• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PUNGUTAN SAWIT DAN URGENSI REPLANTING BAGI INDUSTRI SAWIT NASIONAL*

EVALUASI PUNGUTAN SAWIT DAN URGENSI

Pendahuluan

Perkembangan perkebunan sawit Indonesia tergolong sebuah perkembangan komoditas yang revolusioner, khususnya perkembangan perkebunan sawit oleh petani sawit independent, sejak tahun 2000 an. Hingga tahun 2014, proporsi perkebunan sawit rakyat berkembang pesat hingga mencapai 41,55% dari total luas areal, Perkebunan sawit milik negara (PTPN) seluas 0,75 juta Ha atau 6,83% dari total luas areal milik swasta seluas 5,66 juta Ha atau 51,62% (swasta asing seluas 0,17 juta Ha).

Perkembangan yang pesat ini memunculkan sebuah optimisme, bahwa masa depan industri sawit Indonesia akan berada di tangan rakyat.

Perkembangan industri sawit Indonesia memiliki damak yang sangat luas bagi perekonomian makro Indonesia, baik sebagai lapangan penyerap tenaga kerja, sumber devisa melalui ekspor, termasuk penyelamat defisit neraca perdagangan Indonesia. Di sisi lain, sangat menonjol, bagaimana perkebunan sawit Indonesia mampu mengubah peta pembangunan di daerah daerah, di sejumlah Provinsi di Indonesia, termasuk mendorong pertumbuhan PDRB dan peurunan kemiskinan.

Dalam lingkup global, perkebunan sawit Indonesia juga mendukung terwujudnya Sustainable Development Goals (Keputusan sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada 25 September 2015 lalu, dengan 17 tujuan besar SDGs). Platform pembangunan global SDGs tersebut meng-endorse multifungsi perkebunan kelapa sawit

Evaluasi Pungutan Sawit dan Urgensi Replanting 669

nasional yang selama ini diperjuangkan (Monitor PASPI Vol. 1 No. 1).

Peran srategis pembangunan perkebunan kelapa sawit termasuk industri terkait, meliputi tiga aspek penting, yakni aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.

Termasuk implementasi konsep sustainabilitas melalui ISPO maupun RSPO menunjukkan industri sawit Indonesia adalah on the right track dengan SDGs tersebut.

Dengan peran yang sedemikian luas, maka perkebunan sawit rakyat memiliki kedudukan yang penting, dan perlu mendapat perhatian yang lebih besar, untuk Industri Sawit Indonesia di masa mendatang.

Evaluasi Pungutan Sawit (Bea Keluar Maupun CPO Fund)

Secara teori ekonomi, pungutan sawit merupakan salah satu bentuk kebijakan dalam pajak ekspor (export tax) yang mempengaruhi harga CPO domestik dan harga CPO fob. Jika sebelum pemberlakuan pungutan ekspor, harga CPO domestik akan sama dengan harga CPO dunia (fob). Pemberlakuan pungutan sebesar t satuan, akan menaikkan harga fob CPO, dan berdampak pada penurunan harga CPO domestik. Akibatnya harga CPO f.o.b setelah pemberlakuan pungutan akan lebih tinggi dari dari harga CPO domestik. Artinya terjadi disparitas harga CPO domestik dengan harga CPO f.o.b.

Dalam kaitan dengan hal tersebut menarik untuk diamati pergerakan disparitas harga CPO domestik dengan harga CPO f. ob baik dalam periode masih berlaku Bea

Keluar (BK) Ekspor (harga CPO dunia masih di atas USD 750 per ton), masa Bea Keluar nol dan masa pemberlakuan pungutan ekspor.

Dalam periode dimana BK masih berlaku (Januari 2011 - Juli 2014), harga CPO f.o.b lebih tinggi dari harga CPO domestik, sehingga disparitas harga CPO (harga domestik dikurang harga f.o.b) menjadi negatif. Sebaliknya ketika BK nol akibat harga CPO dunia sudah di bawah USD 750/ton, harga CPO domestik lebih tinggi dari harga CPO f.o.b, sehingga disparitas harga menjadi positif. Secara teoritis seharusnya disparitas harga tersebut pada periode dimana BK nol, akan mendekati nol dimana harga CPO domestik sama dengan harga fob-nya. Menuju kondisi demikian, memerlukan waktu penyesuaian sehingga kemungkinan disparitas positif masih mungkin terjadi sementara, namun perlahan-lahan disparitas akan menuju nol yakni menuju harga domestik sama dengan harga f.o.b.

Proses menuju disparitas harga nol sudah mulai terjadi sejak Februari 2015 sampai Juni 2015. (Gambar 9.1)

Gambar 9.1. Disparitas Harga CPO Januari 2011 Sampai Juni 2016

-2000 -1500 -1000 -500 0 500 1000

Jan-11 Mar May Jul Sep Nov Jan-12 Mar May Jul Sep Nov Jan-13 Mar May Jul Sep Nov Jan-14 Mar May Jul Sep Nov Jan-15 Mar May Jul Sep Nov Jan-16 Mar May

Bea Keluar

Evaluasi Pungutan Sawit dan Urgensi Replanting 671

Tabel 9.1. Dampak Pungutan Ekspor Terhadap Harga CPO Domestik

Bulan

Harga CPO (USD/ton)

Kurs (Rp/USD)

Harga CPO Domest ik jika Tanpa Pungut an Ekspor (Rp/kg )3

Harga CPO Domest ik Aktual Dumai / Belawa n sebelu m PPN (Rp/kg )2

Selisih harga CPO domestic aktual - PPN dengan harga

tanpa pungutan

ekspor (Rp/kg) 4 cif

Rotter dam1

fob Dumia/B

elawan 2

Rata-rata Jan 2011 s/d Des

2014 903 851 20,122 8,996 8526 -470

Rataan Jan-Jun

15 665 628 12,966 8,137 7,663 -474

Jul 2015 632 598 13,367 7,987 7,075 -912

Ags 2015 548 503 13,782 6,932 5,931 -1002

Sep 2015 529 486 14,396 7,001 6,058 -943

Okt 2015 578 538 13,796 7,426 6,296 -1131

Nov 2015 554 501 13,673 6,854 5,852 -1002

Des 2015 563 520 13,855 7,199 6,268 -931

Jan-16 596 523 13,889 7,263 6,390 -873

Feb 2016 633 606 13,516 8,195 7,257 -938

Mar 2016 680 651 13,193 8,583 7,641 -942

April 2016 645 712 13,180 9,389 8,526 -863

Mei 2016 618 676 13,420 9,065 8,175 -890

Jun 2016 623 647 13,355 8,646 8,642 -4

Rataan Jul

15-Jan 16 600 580 13,618 7,878 7,009 -869

Sumber : 1 = Oil World, 2 = SMART Investor Relations, 3 = fob belawan x kurs x 10-3,4 = (harga CPO aktual – harga CPO tanpa pungutan ekspor)

Pada masa berlakunya pungutan ekspor atau CPO Fund (Juli 2015-Juni 2016) dan Bea Keluar (BK) masih nol,

disparitas harga kembali negatif (sama seperti periode dimana BK berlaku). Disparitas harga tersebut menunjukkan harga f.o.b lebih tinggi dari harga domestik, merupakan akibat dari pungutan ekspor. Data empiris tersebut sesuai dengan teori ekonomi pengaruh pajak ekspor sebagaimana telah didiskusikan di atas.

Selama periode Juli 2015 sampai Juni 2016 dimana kebijakan pungutan ekspor diberlakukan, harga CPO dunia memang cenderung mengalami penurunan. Periode Januari sampai Juni 2015 dimana kebijakan pungutan ekspor diberlakukan, harga dunia (f.o.b) rata-rataUSD 628 per ton atau setara dengan Rp 8137 per Kg CPO (Tabel 1.13). Namun dalam periode Juli 2015 sampai Januari 2016,harga CPO dunia mengalami penurunan bahkan pernah mencapai USD 486 per ton, dengan rata-rata periode tersebut USD 524 per ton.

Dengan demikian, argumen pemerintah yang mengatakan bahwa pungutan ekspor CPO dimaksudkan untuk mencegah penurunan harga CPO dunia, tidak terbukti. Bahkan sebaliknya, harga CPO dunia justru mengalami penurunan hampir USD 100 per ton sejak pungutan diberlakukan sampai 31 Juni 2016.

Sesungguhnya secara teoritis sebagaimana analisis PASPI (2015), pengurangan volume ekspor CPO dunia ke pasar dunia akan dapat mendongkrak harga CPO jika : (1) terjadi penurunan volume ekspor minyak sawit Indonesia secara signifikan akibat pemberlakuan pungutan ekspor, dan (2) jika variabel permintaan dunia seperti pertumbuhan ekonomi, harga minyak nabati lain dan harga minyak fosil tidak turun. Faktanya selama Juli sampai Desember 2015 volume ekspor minyak sawit Indonesia justru meningkat

Evaluasi Pungutan Sawit dan Urgensi Replanting 673

(dibanding periode yang sama tahun sebelumnya) dari 11.

9 Juta ton menjadi 14 juta ton. Kemudian ketiga variabel yang mempengaruhi permintaan dunia tersebut juga mengalami penurunan.

Dengan harga CPO dunia yang demikian, harga CPO domestik pada periode analisis adalah sebagai berikut.

Seandainya pungutan ekspor tidak diberlakukan (Without Export Levy) harga CPO didalam negeri adalah rata-rata Rp 7.878 per Kg CPO atau turun dari rata-rata tahun 2011 sampai 2014 yakni Rp 8996 per Kg CPO, dan menurun lagi pada periode Januari 2015-Juni 2015 yakni Rp 8137 per Kg CPO. Namun dengan pemberlakuan pungutan ekspor (with export levy) harga CPO domestik (aktual) menjadi lebih rendah yakni rata-rata Rp 7009 per Kg CPO. Atau selisih pengurangan harga CPO antara harga aktual dengan harga tanpa pungutan ekspor sebesar Rp -869 per Kg CPO.

Selisih harga tersebut merupakan kombinasi ketidaksempurnaan pasar (imperfect market) CPO dan pengaruh pungutan ekspor. Hal ini tercermin dari periode Januari-Juni 2015 dimana bea keluar sebesar nol dan pungutan sawit (CPO Fund) belum diberlakukan, selisih harga tersebut masih terjadi, yakni rata-rata Rp 474 per kg. Dengan asumsi adanya pengaruh ketidaksempurnaan pasar tersebut masih berlanjut pada periode Juli 2015 - Januari 2016 maka pengaruh murni pungutan ekspor (CPO Fund) terhadap penurunan harga CPO domestik adalah Rp.

-395 per Kg CPO (Rp 869 – Rp 474 = 395).

Meskipun selama periode tersebut kurs rupiah mengalami pelemahan dari Rp 12.966 (rataan Januari-Juni 2015) menjadi Rp 13618 (rataan Juli 2015-Juni 2016) yang seharusnya dapat mengangkat harga CPO di dalam negeri,

pelemahan rupiah ternyata juga tidak mampu mengangkat harga CPO domestik baik akibat pungutan ekspor maupun akibat penurunan harga dunia. Dampak dari kebijakan pajak ekspor secara empiris sudah banyak diungkap peneliti terdahulu (Tomic dan Mawardi, 1995; Larson, 1996; Susila, 2004; Joni, 2012). Hasil studi tersebut mengungkapkan bahwa kebijakan pajak ekspor minyak sawit Indonesia (apapun bentuknya) merugikan Indonesia secara keseluruhan dan menurunkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar internasional. Produsen CPO/TBS termasuk petani sawit adalah yang paling dirugikan.

Jika diasumsikan produksi CPO Indonesia tahun 2015 adalah 32 juta ton dimana 55 persen (17.6 juta ton) terjadi pada periode Juli - Desember 2015. Dengan pengurangan harga CPO akibat pungutan ekspor yang diterima produsen sebesar Rp -512 per Kg CPO, maka besarnya kehilangan pendapatan perusahaan-perusahaan penghasil CPO di Indonesia adalah sekitar Rp 9.03 triliun. Jika diperinci perkebunan sawit negara (PTPN) kehilangan pendapatan sebesar Rp. 622 miliar selama periode Juli-Desember 2015. Petani sawit rakyat (setara CPO) kehilangan pendapatan sebesar Rp 3.2 triliun. Sedangkan perusahaan swasta kehilangan pendapatan sebesar Rp 5.2 triliun pada periode yang sama. Sementara besarnya penerimaan pungutan yang diterima pemerintah dalam periode tersebut diperkirakan hanya sekitar Rp 6 triliun dari sekitar 14 juta ton minyak sawit yang diekspor Indonesia selama periode Juli-Desember 2015. Dengan demikian sama dengan studi-studi kebijakan bentuk-bentuk pajak ekspor minyak sawit terdahulu yang mengungkap bahwa secara keseluruhan nilai kerugian

Evaluasi Pungutan Sawit dan Urgensi Replanting 675

yang dialami Indonesia jauh lebih besar dari penerimaan pemerintah dari pajak ekspor dan surplus konsumen.

Kerugian produsen CPO sebagaimana dikemukakan di atas terjadi karena metode pemberlakuan pungutan ekspor dilakukan secara tidak langsung (indirect export levy), sehingga mempengaruhi mekanisme pembentukan harga CPO didalam negeri. Seandainya pemberlakuan pungutan ekspor dapat dirubah menjadi pungutan langsung (direct export levy) maka tidak mempengaruhi mekanisme pembentukan harga CPO didalam negeri sehingga produsen CPO tidak akan dirugikan. Dengan metode langsung tersebut, pungutan ekspor hanya diberlakukan pada perusahaan yang bergerak dalam eksportir minyak sawit dan dengan beban yang tetap setiap tahun. Bahkan (Penjelasan Pasal 5 PP No. 24/2015) beban eksportir tersebut berpeluang untuk dibiayakan sebagai biaya yang tidak diperhitungkan dalam perhitungan PPh badan.

Fakta empiris menunjukan bahwa adalah tidak benar pandangan yang mengatakan pungutan ekspor akan menaikkan harga CPO domestik. Juga tidak benar, bahwa harga CPO domestik dengan pemberlakuan pungutan ekspor (with export levy) akan lebih tinggi dari harga CPO domestik tanpa PE (without export levy). Dalam kondisi harga CPO dunia yang mengalami penurunan, adanya pungutan ekspor justru makin menurunkan harga CPO domestik lebih besar dari pungutan ekspor yang diberlakukan.

Sebagaimana studi-studi dampak kebijakan pajak ekspor minyak sawit terdahulu, secara keseluruhan nilai kerugian yang dialami Indonesia akibat pungutan ekspor

jauh lebih besar daripada penerimaan pemerintah dari pungutan ekspor minyak sawit. Dan pihak yang paling dirugikan adalah para produsen CPO didalam negeri baik petani sawit, BUMN sawit, perusahaan perkebunan kelapa sawit kecil-menengah maupun perusahaan perkebunan kelapa sawit besar.

Kerugian Petani

Hasil penelitian ini mendukung hipotesa bahwa pungutan CPO Supporting Fund yang diberlakukan dan dihimpun oleh BPDP Kelapa Sawit, berdampak negatif bagi petani. Hal ini terlihat dari koefisien peubah (variabel) CSF yang memiliki tanda negatif dan signifikan (Tabel 9.2).

Berdasarkan data rentang waktu penelitian, dampak pungutan ekspor CPO dapat dibagi dalam 2 bagian, yakni (a) Bea Keluar pada periode Januari 2011 s/d Desember 2014); dan (b) pemberlakuan CPO Fund yang dikelola oleh BPDP Kelapa Sawit – dibawah Kementerian Keuangan RI pada periode Juli 2015-Juni 2016.

Data di atas menunjukkan bahwa selama periode pemberlakuan Bea keluar (export tax), (Januari 2011-2014) kerugian yang ditanggung Produsen CPO adalah rata-rata Rp 491/kg atau negatif 5,45 %. Sedangkan di tingkat petani, kerugiannya mencapai Rp 288 per kg atau negatif 15.67 %. Sedangkan pada saat pemberlakuan CPO Fund, (Januari 2015-Juni 2016) kerugian produsen CPO adalah Rp 170 per kg atau 2,16 %. Sedangkan di tingkat petani, kerugiannya mencapai Rp 261 per kg atau negatif

Evaluasi Pungutan Sawit dan Urgensi Replanting 677

Tabel 9.2. Penurunan Harga Akibat Pungutan Sawit

Pungutan Bea

Keluar Pungutan CPO Fund (2011 – 2014) (Jul 2015-Jun 2016) Harga CPO (Rp/kg)

Tanpa Pungutan 9.020 7.878

Dengan Pungutan 8.528 7.708

Penurunan - 491 - 170

Persen perubahan

(%) -5.45 -2.16

Harga TBS/petani (Rp/kg)

Tanpa Pungutan 1.804 1.576

Dengan Pungutan 1.516 1.315

Penurunan - 288 - 261

Persen perubahan

(%) -15.97 -16.54

Bila dibandingkan antara Produsen CPO dengan petani, maka jelas terlihat yang paling menderita rugi adalah petani, yakni sebesar 15.97 % pada saat periode bea keluar, dan lebih besar pada saat pemberlakuan CPO Fund. Sedangkan produsen CPO mengalami kerugian yang lebih besar pada saat periode bea keluar (5.45%) dibandingkan dengan periode CPO Fund (2.16%).

Dengan demikian sama dengan studi-studi kebijakan bentuk-bentuk pajak ekspor minyak sawit terdahulu yang mengungkap bahwa secara keseluruhan nilai kerugian yang dialami Indonesia jauh lebih besar dari penerimaan pemerintah dari pajak ekspor dan surplus konsumen.

Kerugian produsen CPO sebagaimana dikemukakan di atas terjadi karena metode pemberlakuan pungutan ekspor dilakukan secara tidak langsung (indirect export levy),

sehingga mempengaruhi mekanisme pembentukan harga CPO didalam negeri. Seandainya pemberlakuan pungutan ekspor dapat dirubah menjadi pungutan langsung (direct export levy) maka tidak mempengaruhi mekanisme pembentukan harga CPO didalam negeri sehingga produsen CPO tidak akan dirugikan. Dengan metode langsung tersebut, pungutan ekspor hanya diberlakukan pada perusahaan yang bergerak dalam eksportir minyak sawit dan dengan beban yang tetap setiap tahun. Bahkan (Penjelasan Pasal 5 PP No. 24/2015) beban eksportir tersebut berpeluang untuk dibiayakan sebagai biaya yang tidak diperhitungkan dalam perhitungan PPh badan.

Fakta empiris menunjukan bahwa adalah tidak benar pandangan yang mengatakan pungutan ekspor akan menaikkan harga CPO domestik. Juga tidak benar, bahwa harga CPO domestik dengan pemberlakuan pungutan ekspor (with export levy) akan lebih tinggi dari harga CPO domestik tanpa PE (without export levy). Dalam kondisi harga CPO dunia yang mengalami penurunan, adanya pungutan ekspor justru makin menurunkan harga CPO domestik lebih besar dari pungutan ekspor yang diberlakukan.

Sebagaimana studi-studi dampak kebijakan pajak ekspor minyak sawit terdahulu, secara keseluruhan nilai kerugian yang dialami Indonesia akibat pungutan ekspor jauh lebih besar daripada penerimaan pemerintah dari pungutan ekspor minyak sawit. Dan pihak yang paling dirugikan adalah para produsen CPO didalam negeri baik petani sawit, BUMN sawit, perusahaan perkebunan kelapa sawit kecil-menengah maupun perusahaan perkebunan kelapa sawit besar.

Evaluasi Pungutan Sawit dan Urgensi Replanting 679

Kesimpulan

Pajak diperlukan pemerintah sebagai salah satu sumber penting untuk membiayai aktivitaspemerintahan, pembangunan, dan lain-lain. Namun pengenaan pajak tidak hanya sekedar mengumpulkan uang untuk memperbesar penerimaan negara tetapi juga harus selektif dan mempertimbangkan potensi dampak negatif yang ditimbulkannya, terutama petani yang mayoritasnya berpendapatan rendah. Sama halnya dengan CPO Fund.

Kontribusi penting dari penelitian ini adalah untuk menganalisis secara mendalam dampak kebijakan pemerintah tentang pungutan USD 50 per ton atas ekspor CPO Indonesia, sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 24/2015 dan Peraturan Presiden No.

61/2015. Secara khusus penelitian ini menguji dampak Crude Palm Oil Supporting Fund terhadap harga tandan buah segar(TBS) di tingkat petani.

Harga CPO (FOB Belawan) berpengaruh positif dan signifikan terhadap harga tandan buah segar di tingkat petani. Pungutan CPO Supporting Fund (CSF) berpengaruh negatif terhadap harga tandan buah segar. Dengan adanya penambahan CPO Supporting Fund (CSF), maka harga TBS akan menurun. Secara empiris, harga di tingkat petani menurun rata rata Rp 300 per kg. Hasil pengujian, menunjukkan signifikan. Nilai tukar Rupiah terhadap US $ (EXRI) berpengaruh positif terhadap harga tandan buah segar (PTBS) di tingkat petani. Pengujian harga TBS dan CPO menunjukkan, terdapat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah pemberlakuan Crude Palm Oil Supporting Fund.

Urgensi Replanting

Dengan melihat kerugian yang ditanggung petani, sementara kontribusi minyak sawit (termasuk dari petani) tergolong besar bagi pembangunan ekonomi Indonesia, maka tidaklah berlebihan bila pungutan ini dikembalikan ke petani dengan proporsi yang lebih besar. Bukan untuk mengkompensasi kerugian itu saja, tetapi juga sekaligus untuk menjamin masa depan industri sawit Indnesia.

Mengapa replanting ini sangat urgen pada saat ini?

Karena umur perkebunan rakyat sebagian besar sudah mencapai 1 siklus (25 tahun). Dan sekaligus ini momentum yang sangat tepat untuk memperbaiki produktivtas kelapa sawit Indonesia, dengan perbaikan genetik dan perbaikan teknis agronomis (best practices) yang baik. Hal ini sekaligus sejalan dengan adanya moratorium, dan pilihan keiakan Indonesia adalah peningkatan produktivitas dan kebijakan yang mengarah pada intensifikasi dan bukan ekstensifikasi.

Dengan replanting ini produktivitas petani yang berkisar 1 hingga 2 ton per hektar dapat ditingkatkan menjadi 4 hingga 6 ton per herktar melalui pemilihan bibit yang teruji dan unggul. Dengan berdasar pada epentingan Indonesia yang lebih luas, maka hambatan hambatan dalam implementasi replanting (karena kurang terpenuhinya prasyarat yang ditetapkan pihak perbankan), maka tidak ada pilihan lain selain membuat kebijakan benar benar pro pembangunan.