DESKRIPSI WILAYAH DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
4.4 Temuan dan Interpretasi Data
4.4.8 Faktor-Faktor Penghambat dalam Pengembangan Usaha Sepatu
Berdasarkan dari hasil yang peneliti dapatkan di Kelurahan Bunut bahwa tidak selamanya usaha industri sepatu yang mereka jalani dapat berjalan dengan baik. Pengrajin juga dihadapkan pada faktor-faktor yang menghambat proses berkembangnya industri sepatu.
a. keterbatasan modal
Pengusaha sepatu Bunut hingga saat ini masih mengalami kesulitan dalam akses peningkatan modal.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pengrajin sepatu Bunut, mengungkapkan bahwa
“mereka masih mengalami kesulitan dalam akses peningkatan modal, untuk mendapatkan pinjaman dari pemerintah dan dari bank pun mereka harus melalui berbagai proses administrasi yang cukup rumit. Para pengusaha sepatu harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan pihak bank.”
Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada Kepala Dinas Koperasi dan UMKM yaitu bapak H. Seno mengatakan bahwa
“ dalam pelaksanaan program pemerintah tentang pemberian pinjaman kredit
lunak kepada pengusaha Sepatu Bunut belum berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan pengusaha sepatu Bunut harus memberikan fotocopy surat kendaraan bermotornya sebagai syarat pinjaman kredit lunak yang menyebabkan malasnya pengusaha untuk membayar kredit pinjaman yang mereka lakukan sehingga terjadi penyedatan pembayaran angsuran pinjaman yang tentunya mengganggu sistem yang seharusnya berjalan dengan baik”. ( hasil wawancara
Ini menyebabkan banyaknya pertimbangan yang harus dilakukan pemerintah untuk memberikan pinjaman. Masalah tersebutlah menyebabkan sulitnya pengusaha sepatu Bunut untuk meningkatkan modalnya. Dengan modal yang terbatas ini juga menyebabkan sulitnya melakukan inovasi-inovasi untuk pengembangan desain dan kualitas produk sepatu Bunut agar lebih mampu bersaing di pasar.
b. kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung
Kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung pengusaha sepatu masih sangat minim. Hal ini dapat dilihat dari antara beram jalan antara jarak jalan raya dengan lokasi industri sepatu Bunut yang masih cukup tinggi/ curam sehingga pembeli belum cukup nyaman untuk berhenti di lokasi ini sehingga cukup berbahaya bagi pengendara sepeda motor juga dkeluhkan oleh para pengusaha sepatu dan konsumen sepatu Bunut.
Seperti pernyataan dari informan berikut ini :
“letak toko abang dengan jalan aspal lumayan dekat. Ditambah lagi dengan beram jalan yang agak tinggi dari toko abang ke jalan. Jadi kalo ada pembeli yang naik mobil susah kalo mau parkir. Apalagi kalo pembelinya pake mobil. ( hasil wawancara dengan Bang Doni pada Juli 2013)
Sama hal hasil wawancara dengan pembeli yang bernama berasal dari Riau
“susah mau parkir disini karena kurang cukupnya lokasi parkir ditambah lagi jalan yang sempit. Saya saja parkir dekat mushola. Jadi mau beli sepatu jalan agak jauh dikitlah”. (hasil wawancara dengan Bapak Abdul Rajab tahun 2013)
Menanggapi hal tersebut staf Dinas Perindustrian dan Perdagangan kabupaten Asahan menyatakan bahwa Disperindag telah berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum untuk
sepatu Bunut dalam RAPBD, namun ternyata hal ini belum menjadi prioritas anggaran pada APBD kabupaten Asahan, sehingga anggaran untuk pembuatan sarana lokasi parkir dan peninggian areal industri kecil sepatu belum ada.
c. keterbatasan teknologi
Teknologi merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan tingkat daya saing sektor industri. Kemampuan bertahan sektor industri tidak hanya ditentukan oleh penguasaannya terhadap teknologi-teknologi baru, namun penggunaan teknologi tersebut harus dilakukan secara efektif dan seefisien mungkin. Keterbatasan teknologi dan peralatan yang dimiliki oleh pengrajin sepatu ini dikarenakan masih sangat sederhananya peralatan-peralatan membuat sepatu yang dimiliki oleh para pengrajin.
Seperti hasil wawancara dengan Bapak Jufri”
“ alat-alat yang di pake dalam pembuatan sepatu di sini masih sangat sederhana bila dibandingkan dengan yang di Jawa. Tapi gak pa-palah yang penting masih bisa menghasilkan uang. ( wawancara dengan Pak Jufri pada Juli 2013)
Peralatan produksi sepatu bunut dapat dilihat pada sebagai berikut:
Peralatan pembuatan sepatu dan Kegunaannya
Mesin sesep : menghaluskan dan menipiskan lapisan pola uuper atau kulit yang akan dilipat
Mesin gerenda : meratakan pola-pola upper yang akan dijadikan sepatu
Kompresor : pemanasan pada bahan sepatu yang akan dijadikan sepatu
Cetakan sepatu : cetakan pola tapak sepatu yang akan dibuat
Gunting : memotong gambar sesuai dengan bentuk pola
Martil : memaku setiap bagian sepatu
Kakak tua : menarik kulit atau upper kepola bagian bawah tapak
Ambling : menarik acuan sepatu dari cetakan yang dibuat
Pisau : memotong dan meratakan pola texon sesuai dengan gambar tapak atau mal
Jarum jahit : menjahit pola-pola kulit yang akan dibuat
Kuas : mengolesi lem pada tapak sepatu
Pena : menandai pola sesuai dengan tapak kaki yang akan dibuat
Busa : pengolesan cairan pengkilat pada sepatu
d. pemasaran yang belum luas
Pemasaran yang dilakukan industri sepatu ini masih sebatas membuka toko dan menjual sepatu Bunut ini di depan rumah mereka yang terletak di pinggir jalan lintas Sumatera. Kalau pun ada yang jual kedaerah-daerah lain itu pun dengan menggunakan agen.
Seperti pemaparan informan berikut ini :
“sepatu Bunut masih dijual di toko-toko yang ada di depan rumah saja. Kalo keluar daerah harus pake agenlah. Kadang ada juga yang mau nempah datang
e. belum berfungsinya organisasi kelompok pengrajin
Hal ini di karenakan masih adanya rasa iri dan dengki pada masing-masing pengrajin sepatu Bunut. Di tambah lagi kurang cocoknya hubungan antara para pengrajin dan ketua kelompok pengrajin. Inilah yang menyebabkan tidak berfungsinya organisasi kelompok para pengrajin sepatu Bunut.
Seperti pemaparan informan berikut ini :
“kelompok sepatu Bunut gak jalan, karena tiap anggotanya kayak musuhan gitu. Iri-irianlah pokoknya kalo da satu rame ntar yang lain iri atau yang satu toko pinjaman ke Dinas Koperasi yang lain iri. Mangkanya kelompoknya gak jalan”. ( hasil wawancara dengan Pak Budianto pada Juli 2013 )
f. rendahnya kemampuan manajemen
Kurang mengertinya para pengrajin dalam memanajemen keuangan hasil dari pembuatan sepatu membuat para pengrajin sering mencampurkan keuangan hasil pembuatan sepatu dengan keuangan pribadinya.
Seperti pernyataan informan berikut ini :
“ keuntungan ama modal gak diitung dek. Jadi, yang diitung itu berapa sepatu
yang terjual hari ini. Jadi, sebagian hasil yang didapat dari hasil jualan ari ini diambil untuk keperluan dirumah”.(hasil wawancara dengan Bang Dika pada Juli 2013)
g. persaingan dengan produk luar
Kurangnya promosi dari pemerintah daerah membuat sepatu Bunut menjadi kurang terkenal ditambah banyaknya saingan produk-produk sepatu lainnya mulai dari sepatu yang ada di Medan dan produk sepatu yang berada di Jawa seperti di Cibaduyut.
Seperti pernyataan informan berikut ini :
“ saingan sepatu Bunut ini banyak. Di Medan saja usaha sepatu uda banyak
ditambah lagi dari Jawa. Apalagi sepatu Cibaduyut dari Jawa makin terkenal karena Pak Jusuf Kalla pernah memakai sepatu itu. ( hasil wawancara dengan Rasyid pada Juli 2013 )
h. kurangnya perhatian dari pemerintah
Program pemerintah ternyata belum berjalan dengan baik karena belum terjadi hubungan yang harmonis dan kerjasama yang baik antara pemerintah dan pengusaha industri kecil sepatu Bunut.
Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan kepada Bapak M. Yusuf staf Disperindag bahwa :
“ kurangnya partisipasi pengrajin sepatu Bunut terhadap program-program dari pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari vakumnya kelompok pengrajin sepatu Bunut. Pengrajin industri sepatu Bunut belum menggunakan organisasi ini secara maksimal”. ( hasil wawancara dengan Pak Yusuf pada Juli 2013 )
Seharusnya, kelompok ini dapat menjadi media komunikasi antara pemerintah dengan pengrajin sepatu Bunut. Dengan vakumnya kelompok ini. Maka intensitas komunikasi antara
program dari pemerintah. Namun, pernyataan dari staf Disperindag berbeda dengan pernyataan pengrajin sepatu Bunut.
Hasil dari wawancara peneliti kepada pengrajin menyatakan bahwa
“para pengrajin merasa kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Pemerintah belum memberikan fasilitas yang memadai dan mendukung untuk perkembangan industri kecil sepatu Bunut. Proses administrasi yang cukup rumit dalam peminjaman modal membuat para pengrajin mengalami kesulitan dalam permodalan. Pengrajin juga mengatakan bahwa intensitas dan pelatihan pada para pengrajin Sepatu Bunut masih kurang”.
Industri kecil sepatu Bunut terkesan masih berjalan sendiri karena kurang baiknya hubungan dan kerjasama sehingga proses pengembangan industri kecil Sepatu Bunut berjalan dengan baik sesuai dengan yang diinginkan. Apabila hubungan antara para pengrajin sepatu dan pemerintah dapat terjalin secara harmonis maka industri sepatu Bunut dapat berkembang dengan baik.
. BAB V
PENUTUP