunggal.

Peristiwa penobatannya di Pakuan, sekaligus menjadikan Jayadewata seorang Maharaja, karena kekuasaan pemerintahannya, meliputi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Peristiwa tersebut, sesuai dengan isi prasasti Batutulis Kota Bogor, yang memberitakan:

// mwang na pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana diwastu diva dingaran sri baduga maharaja ratu haji di pakwan pajajaran sri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak rahyang dewa niskala sang sidamokta di gunatiga, incu rahyang niskala waste kancana sang sidamokta ka nusa larang ya siya nu nyian sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya, ya siya pun // i sake panca pandawa emban bumi // Terjemahannya:

Semoga selamat. Ini tanda peringatan untuk (peninggalan dari) prabu ratu suwargi. la dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana. Dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (di) Pakuan. Dia anak

Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga; cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang di Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan (berupa) gunung-gunungan, membuat jalan yang diperkeras dengan batu, membuat samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena

Mahawijaya. Ya dialah (yang membuat semua itu). (Dibuat) dalam (tahun) Saka 1455 (Danasasmita, 1981: 25).

Prasasti Batutuhs Kota Bogor, dibuat oleh Prabu Sanghiyang Surawisesa, pada tahun 1533 Masehi. Pembuatan prasasti tersebut, dilakukan dalam upacara penyempurnaan sukma, untuk mengenang jasa-jasa dan kebesaran ayahnya, Sri Baduga Maharaja. Upacara semacam itu, hanya dilakukan untuk raja–raja tertentu. Jika seorang raja wafat, kemudian setelah 12 tahun masyarakat masih menceritakan jasa-jasa dan kebesarannya, maka raja tersebut digali dari kuburnya, kemudian kerangkanya diperabukan. Maksudnya, agar sukma raja tersebut, dapat kembali kepada zat asalnya: Hiyang Batara Tunggal (Tuhan Yang Esa).

Isi prasasti Batutulis Kota Bogor, tidak bertentangan dengan naskah kuna Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2, yang terjemahan langsungnya, antara lain sebagai berikut:

Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu: membuat telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan ke hutan larangan. la memperteguh pertahanan ibukota, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kebinihajian (kaputren), kesatrian (asrama prajurit), pagelaran (macam–macam formasi tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan kesenian), memperkuat angkatan perang, mengatur pungutan pajak dari raja–raja bawahan dan menyusun undang–undang kerajaan.

Memberi hadiah desa perdikan untuk tempat tinggal para Pendita, tertulis pula dalam prasasti (piagam) tembaga, yang ditemukan di Desa Kabantenan, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi. Dari prasasti yang berjumlah 5 lembar itu, isinya dapat diketahui, bahwa Sri Baduga Maharaja mengukuhkan status lemah dewasasana atau lurah kawikuan di Sunda Sembawa, Gunung Samaya dan Jayagiri. Pengukuhan itu, berupa penegasan batas–batas wilayah dan pembebasan dari pajak, serta ancaman hukum mati, bagi siapapun yang melanggar keputusannya.

Tanah suci Lemah Dewasasana atau Lurah Kawikuan, dibebaskan dari 4 macam pajak yang disebut: dasa, calagara, kapas–timbang (upeti) dan pare-dongdang(panggeres reuma).

Dasa, adalah pajak tenaga perseorangan, yaitu kewajiban bekerja beberapa hari dalam setahun, sebagai tanda bakti kepada raja atau keluarganya. Kata dasa, diambil dari bahasa Sanskerta, yang berarti pelayanan (service).

Calagara (di Majapahit: walagara), adalah pajak tenaga kolektif. Para petani tergabung dalam pasukan pekerja, yang dipimpin oleh wado (seorang prajurit yang ditugaskan memimpin pasukan pekerja), untuk melaksanakan bagi kepentingan raja dan negara.

Kapas–timbang atau upeti kapas, harus diserahkan tiap tahun, sebanyak 10 pikul atau 10 carangka.

Pare–dongdang atau panggeres reuma, adalah pare turiang, yaitu padi yang terlambat berbuah setelah musim panen. Bila petani telah berpindah ladang (huma), maka padi dipanen di reuma (bekas ladang), harus diserahkan kepada raja, karena padi semacam ini dianggap bukan bagian petani.

Upacara penyempurnaan sukma Sri Baduga Maharaja telah dilakukan. Akan tetapi masyarakat Kerajaan Sunda masih tetap mengenang dan menceritakan jasa-jasa dan kebesaran Sri Baduga Maharaja. Keharuman Sri Baduga Maharaja, sebanding dengan keharuman nama uyutnya (buyutnya), Prabu Maharaja Linggabuana (Prabu Wangi), yang gugur di Palagan Bubat. Juga sebanding dengan keharuman nama kakeknya, Sang Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (Prabu Wangisutah), yang mengangkat Kerajaan Sunda mencapai kejayaannya. Oleh karena itulah, Juru Pantun ataupun Penulis Babad, mengenang Sri Baduga Maharaja sebagai Prabu Silihwangi. Silih artinya pengganti. Wangi artinya harum.Silih Wangi, artinya pengganti raja–raja tertnashur sebelumnya.

Penamaan Pajajaran untuk Kerajaan Sunda, sesungguhnya berasal dari penamaan keraton Sri Bima–Punta Narayana Madura–Suradipati yang bentuknya sebangun dan berjajar. Oleh karena keraton tersebut berada di kota Pakuan, masyarakat sering menyebutnya Pakuan Pajajaran. Dalam perkembangan selanjutnya, terutama berdasarkan sumber cerita Pantun dan Babad, Kerajaan Sunda lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pajajaran. Sedangkan berdasarkan sumber–sumber Portugis, nama resmi kenegaraan, tetap menggunakan sebutan Kerajaan Sunda.

Menurut catatan yang dikumpulkan oleh jurutulis Sultan Trenggono (dalamPustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa I sarga 4), pada tahun 1521 Masehi (akhir pemerintahan Sri Baduga Maharaja), penduduk kota Pakuan ada 48.271 orang. Laporan Portugis tahun 1522 Masehi, memperkirakan penduduk Pakuan sebanyak 50.000 orang. Dengan jumlah itu, Pakuan di bawah naungan Sri Baduga Maharaja, merupakan kota terbesar kedua di Nusantara setelah Demak (49.197 orang). Pasai, sebagai kota terbesar ketiga, baru berpenduduk 23.121 jiwa.

Tome Pires (k.l. 1468-1539 Masehi), seorang apoteker yang pernah berkarya pada seorang pangeran di Lisbon (Heuken, 1999: 41), dan akan menjadi duta raja Portugal di Cina (Lombard, 1996: 59), pada tahun 1513 Masehi singgah di pelabuhan–pelabuhan Sunda. Tome Pires memberitakan,

bahwa perdagangan Sunda lewat pelabuhan-pelabuhannya sangat maju. Omzet perdagangan kuda, dapat mencapai 4.000 ekor tiap tahun.

Dayo (dayeuh=ibukota) tempat tinggal raja, disebutkannya, terletak dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa, berada di pedalaman. Istana raja, dikelilingi 330 pilar kayu sebesar tong anggur dan tingginya 5 pathom (depa = kira–kira 9 meter), serta pada puncaknya berukir indah. Dalam angkatan perang kerajaan, terdapat 40 ekor gajah.

Tentang Sri Baduga Maharaja, Tome Pires mencatatnya sebagai Rev he gramde cacador (Raja Sunda adalah seorang raja perkasa dan pemburu). Tetapi yang lebih penting, Tome Pires mencatat tentang pemerintahan Sri Baduga Maharaja, antara lain: Regno De cumda Regido em Justiea (kerajaan Sunda diperintah secara adil).

Untuk kepentingan perdagangan Portugis, Tome Pires mencatat pelabuhan– pelabuhan penting di Kerajaan Sunda, adalah sebagai berikut:

// Pimeira memte o Rey de Cumda a ssua gramde cidade de dayo a pouoacam he terms I porto De bamtam o Porto De pomdam/ o porto de chegujdee o Porto De tamgaram o Porto de calapa o Porto de chemano ysto hee cumda por q ho Rijo De chemano he estremo Dambollos Regnos//

Terjemahannya:

Pertama, raja Sunda (Cumda) dengan kota besarnya Dayo, kota dan wilayah serta pelabuhan Banten (Bantam), pelabuhan Pontang (Pomdam), bandar Cheguide, Tangerang (Tamgaram), Kalapa (Calapa), Cimanuk (Chemano). Inilah Sunda, karena sungai Cimanuk merupakan batas di antara kedua kerajaan (Heuken, 1999: 37).

Dalam dokumen Sejarah Kerajaan Tatar Sunda (Halaman 81-85)