• Tidak ada hasil yang ditemukan

DI KOTA SEMARANG DAN KOTA PEKALONGAN

A. Situasi Kebahasaan di Kota Semarang dan Kota Pekalongan

6. Bahasa Jawa di Kota Pekalongan

Bahasa Jawa yang dipakai dan berkembang di Kota Pekalongan dianggap sebagai dialek sendiri oleh penuturnya, yakni disebut basa Kalongan atau kojahan Kalongan atau bahasa Jawa dialek Pak Ora.

Bahasa Jawa dialek Pak Ora dibedakan menjadi dua: (1) dialek Pak Ora Datar yang berkembang di wilayah perkotaan, dan (2) dialek Pak Ora Medhak yang berkembang di wilayah perkampungan atau pinggiran. Sebutan sebagai dialek Pak Ora karena setiap bertutur Jawa sering kali disertai dengan ucapan [paq ora] atau [pak ora] pada akhir ujaran. Munculnya istilah datar dan medhak pada penamaan dialek tersebut didasarkan pada logat/aksen atau tumpuan letak artikulasi saja. Dialek Pak Ora Datar diucapkan dengan pemarkah bunyi vocal [a] yang disertai bunyi konsonan stop glotal [q] dan sedang dialek Pak Ora Medhak diucapkan dengan pemarkah bunyi vokal [a] yang diikuti bunyi konsonan dorso-velar [k]. Dengan demikian, perbedaan aksen datar atau aksen medhak ditentukan oleh tumpuan letak artikulasi pada stop glotal [q] atau dorso-velar [k], seperti pada tuturan di bawah ini.

Data 4a-2:

(1) Yo wis kokuwe paq ora [yo wIs kᴐkuwe paq ora] „Ya sudah kalau memang begitu‟

(2) Ha'ah pak ora dermoho [haqah pak ora dərmᴐhᴐ] „Sungguh, tidak sengaja‟

(3) Wis dikandake kokuwe [wIs dikandaqke kᴐkkuwe] „Sudah dikatakan seperti kamu‟

(4) Dibyak wae ra po‟o [dibyak wae raq pᴐkᴐ] „Dibuka saja lah‟

Bahasa Jawa Pekalongan dialek Pak Ora lebih sering melekat pada ragam ngoko daripada ragam krama. Hal ini terjadi karena muncul anggapan pada diri penutur bahwa bahasa Jawa Pekalongan adalah bahasa Jawa yang kasar. Seperti terungkap dalam pernyataan penutur asli Pekalongan yang bertempat tinggal di Kelurahan Kauman, Kecamatan Pekalongan Timur, sebagai berikut:

“Dialek kados mriki nggih kasar, menawi alus meniko biasanipun sampun pendatang. Dialek mriki Pak Ora, katah nggunake tembung pak ora (sakkarepmu) kaliyan ora kaiki (mboten napa-napa). Wonten ingkang medhak sanget, wonten ingkang biasa mawon. Kados:

(1) Yo wis kokuwe paq ora (Yo wis ngono yo ora opo-opo), utawi (2) Orak kaiki, lha kowe pak ring ndi si? (ora apa-apa, lha kowe arep

menyang ndi?)” (Kunarti, Januari 2012)

„Dialek yang ada di sini ya kasar, kalau sudah halus pada umumnya sudah pendatang. Dialek di sini disebut Pak Ora, karena banyak menggunakan kata pak ora (sesukamu), dan ora kaiki (tidak apa-apa) ada yang diucapkan dengan tekanan, ada yang ringan (biasa saja). Seperti:

(1) Yo wis kokuwe poq ora (ya sudah begitu juga tidak apa-apa), atau (2) Ora kaiki, lha kowe pak ring ndi si (tidak apa-apa, lha kamu akan

pergi kemana).

Maraknya terhadap penggunaan basa Kalongan yang berdialek pak ora berdampak terhadap perkembangan penggunaan bahasa Jawa standar. Pemakaian bahasa Jawa standar lambat laun mulai ditinggalkan oleh penutur Jawa perkotaan. Selain penggunaan basa Kalongan mulai terjadi percampuran kode antara bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia atau sebaliknya, bahkan sebagian telah bergeser ke dalam bahasa Indonesia. Kekuatiran ini tercermin dalam pernyataan yang diungkapkan oleh penutur Jawa perkotaan yang bertempat tinggal di wilayah kota: Krapyak Lor, Kecamatan Pekalongan Utara, sebagai berikut.

“Umumipun masyarakat kota sampun radi angel nggunake basa Jawa, umumipun menawi bebrayan nggunake basa Indonesia, napa meleh masyarakat Krapayak tidak tahu, tebeh kalian unggah-ungguh. Ndak tahu unggah-ungguh:

(1) Pak wis mangan rung? (2) Pak mangkat tho?

Keluarga kota sampun nggunake basa Indonesia, hanya priyayi agung dengan rewang saja nggunake basa Jawa. Anak-anak sampun susah basa Jawa krama, malah ora ngerti” (Diyah, 2011) .

„Padaumumnya masyarakat kota sudah agak sulit menggunakan bahasa Jawa, umumnya kalau berkumpul menggunakan bahasa Indonesia, apalagi masyarakat yang bertempat tinggal di Krapayak sudah tidak tahu, jauh dengan tingkat tutur halus:

(1) Pak sudah makan belum? (2) Pak berangkat tho?

Keluarga kota sudah menggunakan bahasa Indonesia, hanya majikan dengan pembantu saja menggunakan bahasa Jawa. Anak-anak sudah susah berbahasa Jawa krama, bahkan sudah tidak mengerti‟.

Fenomena lain yang terjadi adalah penggunaan bahasa Jawa beragam krama mulai kurang dipahami oleh generasi muda. Ada kecenderungan, terutama pada pelajar SMA yang berada pada sekolah bertaraf RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) menganggap bahasa Jawa, khususnya bahasa Jawa krama dianggap sebagai bahasa asing kedua setelah bahasa Inggris. Anggapan ini muncul karena faktor kesulitan terhadap penguasaan bahasa Jawa krama yang melebihi kesulitan bahasa Inggris. Dengan kata lain, ada anggapan bahwa berbicara bahasa Jawa krama lebih sulit daripada berbicara dalam bahasa Inggris.

Kegelisahan atas penggunaan tuturan Jawa beragam krama terungkap oleh pernyataan penutur Jawa Pekalongan yang bertempat tinggal di Kelurahan Kraton Kidul, Kecamatan Pekalongan Barat, sebagai berikut.

“Di sini (Pekalongan kota) banyak, menggunakan bahasa Jawa yang mboten sae, karena mereka tidak tahu untuk siapa kata-kata itu digunakan, setahunya apa yang diucapkan itu sudah bahasa yang paling sae dan mereka mengagapnya baik. Seperti tembung: bu kondur - bu kondur yang sering dilontarkan pada pelajaran bahasa Jawa, kebetulan pelajaran bahasa Jawa ditempatkan pada jam akhir pelajaran. Ucapan itu dianggapnya paling sopan terhadap gurunya. Lain kali kalau di dalam masyarakat banyak kata sare, tindak, kondur, siram, kagem, ngagem sering salah digunakan” (Gunarti, 2010).

Kendala lain, yang menyebabkan generasi muda kurang memahami bahasa Jawa krama adalah kurang mengenali kosakata krama itu sendiri. Kosakata krama jarang diajarkan oleh orang tua di lingkungan keluarga. Kebanyakan generasi muda perkotaan belajar kosakata Jawa krama di dalam pelajaran bahasa Jawa di Sekolah, sehingga wajar muncul anggapan bahwa bahasa Jawa bukan lagi sebagai tuturan halus dalam relasi keluarga tetapi telah bergeser menjadi bahasa pelajaran di Sekolah. Kegelisahan ini, terungkap dalam pernyataan penutur Jawa yang bertempat tinggal di Kelurahan Pabeyan, Kecamatan Pekalongan Utara, sebagai berikut.

“Kadosipun ningali sakmenika nggih, lare-lere sampun jarang nggunake basa, anggepipun basa Jawa niku angel sanget, biasane supen, campur pak, kulinane maem, padahal niki kurang leres, dhahar mboten kenal, nedha juga mboten ngertos”. (Murni, 2010).

„Kalau menilik sekarang, anak-anak muda sudah jarang menggunakan BJ, anggapannya BJ itu susah sekali, pada umumnya banyak yang commit to user

lupa, bahasanya campur aduk, contoh kata makan, terbiasanya menggunakan kata maem, pada hal penggunaan kata itu tidak tepat, kata dhahar „makan‟ tidak dikuasai, kata nedha „makan‟ juga tidak dikuasai.‟

Berdasarkan kasus data di atas, tampaknya penggunaan bahasa Jawa Pekalongan atau bahasa Jawa dialek Pak Ora atau basa Kalongan berkembang di wilayah tuturan Kota Pekalongan. Bentuk bahasa Jawa dialek Pak Ora banyak melekat pada tuturan Jawa beragam ngoko daripada beragam krama.

Bahasa Jawa ragam ngoko sering digunakan oleh generasi muda. Dalam pemakaiannya sering kali melampui batas kaidah penggunaan tuturan ngoko, yakni kerap kali dipakai untuk bertutur kepada mitra tutur yang memiliki fungsi sosial lebih tinggi. Hal ini terjadi, diduga akibat penguasaan ragam krama yang lemah atau telah menjadi kebiasaan keseharian bila bertutur selalu memilih ragam ngoko kepada siapapun yang dipandang akrab walaupun status dan fungsi sosialnya lebih tinggi. Fenomena ini tampak pada tuturan di bawah ini.

Data: 4a-3:

(1) Pak menyang nang ndi poq? ‟Pak mau pergi kemana? (2) Pak Dhe kae melu pak ora?

„Pak Dhe itu mau ikut apa tidak?

Rendahnya terhadap penggunaan tuturan bahasa Jawa beragam krama dalam kehidupan keseharian akibat dari rendahnya penguasaan kosakata krama dan lemahnya pembelajaran bahasa di lingkungan keluarga. Salah satu bukti bahwa generasi muda lemah terhadap penguasaan kosakata krama, tercermin dalam data di bawah ini.

Data: 4a-4:

(1) Anak : Bu niki basane poqo? „Bu bahasa Jawanya apa?‟ (2) Ibu : padharan

„perut‟

(3) Anak : Bu padharanku lara oq. „Bu perutku sakit.‟

Fenomena data (4a-4) memperlihatkan seorang anak manakala ingin bertutur krama namun tidak menguasai kosakata krama itu sendiri, maka akan bertanya terlebih dahulu padanannya dalam bentuk krama, kemudian baru berbicara. Bila tanpa disertai pembelajaran yang tepat, maka akan terlahir pula bentuk tuturan yang kurang tepat, seperti pada kasus data (4a-4).

B. Peran Keluarga dan Masyarakat terhadap Penggunaan Bahasa Jawa di