• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III USAHA MEMAKNAI PENDERITAAN MANUSIA MENURUT

3. Cara Mengatasi Penderitaan

Pada bagian di atas diuraikan beberapa contoh penderitaan manusia. Penderitaan dapat terjadi oleh karena kesalahan yang kita lakukan sendiri, ada juga penderitaan yang dikarenakan orang lain, demi tugas perutusan, disebabkan oleh bencana alam, dan penyakit menular/mematikan. Berikut penulis memaparkan beberapa cara mengatasi penderitaan manusia.

a. Penderitaan Karena Diri Sendiri

Dengan melakukan kesalahan kita dapat belajar dari pengalaman, memperbaiki kesalahan dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Jika kita melakukan kesalahan pada awalnya, kita tidak akan mengetahui akibat dari kesalahan tersebut. Melalui penderitaan yang disebabkan oleh sendiri: akibat melakukan perbuatan salah, kita dengan penuh kesadaran dan iman bertobat kepada Allah, mohon pengampunan. Dengan pertobatan, kita dituntun Allah ke jalan yang lebih baik lagi.

b. Penderitaan Karena Orang Lain

Penderitaan yang dikarenakan oleh orang lain ini merupakan unsur dari kejahatan “rusak dan kacaunya tatanan hidup, artinya tidak ada keharmonisan diantara keduabelah pihak”. Penderitaan yang disebabkan oleh orang lain, memberi gambaran kepada kita bahwa dunia ini semakin tidak aman. Situasi yang kurang baik ini jangan menjadikan kita takut untuk mengekspresikan diri. Terutama bagi kaum perempuan, selalulah bersikap hati-hati, menggunakan pakaian sopan, bila perlu berlatih ilmu bela diri untuk berjaga-jaga dari tindak criminal yang merajalela.

c. Penderitaan demi Orang Lain

Ada juga penderitaan demi orang lain, biasanya adalah demi tugas dan perutusan, orang-orang ini merasa terpanggil untuk melindungi sesamanya manusia dengan ajaran-aaran kebaikan “mewartakan kabar baik” tetapi, harus

mengalami ditolak seperti Paulus, dikhianati dan disiksa seperti Yesus bahkan sampai mati di kayu Salib demi menebus dosa manusia.

d. Penderitaan Karena Bencana Alam

Terkadang orang menyadari dirinya hidup tidak sendirian misalnya dengan peristiwa bencana alam seperti merapi, tsunami dan gempa bumi. Di snilah letak kebesaran Allah. Melalui peristiwa alam sangat dahsyat yang menelan banyak korban jiwa, manusia dipersatukan sebagai saudara satu Bapa, saling membantu, saling mengasihi, dan terpanggil untuk rela melayani sesama yang sedang dilanda bencana. Misalnya: bencana merapi yang terjadi pada tahun 2010 di Yogyakarta.

Pada saat bencana dahsyat letusan merapi terjadi, banyak orang kehilangan rumah, harta benda dan orang-orang yang dikasihi. Pada saat yang bersamaan juga, banyak saudara-saudari, mulai dari mahasiswa, biarawan-biarawati, bapak/ibu, anak-anak, tua/muda terpanggil dan terketuk hatinya membantu meringankan beban saudara/I yang tertimpa bencana. Ada yang menjadi relawan, donator, dll. hal ini menunjukan betapa besar kuasa dan rencana Allah dalam mempersatukan umat manusia yang tidak saling mengenal, berasal dari berbagai bagian pulau-pulau dan kota yang berbeda. Sungguh terlihat nyata semangat- semangat orang-orang dalam memberikan bantuan yang tidak habis-habisnya bagi para korban merapi. Jelas terasa dan dipahami bahwa ternyata ada makna yang sangat berharga dari peristiwa bencana alam yakni rasa persaudaraan, saling tolong-menolong, saling mengasihi, dan menghargai. Apakah harus ada bencana alam dulu, supaya manusia dapat melebur menjadi satu?

e. Penderitaan Karena Penyakit

Penderitaan yang disebabkan oleh penyakit ingin mengajak kita untuk bersikap pasrah pada kehendak Allah. Penyakit bukanlah kutukan dari Allah.

Penyakit ada di dunia untuk menyadarkan kita bahwa kita membutuhkan orang lain. Kita tidak bisa hidup sendirian. Oleh karena itu menjaga hubungan baik satu dan yang lain adalah hal yang sangat mulia dan dikehendaki Allah.

Penulis tertarik pada sebuah novel yang ditulis oleh Agnes Jessica dengan judul “Ungu”. Novel ini bercerita tentang bagaimana seorang Raja yang sangat berkuasa di langit sekaligus seorang Bapa yang mengutus Putera-Nya untuk melihat makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang ada di bumi. Di bumi sering terjadi kekacauan, manusia saling menghancurkan, saling menjatuhkan, hanya sedikit manusia yang sungguh-sungguh baik dan memiliki kerinduan akan Sang Penciptanya. Dalam Novel dikisahkan bagaimana hidup manusia dengan berbagai karakter dan permasalahannya. Di tengah kisah, ada dua orang tokoh pria (Lazuardy) dan wanita (Irene) yang sedang berbincang mengenai topic mengenai “hal buruk yang terjadi di dunia”. Rasa sakit selalu dinilai orang sebagai sesuatu yang buruk padahal sebenarnya tidak selalu begitu: “seperti ibu yang sedang melahirkan anak, sakitnya luar biasa. Tetapi setelah melahirkan bayinya, seorang ibu lupa akan sakitnya”. Si pria berkata: “pengertian membuat kita bisa memahami penyelesaian atas segala persoalan dan mengambil keputusan bagaimana harus bertindak”, kemudian si wanita menanggapi: “maksudmu apapun yang terjadi di dunia ini, kekacauannya, penderitaannya, susah dan derita, Tuhan biarkan terjadi untuk melahirkan sesuatu yang baik pada akhirnya?”. Kemudian si pria menjawab: “Ya”, “Ibarat sebuah cerita, bab satu sampai bab sembilan belas kacau balau, tetapi di bab dua puluh, tokoh utamanya menang, bukan?” si wanita ingin mempertegaskan pemahamannya (Agnes Jessica, 2011: 158).

Mungkin dapat dimengerti bahwa hidup ini ibarat cerita dalam sebuah novel, selalu terjadi kekacauan dan jika keadaan membaik maka cerita berakhir. Seperti

pada kisah Ayub, diawal cerita, Ayub dikisahkan sebagi manusia paling beruntung, setia dan takut akan Allah. Melihat kehidupan Ayub yang terbilang sempurna, iblis menjadi iri dan menghasut Allah supaya mengizinkan iblis untuk menimpa penderitaan kepada Ayub sebagai bentuk percobaan bagi kesetiaan Ayub akan Allah. Keyakinan Ayub akan Allah tidak tergoyahkan oleh semua penderitaan yang menimpanya. Berkat kesetianya itu, Allah mengembalikan kehidupan Ayub seperti semula, bahkan dua kali lipat dari sebelum Ayub dicobai. Cerita Ayub menghapus pendapat tentang adanya ikatan antara penderitaan dan hukuman atas kesalahan/dosa si penderita. Dengan memahami pengajaran Yesus, kita dapat melihat sebab-akibat langsung antara dosa dan penderitaan manusia tidak selalu ada. Oleh karenanya, dapat dimengerti mengapa orang yang tidak bersalah terkadang ditimpa penderitaan (Eilen Egan n Kathleen Egan, OSB., 2001:62). Seringkali penderitaan dialami oleh orang-orang yang tidak bersalah. Mengapa demikian? Ini menjadi pertanyaan yang sangat meresahkan bagi kita yang tidak pernah berhenti mencari makna dari peristiwa yang terjadi dalam hidup.

Ketika berbicara kepada kaum muda, ibu Teresa memberikan contoh-contoh nyata berkaitan dengan penderitaan orang-orang tidak berdosa, dan pentingnya memberikan penjelasan atau tanggapan mengenai masalah itu. Lewat pemahamannya yang sangat mendalam tentang kekuatan dari penderitaan orang- orang yang tidak bersalah, banyak anggota masyarakat yang terpinggirkan dan terbebani masalah, merasa kehilangan dan menderita, melihat kesengsaraan yang mereka alami dengan pandangan dan harapan yang baru (Eilen Egan-Kathlen Egan, 2001: 59).

Ibu Teresa adalah salah satu tokoh yang memusatkan perhatiannya kepada penderitaan orang-orang tidak bersalah sebagai jawaban atas pertanyaan,

“Mengapa Allah yang Mahakasih membiarkan penderitaan semacam itu terjadi. Anak-anak meninggal dunia karena kelaparan, banyak orang tewas karena bencana alam, misalnya gempa bumi di Guatemala, gunung merapi meletus pada tahun 2010 di Yogyakarta?”, dan masih banyak lagi. Dengan suara lirih, Ibu Teresa berkata (kutipan buku Eilen Egan-Kathlen Egan, 2001: 59):

Apa jadinya dunia tanpa semua penderitaan itu? Penderitaan orang-orang tidak berdosa, sama seperti penderitaan Yesus. Ia menderita untuk kita, dan penderitaan orang-orang tidak bersalah itu menyatu dengan penderitaan-Nya dalam penebusan. Inilah yang disebut membantu penebusan. Dengan cara inilah kita membantu menyelamatkan dunia dari hal-hal yang lebih buruk lagi.

“Bukankah dengan adanya kegelapan, maka terang dibutuhkan” (Agnes Jessica, 2011: 489). Terkadang kita harus mengalami sendiri apa yang disebut penderitaan supaya kita memahami untuk apa Allah yang Maha Kuasa membiarkan itu terjadi di dunia. Begitulah sifat Allah. Allah selalu mempunyai maksud yang misteri dan terlalu sulit dipahami oleh manusia bahkan memang tidak dapat dipahami manusia. Allah selalu mempunyai maksud dan tujuan dari setiap peristiwa hidup yang kita alami. Allah adalah transenden.

B. Relevansi Penderitaan Ayub Bagi Penderitaan Hidup Umat Kristiani di

Zaman Sekarang

1. Makna Penderitaan Manusia Menurut Pandangan Iman Kristiani

Sesungguhnya penderitaan tidak harus selalu dipandang buruk. Namun kebanyakan orang sudah menginterprestasikan bahwa penderitaan merupakan pengalaman sangat mengerikan. Tentu saja setiap orang menghendaki kebahagiaan, tidak ada yang ingin menderita. Namun perlu disadari bahwa penderitaan tidak dapat dipisahkan dari hidup manusia. Penderitaan adalah

peristiwa yang terjadi oleh adanya tujuan. Tujuan yang penulis maksud yakni karya keselamatan Allah yang tidak mampu diselami oleh pengetahuan manusia, ini dikarenakan manusia adalah makhluk yang terbatas (Atkinson, 2002: 54-55).

Intensitas penderitaan bertingkat-tingkat, dari yang terberat hingga ringgan. Persepsi pada setiap orang juga berpengaruh dalam menentukan intensitas penderitaan. Suatu kejadian dianggap penderitaan oleh seseorang belum tentu dianggap penderitaan bagi orang lain. Dalam artian suatu permasalahan sederhana yang dibesar-besarkan akan menjadi penderitaan mendalam apabila disikapi secara reaksioner oleh individu. Ada pula masalah urgen yang disepelekan juga dapat berakibat fatal dan menimbulkan kekacauan. Maksudnya adalah pengalaman penderitaan dapat dimaknai secara berbeda, mengapa begitu? karena semua tergantung pada tahap kesadaran, pemahaman, dan keyakinan seseorang yang berbeda-beda dalam melihat realitas Allah dalam hidupnya.

Sesungguhnya ukuran berat atau tidaknya suatu pengalaman penderitaan adalah tergantung pada bagaimana seseorang menanggapi penderitaan tersebut. Jika kita menerima pengalaman itu dengan iman, kita akan mengatakan bahwa penderitaan adalah suatu rahmat dari Tuhan yang dapat mendekatkan kita dengan Dia yang Mahakasih dan Mahakuasa (Atkinson, 2002: 167).

Menurut Leibniz, penderitaan adalah bagian dari kehidupan kita sebagai makhluk yang fana. Hanya Allah yang memiliki predikat bebas dari penderitaan. Walaupun demikian, penderitaan kita tidaklah tragis. Kita hanya perlu meyakinkan diri bahwa kita hidup di dunia yang tercipta oleh Allah yakni baik adanya (Budi Kleden, 2006: 105). Allah itu baik, kasih-nya kepada manusia tanpa batas. menciptakan dunia baik adanya, Dia tidak pernah mengehendaki penderitaan, tetapi manusia tidak luput dari pengalaman penderitaan, atau kebobrokan alami,

semua adalah kenyataan dari keterbatasan manusia. tidak seorangpun dapat mengelak dari kejahatan moral (KWI, 2007: 100).

Allah itu Maha Kuasa. Dia berkuasa atas langit dan bumi beserta isinya (Atkinson, 2002: 55). Manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada dirinya hari ini atau besok. Manusia hanya bisa pasrah dan berserah diri kepada kehendak Sang pencipta. Apapun yang terjadi pada manusia; kesedihan atau kegembiraan, suka atau duka, kebahagiaan atau penderitaam pasti tersembunyi makna dan tujuan di dalamnya.

a. Memahami arti penebusan dan makna penderitaan Yesus Kristus

Dapat dikatakan bahwa berkat kesengsaraan Kristus maka semua penderitaan manusia telah berada dalam situasi baru. Dan seolah-olah Ayub telah melihat hal ini sebelumnya, ketika ia berkata: “Aku tahu: Penebusku hidup”, dan seolah-olah dia telah mengarahkan hal itu kepada penderitaannya sendiri, yang tanpa Penebusan tidak akan dapat mewahyukan kepadanya maknanya yang sepenuh-penuhnya.

Dalam Salib Kristus bukan hanya Penebusan yang terlaksana lewat penderitaan, tetapi juga penderitaan manusia telah ditebus. Kristus-meskipun sama sekali tidak bersalah-telah memikul “seluruh kejahatan dari dosa”. pengalaman akan kejahatan ini menentukan seberapa jauh penderitaan Kristus yang tak dapat dibandingkan, yang merupakan harga dari Penebusan. Yesus Kristus Putera Allah, “walaupun dalam rupa Allah,…telah mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba” (Flp 2: 6-7). Demi umat manusia yang dikasihi-Nya, Ia “menjadi miskin, meskipun Ia kaya” (2 Kor 8: 9). Demikianlah Yesus Kristus telah melaksanakan karya penebusan melalui sengsara dan wafatnya di kayu Salib yang

disebut salib penghinaan namun menjadi lambang kemenangan Yesus Kristus atas maut (Madah Bakti, 2007: 141, lih SD art 2).

Yesus diutus Bapa untuk “menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin,…untuk menyembuhkan mereka yang putus asa” (Luk 4: 18), untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Luk 19: 10). Yesus Kristus menjadi teladan bagi Gereja untuk membagikan kasih kepada sesame yang membutuhkan bantuan, secara khusus mereka yang lemah dalam iman, miskin harapan, miskin secara materi, dll. Di sini kita diajak untuk melihat dan memahmi bahwa di dalam diri mereka yang miskin dan menderita Allah hadir secara nyata. Dengan berusaha meringankan beban mereka yang miskin dan menderita, Gereja melayani Yesus Kristus yang hadir dalam diri mereka, selain itu Gereja semakin dekat dan mengenal Yesus secara lebih intens (Dokumen Konsili Vatikan II, 1993: 75).

Melalui penderitaan-Nya, manusia diselamatkan dari dosa. Dengan sengsara “Ia menyelamatkan orang sengsara, dengan penindasan Ia membuka telinga mereka” (Ayb 36: 15). Karya penebusan Yesus Kristus sangat jelas diaktualisasikan-Nya dalam kemiskinan dan penganiayaan, begitu juga Gereja dipanggil untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Yesus Kristus sendiri, sehingga buah-buah keselamatan dapat diterima oleh manusia.

b. Allah mendidik manusia melalui peristiwa penderitaan

Manusia diharapkan dapat terbuka pada Allah. Dengan penderitaan, manusia mempunyai suatu buah pergulatan yang dalam. Sesuatu yang tidak dapat diganti dengan apa pun. Penderitaan yang dialami membawa pesan bahwa sakit dan derita ternyata memiliki nilainya sendiri. Pengalaman tersebut, menimbulkan rasa solidaritas kepada sesama yang menderita. Rasa solider dan setia kawan dengan

orang lain yang menderita merupakan ajakan Gereja untyk terlibat dalam hidup masyarakat. Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini menjadi “kegembiraan dan harapan” duka dan kecemasan “ umat beriman. (GS art. 1a)

Allah tidak berteriak, berseru, atau memaksa kita untuk langsung mengikuti Dia. Roh Allah sangat lembut seperti suara sayup-sayup atau hembusan angin sepoi-sepoi. Roh yang penulis bicarakan ini adalah Roh Kasih. Roh Kasih adalah Roh Allah sendiri, yang selalu membawa kita semakin dekat dengan kasih. Beginila cara Allah menyapa manusia. Namun, seringkali manusia menolak sapaan Allah. Manusia takut hanyut dan masuk dalam suasana kasih yang bias saja menarik manusia pada hal yang tidak dia kehendaki. Maksudnya, manusia takut apabila dengan menerima Roh Kasih, kebebasan yang dimilikinya berkurang (Henry J, 1998: 12-13). Jika manusia takut menerima Roh kasih, manusia sulit terbuka pada realita penderitaan yang terjadi disekitarnya, dia akan memilih untuk berusaha menjauh dan menghindari pemandangan penderitaan yang ada di hadapannya.

Pandangan Allah yang penuh kasih senantiasa tertuju pada manusia (Van Breemen, 2000: 15). Kita harus mengakui segala keterbatasan kita dihadapan Allah. Allah tidak pernah membiarkan anak yang dikasihinya mengalami penderitaan tanpa makna. Kembali kita diingatkan bahwa Allah punya maksud yang luar biasa atas pengalaman manusia yang menderita.

1) Penderitaan mengembangkan kepribadian manusia: menjadikan

manusia rendah hati

Melihat penderitaan dan kebahagiaan di dunia ini, orang mesti mengatakan bahwa secara total kebahagiaan lebih banyak, dan kebahagiaan ini tidak dapat

dicapai apabila seluruh penderitaan harus dijauhkan. Tanpa penderitaan fisis, kita tidak akan mampu menikmati saat-saat bahagia kehidupan. Demikian juga halnya dengan penderitaan moral dan batin. Tanpa penderitaan yang pernah dialami atau dilihat, orang tidak akan memperoleh gagasan dan daya juang yang tinggi untuk berperang melawan dan mengatasi penderitaan itu. Jangan sampai kita berkesimpulan bahwa perkembangan di dunia ini tidak ada gunanya ( Budi Kleden, 2006: 105).

Penderitaan membina kepribadian seseorang menjadi berkembang serta tangguh. Bapa suci Yohanes Paulus II berkata: “…Penderitaan manusia membangkitkan rasa belaskasihan; juga membangkitkan rasa hormat, dan dengan caranya sendiri menimbulkan rasa takut. Karena di dalam penderitaan termuat keagungan dari suatu misteri yang khusus…” (Salvifici Doloris art 4).

Sikap rendah hati Ayub ditampilkan. Dia yang takut akan Allah berkata: “Sesungguhnya, aku ini terlalu hina; jawab, apakah yang dapat kuberikan kepada- Mu? Mulutku kututup dengan tangan. Satu kali aku berbicara, dan tidak akan kuulangi; bahkan dua kali, tetapi tidak akan kulanjutkan” (Ayb. 39: 37- 38). Sikap tobat ini Ayub tunjukan setelah dia mengalami pencerahan baru, yakni setelah Tuhan Allah sendiri dua kali menampakkan diri-Nya dalam teofani. Di sini Ayub menyadari eksistensi dirinya sebagai yang hina di hadapan Allah.

2) Ditantang untuk ikut ambil bagian dalam mengatasi penderitaan:

solidaritas

Di dunia remaja ini, masih banyak saudara-saudari kita yang masih membutuhkan pertolongan. Sebagai umat beriman kita harus memiliki hati nurani yang peka terhadap penderitaan sesame. Tuhan Allah sendiri mengajarkan kita

untuk dapat saling mengasihi satu sama lain, dan juga mengasihi Dia yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Bunda Teheresa adalah seorang tokoh yang tergerak hatinya oleh belaskasihan untuk memberikan perhatian lebih terhadap kaum miskin, lemah, dan tersingkir. Tokoh ini mempunyai keyakinan bahwa apa yang ia lakukan terhadap saudaranya yang kecil, dia melakukannya pada Tuhan yakni wujud cintanya kepada Tuhan Allah. Dengan kasih yang luar biasa, Bunda Theresa menampung dan merawat orang-orang miskin, serta orang- orang yang terkena penyakit menular seperti kusta. Penderitaan yang dialami oleh penduduk culcuta menyentuh ke dalaman hati Bunda Teresa terpanggil untuk membebaskan para penderita dengan cinta kasih yang dia kobarkan.

Konsekuensi iman sebagai pengikut Kristus adalah berusaha mewujudkan imannya dalam tindakan nyata. Salah satu wadah perwujudan iman adalah bersikap solider, rela dan setiakawan terhadap mereka yang menderita. Setiakawan berarti masuk ke dalam situasi hidup si penderita. Ikut berjuang melawan penderitaan agar orang yang menderita memperoleh kebebasan untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah. Cara yang dapat kita lakukan adalah dengan memberi peneguhan kepada mereka melalui katekese.

Gereja katolik didirikan oleh Kristus demi keselamatan semua orang; maka Gereja terdorong oleh tugas dan kewajibannya untuk mewartakan kabar gembira (DKV II: 52).

Sebagai makhluk social, manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sudah kodratnya bahwa manusia hidup di dunia saling membutuhkan satu sama lain. Tuhan Allah menghendaki manusia untuk dapat hidup berdampingan secara harmonis, saling mengasihi, saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Bapa Paus Yohanes Paulus II berkata: “…Penderitaan manusia membangkitkan

rasa belaskasihan; juga membangkitkan rasa hormat, dan dengan caranya sendiri menimbulkan rasa takut. Karena di dalam penderitaan termuat keagungan dari suatu misteri yang khusus…” (SD art. 4).

Konsekuensi iman sebagai pengikut Kristus adalah berusaha mewujudkan imannya dalam tindakan nyata. Salah satu wadah perwujudan iman adalah bersikap solider, rela dan setiakawan terhadap mereka yang menderita. Setiakawan berarti masuk ke dalam situasi hidup si penderita. Ikut berjuang melawan penderitaan agar orang yang menderita memperoleh kebebasan untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Cara yang dapat kita lakukan adalah dengan memberi peneguhan kepada mereka melalui katekese.

Rasa solider dan setia kawan dengan orang lain yang menderita merupakan ajakan Gereja. Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini menjadi “kegembiraan dan harapan” duka dan kecemasan “ umat beriman. (GS art. 1a)

Permasalahan-permasalahan penderitaan seperti bencana alam, kemiskinan, kekerasan, ketidakadilan sering terjadi dan menimpa sesame kita manusia. Hal ini menyebabkan mereka mengalami situasi yang sangat sulit dan memprihatinkan. sebagai orang beriman kristiani kita diharapkan peka dalam menanggapi segala persoalan tersebut. Kita ditantang untuk berani ambil bagian dalam mengatasi penderitaan-penderitaan yang terjadi dengan cara terjun langsung memberikan bantuan bagi saudara kita yang menderita entah itu dengan cara memberikan peneguhan atau dengan cara memberikan bantuan berupa materil seperti sembako, pakaian, dll. Sekecil apapun yang dapat kita lakukan untuk saudara kita yang sedang menderita, kita memberikan berkat penghiburan kepada mereka, dan itu dapat mengurangi penderitaan yang mereka hadapi.

3) Kedewasaan iman

Seorang Kristiani sudah sepantasnya menemani Yesus yang menderita melalui pola hidup penuh iman, bersaksi atas hidup Yesus Kristus. Manusia yang berusaha menanggung penderitaannya sendiri, dan mempersatukan diri dengan penderitaan Yesus Kristus adalah sikap manusia yang dewasa dalam iman, sehingga menjadikan dirinya dapat meresapi kasih Allah (Diez Merino, 1982: 15).

Menurut Karl Rahner, kemampuan diri manusia untuk dapat menghargai hidup, sekaligus beriman, bergantung pada mampu atau tidaknya ia merasa dan yakin bahwa hidup yang diterimanya memiliki aspek yang positif. Seandainya, dalam hidupnya ia selalu mengalami peristiwa pahit, maka akan menimbulkan pergulatan batin yang menjadikan dia sulit untuk menghargai hidup, apalagi mensyukurinya yang nota bene adalah anugerah dari Allah. Pernyataan inilah yang menurut Karl Rahner, ateisme dapat dimengerti. Bagi orang beriman masalah adanya penderitaan tidak dapat diabaikan begitu saja. Kita mempunyai tanggungjawab untuk menemukan makna dari setiap pengalaman hidup yang kita alami (Robini, 1998:14-15).

Dengan penderitaan, manusia mempunyai suatu buah pergumulan yang dalam. Penderitaan yang dialami membawa pesan bahwa sakit dan derita ternyata memiliki nilainya sendiri. Pengalaman tersebut, menimbulkan rasa solidaritas kepada sesama yang mengalami penderitaan/menderita. Perlu disadari, seseorang dapat bertumbuh dewasa dan berkembang dalam iman adalah pengaruh dari daya aktifnya seseorang menanggapi penderitaannya, melalui pergumulannya berhadapan dengan penderitaan, lalu dapat mengatasinya (Atkinson, 2002: 167).

Seseorang yang dewasa berani menerima/ menghadapi penderitaan. Orang yang mampu menerima penderitaan dan dapat mengatasinya, dapat tumbuh