• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdirinya Stasiun Tugu Di Yogyakarta

PEMBANGUNAN DAN PERKEMBANGAN STASIUN TUGU DI YOGYAKARTA 1887-

C. Berdirinya Stasiun Tugu Di Yogyakarta

SS ikut serta dalam pembangunan stasiun kereta api di daerah Yogyakarta. Seperti di bab-bab sebelumnya yang menerangkan bagaimana stasiun kereta api di Asia Tenggara menghubungkan wilayah hulu dengan wilayah hilir, pada tahun

18

Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 1500-1900:

Dari Emporium Sampai Imperium, (Jakarta:1991) Hal. 364 19

REITSMA, S. A., op.cit., (______:1940) Hal. 10. Pada tanggal 18

Agustus 1860, pemerintah Belanda mengeluarkan Staatsblad nomer 45 yang

menjadi landasan hukum berdirinya perusahaan kereta api negara milik Belanda,

50

1887 berdiri Stasiun Tugu di Yogyakarta yang menghubungkannya dengan

Pelabuhan Cilacap.20 Pembangunan stasiun ini menjadikannya sebagai stasiun

pertama dan satu-satunya yang menghubungkan akses Yogyakarta dengan wilayah pelabuhan di selatan Jawa.

Pada masa pembangunannya, Stasiun Tugu memiliki berbagai macam persoalan yang harus dihadapi, seperti permasalahan tentang bagaimana memecahkan permasalahan dari rencana penghentian proyek pembangunan jalur kereta api milik Pemerintah Belanda di Jawa sebagai langkah penghematan biaya guna membiayai Perang Aceh, kesulitan mencari letak, dimana stasiun tugu akan dibangun, penentuan daerah mana saja yang akan dilalui jalur rel, pembagian jalur dengan NISM, serta mencari tenaga kerja untuk pembangunan stasiun kereta api.

Pada awal masa pembangunannya, jalur kereta api milik pemerintah Belanda yang menghuungkan Yogyakarta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya menghubungkan seluruh bagian pulau Jawa dengan jaringan kereta api yang bisa diakses oleh pemerintah sepanjang waktu demi berjalannya tugas pertahanan, keamanan, dan pemerintahan dengan lancer. Jalur yang menghubungkan daerah Cilacap dengan Yogyakarta merupakan terusan dari jalur Bandung-Cilacap yang pernah diusulkan oleh Pieter Philip van Bosse tahun 1871.

Pembangunan jalur yang diteruskan menuju Yogyakarta terancam berhenti sekitar tahun 1884. Hal ini dikarenakan terbatasnya anggaran Pemerintah Belanda

20

Zuhdi, Susanto, CILACAP (1830-1942): Bangkit dan Runtuhnya Suatu

51

untuk membiayai pembangunan jalur kereta api SS yang sebagian besar dialihkan untuk membiayai Perang Aceh, dimana biaya perang Aceh pada tahun 1883 saja

sudah mencapai 200 juta Gulden.21 Hal ini masih diperparah dengan jatuhnya

harga kopi di pasaran internasional. Kopi yang merupakan salah satu komoditas ekspor andalan Hindia Belanda akhirnya tidak bisa diharapkan banyak untuk mendongkrak pemasukan Belanda guna membangun fasilitas pendukung di

Hindia Belanda.22

Karena kesulitan dalam hal keuangan, Pemerintah Belanda memiliki rencana untuk menghentikan pembangunan jalur kereta api SS di Pulau Jawa,

seperti di jalur Cicalengka-Cilacap, Cilacap-Yogyakarta, dan Yogyakarta-

Magelang. Penghentian pembangunan ini tidak berlaku untuk jalur yang menuju pelabuhan Oedjoeng di Surabaya.

21

Ibid., Hal. 74 22

Memburuknya harga jual kopi dan juga tanaman lainnya disebabkan oleh letusan gunung Krakatau yang terjadi tahun 1883. Ledakan ini

mengakibatkan 18Km3 debu vulkanik menutupi langit selama dua tahun. Akibat

dari ledakan ini, tanaman kopi yang ditanam di dataran tinggi tidak dapat tumbuh dengan baik karena suhu yang terlalu dingin serta tidak cukupnya sinar matahari untuk peroses perkembangannyamengakibatkan tanaman kopi tidak dapat tumbuh dengan baik, serta terjadi penurunan kualitas yang mengakibatkan menurunnya

harga kopi (Lih. Crib, Robert, dkk., Historical Dictionary of Indonesia,

(Maryland:2002). Hal.224). Menurunnya harga kopi juga berdampak pada pelabuhan Cilacap yang dikhususkan untuk mengangkut kopi dari daerah

Priangan, Kedu, Pasuruan, Banyumas, Bagelen. (Lih. Zuhdi, Susanto, CILACAP

1830-1942, (Jakarta:2002). Hal. 20). Bila kopi yang dikirim tidak sesuai kuantitas dan kualitasnya dengan biaya pengiriman, pelabuhan Cilacap akan mengalami kerugian, dan pembangunan jaringan kereta api untuk tujuan mengangkut kopi dari daerah akan ditangguhkan untuk sementara.

52

Hal tersebut tentu saja tidak bisa diterima oleh berberapa kalangan, terutama untuk jalur Cilacap-Yogyakarta, dimana perjanjian konsesi sudah berada

dalam tahap yang serius.23 Untuk menengahi permasalahan tersebut, Menteri

urusan daerah jajahan Franciscus Gerard van Bloemen Waanders menegaskan pentingnya penggabungan sistem kereta api milik pemerintah dengan swasta, dimana Pemerintah berperan untuk melaksanakan pembangunan jalur kereta api, dan setelah jalur tersebut selesai nantinya akan dijual kepada perusahaan swasta

untuk dikelola.24

Keputusan Van Bloemen Waanders akhirnya diwujudnyatakan dengan dibuatnya proposal oleh Marschalk dan Grooll yang berisikan permintaan untuk meneruskan jalur-jalur yang belum selesai dan nantinya akan dijual kepada pihak swasta setelah semuanya selesai dibangun, serta akan dilakukan pembelian ulang jika memungkinkan. Selain itu, untuk jalur eksploitasi yang menuju ke arah Yogyakarta (kecuali Yogyakarta-Magelang), bila ternyata keuntungan yang diperoleh kurang dari 4 persen per tahun, pemerintah akan menetapkan aturan

23

_______, Statistiek Van Het Vervoer Op De Spoorwegen En Tramwegen

In Nederlandsch-Indie Over Het Jaar 1890, (Batavia:1892) Hal. 12 Perjanjian konsesi untuk jalur kereta api Yogyakarta-Cilacap ditandatangani pada perjanjian

pada tanggal 20 Juli 1884 dalam Staatblad (Lembar Pemerintahan) 111.

24

Ibid., Hal. 75. Selain itu, Van Bloemen Waanders juga keberatan bila hasil kerja keras yang dilakukan oleh J. A. Kool dan N. A. Henket pada tahun 1869 untuk mengetahui lebar rel yang cocok dengan kondisi Pulau Jawa serta memudahkan dalam pengoperasian dan perawatannya terbuang percuma. Karena itu, untuk mencari jalan tengah dari permasalahan ini, Van Bloemen Waanders menggabungkan pola manajemen dan operasional milik perusahaan pemerintah dan swasta.

53

khusus untuk menanggulanginya.25 Proposal yang diajukan oleh Marschalk dan

Groll akhirnya disetujui oleh pemerintah sehingga jalur kereta api SS dapat diselesaikan. Dengan selesainya pembangunan jalur tersebut, perusahaan SS dapat mengembalikan modal pembangunan lewat biaya pengangkutan kereta api.

Selain dari kesulitan keuangan yang dihadapi, pada masa pembangunan jalur Cilacap-Yogyakarta, SS sibuk mencari lokasi untuk dijadikan pembangunan stasiun. Kesulitan ini sangat dirasakan karena stasiun yang akan dibangun bisa menjangkau wilayah kota Yogyakarta dan wilayah perkebunan di di sebelah barat Yogyakarta. Untuk menyelesaikan hal tersebut, pemerintah Belanda merasa perlu berdiskusi dengan Sultan Yogyakarta saat itu, Hamengku Buwana VII. Dari hasil diskusi tersebut Sultan memberikan lahan untuk stasiun berikut jalur-jalurnya secara gratis.26

Diberikannya tanah tersebut secara gratis cukup beralasan. Pada masa Hamengkubuwana VII, di Yogyakarta terdapat banyak sekali lahan-lahan yang disewakan untuk perkebunan swasta maupun pabrik pengolahan hasil bumi seperti nila dan gula. Kehadiran persewaan tanah ini tentu saja menambah pemasukan bagi kas keraton. Dengan munculnya stasiun kereta api, banyak perusahaan perkebunan dan pabrik-pabrik yang terbantu yang nantinya akan mengundang penanam modal untuk datang ke Yogyakarta.

25

Ibid. 26

Ballegoijen de Jong, Michiel van, Spoorwegstations Op Java,

54

Selain itu, letak pembangunan Stasiun Tugu yang berada di pusat kota dan di sebelah utara Keraton mengindikasikan penempatannya yang memiliki alasan berdasarkan letak kosmologis masyarakat Yogyakarta. Seperti yang sudah kita ketahui, pada masa kerajaan Islam terjadi perubahan dalam konsep kosmologis, dimana kerajaan Hindu-Buddha pada masa lampau menganut konsep desentralisasi mulai menganut konsep sentralisasi, dimana Keraton menjadi pusat dari pemerintahan. Tetapi, pada Kraton Yogyakarta, beberapa konsep kosmologis Hindu-Buddha masih dipakai dan disesuaikan dalam perkembangannya.

Pemberian tanah secara gratis oleh Sultan Hamengku Buwana VII di daerah tersebut bukan tanpa alasan. Letaknya yang berada di sebelah utara merupakan perwujudan dari empat arah mata angin yang dijaga oleh Sang Catur Lokapala, empat dewa dalam mitologi Hindu. Arah utara dijaga oleh Dewa Kuwera yang merupakan lambang dari Dewa Wisnu. Dewa ini dipercaya sebagai sebagai penjaga wilayah kemakmuran. Selain itu, letaknya yang berada di dekat

Keraton masih termasuk dalam wilayah Nagara yang merupakan wilayah ibukota

dan tempat kedudukan pemerintah luar. Dengan diletakannya Stasiun Tugu di wilayah ini membuat Keraton menganggap pentingnya peran serta fasilitas tersebut bagi kemakmuran Keraton sendiri, selain juga memudahkan dalam hal pengawasannya.

Dalam penentuan daerah yang akan dibangun jalur-jalur kereta api, ada kalanya jalur tersebut memotong daerah konsesi pertanian atau pertambangan di Yogyakarta. Seperti yang terjadi pada saat pembangunan stasiun Tugu di

55

Yogyakarta, saat H.W. Dalfsen memiliki rencana untuk menambang batu yang

dalam bahasa Melayu disebut Batu Hitam27 di daerah Kulonprogo.28

Pada saat pembangunan jalur SS tersebut, jalur yang akan dipakai menembus dari Cilacap lewat Sentolo sebelum akhirnya ke Yogyakarta. Mengingat kedua badan usaha tersebut sama-sama memiliki hak konsesi, secara otomatis pemerintah Belanda dan Keraton merasa perlu untuk mencari solusi yang bisa menyelesaikan permasalahan tersebut secara baik-baik.

Dari penetapan jalur ini bisa dilihat arah konsentrasi Stasiun Tugu yang menghubungkan wilayah Yogyakarta dengan Pelabuhan Cilacap. Jalur ini memiliki panjang 187.283 Km dan dibuat dalam waktu delapan tahun, dari tahun 1879-1887. Tujuan dari pembangunannya untuk mengakomodasi pabrik-pabrik gula di wilayah barat Yogyakarta agar produk-produk mereka lebih cepat menuju daerah pelabuhan dibandingkan dengan menuju wilayah pelabuhan Semarang. 29

Akhirnya, di bulan Juli 1894, Dalfsen sepakat dengan SS untuk tetap meneruskan pembangunan yang melewati daerah pertambangannya. Hanya saja, SS wajib membangun rel lori khusus yang tersambung dengan stasiun wates; serta kemudahan dalam pengangkutan hasil tambang tersebut menuju Pelabuhan Cilacap dengan harga khusus.30

27

Ada kemungkinan batu hitam yang dimaksud mengandung bijih besi. 28

Juwono, Harto, op.cit., Hal. 275. Konsesi pertambangan ini juga

dinamai sebagai Mijnconcessie Kliripan (Konsesi Pertambangan Kliripan).

29

Zuhdi, Susanto, op.cit., Hal. 43-45

30

56

Walaupun sudah ditetapkan daerah mana saja yang akan ditetapkan sebagai tempat dibangunnya jalur tersebut, SS masih harus berkompromi dengan NISM. Alasannya dikarenakan NISM sudah lebih dulu membuat jalur kereta api di Yogyakarta. Bila muncul sebuah badan usaha yang bergerak di bidang yang sama pastinya akan muncul persaingan dagang. Apalagi kehadiran Stasiun Tugu yang cukup dekat jaraknya dengan Stasiun Lempuyangan.

Persaingan dagang antara SS dan NISM ini dimulai dari perbedaan lebar rel yang dipakai oleh kedua perusahaan tersebut. NISM menggunakan rel dengan

lebar 1.435 mm. rel ini termasuk rel besar (breedspoor). Rel yang besar ini

dimaksudkan agar pengangkutan hasil bumi menjadi monopoli NISM tanpa

campur tangan perusahaan kereta api lainnya di masa mendatang.31Rel yang

digunakan SS merupakan rel normal (normaalspoor) dengan lebar yang hanya

1.067 mm. pembangunan rel ini dimaksudkan untuk memperkecil biaya

31

Tri Utomo, Suryo Hapsoro, Jalan Rel, (Yogyakarta:2009) Hal. 20

Penggunaan rel besar dinilai memakan biaya perawatan yang cukup besar bagi pemerintah Hindia Belanda. Bahkan, sebelum NISM membangunnya sudah ditegur oleh pemerintah untuk mengganti rel tersebut dengan rel normal (normaalspoor) yang hanya sebesar 1.067 mm. Akhirnya setelah perdebatan sengit pihak pemerintah Belanda pada masa itu setuju dengan pembangunan rel besar dengan syarat NISM lah yang menanggung biaya perawatannya. Alasan lain kenapa NISM tetap menggunakan lebar rel 1.435 mm dikarenakan sebelum jalur Semarang-Tanggung diresmikan pada tahun 1867, NISM sudah membeli

lokomotif pada tahun 1863 dari pabrik Borsch di Jerman. Lebar rel ini sampai

sekarang masih dipakai di negara Amerika, Jepang, beberapa negara Eropa, Turki, dan Iran.

57

perawatan. Perbedaan lebar rel ini membuat kedua stasiun tidak dapat saling

berhubungan.32

Pada saat mencari tenaga kerja untuk membangun stasiun Tugu, Belanda mengalami kesulitan untuk mendatangkan tenaga kerja yang bisa terus bekerja agar target pembangunan bisa selesai dengan cepat. Kesulitan ini dialami karena penggunaan tenaga kerja dari Jawa yang bukan benar-benar spesialis dalam

bidang itu. 33 Untuk mengatasi masalah tersebut para mandor lebih memilih tenaga

dari etnis Tionghoa yang walaupun bayarannya mahal tetapi dapat dipekerjakan secara terus menerus. Dalam hal pemberian upah, diberlakukan upah borongan,

32

Tri Utomo, Suryo Hapsoro, op.cit. Hal. 20 Perbedaan penggunaan lebar

rel ini awalnya dikarenakan NISM yang mengadopsi secara langsung teknologi kereta api dari negara-negara Eropa yang memakai lebar rel sepanjang 1.435 mm. Lebar rel tersebut kebanyakan dipakai di negara Eropa Barat dan Tengah. Melihat lebar rel yang dinilai terlalu boros untuk perawatannya, anggota kementerian urusan daerah jajahan, De Waal menugaskan J. A. Kool (Ketua Insinyur SS di Belanda) dan N. A. Henket (Profesor Universitas Delft) pada tanggal 24 Maret 1869 untuk mengetahui lebar rel yang cocok dengan kondisi Pulau Jawa bagi pembangunan jaringan kereta api SS di Hindia Belanda. Dari hasil penelitian mereka diputuskan lebar rel 1.067 mm lebih cocok untuk dipakai karena lebar rel ini dapat menanggung beban secara maksimal sertabiaya yang dikeluarkan untuk pengerjaan dan pemeliharaannya lebih murah dibandingkan lebar rel 1.435 mm.

(Bdk. Jan De Bruin, op.cit., Hal. 16).

33

Hal ini dikarenakan kebanyakan dari para tenaga kerja tersebut sebenarnya masih merupakan petani yang memiliki ladang garapan. Mereka menjadi tukang bangunan untuk mencari pendapatan setelah musim tanam dan musim panen selesai, dimana lahan tidak membutuhkan perawatan secara intensif. Bila musim hujan dimulai mereka akan kembali untuk mengurus ladang garapan tersebut. Hal ini sering disalah artikan oleh mandor Belanda yang menganggap

mereka malas dan tidak suka bekerja keras. (Lih. J. H. Houben, Vincent, Keraton

dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870, (Yogyakarta:2002) Hal. 673)

58

bukan upah harian. Hal ini untuk mewaspadai para pekerja yang sengaja berlama- lama dalam pekerjaannya agar upah yang mereka dapat lebih banyak.

Stasiun Tugu dimulai bersamaan dengan dibangunnya jalur kereta api antara Yogyakarta-Cilacap pada tahun 1879 dengan panjang jalur 187,283 Km

dengan biaya sebesar 14.709.074,75 Gulden.34 Pembangunan Stasiun Tugu selesai

pada tahun 1887, bersamaan dengan selesainya jalur rel yang menuju Pelabuhan

Cilacap tanggal 20 Juli 1887.35 Dengan selesainya pembangunan ini, Stasiun Tugu

bisa bersaing dalam bidang pengangkutan barang seperti yang dilakukan oleh

Stasiun Lempuyangan dibawah manajemen NISM.36 Bangunan Stasiun Tugu

bergaya Art-Deco yang ditandai dengan penggunaan sudut yang kokoh.

Stasiunnya sendiri terdiri dari sebuah bangunan stasiun besar dengan atap dari

besi bengkok dan dua sisi atap berbentuk sadel di kedua sisinya.37

Pembangunan Stasiun Tugu, selain sebagai bagian dari usaha pemerintah menghubungkan seluruh pulau Jawa dengan jalur kereta api untuk kepentingan pertahanan dan keamanan serta menjalankan fungsi pemerintahan, juga digunakan untuk memudahkan transportasi gula dari pabrik-pabrik di daerah Yogyakarta,

34

Zuhdi, Susanto, op.cit., Hal. 43. Untuk seterusnya, jarak dari jalur

Yogyakarta-Cilacap bisa dibulatkan menjadi 187,5 Km. 35

Putra, Tiyas Adi, 2012, “Latar Belakang Pemilihan Lokasi Stasiun Tugu

dan Stasiun Lempuyangan Yogyakarta”, Skripsi, Universitas Gajah Mada,

unpublished. Hal. 28-29 36

Zuhdi, Susanto, op.cit., Hal. 66. Selesainya jalur ini merupakan wujud

dari persaingan dagang dengan NISM yang memiliki jalur menuju Pelabuhan Semarang.

37

59

terutama pabrik gula di wilayah Barat Yogyakarta, seperti di Rewulu, Klaci, Sedayu, dan Sewugalur (Kulon Progo), seperti tampak pada potongan peta di halaman berikutnya:

Gambar 3.1, Peta Jalur Kereta Api Yogyakarta Yang Melewati Sebelah Barat

Yogyakarta.38

Sumber: http://media-kitlv.nl/all-

media/indeling/detail?q_searchfield=ppn:85073701X diakses tanggal 28 Oktober 2013

Meskipun SS sempat rugi pada masa awal pendirian Stasiun Tugu, karena pabrik-pabrik gula di sebelah barat Yogyakarta masih mengikat kontrak dengan Pelabuhan Semarang, pada tahun 1888 mulai nampak keuntungan yang didapat karena biaya pengangkutan dengan jalur kereta api menuju Pelabuhan Cilacap lebih murah dibandingkan dengan menuju Pelabuhan Semarang. Sebagai contoh, Pabrik Gula Sewugalur di Kulonprogo harus menghabiskan biaya f 70.200 dengan rincian f 8.040 untuk pengangkutan dari Wates ke Yogyakarta, f 44.160 untuk pengangkutan dari Yogyakarta ke Semarang, serta 18.000 untuk biaya pengapalan. Bandingkan dengan pengangkutan ke Pelabuhan Cilacap yang hanya

38

Perhatikan objek merah berbentuk rumah dengan kepulan asap yang menandakan pabrik gula. Stasiun Tugu sendiri terletak di pusat Kota Yogyakarta, perhatikan garis hitam yang menandakan rel kereta api.

60

menghabiskan biaya f 53.100 dengan rincian f 41.100 untuk biaya angkut dari

Wates ke Pelabuhan Cilacap dan f 12.000 untuk biaya pengapalan.39 Selisih yang

ada sebesar f 17.100 cukup membuktikan bagaimana jarak antara perusahaan gula di sebelah barat Yogyakarta lebih menguntungkan untuk mengirim barang produksinya lewat Pelabuhan Cilacap dengan menggunakan jasa kereta api SS.

Untuk melihat kerugian dan keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan kereta api SS di Jalur Yogyakarta-Cilacap, bisa dilihat pada tabel di halaman berikutnya:

Tabel 3.2 Jumlah Keuntungan Dan Kerugian Perusahaan SS Di Jalur Yogyakarta- Cilacap.

Tahun Kerugian Keuntungan

1887 F 13.060 - 1888 - F 35.185 1889 - F 26.935 1890 - F 156.762 1891 - F 215.217 1892 - F 152.320 1893 - F 284.876 1894 - F 243.095 Jumlah F 1.123.412

Sumber: Susanto Zuhdi, CILACAP (1830-1942): Bangkit dan Runtuhnya Suatu

Pelabuhan di Jawa, (Jakarta:2002) Hal. 46

Ternyata muncul kebutuhan untuk menghubungkan Stasiun Tugu dan Stasiun Lempuyangan. Pada Tahun 1887 Stasiun Tugu melayani kereta SS dan NIS walaupun bangunan stasiun tersebut dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda. Akhirnya, agar dapat terhubung pada tanggal 14 Juni 1895 dibuat kesepakatan antara SS dengan NISM agar dibangun rel ketiga yang dapat melewati jalur timur

39

61

dan barat Stasiun Tugu dengan beberapa peryaratan, diantaranya biaya pemasangan rel yang ditanggung pemerintah Hindia Belanda, batang rel tersebut menjadi milik NISM, dan angkutan lokal Yogyakarta-Solo sampai Srandakan,

Bantul dimonopoli oleh NISM.40

Besoknya, tanggal 15 Juni 1895, jalur tersebut dapat dipakai untuk pengangkutan barang baik bagi kereta api yang transit maupun kereta api ekspres milik negara. Stasiun Tugu akhirnya mempunyai dua macam jalur, yaitu jalur utara yang dilalui oleh trem NISM dengan jurusan Magelang dan Ambarawa dan kereta SS dengan jurusan Bandung-Batavia-Surabaya. Sedangkan pada jalur selatan dipergunakan oleh kereta NISM dengan jurusan Solo, Kota Gede dan

Brosot.41 Sejak tahun 1929 terdapat dua jalur yang saling berdekatan, dimana jalur

besar yang menyimpang menuju Solo dan jalur kecil yang menuju Surabaya. Perkembangan Stasiun Tugu terus terjadi di tahun-tahun berikutnya, Salah satunya adalah penambahan jalur pada tahun 1894, dimana dibuka jalur antara

Batavia-Buitenzorg-Yogyakarta-Surabaya. Dibukanya jalur barat (westerlijnen)

dan jalur timur (oosterlijnen) pada tahun 1894 itu, maka jarak antara Batavia-

Surabaya via Yogyakarta yang sepanjang 800 km dapat ditempuh hanya dalam

waktu 13,5 jam saja.42

40

Widi Wardojo, Waskito, 2012, “Jalur Kereta Api Semarang-Surakarta &

Perubahan Sosial Ekonomi Di Karesidenan Surakarta”, Tesis, Universitas Gajah

Mada, unpublished Hal. 88

41

Ibid.

42

Riyanto, Bedjo, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa

62

Pada tahun 1906 dibuka lagi jalur Batavia-Krawang-Bandung-Yogyakarta- Surakarta-Surabaya. Tahun 1912, dibuka jalur melalui Cirebon dengan jurusan Batavia-Cirebon-Semarang-Surabaya yang disambung ke Yogyakarta pada tahun 1917 dengan jalur Batavia-Cirebon-Kroya-Yogyakarta-Surabaya. Dengan pembangunan jalur-jalur tersebut, terbukalah akses di Pulau Jawa yang menghubungkan pintu masuk di utara (Semarang, barat (Batavia), Timur (Surabaya) dan Selatan (Cilacap).

Perkembangan Stasiun Tugu tidak hanya dalam penambahan jalur-jalurnya saja, tetapi juga dalam muatan yang diangkutnya. Bila semula tujuan dibentuknya Stasiun Tugu adalah untuk mengangkut hasil bumi dari perkebunan maupun pabrik-pabrik di Yogyakarta, dengan terbukanya akses menuju berbagai wilayah di Jawa serta lokasi dari stasiun yang strategis membuat SS mulai berpikir untuk mengangkut penumpang. Pertimbangan ini dikarenakan pemerintah Hindia Belanda membutuhkan sarana kereta api untuk mengangkut penumpang dari Batavia menuju Surabaya, karenanya dibutuhkan stasiun yang bisa mengangkut

penumpang di Vorstenlanden. Pada tahun 1905, Stasiun Tugu mulai melayani

kereta penumpang.43

Untuk mengakomodasi penumpang kereta api, Stasiun Tugu mengadakan renovasi pada struktur bangunannya. Pada tahun 1906, Stasiun Tugu mulai mendapatkan sambungan listrik. Hal ini penting untuk mengakomodasi penerangan bagi penumpang di malam hari. Pada tahun 1927 stasiun tersebut

43

Sulistyani, Harmilyanti, 2010, “Tata Ruang Dalam Bangunan Stasiun

KA di Jalur Semarang-Vorstenlanden Periode 1864-1930”, Tesis, Universitas

63

direnovasi dan diperbesar untuk memfasilitasi kereta barang dan penumpang agar tidak mengganggu kegiatan operasionalnya serta menambah keamanan dan kenyamanan dalam pelayanan jasa kereta api.