• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : PROSES PENYELESAIAN SENGKETA PERUMAHAN

D. Berakhirnya Tugas Arbitrase

Bahwa idealnya, tugas-tugas arbiter baru berakhir setelah seluruh apa yang menjadi tugasnya telah selesai dilaksanakan. Tetapi di pihak lain Undang-undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999 membuka juga kemungkinan untuk berhentinya tugas arbitrase di tengah jalan.

Menurut Undang-undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999 memberikan kemungkinan berakhirnya tugas arbiter dalam hal-hal sebagai berikut :

1. Jika arbiter telah memberi putusan dan mengucapkan putusannya.

2. Dicapai perdamian di antara para pihak ketiga pemeriksaan perkara sedang berlangsung.

3. Jangka waktu yang telah ditentukan dalam kontrak arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah lampau.

4. Para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter.

5. Jika telah dilakukan koreksi penambahan atau pengurangan dalam hal permintaan koreksi, penambahan atau pengurangan atas putusan yang telah diucapkan.

6. Menarik diri dari arbiter atas persetujuan dari para pihak.

8. Arbiter dibebas tugaskan bilamana terbukti berpihak atau menunjukkan sikap tercela yang harus dibuktikan melalui jalur hukum.

9. Arbiter tersebut menjadi tidak mampu, berhalangan tetap atau meninggal dunia. Dalam hal ini kewenangannya dilanjutkan oleh arbiter penggantinya.

Apabila salah satu pihak yang bersengketa meninggal dunia tidaklah mengakibatkan berakhirnya tugas arbiter namun demikian tugas arbiter hanya ditunda paling lama 60 (enam puluh) hari setelah meninggal dunianya salah satu pihak tersebut.

Dengan berakhirnya tugas-tugas arbiter sebagaimana hal-hal tersebut di atas, maka sesungguhnya sudah berakhirlah pekerjaan seorang arbiter di dalam upayanya melakukan penyelesaian sengketa antara para pihak dan biasanya para arbiter ini akan menerima honor sebagaimana yang telah diperjanjikan sebelumnya. Dalam arbitrase ad-hoc jika tugasnya sudah berakhir maka dengan sendirinya arbiter ad-hoc itupun menjadi bubar.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Peranan arbitrase dalam sistem hukum Indonesia dewasa ini semakin terasa penting keberadaannya dalam rangka membantu menyelesaikan sengketa yang muncul antara para pengusaha dibidang perumahan dengan aneka warna hukum yang berbeda. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 telah membawa angin segar dalam sistem hukum Indonesia karena peranannya yang besar akan dapat mengairahkan dunia properti dalam mencari suatu kepastian hukum. Alasan para pengusaha menyukai badan arbitrase ini dari pada peradilan umum adalah karena umumnya peradilan nasional kurang mendapat kepercayaan dari masyarakat pengusaha bisnis, disamping berbiaya mahal dan memakan waktu yang panjang sedangkan berperkara melalui arbitrase lebih murah dan efisien serta putusannyapun bersifat final dan mengikat. Bagi kalangan pebisnis cara penyelesaian sengketa melalui badan ini memberikan keuntungan tersendiri jika dibandingkan berperkara melalui badan peradilan umum. Hal ini disebabkan karena faktor kerahasiaan proses berperkara dan putusan yang dikeluarkan merupakan alasan utama sehingga badan arbitrase ini menjadi primadona para pengusaha sebab berperkara melalui arbitrase tidak ada kewajiban untuk mempublikasikan keputusan arbitrase sebagaimana

halnya yang terjadi para peradilan umum. Bahwa dengan adanya kerahasiaan ini, nama baik atau imej para pihak tetap terlindungi, sementara bagi perusahaan dapat menjaga kerahasiaan informasi-informasi bisnis mereka. 2. Proses pemeriksaan sengketa dalam arbitrase secara umum tidak jauh berbeda

dengan jalannya proses pemeriksaan perkara dalam peradilan pada umumnya. Proses jalannya pemeriksaan tersebut meliputi antara lain acara yang dipergunakan, bahasa yang dipakai, sistem pembuktian yang diterapkan, hak- hak para pihak dalam proses pemeriksaan serta alur jalannya pemeriksaan itu sendiri yang dimulai dari sejak permohonan pemeriksaan sengketa diajukan hingga pada akhirnya dijatuhkan putusan pada tingkat akhir yang mengikat para pihak. Pada dasarnya para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri acara dan proses pemeriksaan sengketa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan oleh para arbitrase yang telah ditunjuk atau diangkat tersebut. Semua pemeriksaan sengketa yang dilakukan oleh arbitrase atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup, hal ini merupakan salah satu kelebihan dari lembaga arbitrase ketimbang lembaga peradilan pada umumnya. Sifat kerahasiaan cenderung menjadi pilihan utama bagi kalangan pengusaha yang tidak menginginkan masyarakat umum mengetahui adanya suatu perselisihan sengketa atau perkara perdata yang dialami oleh usahanya dengan pihak lain. Seperti halnya dengan jalannya proses pemeriksaan persidangan dalam pranata peradilan umum, jalannya proses pemeriksaan sengketa dalam arbitrase juga diawali dengan pemasukan surat permohonan oleh pemohon

dan selanjutnya diikuti dengan proses jawaban surat tersebut oleh termohon sebagai bagian dari hak para pihak untuk didengar keterangannya selama proses pemeriksaan berlangsung.

3. Pelaksanaan putusan arbitrase di Indonesia dapat dilakukan secara suka rela apabila kedua belah pihak menginginkannya. Putusan arbitrase dapat juga dilaksanakan secara paksa melalui campur tangan Pengadilan Negeri dengan melakukan eksekusi atas perintah Ketua Pengadilan Negeri. Dilaksanakan secara paksa melalui campur tangan Pengadilan Negeri dengan melakukan eksekusi atas perintah Ketua Pengadilan Negeri. Untuk dapat dieksekusinya suatu putusan arbitrase harus dilakukan suatu prosedur hukum yang disebut dengan akta pendaftaran yaitu pencatatan dan pendaftaran pada bagian pinggir atau di pinggir putusan arbitrase asli atau salinan otentik yang ditanda tangani bersama-sama oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbitrase atau kuasa hukum. Penanda tanganan tersebut dilakukan pada saat pencatatan dan pendaftaran putusan arbitrase di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak putusan diucapkan. Bahwa tanpa dilakukan penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase di Pengadilan Negeri pada waktunya, maka putusan arbitrase tersebut tidak dapat dilakukan eksekusi. Tindakan penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase di Pengadilan Negeri ini dalam praktek sering disebut dengan istilah ”deponir”. Jadi tindakan deponir putusan arbitrase bukan hanya merupakan tindakan pendaftaran yang bersifat administratif belaka, tetapi juga bersifat konstitutif

dalam arti merupakan satu rangkaian dalam proses arbitrase dengan resiko tidak dapat dieksekusi putusan jika tidak dilakukan pendeponiran tersebut. Pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase dilakukan sesuai dengan aturan eksekusi terhadap putusan peradilan umum yang telah mempunyai kekuatan hukum untuk dieksekusi.

B. Saran

Sejalan kesimpulan di atas, penulis mengemukakan pula saran-saran sebagai berikut :

1. Bila terjadi sengketa yang tidak dapat terselesaikan antara para pihak pebisnis dengan cara musywaah dan mufakat penulis menyarankan agar menempuh jalan penyelesaian melalui lembaga arbitrase karena cara penyelesaian ini akan lebih baik bagi kedua belah pihak.

2. Bahwa dimasa mendatang akan semakin besar minat orang untuk menggunakan jasa arbitrase di dalam penyelesaian sengketa maka sedini mungkin haruslah dipersiapkan sumber daya manusia untuk menjadi arbiter yang memang benar-benar profesional, terpercaya dan handal sehingga lembaga arbitrase akan semakin mendapat tempat dihati masyarakat khususnya dunia usaha.

3. Dalam upaya menyelesaikan sengketa yang dipercayakan oleh para pihak kepada arbitrase maka marilah dipegang kepercayaan itu secara sungguh- sungguh dengan melaksanakan tugas sebagai arbiter sesuai dengan Undang-

undang No. 30 Tahun 1999 dan tidak boleh melenceng sedikitpun apalagi keberpihakan kepada salah satu pihak karena apabila itu terjadi akan menodai kemurnian lembaga arbitrase itu sendiri.

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG PERUMAHAN

A. Pengertian Perumahan

Perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.

Perumahan tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata- mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya dan menampakkan jati diri. Perumahan juga berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan manusia untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya, rumah juga merupakan tempat awal pengembangan kehidupan dan penghidupan keluarga dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.

Adapun pengertian dari perumahan menurut peraturan Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman khususnya dalam Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa : “Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan”. Sedangkan pada angka (3) Pasal 1 undang-undang tersebut menyatakan bahwa : “Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang

berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri kehidupan dan penghidupan.

B. Tujuan Pembangunan Perumahan

Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat. Hakikat pembangunan itu mengandung makna bahwa pembangunan nasional mengejar keseimbangan, keserasian dan keselarasn antara kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah. Pembangunan nasional yang berkesinambungan diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa sehingga senantiasa mampu mewujudkan ketenteraman dan kesejahteraan hidup lahir dan batin.

Bertolak dari hakikat pembangunan nasional tersebut, maka pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, merata materil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah negara kesatuan RI yang merdeka, bersatu dan berdaulat dalam suasana peri kehidupan yang merdeka, bersahabat, tenteram dan damai.

Dalam pembangunan nasional disebutkan pembangunan perumahan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia sejalan dengan upaya pemenuhan kebutuhan dasar tersebut sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, pembangunan perumahan ditujukan pula untuk mewujudkan pemukiman yang secara fungsional dapat mendukung

pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kebijaksanaan pembangunan perumahan juga bertujuan untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan rakyat terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini telah dilaksanakan berdasarkan upaya-upaya antara lain :

1) Menciptakan keadaan dimana setiap keluarga dapat menempati rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat dan teratur. Suatu kondisi yang memenuhi persyaratan kelayakan dalam hunian, kelayakan sosial, kelayakan kesehatan, kelayakan keamanan dan konstruksi, kelayakan kenyamanan dan keindahan serta kawasan pemukiman yang terbentuk tersebut dapat berfungsi sebagai wahana kehidupan dan penghidupan warganya yang semakin tertib dan meningkat mutunya.

2) Mendorong terciptanya kawasan pemukiman yang dapat berkembang sebagai pusat pertumbuhan bagi wilayah sekitarnya.

3) Mengusahakan agar proses pembangunan perumahan pemukiman dapat menjadi peluang dalam memperluas kesempatan kerja serta menggerakkan kegiatan ekonomi.

4) Menetapkan kebijaksanaan yang bertumpu pada pandangan, bahwa pada hakikatnya pembangunan perumahan dan pemukiman itu merupakan tanggungjawab masyarkat sendiri.

5) Mengarahkan peran pemerintah untuk memberikan penyuluhan, bimbingan dan menciptakan iklim usaha serta iklim pembangunan, disamping itu mendorong dan

menggerakkan serta merangsang peran serta masyarakat luas, menumbuhkan swakarsa dan mengembangkan swadaya masyarakat sehingga secara bertahap masyarakat semakin mampu memenuhi kebutuhan perumahan sendiri. Pemerintah juga mengatur agar pelaksanaan pembangunan perumahan itu dapat berjalan dengan tertib dan teratur.

6) Memberikan arah kepada pembangunan dan pemukiman yang dilaksanakan berdasarkan asas-asas keadilan, pemerataan dan keterjangkauan, berwawasan lingkungan serta memperhatikan kondisi sosial budaya setempat.

7) Memberikan penekanan kepada pembangunan perumahan dan pemukiman yang bersifat multi sektoral, yang perlu didukung oleh berbagai kebijaksanaan penunjang, meliputi aspek-aspek tata ruang, pertanahan, prasarana dan fasilitas lingkungan, teknologi membangun, industri bahan bangunan dan jasa konstruksi, pembiayaan, pengembangan sumber daya manusia, kelembagaan, peraturan perundang-undangan serta penelitian dan pengembangan oleh karenanya diperlukan koordinasi yang efektif antara unsur-unsur instansi yang terkait dalam penanganan masalah perumahan dan pemukiman.

Undang-undang nasional Indonesia yang mengatur tentang perumahan dan pemukiman antara lain : UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang mana dalam Pasal 3 menyebutkan pembangunan rumah susun bertujuan untuk :

1) a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya.

b. Meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap, serasi dan seimbang.

2) Memenuhi kebutuhan untuk kepentingan lainnya yang berguna bagi kehidupan masyarakat dengan tetap mengutamakan ketentuan ayat (1) huruf a.

Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman dalam Pasal 4 menjelaskan tentang tujuan penataan perumahan dan pemukiman yaitu : a. Memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia dalam

rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

b. Mewujudkan perumahan dan pemukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.

c. Memberi arah pada pertumbuhan wilauyah dan persebaran penduduk yang rasional.

d. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan bidang-bidang lain.

A.P. Parlindungan memberikan komentar terhadap tujuan penataan perumahan dan pemukiman tersebut, yaitu : “Bahwa kebutuhan papan bagi masyarakat luas dalam peningkatan kesejahteraan rakyat dan adanya perumahan dan pemukiman yang memenuhi standar. Disamping itu juga dengan perumahan yang

tertib dan rapi tersebut menunjang adanya pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. 3

3

A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-undang Perumahan dan Pemukiman dan Undang-undang Rumah Susun, Mandar Maju, Bandung, 1997, h. 37-38.

Secara ringkas bahwa tujuan pembangunan perumahan adalah mewujudkan tersedianya rumah dalam jumlah yang memadai, di dalam lingkungan yang memenuhi syarat-syarat kesehatan, kuat dalam jangkauan daya beli rakyat banyak.

Dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan perumahan dengan harga yang dapat dijangkau oleh setiap lapisan masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi lemah yang benar-benar sangat membutuhkan perumahan sebagai tempat tinggal sehingga apa yang menjadi tujuan pembangunan tersebut dapat tercapai dengan baik.

Pembangunan perumahan adalah usaha yang secara sadar dilaksanakan oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah dalam rangka pertumbuhan dan perubahan yang berencana menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa terlepas dari sistem politik dan ekonomi yang dianut oleh suatu negara, khususnya negara Indonesia yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh warganya. Maka tampak jelaslah disini tujuan dilaksanakannya pembangunan perumahan, khususnya bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah serta untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, yaitu masyarakat yang adil dan makmur.

Untuk dapat terlaksananya pembangunan perumahan dan pemukiman yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat telah diundangkan oleh pemerintah peraturan- peraturan yang berkaitan dengan hal itu, yaitu :

1. PMDN No. 5 Tahun1973 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah.

2. PMDN No. 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan.

3. PMDN No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah yang telah diubah dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

4. PMDN No. 1 Tahun 1977 tanggal 17 Pebruari 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak atas Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya.

5. Surat keputusan bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 959/KPTS/1983

6. PMDN No.2 Tahun 1984 tanggal 28 Januari 1984 tentang Penyediaan Tanah untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan.

tentang Penanganan Bidang Perumahan Rakyat No. 3/KPTS/1983

7. UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun.

8. PMDN No. 3 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan.

9. PP No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun.

10.Kepmen. Pekerjaan Umum No. 01/KPTS/1989 tentang Pedoman Teknik Pembangunan Kapling Siap Bangun (KSB).

11.Kepmen Perumahan Rakyat No. 11/KPTS/1989 tentang Pedoman Pengadaan Perumahan dan Pemukiman dengan Fasilitas KPR-BTN oleh Koperasi.

12.Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 41/PRT/1989 tentang Pengesahan 25 Standar Konstruksi Bangunan Indonesia Menjadi Standar Pembangunan Nasional Indonesia.

13.UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. 14.UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

15.Surat Edaran Menteri Negara Agraria/KBPN No. 500-1988 tanggal 29 Juni 1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keppres No. 55 Tahun 1993.

16.Peraturan Menteri Negara Agraria/KBPN No. 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

17.Keputusan Menteri Negara Agraria/KBPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik atas RSS dan RS, yang kemudian dirubah dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/KBPN No. 15 Tahun 1997, kemudian diperluas lagi dengan Keputusan Menteri Negara Agraria/KBPN No. 1 Tahun 1998.

18.Surat Edaran Menteri Negara Agraria/KBPN No. 500-1567 tanggal 2 Juli Tahun 1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Hak Milik atas Tanah RSS dan RS.

C. Perlindungan Konsumen Terhadap Pembelian Rumah 1. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

Sejumlah peraturan yang tidak pernah disebut-sebut sebagai prioritas, dalam kenyataannya justru banyak yang didahulukan pengesahannya daripada Undang- undang Perlindungan Konsumen. Hal ini memperkuat dugaan yang beredar selama ini, pemerintah biasanya mendahulukan peraturan-peraturan yang menguntungkan pihaknya contoh peraturan dibidang perpajakan daripada peraturan-peraturan yagn membebaninya dengan kewajiban yang besar seperti dibidang perlindungan konsumen.

Oleh karena itu menurut Prof. Hans W. Micklitz 4

4

Shirdarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, 2000, h. 49.

dalam perlindungan konsumen dapat ditempuh dengan dua kebijakan. Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas kesehatan dan keselamatan). Dengan demikian dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip, yaitu prinsip tentang tanggungjawab mutlak yang merupakan prihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen, dimana dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen,

diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang bertanggungjawab dan seberapa jauh tanggungjawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.

Secara umum, prinsip-prinsip tanggungjawab dibedakan sebagai berikut: 1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan.

Prinsip ini adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan hukum perdata. Dalam KUH Perdata khususnya Pasal 1365, 1366 dan 1367 prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat diminta pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.

Pasal 1365 KUH Perdata 5

a. adanya perbuatan ;

mengharuskan terpenuhinya 4 (empat) unsur pokok tentang melawan hukum yaitu :

b. adanya unsur kesalahan ; c. adanya kerugian yang diderita ;

d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. 2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab.

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggungjawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat.

5

Berkaitan dengan prinsip tanggungjawab ini, dalam doktrin hukum pengangkutan khususnya, dengan 4 (empat) variasi 6

a. pengangkutan dapat membebaskan diri dari tanggungjawab kalau ia dapat membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal diluar kekuasaannya.

:

b. Pengangkutan dapat membebaskan diri dari tanggungjawab jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian.

c. Pengangkutan dapat membebaskan diri dari tanggungjawab jika ia dapat membuktikan kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya.

d. Pengangkutan tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahan/kelalaian penumpang atau karena kualitas/mutu barang yang diangkut tidak baik.

3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab.

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi. Konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian tidak dapat dibenarkan.

Contoh dari prinsip ini adalah kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggungjawab dari penumpang. Hal ini pelaku usaha tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.

6

E. Suherman, Masalah Tanggungjawab pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain di Bidang Penerbangan, Alumni, Bandung, 1976, h. 18.

4. Prinsip tanggungjawab mutlak.

Prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggungjawab absolut (absolut liability).

Prinsip tanggungjawab ini adalah prinsip tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian- pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggungjawab, sebaliknya absolut liability adalah prinsip tanggungjawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualian.

Menurut R.C. Hoeber et al, 7

a. konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks.

prinsip tanggungjawab mutlak ini diterapkan karena :

b. Diasumsikan produsen lebih mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya.

c. Asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati.

Prinsip tanggungjawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk "menjerat" pelaku usaha, khususnya produsen barang yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen.

7

Asas tanggungjawab ini diberi nama product liability. Menurut asas ini atas penggunaan produk yang dipsarkan. Gugatan product liability ini dilakukan berdasarkan tiga hal yaitu :

a. melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk.

b. Ada unsur kelalaian yaitu produsen lalai memenuhi standar perbuatan obat yang baik dan

c. Menerapkan tanggungjawab mutlak. 5. Prinsip tanggungjawab dengan pembatasan.

Prinsip tanggungjawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan dalam perjanjian standart yang dibuatnya. Prinsip tanggungjawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggungjawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang

Dokumen terkait