• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Faktor Epidemiologik

Faktor epidemilogik yang terpenting adalah usia dan setelah itu adalah mekanisme cedera itu sendiri. Terdapatnya trauma ganda atau keadaan hipoksia dan hipotensi juga mempengaruhi prognosis (Sastrodiningrat,2006).

2.2.1. Usia

Usia merupakan faktor kuat yang mempengaruhi mortalitas dan morbiditas. Banyak literatur menyebutkan penderita cedera kepala usia anak-anak lebih memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa. Pengaruh signifkan ini tidak bisa menjelaskan hubungan penderita intraserebral hematom yang dikelompokkan dengan usia dengan komplikasi sistemik yang terjadi. Peningkatan usia merupakan faktor independen kuat denganoutcome yang buruk

pada penderita usia di atas 60 tahun (Chessnut, 2000; Letarte, 2008).

Penelitian prospektif oleh Traumatic Coma Data Bank (TCDB)

memperlihatkan kecelakaan kenderaan bermotor, 55% terjadi pada usia 15-25 tahun, 5% diantaranya meninggal. Pasien usia tua memiliki outcome yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien usia muda. Penelitian menurut TCDB,

memperlihatkan adanya peningkatan dijumpainya penyakit sistemik sejalan dengan peningkatan usia. Dijumpai peningkatan signifikan persentase outcome

yang buruk (meninggal dan status vegetatif) pada pasien-pasien usia di atas 56 tahun yang disertai adanya penyakit sistemik pada diri penderita. Hubungan ini tidak dijumpai pada pasien usia muda (Bahloul dkk,2009; Chessnut,2000).

Tampak adanya korelasi negatif antara usia yang bertambah dan penyembuhan pada cedera kepala berat. Didalam beberapa penelitian, usia merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi penyembuhan. Penderita -penderita cedera kepala berat diatas umur 65 tahun akan mempunyai angka

8

mortalitas dua kali lebih besar dibandingkan penderita-penderita yang berumur dibawah 65 tahun (Sastrodiningrat,2006).

Bila ditentukan skor GCS pada waktu masuk dirawat dan adanya lesi

massa ekstra-aksial, maka penderita-penderita yang lebih tua selalu lebih buruk daripada yang lebih muda usianya (Volmerr,1991). Gambaran klinis cedera kepala berat berbeda-beda, tergantung pada usia penderita. Kejadian tindakan operasi juga meningkat sehubungan dengan meningkatnya usia, demikian pula mortalitas akan meningkat karena adanya lesi massa (mass lesion ). Anak anak dan orang

dewasa muda dengan cedera kepala cenderung untuk mendapat cedera difus, misalnya cedera akson difus (difffuse axonal injury ; DAI) atau edema serebral , dan secara keseluruhan mempunyai mortalitas yang lebih rendah. Bruce dkk (1987) melaporkan bahwa 90% anak anak penderita cedera kepala berat dari suatu seri penelitian, mendapat penyembuhan yang baik atau dengan defisit neurologik ringan. Di San Francisco General Hospital, anak-anak dengan cedera

kepala berat yang menunjukkan herniasi transtentorial, 53% menunjukkan penyembuhan yang baik atau dengan defisit neurologik ringan sedangkan sisanya meninggal tetapi tidak seorangpun berada dalam keadaan vegetatif atau dengan defisit neurologik berat (Andrews,1989; Bruce,1987).

Penderita penderita dewasa muda lebih sering mendapat cedera akson difus (DAI) tanpa adanya lesi massa ekstra-aksial, tetapi pada usia yang makin meningkat, kejadian perdarahan subdural (PSD) akut dan perdarahan intraserebral ( PIS ) juga meningkat dan berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan

morbiditas. Kejadian perdarahan subarakhnoid traumatik (traumatic subarachnoid hemorrhage ; tSAH), kompresi ventrikel, kompresi sisterna basal, dan pergeseran

garis tengah (midline shift) juga sesuai dengan peningkatan usia dan berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk (Sastrodiningrat,2006).

Pada pemeriksaan klinis awal, pada penderita usia tua ditemukan gangguan-gangguan yang lebih buruk dibandingkan dengan penderita-penderita yang lebih muda. Gutterman dan Shenkin (1979) menemukan bahwa penderita -penderita usia tua jarang pulih dari keadaan deserebrasi dibandingkan dengan penderita-penderita usia muda. Pasien dewasa yang pada pemeriksaan awal waktu dirawat menunjukkan herniasi transtentorial mempunyai penyembuhan fungsional 18% dibandingkan dengan 55% pada anak- anak kecil dan anak belasan tahun, 70% penderita dewasa meninggal dibandingkan dengan 45% pada anak anak kecil dan anak belasan tahun.

Usia adalah faktor yang kuat dalam mempengaruhi prognosis pada umumnya disepakati bahwa anak anak bernasib lebih baik daripada orang orang tua berusia lanjut. Pengaruh yang bermakna dari usia bukan karena adanya komplikasi sistemik atau hematoma intraserebral sesuai dengan pertambahan usia. Meningkatnya usia adalah faktor independen di dalam prognosis, terjadi peningkatan outcome buruk yang bermakna pada usia > 60 tahun

10

2.2.2. Hipotensi

Hipotensi, yang bisa muncul kapan saja akibat trauma, telah dijadikan prediktor utama terhadap outcome pada pasien cedera kepala berat. Hipotensi

merupakan faktor yang sering ditemukan diantara kelima faktor terkuat yang mempengaruhi outcome pasien cedera kepala. Riwayat penderita dengan kondisi

hipotensi berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien cedera kepala (Chessnut, 2000; Demetriades, 2004).

Terdapatnya cedera sistemik ganda terutama yang berhubungan dengan hipoksia sistemik dan hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg), memperburuk prognosis penyembuhan (Bowers,1980). Miller dkk(1978) menemukan 13% penderita dengan hipotensi dan 30 % dengan hipoksia pada saat tiba di unit gawat darurat. Diantara penderita cedera kepala, hipotensi biasanya disebabkan kehilangan darah karena cedera sistemik; sebagian kecil mungkin karena cedera langsung pada pusat refleks kardiovaskular di medula oblongata. Newfield dkk (1980) mendapatkan angka mortalitas 83% pada penderita-penderita dengan hipotensi sistemik pada 24 jam setelah dirawat, dibandingkan dengan angka mortalitas 45% dari penderita-penderita tanpa hipotensi sistemik. Penambahan morbiditas dari hipotesi sistemik bisa sebagai akibat cedera iskemik sekunder dari menurunnya perfusi serebral.

Hipotensi yang ditemukan mulai dari awal cedera sampai selama perawatan penderita merupakan faktor utama yang menentukanoutcomependerita

dapat dikoreksi dengan medikamentosa. Adanya satu episode hipotensi dapat menggandakan angka mortalitas dan meningkatkan morbiditas, oleh karenanya koreksi terhadap hipotensi terbukti akan menurunkan morbiditas dan mortalitas (Rovlias,2004; Sastrodiningrat,2006).

2.2.3. SkorGlasgow Coma Scale

Glasgow coma scale (GCS) diciptakan oleh Jennett dan Teasdale pada

tahun 1974. Sejak itu GCS merupakan tolok ukur klinis yang digunakan untuk

menilai beratnya cedera pada cedera kepala berat. Glasgow coma scale

seharusnya telah diperiksa pada penderita penderita pada awal cedera terutama sebelum mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi; skor ini disebut skor awalGCS(Chessnut, 2000; Sastrodiningrat,2006).

Derajat kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan. Glasgow coma scalejuga meupakan faktor

prediksi yang kuat dalam menentukan prognosis, suatu skor GCS yang rendah

pada awal cedera berhubungan dengan prognosis yang buruk (Davis dan Cunningham, 1984). Menurut Sastrodiningrat (2006) yang mengutip pendapat Jennet dkk, melaporkan bahwa 82% dari penderita-penderita dengan skorGCS 11

atau lebih, dalam waktu 24 jam setelah cedera mempunyai good outcome atau

moderately disabled dan hanya 12% yang meninggal atau mendapat severe

disability. Outcome secara progresif akan menurun kalau skor awal GCS

12

jam pertama setelah cedera hanya 7% yang mendapat good outcome atau

moderate disability. Diantara penderita penderita dengan skorGCS3 pada waktu

masuk dirawat, 87% akan meninggal.

Kehilangan kesadaran yang lama, dalam banyak hal tidak prediktif terhadap outcome yang buruk. Menurut Sastrodiningrat (2006) yang bersumber

dari hasil penelitian Groswasser dan Sazbon, telah melakukan tinjauan penyembuhan fungsional dari 134 penderita dengan gangguan kesadaran selama 30 hari. Hampir separuhnya mempunyai ketergantungan total didalam aktifitas kehidupan sehari hari , dan 20% yang lain mempunyai ketergantungan terbatas. Biasanya penderita yang sembuh adalah pada usia dibawah 30 tahun dengan fungsi batang otak yang baik.

2.2.4. Diameter pupil dan reaksi cahaya

Reflek pupil terhadap cahaya merupakan pengukuran secara tidak langsung terhadap adanya herniasi dan cedera brainstem. Secara umum, dilatasi

dan fiksasi dari satu sisi pupil menandakan adanya herniasi, dimana gambaran dilatasi dan terfiksasinya kedua pupil dijumpai pada cedera brainstem yang

irreversible. Keterbatasan penilaian prognosis terjadi pada pupil yang mengalami

dilatasi dan terfiksasi akibat trauma langsung ke bola mata tanpa mencederai saraf ketiga intrakranial atau disertai cederabrainstem(Chessnut, 2000).

Penelitian klinis untuk mengamati prognosis terhadap reflek cahaya pupil telah dilakukan dalam berbagai metodologi. Sebagian penelitian tersebut meneliti

ukuran dan reaksi pupil terhadap cahaya. Sebagian penelitian tersebut hanya mencatat ada tidaknya dilatasi tanpa memandang ukuran pupil (Pascual dkk,2008; Letarte, 2008).

Abnormalitas fungsi pupil, gangguan gerakan ekstraokular, pola-pola respons motorik yang abnormal seperti postur fleksor dan postur ekstensor, semuanya memprediksikan outcome yang buruk setelah cedera kepala berat

(Andrews,1989; Rovlias,2004) .

Sastrodiningrat (2006) bersumber dari penelitian yang dilakukan Sone dan Seelig menyatakan bahwa anisokor, refleks pupil yang tidak teratur atau pupil yang tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya biasanya disebabkan karena kompresi terhadap saraf otak ketiga atau terdapat cedera pada batang otak bagian atas, biasanya karena herniasi transtentorial. Dalam suatu tinjauan terhadap 153 penderita dewasa dengan herniasi transtentorial, hanya 18% yang mempunyai penyembuhan yang baik. Diantara penderita dengan anisokori pada waktu masuk dirawat dengan batang otak yang tidak cedera, 27% mencapai penyembuhan yang baik, akan tetapi bila ditemukan pupil yang tidak bergerak dan berdilatasi bilateral, secara bermakna ditemukan hanya 3.5% yang sembuh. Penderita penderita dengan pupil yang anisokor yang mendapat penyembuhan baik cenderung berumur lebih muda, dan refleks refleks batang otak bagian atas yang tidak terganggu. Sone dkk, melaporkan 10 dari 40 (25%) penderita dengan satu pupil berdilatasi ipsilateral terhadap suatu perdarahan subdural (PSD) mencapai penyembuhan fungsional. Seelig dkk melaporkan hanya 6 dari 61 (10%) penderita

14

dengan dilatasi pupil bilateral yang mencapai penyembuhan fungsional. Dengan demikian, gangguam gerakan ekstraokular dan refleks pupil yang negatif juga berhubungan dengan prognosis buruk.

Diameter pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya adalah dua parameter yang banyak diselidiki dan dapat menentukan prognosis. Di dalam mengevaluasi pupil, trauma orbita langsung harus disingkirkan dan hipotensi telah diatasi sebelum mengevaluasi pupil, dan pemeriksaan ulang harus sering dilakukan setelah evakuasi hematoma intraserebral (Pascual,2008; Moulton,2005; Volmerr; 1991).

2.2.5. Pemeriksaan imejingCT scan

Penemuan awal pada CT Scan penting dalam memperkirakan prognosis

cedera kepala berat. SuatuCT scanyang normal pada waktu masuk dirawat pada

penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT Scan abnormal, walaupun pada

penderita-penderita dengan skor GCS awal 3 atau 4 (Ono J dkk,2001;

Davis,1984). Sastrodiningrat (2006) bersumber dari hasil penelitian Robertson dkk, melaporkan diantara 95 penderita cedera kepala berat, 39% mempunyai CT

scannormal ; 79% dari penderita-penderita ini mencapai penyembuhan yang baik,

Lobato dkk (1983), mengelompokkan hasil CT scan berdasarkan bentuk

anatomi menjadi delapan kelompok. Pengelompokan ini memperlihatkan hasil prediksi yang lebih kuat.

Tabel 2.1

Classification of CT Lesions and Outcome(Lobato, 1983)

CT Findings No Lesions

Extracerebral Hematoma

Extracerebral Hematoma and Swelling Bilateral Swelling

Single Brain Contusion Multiple Unilateral Contusion Multiple Bilateral Contusion Diffuse Axonal Injury

Terdapatnya hematoma intraserebral yang harus dioperasi berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk sama halnya bila sisterna basal tidak tampak atau adanya kompresi terhadap sisterna basal. Lesi massa terutama hematoma subdural dan hematoma intraserebral berhubungan dengan meningkatnya mortalitas dan menurunnya kemungkinan penyembuhan fungsional. Demikian juga halnya didapat 26% - 53% tSAH pada penderita dengan cedera kepala berat

dan kebanyakan berlokasi pada konveksitas otak. Dengan adanya tSAH , angka

mortalitas akan meningkat dua kali lipat ; tSAH di dalam sisterna basal

menyebabkan unfavorable outcome pada 70% dari penderita. tSAH adalah faktor

independen yang bermakna didalam menentukan prognosis (Sastrodiningrat, 2006).

16

Marshall dkk (1991), dalam publikasinya di Traumatic Coma Data Bank,

memperkenalkan klasifikasi baru yang mengelompokkan DAI lebih dalam lagi,

yang menggambarkan munculnya tanda-tanda peningkatan (contoh, sisterna basalis yang menyempit ataupun tidak terlihat),midline shift, dan dijumpainya lesi

massa (Table 2.2).

Tabel.2.2

KlasifikasiCT Scan(Marshall dkk,1991)

"#$egori %efenisi

Diffuse Injury I (no visible pathology)

No visible intracranial pathology seen on CT scan.

Diffuse Injury II Cisterns are present with midline shift 0-5 mm and/or

lesions densities present, no high or mixed density lesion > 25 cc, may include bone fragments and foreign bodies

Diffuse Injury III (swelling) Cisterns compressed or absent with midline shift 0-5 mm, no high or mixed density lesion > 25 cc.

Diffuse Injury IV (shift) Midline shift > 5 mm, no high or mixed density lesion > 25 cc.

Evacuated Mass Lesion Any lesion surgically evacuated.

Non-Evacuated Mass Lesion High or mixed density lesion > 25 cc, not surgically

evacuated.

Dokumen terkait