• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bioekologi spesies tumbuhan asing invasif 1 Babadotan ( Ageratum conyzoides )

5.2 Keanekaragaman Spesies Tumbuhan Asing Invasif 1 Jumlah spesies tumbuhan asing invasif

5.2.3 Bioekologi spesies tumbuhan asing invasif 1 Babadotan ( Ageratum conyzoides )

Ageratum Conyzoides (Gambar 11) tersebar secara alami di Amerika Tengah, Amerika Utara dan Amerika Selatan (Webber 2003). Spesies ini merupakan herba semusim yang tumbuh di atas tanah-tanah pertanian, perkebunan dan di tepi jalan dan merupakan salah satu spesies tumbuhan asing invasif (Webber 2003). A.conyzoides tersebar pada tingkat yang cukup mengkhawatirkan dan termasuk spesies tumbuhan asing paling invasif di India, China, Thailand, Indonesia dan Australia (Kohli et al. 2009). Biotrop (2011) menyatakan A. conyzoides pertama kali diintroduksi ke Indonesia sekitar tahun 1900-an dan sampai saat ini telah tersebar ke seluruh wilayah Indonesia. Di Cagar Alam Kamojang, spesies ini tidak terlalu dominan dengan INP sebesar 5,25%.

Gambar 11 Babadotan (Ageratum conyzoides).

Spesies A. conyzoides yang telah dewasa mampu menghasilkan benih berukuran kecil dengan jumlah biji mencapai 40.000 benih, dapat tersebar oleh angin atau air dan mampu tumbuh dengan baik pada kondisi yang beragam (Holm

et al. 1977 diacu dalam Kohli et al. 2009). Benih A. conyzoides diketahui mengandung zat alelopati dan dapat menekan pertumbuhan spesies lain. Invasi oleh A. conyzoides di beberapa wilayah mampu menurunkan jumlah spesies tumbuhan lainnya, kepadatan dan biomassa sehingga mempengaruhi struktur dan komposisi vegetasi alami serta menurunkan keanekaraman hayati (Singh et al.

bersifat intoleran sehingga pertumbuhannya dapat tertekan apabila berada di bawah naungan.

2. Harees (Rubus moluccanus)

Rubus moluccanus (Gambar 12) termasuk semak belukar merambat, tumbuh mengikat dan mengkompetisi dengan cara menaungi tumbuhan yang dirambatinya (Ang et al. 2010). R moluccanus tersebar secara luas di Asia Tenggara dan wilayah pasifik pada hutan alam, hutan tanaman, area yang terganggu atau di lahan basah (ISSG 2005). Spesies ini tumbuh alami di kawasan Himalaya (meliputi Malaysia sampai Australia), Pulau Solomon, New Caledonia, Kepulauan Fiji dan diintroduksi di wilayah Indonesia, Philipina, Thailand, Vietnam, Andaman dan Kepulauan Nicobar (ISSG 2005). Di Cagar Alam Kamojang, spesies ini memiliki nilai INP sebesar 3,17% dan tidak mendominasi komunitas tumbuhan yang lainnya. Rendahnya nilai INP R. moluccanus di Cagar Alam Kamojang disebabkan oleh dominansi spesies lainnya yang cukup menguasai komunitas tumbuhan yang lainnya.

Gambar 12 Harees (Rubus moluccanus).

Ang et al. (2010) menyatakan biji dari dari R. moluccanus dapat tersebar oleh burung dan mamalia terestrial sehingga penyebarannya cukup luas. Spesies ini menyebar terbatas di daerah pantai, daerah pedalaman hutan dan sebagian terdapat di tepi hutan dan hutan sekunder yang relatif terbuka (Ang et al. 2010). Meskipun bersifat invasif di luar distribusi alaminya, R. moluccanus dilaporkan terancam terinvasi oleh introduksi spesies asing lainnya (Ang et al. 2010).

3. Harendong bulu (Clidemia hirta)

Clidemia hirta merupakan spesies yang memiliki sebaran distribusi alami di wilayah Amerika Utara terutama di Meksiko dan Amerika Selatan (Gambar 13). Menurut Biotrop (2011) C. hirta menyebar secara luas ke seluruh wilayah Indonesia terutama di Pulau Jawa.

Sumber: Walt (2003)

Gambar 13 Sebaran geografis C. hirta pada habitat alami (lingkaran) dan daerah introduksinya (kotak).

Keberadaan C. hirta di kawasan Cagar Alam Kamojang tidak terlalu mendominasi komunitas tumbuhan yang lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan INP

C. hirta sebesar 8,78%. Spesies ini ditemukan di lokasi-lokasi yang relatif terbuka dengan akses cahaya matahari yang cukup. Wester dan wood (1977) diacu dalam Walt (2003) menyatakan C. hirta tumbuh pada area yang terganggu baik secara alami maupun akibat gangguan manusia dengan kondisi iklim yang hampir sama dengan habitat alaminya.

Prinando (2011) menyatakan bahwa spesies ini memiliki dominansi yang cukup mempengaruhi komunitas tumbuhan bawah lainnya di Kampus IPB Darmaga. Spesies C. hirta merupakan spesies pionir yang cepat tumbuh dan bersifat intoleran (Webber 2003). Kemampuan menghasilkan biji yang banyak dan didukung oleh persebaran biji yang dapat dilakukan oleh satwa memungkinkan spesies ini dapat menyebar secara luas. Walt (2003) menyatakan

C. hirta dikenal sebagai spesies yang agresif dan mampu merusak pada area hutan yang terbuka di Kepulauan Hawai, Amerika, Fiji, dan Asia Tenggara.

4. Jampang kawat (Cynodon dactylon)

Cynodon dactylon (Gambar 15) memiliki sebaran distribusi yang luas dan diketahui berasal dari Afrika (Halvorson 2003). Spesies ini dapat ditemukan pada daerah perairan atau lahan basah (ISSG 2005). Keberadaan C. dactylon di Cagar Alam Kamojang memiliki INP sebesar 6,85%. Hal ini menunjukkan bahwa spesies tumbuhan asing invasif ini tidak mendominasi komunitas tumbuhan di Cagar Alam Kamojang. Rendahnya INP C. dactylon diduga akibat spesies ini tidak mampu bersaing dengan teklan (Ageratina riparia).

Gambar 15 Jampang kawat (Cynodon dactylon)

Halvorson (2003) menyatakan C. dactylon sangat membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi untuk perkembangannya dan tidak dapat tumbuh dengan baik pada area yang ternaungi. Proses invasi C. dactylon disebabkan oleh sistem regenerasi yang menyebar dengan cepat melalui rhizoma dan stolon kemudian menyingkirkan spesies asli dan mencegah regenerasi alaminya (Webber 2003). ISSG (2005) menyatakan spesies ini diduga dapat ditemukan di wilayah tropis

dengan curah hujan 600 - 1800 mm/tahun. C. dactylon dikenal sebagai tumbuhan yang banyak digunakan untuk berbagai tujuan seperti pengendali erosi, sumber pakan ternak, dan obat herbal (ISSG 2005). Meskipun C. dactylon dapat dimanfaatkan untuk beberapa tujuan, namun spesies ini termasuk gulma penting dalam lahan-lahan yang dibudidayakan (Sastroutomo 1990).

5. Jukut lempuyang (Panicum repens)

Panicum repens (Gambar 16) merupakan gulma penting di wilayah Asia Tenggara (Holm et al. 1977 diacu dalam PIER 2010). Spesies ini diperkirakan berasal dari daerah tropis Afrika (Afrika Utara) atau daerah Mediterania (ISSG 2005). Spesies P. repens tersebar secara luas di daerah tropis dan subtropis dan diintroduksi ke wilayah Jawa pada tahun 1850 (Anonim 2011). Tingkat dominansi spesies ini di Cagar Alam Kamojang tidak terlalu menguasai komunitas tumbuhan di lingkungannya. Hal ini ditunjukkan dengan nilai INP P. repens sebesar 4,03%. Rendah tingkat dominansi P. repens di Cagar Alam Kamojang disebabkan dominansi spesies tumbuhan invasif yang lainnya seperti teklan (A. riparia) atau kirinyuh (A. inulifolium).

Gambar 16 Jukut lampuyang (Panicum repens).

Holm et al. (1977) diacu dalam PIER (2010) menyatakan bahwa spesies ini tercatat sebagai gulma pertanian di 27 negara. Spesies P. repens memiliki pertumbuhan yang agresif dalam kondisi yang menguntungkan untuk menjadi invasif. Smith et al. (1993) menyatakan pertumbuhan agresif pada P. repens

ditunjang oleh sistem rizoma yang luas. Spesies ini mampu menggantikan spesies tumbuhan asli terutama pada daerah perairan dangkal (Smith et al. 1993).

6. Jukut riut (Mimosa pudica)

Mimosa pudica (Fabaceae) merupakan semak kecil yang bersifat sensitif dengan ciri daun yang dapat menutup dengan sendirinya saat disentuh dan membuka kembali setelah beberapa lama. M. pudica diketahui berasal dari Amerika Selatan dan diintroduksi ke beberapa negara sebagai tanaman hias (ornamental) (ISSG 2005). Biotrop (2011) menyatakan M. pudica pertama kali ditemukan di Kebun Tembakau Deli, Sumatera Utara dan saat ini telah menyebar ke seluruh Indonesia. Keberadaan M. pudica di Cagar Alam Kamojang tersebar di tepi jalan PLTP Kamojang dengan INP sebesar 2,14%. Hal ini diduga frekuensi pertemuan dengan M. pudica di Cagar Alam Kamojang hanya ditemukan di tepi jalan (Gambar 17b). Selain itu, spesies ini bersifat intoleran sehingga tidak mampu tumbuh dibawah vegetasi yang lebih tinggi atau dibawah kanopi hutan (ISSG 2005).

Gambar 17 (a) Jukut riut (Mimosa pudica), (b) Lokasi M. pudica sering ditemukan (tanda merah).

Spesies M. pudica tumbuh pada tanah yang berdrainase baik dan memiliki konsentrasi nutrisi yang rendah. Holms et al.(1977) diacu dalam ISSG (2005) menyatakan bahwa spesies ini mampu tumbuh pada ketinggian 1-1300 mdpl dengan curah hujan sekitar 1000 - 2000 mm/tahun. Di Philipina, spesies ini berbunga sepanjang tahun dan diduga setiap tanaman memproduksi 675 biji per tahunnya ( Holms et al. 1977 diacu dalam Anonim 2011). Kemampuan reproduksi yang sangat tinggi pada spesies ini diduga menjadi faktor yang menunjang M.

pudica menjadi gulma lahan pertanian di 38 negara terutama di wilayah Asia Tenggara (Holms et al. 1977 diacu dalam Anonim 2011).

Pengendalian M. Pudica di beberapa tempat dilakukan dengan cara pembakaran. ISSG (2005) menyatakan kebakaran yang berulang merangsang M. pudica untuk menyebar luas pada tipe ekosistem savana. Beberapa penelitian telah mencoba untuk mengendalikan penyebaran M. pudica dengan cara mengintroduksi musuh alaminya seperti serangga Lophocampa catenulata

(Yaseen 1971 diacu dalam Anonim 2011). 7. Kalimusa (Mimosa pigra)

Mimosa pigra (Gambar 18) merupakan gulma invasif yang memiliki distribusi sebaran yang luas. ISSG (2005) mengklasifikasikan spesies ini sebagai 100 spesies tumbuhan paling invasif. Spesies ini diketahui berasal dari wilayah tropis Amerika yaitu Meksiko, Amerika Tengah dan Amerika Selatan dan menginvasi secara luas ekosistem di Afrika, Asia Tenggara dan Australia (ISSG 2005, Beilfuss 2007, Thomas 2007). Keberadaan M. pigra di Cagar Alam Kamojang ditunjukkan dengan INP sebesar 4,42%. INP M. pigra yang kurang dari 10% menunjukkan bahwa spesies ini tidak mendominasi komunitas tumbuhan di lingkungannya. Sama halnya seperti Mimosa pudica, rendahnya nilai INP M. pigra diduga akibat spesies ini lebih banyak tersebar di tepi jalan sehingga tidak tercakup ke dalam plot pengamatan.

Spesies M. pigra berpotensi menyebar luas melalui ekosistem padang rumput alami dan mengubahnya menjadi semak belukar yang tidak produktif sehingga memiliki tingkat keanekaragaman yang rendah (Thomas 2007). Di beberapa wilayah Asia Tenggara seperti Vietnam, M. pigra telah menginvasi ekosistem yang khas di dalam kawasan yang dilindungi yang mengancam keanekaragaman hayati di kawasan tersebut (Thomas 2007).

Proses invasi oleh M. pigra di luar distribusi alaminya tidak lepas dari kemampuan berkembangbiaknya. Thomas (2007) menyatakan M. pigra dapat berkembangbiak sepanjang tahun pada kondisi tanah yang basah tetapi tidak tergenang. Proses perkecambahan dan pembungaan berkisar antara 4 sampai 12 bulan. Lonsdale (1992) diacu dalam Thomas (2007) menyatakan setiap tumbuhan

M. pigra rata-rata menghasilkan biji lebih dari 9000 biji per tahunnya.

Pengendalian terhadap spesies tumbuhan asing invasif M. pigra telah banyak dilakukan dengan berbagai upaya diantaranya upaya pembakaran, penggunaan herbisida dan pemberantasan secara manual (Beilfuss 2007). Selain upaya tersebut, upaya pengendalian menggunakan musuh alami M. pigra juga dilakukan dengan mengintroduksi serangga Macaria pallidata dan Leuciris fimbriaria (Heard et al. 2010).

8. Kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium)

Austroeupatorium inulifolium merupakan salah satu spesies dari golongan Eupatorium yang telah menginvasi dan bernaturalisasi di wilayah Indonesia dan Sri Lanka (McFayden 2003). Sebaran distribusi alami dari spesies ini terdapat di daerah tropis Amerika (Biotrop 2011). A. inulifolium ditemukan pertama kali di Kebun Raya Bogor kemudian menyebar secara liar dan bernaturalisasi di perkebunan teh (Biotrop 2011). Penyebaran spesies ini ditemukan juga di Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat dan menyebar luas di seluruh Pulau Jawa dan Sumatera pada ketinggian tempat yang cukup tinggi (Biotrop 2011). ISSG (2005) menyatakan spesies ini tumbuh dengan baik di daerah yang terbuka (savana, daerah yang terganggu, tepian hutan) dengan ketinggian 100 sampai dengan 2100 mdpl.

Gambar 19 Komunitas A. inulifolium yang mendominasi di Cagar Alam Kamojang.

Keberadaan A. inulifolium di Cagar Alam Kamojang tergolong tinggi dengan INP sebesar 67,37%. INP A. inulifolium menunjukkan spesies tersebut mendominasi komunitas tumbuhan yang lainnya dan menginvasi kawasan Cagar Alam Kamojang (Gambar 19). Kemampuan menginvasi A. inulifolium di Cagar Alam Kamojang dipengaruhi juga oleh kondisi kawasan yang terganggu. Hsu et al. (2006) menjelaskan bahwa A. inulifolium merupakan spesies semak belukar yang agresif dan merupakan spesies pionir yang tumbuh cepat pada lahan yang terdegradasi (terbuka dari naungan). Bunga A. inulifolium yang ringan dapat tersebar dengan mudah oleh angin sehingga memiliki kemampuan untuk menginvasi daerah-daerah yang terbuka dalam jangka waktu yang pendek (ISSG 2005).

Kerapatan A. inulifolium yang tinggi pada area hutan yang terbuka dapat menghambat pertumbuhan dari spesies lokal. Spesies ini dapat berkompetisi dengan spesies lokal secara agresif dengan menggunakan zat alelopati sehingga menekan regenerasi dan pertumbuhan spesies lokal (Hsu et al. 2006; Bosu et al.

2009). Upaya pengendalian terhadap A. inulifolium sudah banyak dilakukan di beberapa negara dengan memanfaatkan musuh alaminya. Upaya kontrol biologi dilakukan dengan mengintroduksi Pareuchaetes pseudoinsulata dan Cecidochares connexa (Muniappan 2011).

9. Nagri (Passiflora edulis)

Passiflora edulis (Gambar 20) merupakan salah satu spesies tumbuhan asing invasif yang ditemukan di Cagar Alam Kamojang. Spesies P. edulis diketahui berasal dari Amerika Selatan (ISSG 2005, Biotrop 2011). Distribusi P. edulis di Indonesia tersebar di Pulau Sumatera, Jawa dan Sulawesi (Biotrop 2011). Heriyanto dan Sawitri (2006) menyatakan spesies ini ditanam pada tahun 1930 di Kebun Raya Cibodas sebagai tanaman percobaan. Di Cagar Alam Kamojang, P. edulis hanya memiliki INP sebesar 3,89% berbeda dari famili Passifloraceae lainnya yaitu konyal (P.ligularis) yang memiliki INP sebesar 8,09%.

Gambar 20 Nagri (Passiflora edulis).

Spesies P. edulis merupakan tumbuhan tahunan yang hidup merambat. Sastrapradja (1977) diacu dalam Heriyanto dan Sawitri (2006) menyatakan bahwa di Indonesia, P. edulis banyak terdapat di hutan pegunungan sebagai tumbuhan liar pada ketinggian minimal 1000 mdpl. Perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan biji atau stek batang. Buah dari P. edulis bersifat edibel (dapat dimakan) dan menjadi salah satu sumber pakan satwa di hutan sehingga penyebaran bijinya dapat dilakukan oleh satwa (Heriyanto & Sawitri 2006). Di Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, spesies ini berpotensi menjadi spesies tumbuhan asing invasif karena berasosiasi kuat dengan spesies-spesies asli seperti

Castanopsis argentea, Altingia excelsa, Villebrunea rubescens dan Schima Walichii (Heriyanto & Sawitri 2006).

10. Saliara (Lantana camara)

Lantana camara merupakan tumbuhan semak belukar yang memiliki distribusi alami di daerah tropis Amerika Selatan dan Amerika Utara (Webber 2003). Spesies ini diintroduksi sebagai tanaman hias kemudian menyebar secara cepat dan menjadi tumbuhan pengganggu yang serius di daerah tropis dan subtropis (Gambar 21) (Kohli et al. 2009). Berdasarkan data ISSG (2005)

Lantana camara termasuk ke dalam 100 spesies tumbuhan asing paling invasif di dunia.

Sumber: Day et al.2003

Gambar 21 Distribusi geografi alami (hijau) dan daerah introduksi (merah)

Lantana camara.

Penyebaran L. camara di Indonesia pertama kali ditemukan Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi (Biotrop 2011). Keberadaan spesies ini di Cagar Alam Kamojang memiliki INP sebesar 15,37% dan merupakan spesies yang cukup berpengaruh terhadap komunitas tumbuhan yang lainnya. Di Cagar Alam Kamojang, terutama daerah yang terbuka, spesies ini ditemukan tumbuh dengan spesies lainnya seperti kaso (S. spontaneum) dan kirinyuh (A. inulifolium) sehingga menyebabkan spesies lokal yang lainnya terkompetisi (Gambar 22).

Gambar 22 Saliara (L. camara) yang tumbuh bersama kaso (S. spontaneum) dan kirinyuh (A. inulifolium).

Sebaran distribusi L. camara yang luas dan beragam menunjukkan spesies ini memiliki toleransi terhadap kondisi ekologi yang tinggi. Day et al. (2003) menyatakan L. camara dapat tumbuh dengan baik pada kondisi yang terbuka seperti pada tanah yang tidak diolah, daerah hutan yang terbakar atau daerah bekas penebangan. Di beberapa wilayah, L. camara menginvasi daerah-daerah yang terganggu seperti kawasan hutan yang terbuka, lahan pertanian dan ladang penggembalaan (Kohli et al. 2009).

Sharma et al. (2005) diacu dalam Fan et al. (2010) menguraikan faktor biologi dan ekologi seperti kandungan alelopati, sifat toleran terhadap api dan interaksi dengan berbagai satwa mendukung L. camara menjadi invasif di daerah yang terganggu. Kemampuan L. camara memproduksi biji pada kondisi yang optimal sangat tinggi mencapai 10.000 - 20.000 biji per tanaman dan dapat tersebar secara luas melalui satwa atau aktivitas manusia (Kohli et al. 2009). Di luar habitat alaminya, L. camara dapat menekan pertumbuhan spesies lokal dengan memproduksi senyawa alelopati dan senyawa kimia lainnya (Kohli et al.

2009).

11. Sembung rambat (Mikania micrantha)

Mikania micrantha (Gambar 23) merupakan tumbuhan merambat yang memiliki pertumbuhan sangat cepat dan termasuk ke dalam 100 spesies tumbuhan asing paling invasif (ISSG 2005). Menurut Webber (2003) M. micrantha tersebar alami di Amerika Utara (Meksiko) dan Amerika Selatan. Spesies ini pertama kali

diintroduksi ke Indonesia melalui Kebun Raya Bogor pada tahun 1949, kemudian menyebar luas di seluruh Indonesia dan diketahui telah menggantikan Mikania cordata yang merupakan spesies asli Indonesia (Biotrop 2011).

Keberadaan M. micrantha di Cagar Alam Kamojang memiliki INP 6,83% dan menunjukkan spesies ini tidak mendominasi komunitas tumbuhan yang lainnya di Cagar Alam Kamojang. M. micrantha ditemukan di daerah yang terbuka dan merambat pada spesies-spesies pohon di sekitarnya. Menurut Webber (2003) spesies ini tumbuh alami pada hutan yang terbuka dan daerah-daerah di sekitar mata air.

Gambar 23 Sembung rambat (Mikania micrantha).

Meskipun M. micrantha tidak mendominasi komunitas tumbuhan yang lainnya di Cagar Alam Kamojang, namun spesies ini mampu menghambat petumbuhan pohon yang dirambatinya dengan menutupi seluruh tajuknya. Yau- Lun (2011) menjelaskan ketika M. micrantha menutupi seluruh tajuk pohon maka tidak hanya mempengaruhi proses fotosintesis tumbuhan tetapi juga mengganggu habitat burung.

Regenerasi M. micrantha dilakukan secara generatif dan secara vegetatif. Regenerasi secara generatif dilakukan dengan memproduksi biji dalam jumlah banyak dan dapat tersebar oleh angin, air atau satwa sehingga mampu tersebar secara luas (Webber 2003). M. micrantha merupakan spesies yang bersifat intoleran terhadap naungan sehingga benih dari M. micrantha tidak dapat bertahan pada intensitas cahaya kurang dari 2% (Yau-Lun 2011). Pengendalian terhadap

spesies tumbuhan asing invasif M. micrantha dilakukan secara manual (pemotongan, pencabutan dan penggalian) atau dengan menggunakan herbisida yang biasa digunakan untuk mengendalikan M. micrantha. Selain upaya tersebut, pengendalian M. micrantha di daerah yang terinvasi dilakukan dengan menggunakan serangga musuh alaminya (Abraham et al. 2002).

12. Seuseureuhan (Piper aduncum)

Piper aduncum (Gambar 24) merupakan tumbuhan yang memiliki distribusi alami di daerah tropis Amerika Tengah dan Selatan (dari Meksiko sampai Bolivia) (Jan et al. 2002). Backer et al. (1963) diacu dalam Jan et al. (2002) menyatakan P. aduncum diintroduksi ke Indonesia pada tahun 1860. Keberadaan P. aduncum di Cagar Alam Kamojang tidak begitu mendominasi dengan INP sebesar 5,91%. Rendahnya INP P. aduncum dipengaruhi oleh jumlah individu dan frekuensi perjumpaan pada plot pengamatan yang rendah.

Gambar 24 Seuseureuhan (Piper aduncum).

Di beberapa wilayah seperti Papua New Guinea, P. aduncum adalah spesies tumbuhan asing yang telah menginvasi wilayah tersebut selama tiga dekade terakhir (Jan et al. 2002). Berdasarkan Jan et al. (2002) menyatakan P. aduncum

menjadi spesies asing yang mampu menekan spesies pionir yang lainnya dan memiliki dominansi yang tinggi terhadap habitatnya. Menurut Hiratsuka et al.

(2006) diacu dalam Tan et al. (2008) P. aduncum memiliki relung ekologi yang sama dengan Macaranga gigantea, M. hypoleuca, Mallotus panniculatus, melastoma malabathricum dan Trema cannabina di hutan Kalimantan Timur sehingga berpotensi menjadi invasif. Faktor-faktor yang mempengaruhi P.

aduncum sukses menginvasi suatu wilayah disebabkan spesies ini memiliki distribusi geografi alami yang luas, mengkolonisasi pada area yang terganggu secara agresif, memiliki biji yang relatif kecil, periode anakan yang pendek (cepat dewasa), produksi biji yang tinggi setiap tahun dan mudah tersebar oleh angin atau satwa (Jan et al. 2002, Haetmink 2001).

13. Teklan (Ageratina riparia)

Ageratina riparia (Gambar 25) merupakan tumbuhan yang berasal dari Amerika Tengah dan menjadi spesies tumbuhan asing invasif yang mengancam di beberapa daerah tropis yang beriklim hangat (Fröhlich et al. 2000). A. riparia

diintroduksi ke beberapa daerah tropis sebagai tumbuhan hias sebelum tersebar sangat luas dan menjadi invasif di daerah tersebut (Barreto & Evans 1988 diacu dalam Zancola et al. 2000).

Di Cagar Alam Kamojang, A. riparia merupakan spesies dengan INP tertinggi kedua setelah A. inulifolium yaitu sebesar 46,15% dan merupakan spesies yang mendominasi komunitas tumbuhan yang lainnya. Keberadaan A. riparia

yang dominan di Cagar Alam Kamojang diduga akibat pertumbuhan spesies ini yang agresif dan cepat tumbuh pada kondisi daerah yang terbuka. Fröhlich et al.

(2000) menyatakan A. riparia merupakan tumbuhan yang bersifat semi toleran terhadap naungan sehingga spesies ini masih tetap mendominasi kawasan cagar alam meskipun ternaungi oleh A. inulifolium dan spesies lainnya.

Gambar 25 Teklan (Ageratina riparia).

Kemampuan spesies ini untuk menginvasi suatu ekosistem didukung oleh kemampuan memproduksi biji yang tinggi. Barreto dan Evans (1988) diacu dalam

Zancola et al. (2000) menyatakan bahwa satu tanaman A. riparia dapat menghasilkan 7000 sampai dengan 10.000 biji per musim dan dapat tersebar dengan luas oleh angin, air atau satwa. Fröhlich et al. (2000) menyatakan A. riparia menginvasi beragam habitat termasuk hutan alam dan dapat menggantikan spesies yang langka dan regenerasi yang terbatas. Kontrol biologi A. riparia

dilakukan dengan menggunakan jamur putih (Entyloma ageratinae) dan serangga

Procecidochares alani atau Oidaematophorus beneficus yang hanya menyerang

A. riparia (Fröhlich et al. 2000; Barton et al. 2007).

5.3 Pola Penyebaran Spasial Spesies Tumbuhan Asing Invasif