• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam penanggulangan COVID-19, diperlukan kesepakatan penggunaan istilah yang jelas dalam menggolongkan pasien yang dicurigai menderita

COVID-19 untuk memudahkan komunikasi. Saat ini tidak lagi digunakan istilah ODP (orang dalam pemantauan), PDP (pasien dalam pengawasan), dan OTG (orang tanpa gejala). Terdapat empat definisi operasional yang digunakan untuk pasien yang dicurigai menderita COVID-19, yaitu:

a. Kasus suspek b. Kasus probable c. Kasus konfirmasi d. Kontak erat

Kasus suspek adalah orang yang memenuhi salah satu kriteria berikut:

1. Memenuhi kriteria klinis DAN salah satu kriteria epidemiologis.

2. Seseorang dengan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) berat, yaitu demam akut (≥ 380

C)/riwayat demam, batuk, tidak lebih dari 10 hari sejak onset, dan membutuhkan perawatan rumah sakit.

3. Seseorang tanpa gejala (asimtomatik) yang tidak memenuhi kriteria epidemiologis dengan hasil

rapid antigen SARSCoV-2 positif.

Kriteria Klinis:

1. Demam akut (≥ 380 C)/riwayat demam* dan batuk.

ATAU

2. Terdapat tiga atau lebih gejala/tanda akut berikut: demam/riwayat demam*, batuk,

kelelahan (fatigue), sakit kepala, myalgia, nyeri tenggorokan, coryza/pilek/hidung tersumbat*, sesak napas, anoreksia/mual/muntah*, diare, penurunan kesadaran.

*dihitung sebagai satu gejala

Kriteria Epidemiologis:

1. Dalam empat belas hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau bekerja di tempat berisiko tinggi penularan.

ATAU

2. Dalam empat belas hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau

bepergian di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal.

ATAU

3. Dalam empat belas hari terakhir sebelum timbul gejala bekerja difasilitas pelayanan kesehatan, baik melakukan pelayanan medis dan non-medis, serta petugas yang

melaksanakan kegiatan investigasi, pemantauan kasus dan kontak.

Kasus probable adalah kasus yang memenuhi kriteria berikut:

1. Seseorang yang memenuhi kriteria klinis DAN memiliki kontak erat dengan pasien kasus probable/terkonfirmasi COVID-19 ATAU berkaitan dengan klaster COVID-19.

2. Kasus suspek dengan gambaran radiologis sugestif COVID-19.

3. Memiliki gejala anosmia atau ageusia tanpa penyebab lain yang dapat diidentifikasi.

4. Orang dewasa yang meninggal dengan distres

pernapasan DAN memiliki kontak erat dengan pasien kasus probable/terkonfirmasi COVID-19 ATAU berkaitan dengan klaster COVID-19.

Kasus konfirmasi adalah kasus yang dinyatakan positif terinfeksi virus SARS-CoV-2 yang dibuktikan dengan kriteria sebagai berikut:

1. Memiliki hasil RT-PCR positif

2. Memiliki hasil rapid antigen SARS-CoV-2 positif DAN memenuhi kriteria suspek/probable

3. Asimtomatik dengan hasil rapid antigen SARS-CoV-2 positif DAN memiliki kontak erat dengan kasus probable/terkonfirmasi

Kasus konfirmasi dibagi menjadi dua:

1. Kasus konfirmasi dengan gejala (simtomatik) 2. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimtomatik)

Kontak Erat adalah orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau konfirmasi COVID-19. Riwayat kontak yang digolongkan sebagai kontak erat adalah:

1. Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau lebih.

2. Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi (seperti bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).

3. Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable atau konfirmasi tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD) yang sesuai standar.

4. Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi setempat.

Pada kasus probable atau konfirmasi yang bergejala (simtomatik), cara menemukan kontak erat adalah periode kontak dihitung dari dua hari sebelum kasus timbul gejala hingga empat belas hari setelah kasus timbul gejala. Pada kasus konfirmasi yang tidak bergejala (asimtomatik), periode kontak dihitung dari

dua hari sebelum kasus timbul gejala dan empat belas hari setelah tanggal pengambilan spesimen.

F. Mengenali Gejala COVID-19 dan Menghadapi Pasien dengan Potensi COVID-19

COVID-19 memiliki gejala yang sangat bervariasi.

Pasien dengan COVID-19 dapat memiliki gejala ringan, gejala berat yang membutuhkan perawatan intensif, atau tidak bergejala sama sekali. Meskipun demikian, berdasarkan studi, dapat dikenali beberapa gejala yang paling sering muncul pada pasien COVID-19, yaitu:

1. Demam (88,5%) 2. Batuk (68,6%)

3. Anosmia/kehilangan indera penciuman (43%–

53%)

4. Nyeri otot, pegal-pegal, rasa letih (35,8%) 5. Produksi dahak (28,2%)

6. Sesak napas (21,9%)

7. Nyeri kepala atau pusing (12,1%) 8. Diare (4,8%)

9. Mual dan muntah (3,9%)

Jika pada praktik sehari-hari bidan menemukan pasien dengan gejala tersebut, maka harus dilaporkan kepada dokter atau petugas lain yang berwenang untuk dilakukan pengkajian terhadap COVID-19. Praktik Mandiri Bidan harus berkoordinasi dengan puskesmas setempat mengenai tindakan yang harus diambil jika menemukan pasien yang dicurigai atau terkonfirmasi COVID-19.

Untuk tindakan operasi yang bersifat elektif atau dapat diprediksi, sebaiknya ibu hamil menjalani pemeriksaan swab test COVID-19 terlebih dulu. Perlu diingat bahwa rapid test antibodi negatif tidak dapat menyingkirkan kemungkinan pasien memiliki COVID-19. Hal lain yang perlu diingat juga adalah pada pelayanan klinis, perlu diasumsikan bahwa pasien memiliki COVID-19 meskipun tidak bergejala.

Dengan demikian, penggunaan APD oleh bidan bersifat wajib.

Jenis APD yang perlu digunakan bidan pada praktik sehari-hari di ruang konsultasi umum biasa terdiri dari masker bedah (digunakan oleh tenaga kesehatan DAN pasien), baju kerja, pelindung mata atau wajah (face shield), sarung tangan, dan pelindung kepala.

Ventilasi ruang konsultasi harus baik, misalnya jendela dibuka. Jika pasien memiliki gejala gangguan saluran napas, maka bidan sebaiknya menggunakan masker N95. Jika memungkinkan, sebaiknya bidan selalu menggunakan masker N95 untuk mengantisipasi pasien yang memiliki gejala gangguan saluran napas.

Tidak ada data yang menunjukkan persalinan normal memproduksi aerosol. Namun, pada proses persalinan sebaiknya setiap tenaga kesehatan yang terlibat menggunakan masker N95 karena terdapat peningkatan risiko penularan COVID-19 yang bersumber dari:

1. Pajanan terhadap pasien yang lama; persalinan kala 1 dan 2 dapat berlangsung hingga berjam-jam 2. Pasien yang sedang dalam proses persalinan yang biasanya tidak dapat menggunakan masker dengan optimal

3. Manuver valsava yang dilakukan oleh pasien 4. Napas dalam dan cepat yang dilakukan oleh

pasien

5. Pasien yang berbicara keras, berteriak, batuk, atau muntah selama proses persalinan

Jika bidan berpraktik di situasi yang melibatkan prosedur yang memproduksi aerosol (misalnya, terlibat pada prosedur sectio caesarea yang menggunakan intubasi), maka APD yang digunakan adalah masker N95, gaun, sarung tangan, pelindung mata/wajah, pelindung kepala, apron, dan sepatu pelindung.

G. Edukasi Masyarakat dalam Pencegahan COVID-19

Dokumen terkait