• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman 1. Analisis ragam terhadap keparahan penyakit layu fusarium pada bonggol

pisang pada percobaan tanaman dalam pot ... 46 2. Analisis ragam terhadap akar sakit pada bonggol pisang pada percobaan

tanaman dalam pot ... 46 3. Analisis ragam terhadap diameter batang pisang pada bonggol pisang

pada percobaan tanaman dalam pot ... 46 4. Analisis ragam terhadap tinggi tanaman pada bonggol pisang pada

percobaan tanaman dalam pot ... 46 5. Analisis ragam terhadap kejadian penyakit layu fusarium pisang pada di

bulan September 2005 pada percobaan di lapang ... 47 6. Analisis ragam terhadap kejadian penyakit layu fusarium pisang pada di

bulan Desember 2005 pada percobaan di lapang ... 47 7. Analisis ragam terhadap kejadian penyakit layu fusarium pisang pada di

bulan Maret 2006 pada percobaan di lapang ... 47 8. Komposisi bahan kimia masing- masing media yang digunakan ... 47

Latar Belakang

Saat ini, layu fusarium pada pisang yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum Schlecht f.sp. cubense (E F Smith) Snyd and Hans (Foc) sudah menjadi masalah utama di berbagai pertanaman pisang dunia. Di Indonesia, penyakit ini sudah menyebar luas, terutama di daerah Sumatra dan Jawa, Sulawesi Selatan, dan kepulauan Maluku yang merupakan sentra produksi pisang (Muharam et. al. 1992)

Fusarium oxysporum f.sp. cubense ini tidak hanya menyerang pisang produksi yang bisa dimakan tetapi dapat juga menyerang pisang penghasil serat dan pisang hias (Semangun 1994). Hal ini menunjukkan bahwa penyakit layu pada pisang mempunyai potensi untuk terus berkembang dan menjadi salah satu kendala yang harus dipertimbangkan untuk pengembangan komuditas pisang secara besar-besaran di Indonesia.

Fusarium oxysporum f.sp. cubense merupakan patogen penghuni tanah yang mempunyai kemampuan hidup sebagai saprofit, dapat mendegradasi lignin dan komplek karbohidrat, juga dapat berasosiasi dengan bahan organik tanah, memiliki ras fisiologi yang berbeda dan dapat menimbulkan penyakit yang bersifat monosiklik sehingga strategi pengendalian yang efektif hingga kini belum ditemukan. Di samping itu, patogen dapat bertahan dalam berbagai jenis tanah sampai puluhan tahun walaupun tanpa inang (Kistler 2001).

Berbagai cara pengendalian telah dilakukan untuk menekan serangan Foc. Penggunaan fungisida diketahui selain memberikan dampak positif juga dapat memberikan ancaman terhadap kualitas lingkungan, keseimbangan ekosistem maupun kesehatan manus ia. Pemberian fungisida ke dalam tanah kadang-kadang tidak efektif, karena pengaruh senyawa-senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroflora tanah dapat mendegradasi fungisida yang diaplikasikan serta pemakaiannya yang harus diulang sehingga memakan biaya yang cukup besar. Disamping itu, perlakuan fungisida dapat merangsang timbulnya strain/ras cendawan baru yang lebih resisten terhadap fungisida dan matinya mikroorganisme yang berguna dalam tanah serta yang lebih berbahaya adalah residu fungisida yang terdapat pada pisang yang akan dikonsumsi manusia dan

akhirnya dapat menyebabkan keracunan bagi manusia maupun hewan (Djatnika et al. 2003)

Penanaman kultivar resisten merupakan pengendalian yang sangat murah, mudah, aman dan efektif apabila tersedia kultivar tahan, na mun bila terus- menerus ditanam pada tempat yang sama suatu saat resistensi akan patah karena muncul ras-ras baru Fusarium yang lebih virulen. (Sahlan & Nurhadi 1994).

Upaya pengendalian Foc pada saat ini mulai diarahkan pada upaya pengendalian non kimiawi. Solarisasi tanah merupakan salah satu teknik pengendalian non kimiawi yang kini banyak diupayakan dan dapat dikombinasi dengan penggunaan mikroorganisme antagonis. Keberhasilan pengendalian dengan teknik solarisasi telah dilaporkan oleh Katan (1976) dalam pengendalian Verticilium dahliae. Selain itu, Torres et al. (1993) juga melaporkan teknik ini berhasil mengurangi penyakit layu fusarium pada semangka.

Solarisasi tanah adalah suatu teknik menutup tanah dengan plastik polyethylene selama waktu tertentu yang bertujuan menangkap sinar matahari untuk memanaskan tanah di lahan terbuka atau di rumah kaca. Dalam teknik ini diharapkan energi matahari (energi solar) dapat menginduksi agen biokontrol, gulma, nematoda, membunuh patogen, serangga arthropoda, bakteri, dan komplek penyakit. Solarisasi juga dapat menyebabkan perubahan yang komplek pada biologi, fisik, dan kimia tanah (Katan & De Vay 1991; Pinkerton 2000). Selain itu, kombinasi antara solarisasi tanah dan bakteri antagonis, dapat meningkatkan peranan organisme antagonis tersebut dalam tanah (Katan & De Vay 1991).

Solarisasi tanah memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungan dari solarisasi tanah adalah menurunkan persentase perkecambahan spora, memperlemah patogen, menyebabkan patogen sulit berkecambah, patogen lebih sensitif terhadap fungistatik dan menurunkan inokulum potensial. Sedangkan kerugiannya adalah jika patogen yang belum mati, cepat meningkat karena lingkungan sudah berubah (Katan & De Vay 1991).

Prinsip dari solarisasi tanah yaitu pemanasan dengan matahari pada tanah yang lembab dengan menggunakan mulsa. Mulsa ini berupa transparent polyethylene atau polyvinyl chloride. Solarisasi adalah proses hidrotermal yang

yang menyebabkan perubahan secara fisik, kimia dan biologi selama atau sesudah pemberian mulsa pada tanah. Solarisasi sebaiknya dilakukan secara berulang- ulang, pada kedalaman tanah maksimal, temperatur dipelihara untuk waktu yang lama. Efek solarisasi biasanya lama, mungkin dapat berdampak pada musim tanam ke 2 atau ke 4. Karena itu teknik solarisasi memerlukan suatu cara tertentu agar hasil yang didapat maksimal (Katan & De Vay, 1991).

Akhir-akhir ini agen antagonis dari kelompok bakteri banyak dieksplorasi sebagai agen pengendali hayati. Sebagai contoh adalah penggunaan bakteri rizosfer untuk pengendalian penyakit Fusarium, diantaranya bakteri kelompok Bacillus, Paenibacillus, Pseudomonas, dan Stenotrophomonas dalam pengendalian Fusarium f. sp. ciceris pada tanaman Chickpea (Landa et al. 2001). Pseudomonas kelompok fluoresens dapat digunakan untuk mengurangi penyakit layu fusarium pada tanaman melon (Larkin et al. 1996) dan antraknosa pada tanaman mentimun yang disebabkan Colletotrichum orbicular dapat ditekan dengan menggunakan Serratia marcescens (Press et al. 2001).

Solarisasi tanah pada lahan pisang yang sudah terserang layu fusarium dapat dijadikan salah satu upaya pengendalian. Solarisasi tanah dapat digabungkan dengan penggunaan bakteri antagonis yang diaplikasikan pada perakaran bibit pisang yang dicelupkan ke dalam suspensi bakteri antagonis sebelum penanaman di lahan. Bakteri antagonis rizosfer dan endofit yang diisolasi dari kelompok tanaman graminae diketahui memberikan hasil yang baik dalam menekan populasi dari Foc pada tanaman pisang dalam percobaan rumah kaca (Eliza 2004).

Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui kemungkinan penekanan populasi Foc pada tanaman pisang dengan teknik solarisasi tanah dan penggunaan bakteri antagonis. Hasil Penelitian diharapkan solarisasi tanah yang dikombinasi dengan bakteri antagonis ini dapat mendukung upaya pengendalian Foc pada tanaman pisang.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pengendalian penyakit layu fusarium pada tanaman pisang dengan teknik solarisasi tanah dan bakteri antagonis. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat diketahui keefektifan dari solarisasi tanah dan kefektifan bakteri antagonis yang diaplikasikan pada fase bibit ataupun kefektifan kombinasi solarisasi tanah dan bakteri antagonis untuk mengendalikan layu fusarium pada tanaman pisang.

Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah penggunaan teknik solarisasi tanah dan bakteri antagonis ataupun kombinasi keduanya mampu mengendalikan penyakit layu fusarium pada tanaman pisang.

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Layu Fusarium Pada Pisang

Fusarium oxysporum f. sp. cubense (Foc) merupakan cendawan tular tanah (soil borne), penghuni akar (root inhabitant), memiliki ras fisiologi yang berbeda, dan menimbulkan penyakit yang bersifat monosiklik. Disamping itu klamidospora Foc dapat bertahan lama dalam tanah dan dapat berkecambah jika ada rangsangan dari ekskresi akar atau eksudat akar. Klamidospora dapat bertahan di dalam tanah selama 30 tahun tanpa tanaman inang (Stover 1962), dan dapat juga bertahan sebagai epifit pada akar gulma atau pada tanaman yang mempunyai kekerabatan dekat dengan pisang (Wardlaw 1972). Penularan penyakit layu fusarium dapat terjadi melalui bibit, tanah yang terinfeksi, tanah yang melekat pada alat-alat pertanian, dan aliran air permukaan tanah serta sisa- sisa tana man sakit (Ploetz & Pegg 2000).

Cendawan ini hidup di dalam tanah, masuk ke akar melalui lubang alami atau luka lalu masuk ke bonggol dan dari sini patogen berkembang cepat menuju batang sampai jaringan pembuluh. Pada tingkat lanjut miseliumnya dapat masuk ke pembuluh parenkim dan patogen akan membentuk konidia dalam jaringan tanaman dan mikrokonidia dapat terangkut melalui silem (Wardlaw 1972). Konidia dapat menghasilkan klamidospora dan akan kembali ke tanah jika tanaman mati. Klamidospora ini dapat bertahan dalam bentuk dorman di dalam tanah selama beberapa tahun (Ploetz 1998).

Penyakit layu fusarium lebih merugikan pada tanah aluvial yang asam. Umumnya pada tanah geluh yang bertekstur ringan atau berpasir, penyakit akan lebih cepat meluas (Semangun 1994). Menurut Cook dan Baker (1983) penyakit yang disebabkan oleh Fusarium berkembang baik pada tanah yang berpasir asam. Tanah berpasir yang cepat melewatkan air, kering dan beraerasi baik lebih sesuai bagi Fusarium, sebaliknya tanah liat alkalin paling tidak sesuai untuk perkembangan penyakit yang disebabkan Fusarium, karena tanah berliat akan lembab sehingga menghambat perkembangan cendawan ini.

Gejala Penyakit Layu Fusarium Pada Pisang

Gejala yang klasik dan menyolok dari layu fusarium pada awalnya adalah terjadi penguningan tepi daun pada daun-daun yang lebih tua ( gejala ini awalnya sulit dibedakan dari kekurangan kalium, terutama pada kondisi kering atau sejuk). Gejala menguning berkembang dari daun tertua menuju ke daun termuda. Daun- daun yang terserang secara berangsur-angsur layu pada tangkainya atau lebih umum pada dasar ibu tulang daun dan menggantung ke bawah menutupi batang semu. Rata-rata lapisan luar batang palsu terbelah dari permukaan tanah atau terjadi retakan memanjang pada batang semu. Pada bagian dalam apabila dibelah, terlihat garis- garis coklat atau hitam menuju ke semua arah, dari batang (bonggol) ke atas melalui jaringan pembuluh ke pangkal daun dan tangkai. Berkas pembuluh akar tidak berubah warnanya, namun sering akar tana man sakit berwarna hitam dan membusuk (akan tampak pada tanaman yang berumur 5-10 bulan ). Pada beberapa kultivar, daun-daun pada tanaman yang terinfeksi berwarna sangat hijau sampai daun rebah dan menjadi layu. Daun-daun termuda menampakkan gejala yang paling akhir dan seringkali berdiri tegak. Pertumbuhan tanaman tidak terhenti, daun-daun yang baru muncul berkurang sangat tajam dan nampak berkerut semu. Tidak terdapat gejala patogenik pada buah, akan tetapi serangan penyakit dapat menurunkan kualitas dan kuantitas buah (Semangun 1994; Ploetz & Pegg 2000).

Pengendalian Penyakit Layu Fusarium

Beberapa teknik pengendalian penyakit layu fusarium telah direkomendasikan seperti penggunaan fungisida, rotasi tanaman, perendaman lahan, penambahan bahan organik, penggunaan varietas tahan dan pengendalian hayati (Pegg et al. 1996; Stover 1962; Djatnika et al. 2003; Wibowo et al. 2004). Penggunaan fungisida dazomet kurang efektif karena fungisida hanya dapat terserap tanah pada kedalaman beberapa sentimeter (Djatnika et al. 2003). Cendawan Fusarium mampu menginfeksi perakaran pada daerah yang lebih dalam lagi dari daerah penyerapan fungisida (Stover 1962). Pengendalian dengan rotasi tanaman dan perendaman lahan selama 6 bulan hanya mampu menekan kejadian penyakit selama 2 tahun (Stover 1962). Penambahan bahan organik

hanya mampu menghambat perkembangan layu fusarium dalam jangka waktu yang pendek (Pegg et al. 1996). Penggunaan kultivar tahan merupakan salah satu cara yang aman, akan tetapi untuk mendapatkan kultivar yang tahan agak sulit karena Fusarium memiliki gen virulen yang beragam (Moore et al. 2001), terutama Fusarium dari ras 4 yang memiliki kisaran inang yang luas (Huang and Ko 1990). Selain itu, untuk mendapatkan kultivar yang tahan menbutuhkan waktu dan biaya yang tinggi.

Pengendalian layu fusarium pada pisang dengan solarisasi tanah dan agen antagonis belum pernah dicoba. Adapun solarisasi tanah telah diketahui dapat menekan populasi Fusarium oxysporum f. sp. lycopesrici (Katan et al. 1976). Penggunaan agen antagonis dari genus Pseudomonas fluorescens dan Bacillus sp. untuk pengendalian layu fusarium dalam rumah kaca, juga telah diketahui keberhasilannya (Eliza 2004). Dari hasil penelitian diharapkan solarisasi tanah dan penggunaan agen antagonis dapat dijadikan salah satu upaya pengendalian layu fusarium pada pisang.

Solarisasi Tanah

Solarisasi tanah atau pemanasan tanah dengan pemanfaatan matahari merupakan teknik untuk menge ndalikan patogen dalam tanah (Katan et al. 1976). Penggunaan solarisasi tanah sudah dilakukan sejak tahun 1976-an di negara Israel dan banyak dikenal dengan beberapa istilah, seperti solar heating of the soil, polyethylene or plastic mulching, solar pasteurization, solar disinfestation dan soil solarization yang telah dikenal sampai saat sekarang (Katan et al. 1976).

Solarisasi tanah merupakan suatu teknik pemanasan dengan menggunakan polyethylene atau plastik bening sebagi penutup tanah yang menyebabkan terjadinya pemanasan dalam tanah sehingga terjadi perubahan sifat fisik, biologi dan kimia (Katan dan DeVay 1991). Perlakuan solarisasi tanah dapat menekan populasi Fusarium oxysporum f. sp. lycopersici dan Verticillium dahliae antara 54-100% terga ntung kedalaman letak patogen di dalam tanah (Katan et al. 1976). Menurut Gamliel dan Katan (1993), Pseudomonas sp. kelompok fluoresen yang berasal dari akar tomat atau akar kecambah tomat yang tumbuh dalam tanah yang diberi perlakuan solarisasi mampu menekan kolonisasi Penicillium pinophilum.

Solarisasi tanah selama dua bulan dapat mengendalikan penyakit layu fusarium dan meningkatkan hasil hampir lima kali lipat dibandingkan tanaman yang tanahnya tidak disolarisasi (Torres et al. 1993). Solarisasi tanah dapat menekan serangan berbagai jenis patogen tular tanah pada berbagai jenis tanaman seperti Verticillium dahliae pada kentang dan terung, Sclerotium rolfsii yang menyerang kacang-kacangan dengan berkurangnya serangan patogen tersebut produksi dapat meningkat 35%, 123%, dan 215% dibandingkan dengan kontrol masing- masing tanaman. Solarisasi tanah selama 5-7 minggu menekan kejadian penyakit (46- 76.3%) dan indeks penyakit akar gada (penurunan 64.3-89.3%) serta peningkatan produksi tanaman (123.8-147.6%). Besarnya penekanan penyakit dan keterjadian penyakit tergantung dari lamanya solarisasi tanah. Terjadinya penekanan penyakit diduga bukan merupakan pengaruh langsung dari peningkatan suhu akibat solarisasi, tetapi karena adanya perubahan mikroba tanah, terutama aktinomisetes dan bakteri antagonis yang berpotensi sebagai agen antagonis (Katan et al. 1976; Kartini 1996; Rusmawati 2002).

Kelebihan lain solarisasi tanah yaitu secara ekonomi lebih menguntungkan dibandingkan dengan cara fumigasi dan tidak membahayakan lingkungan serta tidak meninggalkan residu (Katan et al. 1976). Selain itu solarisasi tanah biayanya murah dan dapat digabungkan dengan teknik pengendalian yang lainnya (Chellemi et al. 1997).

Pseudomonas fluorescens dan Bacillus spp. Sebagai Agen Pengendalian Hayati

Bakteri genus Pseudomonas mempunyai ciri antara lain berbentuk bulat panjang atau batang, hampir semuanya motil dengan flagella monotrikus, politrikus, atau lopotrikus serta hampir semuanya gram negatif atau bersifat aerobik. Genus ini juga bersifat fakultatif aerobik, bersel satu, berukuran 1-3 µm, motil dan menghasilkan pigmen yang dapat berdifusi ke dalam medium biakan King’s B (Alexander 1978). Bakteri P. fluorescens mempunyai kemampuan menghasilkan pigmen berwarna kuning sampai hijau atau kadang-kadang biru (Anas 1989). Pigmen hijau merupakan salah satu kriteria yang dipakai para ahli mikrobiologi dalam memilih P. fluorescens yang bermanfaat, karena pigmen

tersebut biasanya dikeluarkan oleh spesies-spesies Pseudomonas penghasil antibiotika seperti pyoverdine, pyrolnitrin dan pyoluteorin (Lynch 1990).

Pseudomonas fluorescens strain tertentu merupakan mikroorganisme antagonis yang mampu menekan penyakit yang disebabkan oleh patogen tular tanah diantaranya Aphanomyces eutiches pada pada kacang buncis, F. oxysporum f. sp. lycopersici pada tomat, F. oxysporum f. sp. lini pada rami dan Rhizoctonia solani pada kapas. Penekanan penyakit oleh P. fluorescens strain tertentu terjadi karena bakteri tersebut mampu mengeluarkan antibiotik seperti, pyoluteorin, 2,4 diacetylphloroglucinol dan monoacetilplorglucinol yang dapat menghambat perkembangan patogen (Bakker et al. 2003). Selain itu P. fluorescens dapat menekan perkembangan perkembangan penyakit tanaman dengan cara kompetisi unsur besi Fe (III) dan unsur karbon, produksi HCN, merangsang akumulasi fitoaleksin untuk ketahanan tanaman, kolonisasi akar dan merangsang pertumbuhan tanaman (Rosales et al. 1995; Widodo et al. 1993)

Di Australia, B. subtilis strain tertentu telah digunakan untuk mengendalikan Ralstonia solanacearum, Pythium sp. dan Fusarium sp. dan berhasil dengan baik. Selain dapat menekan pertumbuhan patogen, bakteri ini juga dapat merangsang pertumbuhan tanaman, meningkatkan bobot kering dan produksi padi-padian sebesar 10%, karena bakteri tersebut menghasilkan senyawa mirip gibberelin (Merriman et al. 1975) dan dapat menghasilkan antibiotik serta zat yang menyebabkan terjadinya lisis (Kim et al. 1997).

Pada pengujian secara in vitro, Bacillus spp. dapat menghambat pertumbuhan Fusarium oxysporum f.sp. cubense. Hasil pengamatan mikroskopis, menunjukkan bahwa senyawa antifungal yang dihasilkan bakteri dapat menyebabkan pembengkakan hifa Fusarium oxysporum f.sp. cubense mengakibatkan hifa tidak dapat berkembang sempurna (Eliza 2004). Bacillus BC121 mengeluarkan enzim kitinase yang dapat melisis hifa dan dinding sel Culvularia lunata dan beberapa cendawan lainnya yang tersusun oleh senyawa kitin. (Basha & Ulaganathan 2002).

Peranan Solarisasi Tanah dan Bakteri Antagonis dalam Pengendalian Hayati Pengendalian hayati adalah pengurangan jumlah inokulum dalam keadaan aktif maupun dorman atau penurunan aktifitas patogen sebagai parasit oleh satu atau lebih organisme yang berlangsung secara alami atau melalui manipulasi lingkungan, inang atau antagonis atau dengan introduksi secara massal satu atau lebih organisme antagonis. Usaha penanggulangan penyakit tanaman dengan cara biologis mempunyai peluang yang cerah, organismenya telah tersedia di alam dan tekniknya dapat dimodifikasi dengan lingkungan maupun tanaman inang. Keuntungan pengendalian hayati antara lain : aman terhadap lingkungan, tidak ada efek residu, dan aplikasinya berkelanjutan. (Cook dan Baker 1983).

Teknik pengendalian hayati patogen tanaman dengan memanipulasi lingkungan yaitu dengan solarisasi tanah dan dikombinasi dengan bakteri antagonis yang diaplikasikan pada perakaran tanaman telah diketahui keberhasilannya. Gamliel dan Katan (1993) melaporkan bahwa perlakuan agen antagonis dari spesies Pseudomonas fluorescens pada perakaran tomat yang kemudian ditanam pada tanah yang telah disolarisasi dapat menekan kolonisasi Penicillium pinophilum, mengurangi kejadian penyakit oleh S. rolfsii pada buncis, mengurangi kejadian penyakit layu fusarium pada kapas dan tomat. Penekanan penyakit terjadi karena peningkatan jumlah agen antagonis pada sekitar perakaran tanaman.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan jurusan Proteksi Tanaman IPB, rumah kaca Cikabayan IPB Bogor dan kebun percobaan Pusat Kajian Buah-buahan Tropik di daerah Tajur, Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan April 2005 sampai Maret 2006.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: bibit pisang Cavendish dan Barangan hasil kultur jaringan, plastik PVC (Polyvinyl Chloride), pupuk NPK, pupuk kandang, media PDA (Potato Dextrose Agar), media Komada, media Martin Agar, media SCA (Starch Casein Agar), media TSA (Triptic Soy Agar), media King’s B, media NB (Nutrient Broth), air steril dan lain- lain.

Alat-alat yang digunakan yaitu: jarum ose, pengaduk, erlenmeyer, penangas air, microwave, kapas, cawan petri, tabung reaksi, pelubang gabus, pipet, gelas ukur, timbangan, mikroskop, otoklaf, oven, kotak isolasi, alat tulis dan lain- lain.

Metode Isolat Fusarium oxysporum f. sp. cubense

Patogen Fusarium oxysporum f. sp. cubense (Foc) yang digunakan adalah IPB 057 yang merupakan isolat koleksi dari Laboratorium Mikologi Tumbuhan jurusan Proteksi Tanaman IPB. Sedangkan untuk percobaan di lapang, digunakan lahan yang sudah terinfestasi secara alami oleh Foc.

Bakteri antagonis

Bakteri antagonis yang digunakan yaitu dari kelompok Bacillus sp., dan Pseudomonas fluorescens. Bacillus sp. ditumbuhkan dalam media TSA yang diinkubasi selama 48 jam pada suhu ruang, kemudian dimurnikan dan disimpan dalam media TSA cair pada suhu 40C. Bakteri Pseudomonas fluorescens

ditumbuhkan dalam media King’s B dan diinkubasi 48 jam pada suhu ruang, kemudian dimurnikan dalam TSA cair dan disimpan suhu 40C.

Perbanyakan bakteri antagonis

Perbanyakan bakteri antagonis dilakukan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan Jurusan HPT, Fakultas Pertanian IPB. Satu petri bakteri pada media NB (Nutrient Broth) yang telah berumur 48 jam ditambahkan sebanyak 10 ml air steril, kemudian dilakukan pengocokan sehingga biakan tercampur dengan air steril tersebut sampai merata. Selanjutnya suspensi dimasukkan ke dalam 90 ml NB (Nutrient Broth), diinkubasi dan dikocok selama 48 jam.

Uji lapang

Persiapan media tumbuh. Tanah dicampur dengan bahan organik kotoran sapi yang telah matang (5:1 v/v) yang diberikan perlubang tanah.

Inokulasi patogen. Fusarium oxysporum f.sp. cubense yang digunakan berasal dari lahan yang telah terinfestasi layu fusarium. Diharapkan Foc yang berada di lahan yang akan ditanami pisang dapat menjadi sumber inokulum.

Solarisasi tanah. Solarisasi tanah dilakukan dengan menutup permukaan lahan menggunakan plastik PVC (Polyvinyl chloride) bening dengan ketebalan 0.05 mm. Sebelumnya tanah lahan diolah dan diairi secukupnya sampai semua lapisan tanah basah. Solarisasi dilakukan selama tiga minggu dan empat minggu. Untuk kontrol, lahan dibiarkan tanpa ditutup plastik PVC (Polyvinyl Chloride).

Perlakuan bibit pisang dengan bakteri antagonis. Perlakuan antagonis dilakukan pada saat akan menanam bibit pisang dengan cara mencelupkan akar tanaman pisang kedalam suspensi bakteri antagonis dengan kepadatan 109/ml selama 24 jam kemudian dipindahkan ke lahan. Perlakuan bibit pisang dengan bakteri yaitu B1: P. fluorescens PG01 + B. polymixa BG25, B2: P. fluorescens ES32 + B. subtilis SB3 dan B0: tanpa perlakuan bakteri.

Rancangan percobaan dan macam perlakuan penelitian. Penelitian disusun menurut RAKL dengan dua faktor yaitu solarisasi (tanpa solarisasi [S0], solarisasi tiga minggu [S3] dan solarisasi empat minggu [S4]) dan perlakuan

bakteri ( tanpa bakteri [B0], PG01+BG25 [B1], dan ES32+SB3 [B2]). Masing- masing perlakuan diulang tiga kali. Banyaknya tanaman pisang tiap perlakuan adalah 4-6 tanaman.

Penanaman bibit dan pemeliharaan. Bibit pisang yang digunakan adalah kultivar Barangan umur 3 bulan yang telah diaklimatisasi dan merupakan hasil perbanyakan kultur jaringan yang diproduksi oleh BIOTROP Bogor. Setelah bibit dicelup dengan suspensi bakteri antagonis selama 24 jam, bibit ditanam ke lahan. Setelah penanaman, bibit tersebut dipupuk dengan NPK (15:15:15) sebanyak 10 gram perlubang tanam setiap bulan denga n cara menaburkan pupuk di sekeliling batang tanaman.

Percobaan pada Tanaman dalam Pot

Persiapan media tumbuh. Tanah dicampur dengan bahan organik kotoran kambing yang telah matang (5:1 v/v). Setiap pot (diameter 30 cm) diisi dengan media tumbuh sampai penuh dan rata dengan pinggiran atas pot.

Inokulasi patogen. Fusarium oxysporum f.sp. cubense yang digunakan adalah isolat IPB 057 koleksi Lab Mikologi Tumbuhan Institut Pertanian Bogor. Patogen yang digunakan adalah Foc ras 4 yang diperbanyak dalam medium PDB (Potato Dextrose Broth) dikocok selama 7 hari. Foc yang telah diperbanyak

Dokumen terkait