• Tidak ada hasil yang ditemukan

Doktrin Tanggung Jawab Direksi dalam Perseroan Terbatas

BAB IV TANGGUNG JAWAB DIREKSI YANG BERTINDAK SEBAGAI PERSONAL GARANSI DALAM KEPAILITAN PERSEROAN

TANGGUNG JAWAB DIREKSI YANG BERTINDAK SEBAGAI PERSONAL GARANSI DALAM KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS

A. Doktrin Tanggung Jawab Direksi dalam Perseroan Terbatas

Dalam perkembangannya saat ini terdapat beberapa teori atau doktrin moderen dalam suatu perusahaan yang tujuannya adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan baik kepada direksi, komisaris, maupun RUPS. Selanjutnya penulis akan memaparkan secara rinci doktrin tanggung jawab direksi tersebut sebagai berikut:

a. Piercing the corporate veil.

Teori dalam hukum perusahaan yang disebut dengan teori penyingkapan tirai perusahaan (piercing the corporate veil) merupakan topik yang sangat populer dalam hukum perusahaan, bukan saja dalam tata hukum Indonesia, melainkan juga dalam tata hukum moderen di kebanyakan negara lain. Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan khususnya bagi pihak ketiga dengan pihak perusahaan mempunyai hubungan hukum tertentu.

Dalam ilmu hukum perusahaan, istilah piercing the corporate veil telah merupakan suatu doktrin atau teori yang diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain, atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku perseroan tersebut, tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh perseroan pelaku tersebut. Dalam hal seperti ini pengadilan akan mengabaikan status badan hukum dari

perusahaan tersebut dan membebankan tanggung jawab kepada pihak organizer dan manajer dari perseroan tersebut dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas dari perseroan sebagai badan hukum yang biasanya dinikmati oleh mereka. Biasanya teori piercing the corporate veil ini muncul dan diterapkan manakala ada kerugian atau tuntutan hukum dari pihak ketiga terhadap perseroan tersebut.69

Dalam pandangan prinsip fiduciary duty hubungan antara direksi dengan perseroan menimbulkan tugas bagi direksi dalam mengelola perseroan. Disini direksi sebagai organ vital dalam perseroan merupakan pemegang amanah (fiduciary), yang berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan. Doktrin fiduciary duty ini dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 92 ayat (1) UUPT yang mengatur bahwa kepengurusan perseroan dilakukan oleh direksi. b. Doktrin fiduciary duty terhadap direksi

70

Seorang dikatakan memilki fiduciary capacity jika bisnis yang ditransaksikannya uang/properti yang dihandel bukan miliknya atau bukan kepentingannya, melainkan milik orang lain dan untuk kepentingan orang lain tersebut, dimana orang lain tersebut mempunyai kepercayaan yang sangat besar kepadanya. Sementara itu dilain pihak dia wajib mempunyai itikad baik yang tinggi (high

degree of good faith) dalam menjalankan tugasnya.71

69

Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modren Dalam Corporate Law Eksistensinya Dalam

Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Citra Adiyta Bakti, 2002), hlm. 7-8.

70

Bismar Nasution, Makalah Pengelolaan Stakeholder Perusahaan, (Disampaikan pada pelatihan mengelola stakeholders yang dilaksanakan PT. Perkebunan Nusantara III Persero tanggal 17 oktober 2008 di Sei Karang), Sumatera Utara. hlm. 4-5.

Berdasarkan tradisi negara-negara common law, seperti Amerika Serikat yang telah mempunyai standar yang jelas untuk menentukan apakah seorang direktur dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam tindakan yang diambilnya yaitu didasarkan pada standar duty of loyality dan duty of care. Kewajiban utama dari direksi adalah kepada perusahaan secara keseluruhan bukan kepada pemegang saham baik secara individu maupun kelompok.

Dalam konteks direksi, sangat penting untuk mengontrol perilaku dari para direktur yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola perusahaan, termasuk menentukan standar perilaku (standart of conduct) untuk melindungi pihak-pihak yang akan dirugikan apabila seorang direktur berperilaku tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur.72

72

Bismar Nasution, Op.Cit. hlm. 6.

c. Doktrin gugatan derivatif action dalam Perseroan Terbatas.

Istilah derivatif action lahir pertama kali di Amerika Serikat dalam putusan perkara wallersteiner v. mour (No. 2) 1975 yang dijatuhkan oleh court of

appeal. Dalam kata tersebut mengandung arti: the individual shareholder is enforcing a right which is not his or hers but rather is’’ derived from company’’.

Ini berarti dalam derivative action, seorang atau lebih pemegang saham, diberikan hak untuk bertindak untuk dan atas nama perseroan melakukan tindakan hukum dalam bentuk pengajuan suatu gugatan terhadap anggota direksi perseroan, yang telah melakukan pelanggaran terhadap fiduciary dutynya. Derivation action ini berbeda dengan gugatan perorangan yang diajukan oleh satu atau lebih pemegang saham untuk kepentingannya sendiri sebagai pemegang saham dalam perseroan.

Dalam hal ini tidak setiap gugatan yang diajukan oleh pemegang saham untuk dan atas nama perseroan dapat diakui sebagai derivative action. Ada beberapa syarat memungkinkan dilakukannya derivative action yaitu:

1) Pemegang Saham tidak dapat mengajukan gugatan dalam bentuk derivatif

action, jika yang digugat adalah tindakan atau perbuatan anggota direksi yang

dapat disahkan oleh RUPS berdasarkan persetujuan sederhana (ordinary

resolution).

2) Walaupun tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh anggota direksi perseroan tersebut adalah tindakan atau perbuatan yang tidak dapat disahkan oleh RUPS (karena merupakan tindakan yang dikategorikan sebagai fraud on

the minority). Derivative action ini berhasil jika angota direksi yang

melakukan tindakan atau perbuatan yang melanggar fiduciary duty tersebut adalah anggota direksi yang dominan dan memegang kendali dalam perseroan, dan dalam tertentu telah disetujui oleh sebagian besar pemegang saham independen.

Gugatan derivatif action merupakan bentuk penyelesaian (remedy) yang paling penting dimana pemegang saham minoritas yang dirugikan berhak untuk meminta pertanggungjawaban direksi, karyawan, maupun pemegang saham mayoritas atas kesalahan dalam pengurusan atas perseroan, pengalihan harta perseroan, dan tindakan manipulasi yang merugikan perseroan.73

73

Gunawan Widjaja, Tanggungjawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: PT

Ultra vires yaitu suatu keadaan dimana suatu subjek hukum melakukan

tindakan melampaui wewenang yang dimiliki, diberikan atau diatur padanya.

Ultra vires dalam konteks korporasi dapat dilakukan oleh korporasi itu sendiri

atau direksi dari korporasi.74 Dalam hal ini UUPT menempatkan maksud dan tujuan perseroan pada posisi yang sangat sentral dalam anggaran dasar, karenanya jika ada maksud untuk mengubah anggaran dasar dan tujuan perseroan haruslah terlebih dahulu disetujui RUPS.75

Terdapat dua doktrin ultra vires oleh direksi ini, pertama doktrin apparent

authority yaitu ultra vires terjadi meskipun anggaran dasar telah tegas-tegas

menyatakan tidak memliki otoritas, tetapi pihak ketiga mengasumsikan bahwa otoritas yang dimiliki oleh direksi adalah sempurna. Kedua doktrin abuse of

authority, dimana direksi sebagai agen korporasi dan pemilik kedudukan fiduciary

yang melakukan hubungan kontraktual dan transaksi dengan pihak ketiga. Sedangkan yang hal itu merupakan pelanggaran kewajiban (breach of duty)

Apabila suatu korporasi melakukan kegiatan usaha yang melenceng dari lingkup usaha dan tujuan pendiriannya, maka korporasi tersebut telah melakukan

ultra vires. Akibat dari ultra vires ini adalah batal demi hukum atas hubungan

kontraktual yang dibuat korporasi tersebut. Dan apabila timbul kerugian maka maka kerugian itu akan menjadi tanggung jawab dari korporasi yang melakukan

ultra vires tersebut.

74

Freddy Harris&Teddy Anggoro, Op.Cit. hlm. 67-68. 75

karena dilakukan tanpa memiliki otoritas akibatnya batal demi hukum dan tidak mengikat kepada kekayaan korporasi.76

Doktrin business judgement rule ini berkaitan erat dengan doktrin

fiduciary duty. Doktrin ini mendudukkan manusia pada proporsi yang sebenarnya

dengan segala kekurangannya, yang sering mengalami pencapaian atau harapan yang gagal dari prediksi yang dirancang. Seorang direksi bagaimanapun tidak mungkin selalu benar dalam menjalankan usahanya, karena kekeliruan (error) adalah kelengkapan manusia. Jadi sudah sepantasnya jika seorang direksi perseroan tidak digeneralisir untuk bertanggung jawab atas kesalahan dalam mengambil keputusan (mere errors of judgement) tanpa mempertimbangkan unsur manusiawinya. Doktrin judgement rule memberikan perlindungan kepada direksi perseroan atas kemungkinan adanya kesalahan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang wajar dan manusiawi.

e. Doktrin Business Judgement Rule.

77

Aplikasi secara implicit atau ekspilisit dari teori business judgment rule dalam pengadilan di Kanada lebih memfokuskan perhatian hukum (judicial

Dalam ilmu hukum teori business judgment rule diartikan sebagai aplikasi spesifik dari standar tingkah laku direktur pada sebuah situasi dimana pemeriksaan secara wajar, direktur yang tidak mempunyai kepentingan pribadi menggunakan serangkaian tindakan dengan itikad baik, jujur dan secara rasional percaya bahwa tindakan dilakukannya hanya semata-mata untuk kepentingan perusahaan.

76

Freddy Harris&Teddy Anggoro, Loc. Cit. hlm. 67-68. 77

attention) dari proses pengambilan keputusan daripada hasil dari keputusan yang

dibuat tersebut.Sehingga penting bagi direktur untuk menjamin hal-hal yang sesuai dengan standard dan prosedur yang terdapat dalam Perusahaannya sebelum mengambil suatu keputusan bisnis.78

Tugas-tugas dalam mengurus perseroan terkadang akan menemui transaksi yang menyangkut dirinya sendiri (self dealing transaction). Transaksi ini, antara lain transaksi yang dilakukan oleh dua perseroan yang mempunyai direksi yang sama, juga transaksi antara perusahaan holding dengan anak perusahannya. Dalam perkembangannya, model transaksi yang dikualifikasikan sebagai self dealing

transaction dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.

f. Doktrin transaksi untuk diri sendiri (self dealing)

79

Transaksi self dealing temasuk ke dalam transaksi yang berbentur kepentingan, yakni dalam transaksi tersebut terdapat kepentingan dari pihak direksi, padahal lawan dari transaksi tersebut adalah perseroan, maka adalah lumrah saja jika transaksi tersebut sangat rentan terhadap akibat yang tidak fair

Terhadap transaksi self dealing, direksi diwajibkan untuk melakukan keterbukaan. Pada prinsipnya keterbukaan yang mesti dilakukan direksi terhadap transaksi self

dealing adalah sebagai berikut.

1). Terhadap transaksi dengan perseroan berupa jual beli saham perseroan dengan direksi tersebut.

2). Terhadap transaksi lainnya antara direksi dengan perseroan.

78

Bismar Nasution, Op.Cit. hlm. 8. 79

bagi perseroan. Kalaupun transaksi itu diperkenankan, haruslah dibuktikan secara nyata bahwa transaksi tersebut layak dilakukan secara fair dan businesslike.80

Doktrin corporate oppurtinity adalah doktrin moral jabatan. Inti doktrin ini adalah larangan penyalahgunaan jabatan apapun untuk kepentingan dirinya, keluarganya, dan kelompoknya. Moral yang dipesankan dalam doktrin ini adalah kejujuran dalam menjalankan amanah sebagai pemegang jabatan dan sejalan dengan doktrin larangan korupsi, kolusi, nepotisme.

h. Doktrin Corporate Opportunity

Berdasarkan tugas direksi yang sudah dijelaskan di atas, maka sudah selayaknya direksi tersebut melakukan perbuatan yang menguntungkan perusahaan. Jadi apabila direksi telah membelokkan keuntungan yang seharusnya diperoleh perusahaan menjadi keuntungan direksi, maka kepada direksi yang bersangkutan juga dimintakan pertanggungjawaban oleh pihak yang dirugikan.

Dalam Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995, ketentuan ini menjadi penting, sebab terdapat fakta materiil yang wajib diinformasikan kepada publik, tetapi informasi tersebut harus diinformasikan pada waktu yang tepat karena apabila informasi tersebut diberikan sebelum waktunya, maka tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan yang melanggar hukum.

81

Tanggung jawab direksi menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas, pada prinsipnya, direksi bertanggung jawab secara pribadi tidak hanya terhadap tindakannya yang dilakukan dalam kapasitasnya sebagai pribadi, tetapi juga dalam

80

hal-hal tertentu, terhadap perbuatan yang dilakukan dalam kedudukannya sebagai direksi, dalam hal tertentu dia bertanggung jawab tidak hanya atas tindakan yang dilakukannya sendiri melainkan juga atas tindakan direksi lainnya, atau bahkan sampai batas-batas tertentu direksi bertanggung jawab juga atas tindakan orang lain yang bukan direksi yang dilakukan untuk dan atas nama perseroan.

Dengan demikian, apabila seorang direksi melakukan suatu perbuatan tertentu dalam kedudukannya sebagai direksi perusahaan dalam artian bukan dalam kapasitasnya selaku pribadi, maka dalam hal yang demikian direksi tersebut telah melakukan tindakan untuk dan atas nama perusahaan. Sehingga tindakan yang demikian telah merupakan tindakan perusahaan.

Pada prinsipnya, setiap konsekwensi yuridis atas tindakan perseroan, baik atau buruk, akan dipikul sendiri atas perusahaan tersebut. Namun demikian, undang-undang mengenal juga beberapa pengecualian. Sungguhpun itu merupakan tindakan perseroan, dibuka kemungkinan bukannya perusahaan yang bertanggung jawab tetapi pihak lain misalnya direksi secara pribadi ataupun secara renteng.82

82

Munir Fuady, Hukum Bisnis Teori Dan Praktek, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm.73.

Tanggung jawab direksi bersumber dari ketergantungan Perseroan Terbatas pada direksi sebagai salah satu organ Perseroan Terbatas. Ketergantungan Perseroan Terbatas terhadap direksi tersebut diwujudkan dalam bentuk pendelegasian Perseroan Terbatas kepada direksi untuk dikelola atas dasar kepercayaan tanggung jawab (fiduciary duty). Oleh karena itu keberadaan Perseroan Terbatas dengan direksi saling mendukung, dalam arti adanya

Perseroan Terbatas adalah sebab keberadaan direksi dan keberadaan direksi adalah sebab adanya Perseroan Terbatas.

Apabila terdapat indikasi anggota direksi melakukan kesalahan atau lalai dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, sehingga menimbulkan kerugian pada perseroan maka atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit satu persepuluh bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan terhadap direksi ke pengadilan.

Pada dasarnya, Undang-Undang Perseroan Terbatas menganut sistem perwakilan kolegial, yang berarti tiap-tiap anggota direksi berwenang mewakili perseroan. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan dalam anggaran dasar ditetapkan bahwa hak mewakili perseroan tersebut dibatasi hanya oleh anggota direksi tertentu saja. Adakalanya wewenang mewakili perseroan oleh direksi hilang (tidak berwenang), apabila terjadi perkara antara perseroan dengan anggota direksi yang bersangkutan atau anggota direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan dengan perseroan. Bila terdapat keadaan seperti ini maka yang berwenang mewakili perseroan adalah sebagai berikut:

a. Anggota direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan

b. Dewan Komisaris dalam hal seluruh anggota direksi mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan

c. Pihak lain yang ditunjuk RUPS dalam hal seluruh anggota direksi atau Dewan Komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan

d. Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada satu orang karyawan perseroan atau lebih kepada orang lain untuk dan atas nama perseroan melakukan kewajiban direksi.83

Dokumen terkait