• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.8. Diabetes Melitus

Diabetes Melitus merupakan 10 penyakit yang paling banyak menyababkan kematian penduduk dunia, beragam cara baik medis maupun non- medis dikembangkan untuk mengobati dan menekan laju pertumbuhan penderita penyakit ini, berikut dijabarakan sekilas mengenai Diabetes Melitus.

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu sindrom klinik yang khas ditandai oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defisiensi atau penurunan efektifitas insulin. Gangguan metabolik ini mempengaruhi metabolisme dari karbohidrat,protein, lemak, air dan elektrolit. Gangguan metabolisme tergantung pada adanya kehilangan aktivitas insulin dalam tubuh dan pada banyak kasus, akhirnya menimbulkan kerusakan selular, khususnya sel endotelial vaskular pada mata, ginjal dan susunan saraf (SOE04).

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit diabetes melitus terdiri dari:

1. Kehamilan

2. Konsentrasi plasma glukosa setelah 2 jam pada test toleransi oral glukosa 3. Tekanan darah diastolik

4. Ketebalan lipatan kulit triseps 5. Serum insulin selama 2 jam 6. Indeks massa tubuh

7. Keturunan Diabetes 8. Umur

Dari semua hormon yang terkait dalam metabolisme glukosa, hanya insulin

yang bisa menurunkan gula darah. Hormon yang lain adalah “counterregulatory

hormones” karena bisa membuat gula darah meningkat. Insulin adalah hormon yang

kurang (absolut atau relatif) dalam penyakit Diabetes Mellitus. Hormon insulin disintesis (dihasilkan) oleh sel beta Pulau Langerhans yang terdapat pada pankreas. Peran insulin adalah melihat bahwa sel tubuh dapat memakai bahan bakar. Insulin

berperan sebagai “kunci” yang bisa membuka pintu sel agar bahan bakar bisa masuk

ke dalam sel. Pada permukaan setiap sel terdapat reseptor (oleh insulin), glukosa dan asam amino bisa masuk ke dalam sel tubuh.

Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis Diabetes Mellitus yaitu sebagai berikut:

1. Pemeriksaan Darah

a. Diperiksa kadar glukosa sewaktu dan kadar glukosa puasa setelah puasa 8- 10 jam.

b. Beberapa hari kemudian dilakukan pemeriksaan glukosa plasma puasa

2. Pemeriksaan Test Glukosa Oral

a. Tiga hari sebelum pemeriksaan, makan seperti biasa (karbohidrat cukup). Kegiatan jasmani seperti biasa dilakukan.

b. Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih diperbolehkan.

c. Diperiksa kadar glukosa darah puasa.

d. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa ) atau 1,75 gram/kg (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit.

e. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa. f. Selama proses pemeriksaan, subyek yang diperiksa tetap istirahat

dan tidak merokok.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau Diabetes

Mellitus, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT (Toleransi Glukosa

Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu) dari hasil yang diperoleh. - TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembebanan antara 140 – 199 mg/dl - GDPT : glukosa darah puasa antara 100 – 125 mg/dl. (Soegondo et al, 2004).

Pemantauan glukosa darah di rumah oleh pasien sendiri merupakan bagian penting pengobatan Diabetes Mellitus tipe 1 atau tipe 2. Kadar glukosa dalam darah adalah tanda vital bagi penderita diabetes. Pemantauan glukosa darah di rumah merupakan salah satu cara yang akurat dan praktis untuk pengendalian glukosa dalam darah yang dilakukan setiap hari atau beberapa kali setiap hari. Darah yang diperiksa adalah whole blood dari kapiler yang diambil melalui tusukan pada ujung jari. Satu tetes darah diteteskan pada test strip yang mengandung glukosa oksidase. Hasilnya dapat dilihat pada meteran alat dalam 20 detik sampai 2 menit. Pada meteran alat tersebut, dapat pula diketahui dosis insulin yang diperlukan individu.

Pengendalian glukosa secara jangka panjang dipantau melalui haemoglobin glikosilat. Glukosa dalam darah cepat menempel dalam hemoglobin. Glukosa menempel pada hemoglobin sepanjang umur eritrosit, yaitu 90-120 hari. Pemantauan melalui hemoglobin glikosilat memberi hasil yang objektif karena tidak dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, lamanya Diabetes Mellitus dialami pasien atau kadar glukosa dalam darah yang terakhir. Hemoglobin glikosilat total memberi gambaran tentang pengendalian glukosa selama tiga tahun.

3. Pemeriksaan Urine

Pemeriksaan reduksi urine merupakan bagian dari pemeriksaan urine rutin yang selalu dilakukan di klinik. Hasil yang (+) menunjukkan adanya glukosuria. Beberapa hal yang perlu diingat dari hasil pemeriksaan reduksi urine adalah:

Pemeriksaan ini pertama sekali digunakan untuk tes skrining, bukan untuk menegakan diagnosis. Nilai hasil pemeriksaan reduksi urine dari nilai (+) sampai (++++ ) :

a. Jika reduksi (+): masih mungkin oleh sebab lain, seperti: renal glukosuria, obat-obatan, dan lainnya.

b. Reduksi (++) kemungkinan KGD: 200 –300 mg/dl c. Reduksi (+++) kemungkinan KGD: 300 – 400 mg/dl d. Reduksi (++++) kemungkinan KGD: 400 mg/dl

Glukosa tertumpah dalam urine hanya glukosa serum sudah mencapai “ambang ginjal”, yaitu ±180 mg/dl. Glukosa urine memberi data tentang glukosa darah yang sudah berlalu, bukan yang sesaat. Selain itu, pemantauan glukosa urine tidak dapat memberi data apakah glukosa darah pasien adalah tinggi (500 mg/dl) atau normal (110 mg/dl). Glukosa urine hanya bisa memberi data apakah pasien mempunyai glukosa darah yang tinggi beberapa jam yang lalu. Pemantauan glukosa urine sudah tidak dianjurkan untuk pengkajian kontrol glikemik.

Setelah pemeriksaan urine dilakukan, akan lebih baik pemantauan keton perlu dilakukan oleh individu dengan Diabetes Mellitus tipe 1 ketika ia jatuh sakit atau ketika hasil pemantauan glukosa darah di rumahnya lebih dari 300 mg/dl. Test skrip yang mengandung asetoasetat dicelupkan ke dalam urine. Lama waktunya bergantung pada pabrik yang memproduksinya. Bila yang tampak adalah warna kuning-keabu- abuan, berarti negatif. Warna akan berubah sesuai dengan kadar keton, bisa sampai ungu tua. Adanya keton dalam urine memerlukan tindakan medis yang cepat dan tepat bagi pasien dengan Diabetes Mellitus tipe 1. Tindakan menyangkut insulin, diet, dan asupan cairan untuk menghindari timbulnya diabetes ketoasidosis yang sangat berbahaya (Touchette, 2005).

Defenisi keadaan diabetes atau gangguan toleransi glukosa bergantung pada pemeriksaan kadar glukosa darah. Beberapa tes tertentu yang non glikemik dapat berguna dalam menentukan subklas, penelitian epidenmiologi, dalam menentukan mekanisme dalam perjalanan alamiah diabetes.

Untuk diagnosis dan klasifikasi ada indeks tambahan yang dapat dibagi atas dua bagian yakni sebagai berikut:

1. Indeks Penentuan Derajat Kerusakan Sel Beta

Hal ini dapat dinilai dengan pemeriksaan kadar insulin, pro-insulin, dan sekresi peptide penghubung (C-peptide). Nilai-nilai “Glycosilated hemoglobin” (WHO

memakai istilah “Glyclated hemoglobin”), nilai derajat glikosilasi dari protein lain dan tingkat gangguan toleransi glukosa juga bermanfaat untuk penilaian kerusakan ini.

2. Indeks Proses Diabetogenik

Untuk penilaian proses diabetogenik pada saat ini telah dapat dilakukan penentuan tipe dan sub-tipe HLA. Adanya tipe dan titer antibodi dalam sirkulasi yang ditujukan pada pulau-pulau Langerhans(islet cell antibodies), Anti GAD(Glutamic Acid Decarboxylase) dan sel endokrin lainnya adanya

cell-mediated immunity terhadap pancreas. Susunan DNA yang spesifik

ditemukan pada genoma manusia dan ditemukannya penyakit lain pada pankreas dan penyakit endokrin lainnya.

Kadar gula darah indikator penentu diabetes pada orang dewasa berbeda dengan diabetes pada anak-anak. Kadar glukosa darah normal pada anak-anak < 100 mg/dl dan glukosa darah setelah 2 jam mengkonsumsi sejumlah glukosa yang diberikan < 140 mg/dl. Akan tetapi cara untuk mendiagnosa diabetes pada anak-anak sama dengan cara mendiagnosa diabetes pada orang dewasa umumnya (Rubin, 2010).

2.8.2. Pra Diabetes

Kondisi pradiabetes dikenalkan pertama kali pada tahun 2002 oleh American Diabetes

Association (ADA) dan Human Service Secretary Tommy G. Thompson. Diagnosis

pradiabetes itu penting karena pradiabetes adalah kondisi kritis sebelum pengembangan menuju ke penyakit diabetes. Diagnosis pradiabetes sama dengan diagnosis diabetes yaitu dengan test glukosa darah di laboratorium. Pradiabetes didiagnosa apabila glukosa darah puasa di antara 100 dan 125 mg/dl (5.6 - 6.9 mmol/L) dan glukosa darah 2 jam setelah makan 75 gram glukosa , di antara 140 – 199 mg/dl (7.8-11.1 mmol, pada saat lebih dari satu kali pemeriksaan (Rubin, 2010).

Pada tahun 1997, Expert Committee on the Diagnosis and Classification of

Diabetes Mellitus of American Diabetes Association menerbitkan klasifikasi baru

Diabetes Mellitus yakni sebagai berikut:

1. Diabetes Mellitus tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM).

2. Diabetes Mellitus tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus

(NIDDM).

2.8.3. Diabetes Mellitus tipe 1/ Insulin Dependent Diabetes Mellitus

Pada tipe ini, kekurangan insulin terjadi secara absolut dimana pankreas tidak menghasilkan insulin atau menghasilkan insulin dalam jumlah yang tidak memadai.

Hal ini terjadi akibat sel β pankreas dihancurkan oleh proses autoimun pada orang- orang yang memiliki predisposisi secara genetis. Pada tipe ini glukosa banyak hilang melalui urine dan glukosa pada darah tidak dapat dipakai sehingga mengakibatkan banyak kalori yang hilang dan berat badan pasien menurun walaupun ia banyak makan.

Gambaran klinis, pasien umumnya kurus dan memiliki gejala-gejala poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, cepat lelah dan terdapat infeksi (abses, infeksi jamur misalnya kandidiasis). Ketoasisidosis dapat terjadi disertai dengan rasa mual, mengantuk, dan takipnea. Pasien membutuhkan insulin (Davey, 2006) .

2.8.4. Diabetes Mellitus tipe 2/ Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus

Pada tipe ini, kekurangan insulin terjadi secara relatif dimana pankreas menghasilkan insulin dalam jumlah normal, tetapi tidak efektif. Gambaran klinis sekitar 80% pasien memiliki kelebihan berat badan dan 20% pasien telah mengalami komplikasi seperti penyakit jantung iskemik, penyakit serebrovaskular, gagal ginjal, ulkus pada kaki dan gangguan penglihatan. Pasien dapat juga datang dengan poliuria dan polidipsia yang timbul perlahan-lahan. Pasien dengan tipe ini biasanya ditangani dengan pengaturan diet dan obat hipoglikemik oral (Davey, 2006).

BAB I

PENDAHULUAN

Dokumen terkait