• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahan-bahan yang digunakan antara lain kulit dan biji kakao segar dari daerah Jember, gen TcPIN yang telah diklon pada E. coli, Tripsin (No cat T-7409, Sigma), bufer tris-HCl, kasein, etilenadiaminatetraasetat

(EDTA), 2-merkaptoetanol, standar tirosina, asam trikloroasetat (TCA), pereaksi Folin-Ciocalteu, fenol, KH2PO4, K2HPO4, N2 cair, standar albumin serum sapi (BSA) (Sigma), pereaksi CBBG (sigma), CBBR (sigma), asam ortofosfat 85% (Sigma), akrilamida, SDS 10%, amonium persulfat (APS) 10%, dan N’,N’,N’,N’-tertrametiletilenadiamina

(TEMED).

Alat-alat yang digunakan adalah spektrofotometer UV-VIS, tabung eppendorf, pipet mikro, penangas air, lemari pendingin, peralatan elektroforesis SDS-PAGE, sentrifus, dan alat-alat kaca.

Lingkup Kerja

Penelitian ini terdiri atas 4 tahap. Tahap pertama ialah ekstraksi protein pada kulit dan biji kakao serta protein intraselular dan ekstraselular hasil E. coli yang telah diklon gen TcPIN baik dari kulit buah kakao (Ary dan Bal) maupun dari biji buah kakao (Biji). Tahap kedua ialah penentuan kadar protein hasil ekstraksi dengan metode Bradford. Tahap ketiga ialah identifikasi bobot molekul protein dengan elektroforesis SDS-PAGE dan tahap keempat ialah uji aktivitas inhibisi protease protein oleh hasil ekstraksi secara in vitro dengan metode spektrofotometri. Tahapan ini tergambar pada diagram alir penelitian (Lampiran 1) dan prosedur pembuatan pereaksi yang digunakan terdapat pada Lampiran 2.

Ekstraksi Protein

Protein diekstraksi menggunakan salah satu metode yang dikemukakan oleh Pirovani

et al. (2008), dengan sejumlah modifikasi. Contoh dalam bentuk kulit dan biji buah kakao ditambahkan N2 cair dan digerus dengan mortar. Sekitar 2 g hasil gerusan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus yang berisi 20 ml aseton dingin dan dikocok kuat. Campuran disentrifugasi dengan laju 10,000 g dengan suhu 4 °C selama 15 menit. Endapan yang dihasilkan diberi 10 ml aseton yang mengandung TCA 10%, dikocok kuat lalu disentrifugasi pada kondisi yang sama seperti di atas. Hal ini dilakukan 3 kali. Selanjutnya endapan dicuci dengan TCA 10% dalam pelarut air kemudian aseton 80% masing-masing satu kali. Endapan yang dihasilkan disuspensikan dengan larutan SDS-dense

sebanyak 10 ml dan didiamkan selama 15 menit. Setelah itu, diberi 20 ml larutan fenol, dikocok, dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu -20 oC sebelum disentrifugasi dengan

laju 10,000 g dengan suhu 4 oC selama 10 menit. Fase atas diambil dan diberi 40 ml aseton kemudian dinkubasi pada suhu -20 oC selama 18 jam. Endapan yang terbentuk kemudian diambil dengan cara disentrifugasi dengan laju 10,000 g pada suhu 4 oC selama 5 menit, lalu endapan yang diperoleh dilarutkan dengan bufer fosfat pH 6.5 sebanyak 2.5 ml.

Contoh berupa kultur E. coli yang membawa gen TcPIN disentifugasi dengan laju 10,000 g dengan suhu 4 oC selama 15 menit, untuk memisahkan medium kultur sebagai supernatan dan bakteri E. coli hasil biakan sebagai pelet. Supernatan yang diperoleh diambil sebagai protein ekspresi ekstraselular dan dilakukan prakonsentrasi dengan mengendapkan protein dengan aseton (supernatan-aseton 1:4), dan dilarutkan kembali dengan bufer fosfat pH 6.5. Sementara itu, pelet yang terpisah ditimbang, digerus dengan mortar dengan penambahan sedikit N2 cair sampai halus, lalu ditetesi dengan bufer fosfat pH 6.5 (dingin) 0.05 M dengan nisbah1 ml untuk 2 g pelet. Suspensi yang didapat disentrifugasi dengan kecepatan 10,000 g dengan suhu 4 oC selama 15 menit. Supernatan yang diperoleh diambil sebagai protein hasil ekspresi intraselular.

Analisis Protein

Analisis protein dilakukan dengan menggunakan metode Bradford (1976) dengan beberapa modifikasi. Ekstrak protein dianalisis dengan cara memasukkansejumlah tertentu larutan contoh dan akuades hingga mencapai volume 100 l ke dalam tabung Eppendorf, lalu ditambahkan ke dalamnya 100 mL NaOH 0.1 M dan 3 ml pereaksi Bradford. Campuran digoyang dan didiamkan selama 30 menit, lalu diukur serapannya dengan spektrofotometer pada panjang gelombangmaksimum ( maks sekitar 595 nm. Sebagai pembanding, digunakan model kalibrasi hubungan antara konsentrasi dan serapan dari sejumlah deret standar. Standar yang digunakan ialah 100 l BSA dengan beberapa konsentrasi berbeda yang dianalisis dengan cara yang sama. Sementara blangko ialah 100 l akuades yang dianalisis dengan cara yang sama.

Identifikasi Elektroforesis SDS-PAGE Ekstraksi protein dari kultur sel serta dari kulit dan biji buah kakao diidentifikasi dengan elektroforesis SDS-PAGE (Laemmli 1970) untuk mengetahui bobot molekulnya. Gel pemisah dibuat dengan konsentrasi 12%

5

dengan cara mencampur 3.35 ml akuades, 2.5 ml tris-HCl 1.5 M pH 8.8, 0.1 ml SDS 10%, 4 ml akrilamida, 0.1 ml APS 10%, dan 0.015 ml TEMED ke dalam Erlenmeyer, lalu dimasukkan ke dalam cetakan sampai batas tertentu (sesuai dengan tinggi sisir). Isopropanol ditempatkan secara perlahan ke atas gel tersebut untuk meratakannya, lalu dibiarkan membeku, dan sisa isopropanol dibersihkan dari permukaan gel dengan kertas saring. Larutan stacking gel 4.5% dituang ke atas permukaan gel tersebut, kemudian sisir dipasang dan dibiarkan membeku. Sisir lalu dibuka secara perlahan dan gel siap digunakan.

Setelah peralatan elektroforesis disiapkan, larutan bufer loading ditempatkan pada alat. Setelah itu, sampel dimasukan ke dalam sumur pada gel SDS-PAGE, dipanaskan selama 4 menit, lalu diberi arus listrik hingga pewarna mencapai ujung gel (tegangan yang dipakai 110 150 V). Setelah elektroforesis selesai, dilanjutkan dengan pewarnaan.

Perwarnaan dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan biru Coomassie atau dengan AgNO3. Pewarnaan dengan biru Coomassie dilakukan dengan merendam gel dengan larutan pewarna CBBR selama 90 menit, kemudian dilakukan dekolorisasi (pemucatan warna sehingga muncul pita-pita hasil pemisahan) dengan merendam gel dalam air mendidih selama 10 menit. Sementara itu, pewarnaan dengan AgNO3 dilakukan dengan cara merendam gel dalam larutan fiksatif selama 1 jam, lalu dicuci selama 30 menit sebanyak 2 kali dalam campuran metanol-air 1:1. Setelah itu gel direndam dalam larutan pewarna AgNO3 selama 15 menit dan direndam dengan akuades sebanyak 5 kali. Pita-pita pada gel dimunculkan warnanya dengan cara merendam gel tersebut pada larutan revelasi selama 3 5 menit.

Aktivitas Inhibitor Tripsin

Aktivitas inhibitor tripsin ditentukan secara tidak langsung dari aktivitas tripsinnya. Aktivitas tripsin diukur dengan metode yang dikemukakan oleh Walter (1984) yaitu memasukkan berturut-turut 150 l bufer tris-HCl pH 7.8, 50 l larutan contoh, dan 350 l substrat kasein 2%, dan setelah itu divorteks. Campuran diinkubasi selama 0 dan 15 menit pada suhu 37 oC. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 1 ml TCA 0.3 M, lalu divorteks kembali, dan didiamkan selama 10 menit pada suhu ruang. Setelah itu, campuran disentrifugasi dengan laju 10,000 g pada suhu

4 oC selama 10 menit. Supernatan yang dihasilkan dipipet sebanyak 0.4 ml ke dalam tabung Eppendorf yang bersih lalu ditambahkan ke dalamnya 0.85 ml NaOH 0.5 M dan 0.25 ml pereaksi Folin-Ciocalteu. Larutan lalu didiamkan selama 15 menit dan diukur serapannya pada 728 nm. Sebagai pembanding digunakan model kalibrasi dari sederet standar. Standar yang digunakan ialah tirosina yang dianalisis dengan cara yang sama

Aktivitas inhibitor tripsin dari masing-masing ekstrak protein diukur dengan cara mencampur 25 l ekstrak protein dan 25 l larutan stok tripsin 1 mg/ml ke dalam tabung Eppendorf, untuk selanjutnya diuji aktivitas tripsinnya. Aktivitas inhibisi diperoleh dengan membandingkan nilai yang didapat dengan aktivitas tripsin tanpa penambahan ekstrak protein.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstrak Protein

Sel dipecahkan dengan penggerusan menggunakan mortar. N2 cair ditambahkan selama penggerusan sel agar tetap stabil. Bufer ektraksi yang digunakan memiliki pH 6.5, dan pada pH ini diharapkan protein target yang berada di bagian dalam sel dapat terekstraksi dengan baik.

Pada ekstraksi protein ekstraselular dilakukan prakonsentrasi menggunakan aseton. Hal ini dikarenakan nisbah antara protein ekstraselular dan medium yang digunakan sangat kecil. Protein ini pun masih bercampur dengan sisa nutrien dalam medium. Hasil pengendapan dengan cara ini tidak seluruhnya dapat larut kembali ketika ditambahkan bufer fosfat pH 6.5. Sisa endapan yang tidak larut kemudian disaring sehingga diperoleh protein terlarut yang digunakan untuk pengujian selanjutnya.

Ekstraksi protein dari kulit buah kakao sangat sulit karena kandungan pektinnya yang membentuk gel saat dilarutkan dengan air. Pada saat pencucian dengan TCA 10% berair, terbentuk gel yang pekat. Molekul protein diduga terperangkap dalam matriks gel ini, sehingga ekstraksi menjadi tidak efektif. Pada metode yang dilakukan oleh Pirovani et al.

(2008) menggunakan sonikator untuk memecah gel yang terbentuk, dan menjadikannya larut dalam air. Di sisi lain, ekstraksi protein pada biji tidak membentuk gel. Protein hasil ekstraksi dari kulit dan biji

21 kDa

kakao ini berupa endapan putih. Namun, endapan yang terbentuk ini tidak seluruhnya dapat larut sempurna dalam bufer fosfat pH 6.5. Penyaringan dilakukan untuk meng-hilangkan protein yang tidak terlarut.

Kadar Protein Total

Pengukuran kadar protein bertujuan untuk mengetahui nisbah awal antara volume sampel dan tripsin yang digunakan dalam pengujian aktivitas inhibisi tripsin. Namun data protein ini tidak dapat digunakan untuk menentukan sifat inhibisi dari protein inhibitor tripsin itu sendiri. Protein yang diuji masih merupakan ekstrak kasar dan perlu dilakukan fraksionasi untuk memisahkan protein target yang akan diuji dari protein lainnya.

Pengukuran serapan pada penentuan kadar protein ini dilakukan pada 592 nm. Hal ini sesuai dengan nilai serapan tertinggi pada saat pemilihan maks (Lampiran 3). Nilainya berbeda dengan maks yang direkomendasikan oleh Sudarmanto (2007) dan Mikkelsen (2004), yaitu berturut-turut 595 dan 590 nm. Namun, perbedaan ini tidak menimbulkan penyimpangan yang berarti pada hasil pengukuran. Pada maksimum, serapan akan memberikan respons yang optimum sehingga nisbah antara sinyal analat dan sinyal yang akibat derau akan semakin tinggi. Perbedaan maksimum ini dapat terjadi karena perbedaan kondisi alat dan lingkungan saat pengukuran dilakukan.

Hasil pengukuran dengan metode Bradford dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan hasil pengukuran kadar protein, aktivitas inhibitor tripsin protein intraselular dan ekstraselular, diuji pada nisbah volume ekstrak protein pada volume tripsin sebesar 1:1, dengan konsentrasi tripsin aktual yang digunakan adalah 1.03 mg/ml. Hal ini agar pada saat pengukuran aktivitas tripsin, serapan yang diperoleh berada pada daerah kurva standar tirosina. Akan tetapi, aktivitas inhibitor spesifik dari protein 21 kDa yang terekspresi sulit ditentukan, terlebih untuk membandingkan sifat inhibisinya. Hal ini karena menggunakan ekstrak protein kasar yang belum mengalami fraksionasi. Walaupun demikian, pengujian aktivitas inhibitor tripsin dengan nisbah 1:1 antara ekstrak protein dan tripsin yang digunakan, diharapkan dapat memberikan pembuktian bahwa gen TcPIN

yang diklon pada E. coli memang mengekspresikan protein 21 kDa yang aktif sebagai inhibitor tripsin. Penurunan aktivitas

tripsin dengan adanya penambahan ekstrak protein dibandingkan dengan tanpa penambahan ekstrak (kontrol) menjadi identitasnya sebagai inhibitor tripsin.

Homologi pada Bobot Molekul Protein Uji homologi dengan SDS-PAGE ni bertujuan memperkirakan jenis dan fungsi protein yang terekspresi berdasarkan bobot molekulnya. Namun, bobot molekul yang homolog tidak sepenuhnya dapat memberi kepastian akan fungsi molekul protein itu sendiri. Pengujian yang lebih spesifik diperlukan untuk menunjukkan fungsi sesungguhnya dari protein tersebut.

Pencirian bobot molekul pada protein hasil ekstraksi dari kulit dan biji buah kakao dengan metode SDS-PAGE diperlihatkan pada Gambar 3A. Hasilnya, terlihat pita pada ekstrak protein Biji (3) dengan bobot molekul yang sedikit lebih tinggi dari penanda standar 21 kDa (M). Pita yang terlihat pun berbayang, hal ini diduga disebabkan oleh masih adanya polisakarida yang mengganggu (Pirovani et al. 2008). Pada ekstrak protein dari kulit buah sama sekali tidak nampak pita di daerah sekitar 21 kDa, baik pada klon Ary (1) maupun Bal (2). Hal ini disebabkan metode ekstraksi pada penelitian ini tidak dapat mengekstraksi protein dari matriks contoh kulit buah dan ekstrak protein dari kulit dan buah kakao ini tidak dilanjutkan ke tahap pengujian aktivitas inhibitor tripsin. Hal serupa diperoleh pula pada pewarnaan dengan AgNO3 seperti terlihat pada Gambar 3B.

A B

1 2 3 M 1 2 3 M Keterangan: 1 = Ary, 2 = Bal, 3 = Biji, M = Standar Gambar 3 Hasil SDS-PAGE ekstrak protein

dari kulit dan biji buah kakao dengan pewarna biru Coomassie (A) dan pewarna AgNO3 (B). Pada pencirian protein ekstraselular dari kultur E. coli yang diklon gen TcPIN (Gambar

7

21 kDa

4A), tidak terlihat jelas pita pada daerah sekitar 21 kDa, baik pada kulit kakao Bal (2) maupun Ary (3). Akan tetapi, Biji (1) terlihat ekspresinya pada daerah sekitar 21 kDa. Pewarnaan yang digunakan untuk memunculkan pita pada bagian ini adalah pewarna AgNO3 yang memiliki sensitivitas 100 kali lebih tinggi daripada pewarna biru Coomassie (Merril et al. 1979). Hal ini dilakukan karena pita-pita yang terbentuk pada pewarnaan dengan biru Coomassie tidak dapat dianalisis (data tidak ditampilkan).

Pada pencirian protein intraselular (Gambar 4B). Pita di daerah sekitar 21 kDa teramati pada protein intraselular Ary (3) dan Bal (2). Kedua pita ini terlihat doublet, hal ini diduga disebabkan kadar 2-merkaptoetanol pada loading bufer kurang mencukupi atau telah mengalami kerusakan pada saat penyimpanan (Bio-rad 2009). Pita yang sejajar dengan penanda standar 21 kDa (M) terlihat sedikit berimpitan dengan pita yang memiliki bobot molekul lebih tinggi. Namun, protein 21 kDa cukup teridentifikasi dengan jelas dan dapat menunjukkan bahwa kedua bakteri E. coli yang diklon gen TcPIN yang mengekspresikan protein 21 kDa. Pada protein intraselular Biji (1), bobot molekul protein yang teramati lebih besar dari 21 kDa, dan perbedaan bobot molekul ini terlihat cukup jelas. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa E. coli yang diklon gen

TcPIN dari biji buah kakao tidak

mengekspresiakan protein yang berukuran 21 kDa.

A B

1 2 3 M 1 2 3 M Keterangan: 1 = Biji, 2 = Ary, 3 = Bal, M = Standar Gambar 4 Hasil elektroforesis SDS-PAGE

protein ekspresi ekstraselular (A) dan intraselular (B). Aktivitas Inhibitor Tripsin

Penurunan aktivitas tripsin dengan penambahan ekstrak protein merupakan

petunjuk adanya aktivitas sebagai inhibitor tripsin. Penurunan ini disebabkan oleh adanya interaksi protein dengan tapak aktif dari tripsin, yang akan menginhibisi aktivitasnya sebagai enzim protease. Waktu inkubasi yang dipilih pada percobaan ini ialah 15 menit. Pada waktu inkubasi ini diharapkan serapan pada saat pengukuran tetap berada pada kisaran kurva standar tirosina yang digunakan.

Pada Tabel 1 terlihat penurunan aktivitas tripsin untuk pengujian dengan penambahan ekstrak protein intraselular dari E. coli yang diklon gen TcPIN dari kulit buah kakao baik pada klon Ary maupun Bal. Penurunan ini terjadi dari aktivitas tripsin tanpa penambahan ekstrak protein (kontrol), yaitu sebesar 0.4434 U/mg berturut-turut menjadi 0.4245 U/mg dan 0.4169 U/mg. Penurunan ini berturut-turut nyata dan sangat nyata berdasarkan uji t-student two-tails. Adanya penurunan ini menunjukkan bahwa pita 21 pada hasil SDS-PAGE (Gambar 4B) merupakan protein yang aktif sebagai inhibitor tripsin. Selain itu juga membuktikan bahwa gen TcPIN dari kulit buah kakao klon Bal (2) dan Ary (3) yang ditransformasikan merupakan gen yang mengekspresikan protein 21 kDa yang aktif sebagai inhibitor tripsin. Hasil yang berkebalikan ditunjukkan pada penambahan ekstrak protein Biji. Aktivitas tripsinnya justru meningkat dari aktivitas kontrol menjadi 0.5514 U/mg. Data lengkap hasil pengujian protein intraselular ini terdapat pada Lampiran 5.

Tabel 1 Hasil pengukuran aktivitas tripsin Penambahan ekstrak protein Aktivitas tripsin rerata (U/mg) Intraselular Kontrol 0.4434 Ary 0.4245* Biji 0.5514 Bal 0.4169** Ekstraselular Kontrol 0.1864 Ary 0.2933 Biji 0.2001 Bal 0.2171

Keterangan: penurunan aktivitas tripsin secara statistik berbeda: (*) nyata, (**) sangat nyata Pada hasil pengujian protein ekstraselular ketiganya tidak menunjukkan penurunan aktivitas tripsin, dan data lengkap hasil pengujian ini terdapat pada Lampiran 6. Aktivitas kontrol pada saat pengujian protein

ektraselular dan intraselular berbeda, yaitu berturut-turut 0.4434 dan 0.1864 U/mg. Hal ini karena waktu pengujian yang berbeda 5 hari dengan pengujian pada ekstrak protein intraselular. Penurunan dapat terjadi karena adanya galat pada pengaturan kondisi percobaan diantara pengujian protein ekstraselular dan intraselular. Kendatipun demikian, hal ini tidak menjadikan hasil pengujian inhibitor tripsin ini menjadi bias. Pengujian protein ekstraselular maupun intraselular, masing-masing dibandingkan dengan kontrol yang dianalisis pada waktu dan kondisi yang sama. Adanya kemungkinan terjadinya galat dari perbedaan hasil pengukuran aktivitas tripsin dengan ataupun tanpa perlakuan diharapkan dapat diminimumkan pada kondisi percobaan seperti ini.

Pada hasil SDS-PAGE (Gambar 4A), walaupun terlihat pita pada daerah sekitar 21 kDa ditunjukkan ada pada ekstrak protein ekstraselular gen TcPIN dari biji (1), tetapi uji

in vitro tidak menunjukkan penurunan aktivitas tripsin. Hal serupa juga diperoleh pada pengujian aktivitas inhibitor tripsin pada protein intraselularnya. Hal ini mempertegas bahwa gen TcPIN yang diisolasi dari biji kakao ini tidak mengekspresikan protein yang berperan sebagai inhibitor tripsin. Menurut Tai et al. (1991) protein 21 kDa yang ditemukan dalam jumlah yang besar di biji merupakan protein simpanan. Secara fisiologis biji berfungsi sebagai jaringan penyimpan (sink tissue) maka metabolit yang dikandung di dalamnya adalah cadangan makanan atau metabolit tersimpan.

Pada protein ektraselular E. coli yang diklon gen TcPIN dari kulit buah kakao, baik dari klon Ary ataupun Bal, keduanya menunjukkan hasil yang bersesuaian, yaitu antara hasil pencirian dengan SDS-PAGE tidak menunjukkan adanya pita di daerah sekitar 21 kDa. Hasil uji in vitro pun tidak menunjukkan aktivitas inhibitor tripsin. Berdasarkan hasil ini maka diketahui bahwa gen TcPIN ini tidak terekspresi secara ekstraselular.

Berdasarkan hasil penelitian Isda et al. 2008, gen yang menunjukkan fungsi sebagai gen TcPIN dari kakao akan mengekpresikan protein 21 kDa yang memiliki homologi dengan inhibitor tripsin. Pada hasil penelitian ini terbukti gen TcPIN yang diisolasi dari kulit buah kakao baik dari klon Ary maupun Bal menunjukkan aktivitas inhibitor tripsin pada protein hasil ekspresi intraselular. Sementara

gen TcPIN yang diisolasi dari biji kakao, ekspresi proteinnya tidak menunjukkan aktivitas sebagai inhibitor tripsin, baik pada protein hasil ekspresi secara ekstraselular maupun intraselular.

Dokumen terkait