• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

B. Saran

1. Perlunya kontrak dibuat secara tertulis agar dapat dijadikan bukti autentik apabila terjadi wanprestasi serta menjamin perlindungan hukum kepada konsumen yang melakukan transaksi pemasangan Behel sehingga hak - hak konsumen tidak dirugikan.

2. Tanggung jawab professional tukang gigi perlu dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk pembinaan kepada tukang gigi dan pengaturan kode etik tukang gigi. Agar pertanggungjawaban tukang gigi lebih bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya.

3. Perlunya peran Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) ikut menyelesaikan sengketa antara tukang gigi dan konsumen pengguna jasa tukang gigi apabila terjadi sengketa dikemudian hari baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan sengketa berkaitan dengan tukang gigi agar hak

konsumen terutama pengguna jasa ortondonti mendapat perlindungan hukum yang maksimal.

BAB II

TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Latar Belakang Hukum Perlindungan Konsumen

Perhatian terhadap perlindungan konsumen bermula dari adanya gerakan terhadap perlindungan konsumen (Consumer movement). Amerika Serikat tercatat sebagai negara yang banyak memberikan sumbangan dalam memberikan perlindungan konsumen. Secara historis, perlindungan konsumen diawali dengan adanya gerakan - gerakan konsumen diawal abad ke 19. Pertama kali di tahun 1891 di New York terbentuklah Liga Konsumen, dan pada tahun 1898 di tingkat nasional Amerika Serikat terbentuk Liga Konsumen Nasional ( The National Consumer’s League ). Organisasi ini kemudian tumbuh dan berkembang dengan pesat pada tahun 1903 Liga Konsumen Nasional di Amerika Serikat telah berkembang menjadi 64 ( Enam Puluh Empat ) cabang yang meliputi 20 ( Dua Puluh ) negara bagian.23

Hukum perlindungan konsumen dewasa ini cukup mendapat perhatian karena menyangkut aturan - aturan guna mensejahterakan masyarakat, bukan saja masyarakat selaku konsumen saja yang mendapat perlindungan, namun pelaku usaha juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat suatu perlindungan. Pemerintah berperan sangat penting dalam mengatur, mengawasi dan mengontrol pelaku usaha dan konsumen sehingga tercipta sistem yang kondusif dan saling

21 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, cet 2 , (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,2001 ), hal. 12 - 13

berkaitan satu dengan yang lain dengan demikian tujuan mensejahterakan masyarakat luas dapat tercapai.

Fokus gerakan perlindungan konsumen sebenarnya masih paralel dengan gerakan pertengahan abad ke - 20. Di Indonesia, gerakan perlindungan konsumen menggema dari gerakan serupa di Amerika Serikat. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang secara populer dipandang sebagai perintis advokasi konsumen baru saja berdiri pada kurun waktu itu, yakni 11 mei 1973. Gerakan di Indonesia ini termasuk cukup responsif terhadap keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB) No. 2111 Tahun 1978 tentang Perlindungan Konsumen.24

1. Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Bebas

Adapun yang melatarbelakangi lahirnya hukum perlindungan konsumen ini antara lain :

Negara yang sekarang ini disebut negara - negara maju telah menempuh pembangunannya melalui tiga tingkat : unifikasi, industrialisasi, dan negara kesejahteraan. Pada tingkat pertama yang menjadi masalah berat adalah dalam mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional. Tingkat kedua, perjuangan untuk pembangunan ekonomi dan modernisasi politik. Akhirnya pada tingkat ketiga tugas negara yang terutama adalah melindungi rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan kesalahan pada tahap - tahap sebelumnya dengan menekankan kesejahteraan masyarakat.25

24 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, ( Jakarta : Grasindo, 2000), hal. 29

25 N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab

Produk, (Bogor: Panta Rei, 2005) , hal. 1.

Sejak dua dasawarsa terakhir ini perhatian dunia terhadap masalah perlindungan konsumen semakin meningkat. Gerakan perlindungan konsumen sejak lama dikenal didunia barat. Organisasi dunia seperti PBB pun tidak kurang perhatiannya terhadap masalah ini. Hal ini terbukti dengan keluarnya Resolusi PBB No. 39/248 Tahun 1985 atau yang dikenal sebagai Guidelines for Consumer Protection of 1985 . Dalam resolusi ini kepentingan konsumen yang harus dilindungi meliputi :26

a. Perlindungan konsumen dari bahaya - bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya

b. Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang tepat sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pribadi

d. Pendidikan Konsumen e. Tersedianya upaya ganti rugi

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen

Pada situasi ekonomi global dan menuju era perdangangan bebas, upaya mempertahankan pelanggan/ konsumen atau mempertahankan pasar atau memperoleh kawasan pasar baru yang lebih luas merupakan dambaan bagi setiap produsen, mengingat makin ketatnya persaingan untuk berusaha. Persaingan yang semakin ketat ini dapat memberikan efek negatif terhadap konsumen pada umumnya.

2. Hubungan Transaksi antara Produsen dan Konsumen

Konsep pemahaman perlindungan konsumen akan lebih mudah dilakukan bila melihat tahapan transaksi konsumen. Tahapan transaksi konsumen berarti

26 AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Diadit Media, 2001), hal. vii.

proses terjadinya peralihan pemilikan atau penikmatan barang dan atau jasa konsumen dari penyedia atau penyelenggara jasa kepada konsumen. Peralihan dapat terjadi diakibatkan adanya suatu hubungan hukum tertentu sebagaimana diatur didalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata atau peraturan perundang - undangan lainnya.27

Pembahasan tentang tahapan transaksi konsumen ini dibutuhkan untuk pelaksanaan hak dan/atau kewajiban pelaku usaha dan konsumen serta mengatasi permasalahan yang timbul dalam hubungan antara konsumen dan penyedia barang/atau jasa. Tahap transaksi konsumen terdiri atas tiga tahap, yaitu :28

a. Tahap pratransaksi konsumen b. Tahap transaksi konsumen

c. Tahap purnatransaksi konsumen

Tahap tahap ini tidaklah secara tegas terpisah satu sama lain. Tahapan ini diperlukan agar dapat dengan mudah memahami akar permasalahan dan mencarikan penyelesaiannya.29

a. Tahap pratransaksi konsumen

Pada tahap ini, transaksi belum terjadi. Konsumen masih mencari keterangan dimana barang atau jasa kebutuhannya dapat diperoleh, berapa harga dan syarat yang harus dipenuhi, serta mempertimbangkan berbagai fasilitas atau kondisi yang diinginkan.30

27

Az. Nasution, konsumen Dan Hukum, ( Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal 37

28 Ibid., hal 38

29 Ibid.,

30 Ibid., hal 39

Misalnya, apabila konsumen membeli televisi maka ia akan terlebih dahulu mencari informasi mengenai harga dan spesifikasi dari

produk - produk televisi yang ada. Informasi ini dapat diperoleh dari brosur, testimoni, maupun iklan.

Tahap yang paling vital bagi konsumen adalah informasi atau keterangan yang benar, jelas, dan jujur dari pelaku usaha yang beritikad baik dan bertanggung jawab menyelenggarakan persediaan komoditi kebutuhan tersebut. Setiap pelaku usaha wajib beritikad baik dan bertanggung jawab dalam menyediakan informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang barang dan/atau jasa yang menjadi mata usahanya. ( Pasal 7 huruf a dan b jo. Pasal 17, Pasal 20, Pasal 60, dan Pasal 62 ayat 1 dan 2 Undang - Undang Perlindungan Konsumen )

b. Tahapan Transaksi Konsumen

Tahapan ini adalah tahapan dimana terjadi proses peralihan kepemilikan barang dan/atau jasa tertentu pelaku usaha kepada pihak konsumen. Pada tahap transaksi ini yang menentukan adalah syarat - syarat perjanjian peralihan pemilikan barang dan/atau jasa serta ada tidaknya perjanjian dengan klausula baku yang dilakukan secara sepihak.31

Klausula baku “ setiap aturan atau ketentuan dan syarat - syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan telebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.32

31

Az. Nasution (e), Penulisan Karya Ilmiah tentang Perlindungan Konsumen dan

Peradilan di Indonesia, cet 1, ( Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995), hal 10 - 11

32 Indonesia (c), Undang - Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No.42 Tahun 1999, TLN No.3821, Pasal 1 angka 10

Pembatasan atau larangan untuk memuat klausula - klausula baku tertentu dalam perjanjian tersebut, dimaksudkan untuk mencegah

terjadinya penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat, yang pada akhirnya akan merugikan konsumen.33

Pembatasan atau larangan untuk memuat klausula - klausula baku tertentu dalam perjanjian tersebut, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang memiliki kedudukan yang lebih kuat yang pada akhirnya akan merugikan konsumen.

34

c. Tahap Purnatransaksi

Tahapan Purnatransaksi adalah tahapan pemakaian, penggunaan, dan/atau pemanfaatan barang dan/atau jasa yang telah beralih kepemilikannya atau pemanfaatannya dari pelaku usaha kepada konsumen. Misalnya dalam jual beli telepon seluler saat telepon seluler tersebut sudah beralih kepemilikannya dan penjual memberikan garansi maka garansi tersebut masuk kedalam tahapan purna transaksi. Apabila informasi tentang barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha sesuai dengan ketentuan yang ditentukan dalam pemakaian, penggunaan, dan/atau pemanfaatan produk konsumen tersebut, maka konsumen akan puas. Tetapi apabila sebaliknya yang terjadi, maka dapat timbul masalah antara konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan sehingga timbul sengketa konsumen.35

33 Mariam Darusman Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, ( Bandung : Alumni, 1994), hal. 47

34 Ahmadi Miru dan SutarmanYodo, Hukum Perlindungan Konsumen, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004) hal 124

B. Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen

Istilah konsumen dapat dijumpai dalam Undang - Undang Perlindungan Konsumen ( Undang - Undang No. 8 Tahun 1999) atau yang sering disebut dengan UUPK, yakni terdapat pada Pasal 1 butir 2 bahwa “ konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”36

Pengertian konsumen dalam UUPK diatas lebih luas bila dibandingkan dengan 2 (dua) Rancangan Undang - Undang Perlindungan Konsumen lainnya, yaitu pertama dalam Rancangan Undang - Undang Perlindungan Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ( YLKI ),yang menentukan bahwa :37

Sedangkan yang kedua dalam Naskah Final Rancangan Akademik Undang - Undang Tentang Perlindungan Konsumen ( selanjutnya disebut Rancangan Akademik ) yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Departemen

“Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali.”

36 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op Cit, hal 1

37 Yayasan Lembaga Konsumen, Perlindungan Konsumen Indonesia, Suatu Sumbangan

Pemikiran Tentang Rancangan Undang - Undang Perlindungan Konsumen, Yayasan Lembaga

Perdagangan RI menentukan bahwa, konsumen adalah “setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan”.38

Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “ korban produk yang cacat ” yang bukan hanya meliputi pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai. Sedangkan di Eropa pengertian konsumen bersumber dari Product Liability Directive (selanjutnya disebut Directive) sebagai pedoman Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dalam menyusun ketentuan Hukum Perlindungan Konsumen. Berdasarkan Directive tersebut yang berhak menuntut ganti kerugian adalah pihak yang menderita kerugian ( Kematian atau cedera ) atau kerugian berupa kerusakan benda selain produk yang cacat itu sendiri.39

Di Spanyol, konsumen di istilahkan tidak hanya individu atau orang, tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli.40

Pengertian konsumen bukan hanya beraneka ragam, tetapi juga merupakan pengertian yang luas seperti yang dilukiskan secara sederhana oleh mantan Presiden Amerika Serikat Jhon F. Kennedy dengan mengatakan, “ Consumers by definition Include us all “.

41

38 Universitas Indonesia dan Departemen Perdagangan, Rancangan Akademik Undang - Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta, 1992, Pasal 1 a. hal 57

39

Nurhayati Abbas, Hukum Perlindungan Konsumen dan beberapa aspeknya, (Ujungpandang : Elips Project, 1996) hal 13

40 Ibid.

41 Shidarta, Op Cit, hal 47

Meskipun beraneka ragam dan luas, dapat juga diberikan unsur terhadap definisi konsumen, yaitu :

1. Setiap orang

Disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berperan sebagai pemakai barang atau jasa. Istilah “ orang sebetulnya tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang perseorangan, namun konsumen juga harus mencakup badan usaha, dengan makna luas daripada badan hukum. Dalam UUPK digunakan kata “pelaku usaha”

2. Pemakai

Konsumen memang tidak sekedar pembeli, tetapi semua orang (perorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi jasa dan jasa barang. Didalam transaksi konsumen yang paling penting berupa peralihan barang dan jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.

3. Barang dan jasa

Undang - Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.

4. Yang tersedia dalam masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasar. Dalam dunia perdagangan syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen.

Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri, keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (diluar diri sendiri dan keluarganya).

6. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan

Batasan ini terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataannya sulit untuk menetapkan batas - batas seperti itu.

Batasan ini terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataannnya sulit untuk menetapkan batas - batas seperti itu.

Pengertian masyarakat umum saat ini, bahwa konsumen itu adalah pembeli, penyewa, nasabah (penerima kredit) lembaga jasa perbankan atau asuransi penumpang angkutan umum atau pada pokok langganan dari pada pengusaha42

Posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan

. Pengertian masyarakat ini tidaklah salah, sebab secara yuridis, dalam kitab Undang - Undang Hukum Perdata, terdapat subjek - subjek hukum dalam hukum perikatan yang bernama pembeli, penyewa, peminjam - pakai, dan sebagainya.

(pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya konsumen itu pelaksanaannya berhak untuk dilandasi oleh perlindungan hukum atau pada kesehariannya dikenal dengan istilah “ hukum perlindungan konsumen”.

Ada juga yang berpendapat, hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas. Az.Nasution berpendapat “ hukum konsumen yang memuat asas - asas dan kaidah - kaidah hukum yang mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.43

C. Asas, Prinsip dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum perlindungan konsumen tidak sebatas diatur didalam Undang - Undang Perlindungan Konsumen saja. Hukum perlindungan konsumen juga terdapat dalam hukum umum dan undang - undang lain misalnya Undang - Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang - Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, dan Undang - Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Hal tersebut ditegaskan dalam ketentuan Pasal 64 Undang - Undang Perlindungan Konsumen yaitu

“ Segala ketentuan peraturan perundang - undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang - undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan undang - undang ini.”

Dalam setiap Undang - Undang yang dibuat oleh pembentuk Undang - Undang biasanya dikenal sejumlah asas atau prinsip yang mendasari

diterbitkannya Undang - Undang itu. Asas - asas hukum merupakan pondasi suatu Undang - Undang itu dan segenap peraturan pelaksananya. Mertokusumo memberikan ulasan sebagai berikut :

“... bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang - undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat - sifat atau ciri - ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut .”44

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar - besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

Didalam Pasal 2 Undang - Undang Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa “ Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum ”. Memperhatikan substansi Pasal 2 Undang - Undang Perlindungan Konsumen demikian pula penjelasannya, perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 ( lima ) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangn antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

44 Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, cet 1, ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002) hal 25

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.45

Adapun di dalam perlindungan konsumen adanya suatu prinsip - prinsip, prinsip tentang tanggung merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus - kasus pelanggaran hak konsumen diperlukan kehati - hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak - pihak yang terkait. 46

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Secara umum prinsip - prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat hukum dibedakan sebagai berikut :

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan ( fault liability atau liability based on fault ) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, yang lazim dikenal sebagai Pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu adanya perbuatan, adanya

45 Indonesia (c), Undang - Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No.42 Tahun 1999, TLN No.3821, Pasal 3

unsur kesalahan,adanya kerugian yang diderita, dan adanya hubungan kualitas dan kerugian.47

2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab ( persumption of liability principle ), sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah Artinya beban pembuktian ada pada si tergugat. Tampak beban pembuktian terbalik ( omkering van bewijslast ) diterima dalam prinsip tersebut.

Undang - Undang Perlindungan Konsumen juga mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaiman ditegaskan dalam Pasal 19,22,dan 23 ( lihat ketentuan Pasal 28 UUPK ).

Dasar pemikiran dari teori Pembalikan Beban Pembuktian Adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah ( Presumtion of innoccence ) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak, asas demikian cukup relevan.

3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab ( presumtion nonliability priciple ) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai ia membuktikan

bahwa ia tidak bersalah.48 Contohnya dapat kita lihat dalam hukum pengangkutan, kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang, dalam hal ini pelaku usaha tidak dapt diminta pertanggungjawabannya.49

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak atau langsung (Strict Liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (Absolute Liability ). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi diatas ada yang mengatakan, Strict Liability adalah “ prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan”. Namun ada pengecualian - pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan Force Majuer. Sebaliknya Absolute Liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.50

Menurut R.C Hoeber, biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena :51

1. Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi kompleks;

2. Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya;

3. Asas ini dapat memaksa produsen lebih hati - hati.

48 Shidarta, Op.cit., hal.62

49

Ibid, Hal.96

50 Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum, ( Jakarta : Rajawali Pers,1998 ) hal 191

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya merugikan monsumen. Penerapan tanggung jawab langsung (Strict Liability) tersebut didasarkan pada alasan bahwa konsumen tidak dapat berbuat banyak untuk memproteksi diri dari resiko kerugian yang disebabkan oleh produk cacat.

5. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (Limitation of Liability Principle ) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya, ditentukan bila film ingin dicuci dan dicetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka konsumen hanya diganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru.

Dokumen terkait