• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dekomposisi Anaerobik dan Terbentuknya Biogas

cinta yang ng maupun

DAFTAR GAMBAR

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dekomposisi Anaerobik dan Terbentuknya Biogas

Dekomposisi limbah cair pengolahan sawit secara anaerobik menggunakan digester, selain menghasilkan effluent yang dapat digunakan sebagai pupuk organik cair, juga memproduksi biogas. Agar diperoleh efisiensi perombakan yang tinggi, terutama terhadap kondisi lingkungan dalam digester yang optimum untuk mendukung kehidupan bakteri anaerobik yang terlibat dalam pembentukan biogas, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan selama dekomposisi berlangsung, di antaranya:

1. Karakteristik substrat yang digunakan dalam digester merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi kualitas effluent yang dihasilkan maupun terhadap proses pembentukan gas metana, serta komposisi perbandingan gas-gas bio yang dihasilkan.

Keberadaan hara makro maupun mikro yang cukup tinggi di substrat sangat penting bagi pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme yang terlibat dalam proses dekomposisi. Hal ini dikarenakan mikroorganisme tersebut membutuhkan cukup nutrisi, di antaranya C sebagai sumber energi dan N, P, Ca, Mg, Mn, Na dan Co untuk membangun struktur sel. Udiharto (1982) dalam Amaru (2004) menyebutkan bahwa bakteri penghasil metana menggunakan karbon 30 kali lebih cepat daripada nitrogen. Kandungan nutrisi yang tersedia dalam substrat setidaknya harus lebih dari konsentrasi optimum yang dibutuhkan oleh mikroorganisme agar pertumbuhan dan aktivitasnya tidak terhambat.

2. Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme yang terlibat dalam pembentukan gas metana, maupun terhadap jenis bakteri yang bekerja dalam sistem

tersebut. Gas metana dapat diproduksi pada tiga selang suhu sesuai dengan bakteri yang berperan, yaitu bakteri psychrofilik pada selang 0-7 oC, bakteri mesofilik pada selang 13-40 oC, serta bakteri termofilik pada selang 50-60 oC. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa bakteri yang berperan dalam perombakan limbah cair didominasi oleh golongan bakteri mesofilik, serta sebagian kecil bakteri termofilik. Bakteri mesofilik relatif toleran dan stabil dalam memproduksi gas metana pada peningkatan suhu dari 37 hingga 43 oC, sedangkan bakteri termofilik pada penurunan suhu dari 55 hingga 43 oC. Choorit dan Wisarnwan (2007) menyebutkan bahwa kedua jenis bakteri tersebut sesuai untuk mendegradasi limbah cair pengolahan sawit yang memiliki suhu keluaran yang relatif tinggi, di mana tingkat reaksi termofilik lebih besar daripada reaksi mesofilik, sehingga gas yang dihasilkan pada suhu ini dapat dua kali lebih banyak dibandingkan pada suhu mesofilik.

Gambar 4. Grafik Fluktuasi Suhu Digester

Lebih lanjut dijelaskan bahwa panas sangat penting untuk meningkatkan suhu bahan yang masuk ke dalam digester dan untuk mengganti kehilangan panas dari permukaan digester. Oleh karena itu, perubahan suhu sangat mempengaruhi proses biometananisasi dan sangat penting artinya untuk menjaga kestabilan suhu selama proses digesti agar gas metana yang dihasilkan juga stabil.

29 30 31 32 33 34 35 36 7/31/08 8/20/08 9/9/08 9/29/08 10/19/08 11/8/08 11/28/08 12/18/08 OC

3. pH dan Eh merupakan faktor lain yang mempengaruhi aktivitas bakteri yang terlibat dalam perombakan limbah organik, karena pertumbuhan dan aktivitas bakteri cukup sensitif terhadap perubahan pH. pH optimum bagi pertumbuhan dan aktivitas bakteri sekaligus dalam memproduksi gas metana berkisar antara 7.0-7.2, meskipun produksi gas masih terpenuhi pada selang pH 6.6- 7.6. Pada awal dekomposisi, produksi asam organik selama proses fermentasi dan acidogenesis dapat menurunkan pH hingga 5.0, dan mulai berangsur- angsur meningkat pada saat proses metanogenesis. Penurunan pH di bawah 6.6 dapat menghambat aktivitas bakteri metanogen dalam memproduksi gas metana, dan akan menjadi lebih toksik bagi bakteri jika pH di bawah 5.0. Dalam hal ini penambahan kapur sangat diperlukan.

Gambar 5. Grafik Fluktuasi pH Digester

Sedangkan Eh lebih menunjukkan terminologi yang digunakan untuk menunjukkan keseimbangan proses reduksi-oksidasi. Reaksi-reaksi dengan potensial redoks yang lebih tinggi menghasilkan energi yang lebih banyak daripada reaksi-reaksi dengan potensial redoks lebih rendah. Aktivitas mikroorganisme juga lebih tinggi pada kondisi pH mendekati netral dan Eh tinggi. Pada kondisi anerobik, tingginya bahan organik, rendahnya nitrat tersedia, dan suhu reaksi yang berkisar antara 30-35 oC merupakan kondisi yang mendukung terjadinya penurunan Eh yang cukup signifikan. Bakteri metanogen bekerja optimal dalam mentransformasi bahan organik menjadi 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 7/31/08 8/20/08 9/9/08 9/29/08 10/19/08 11/8/08 11/28/08 12/18/08

metana pada tingkat potensial redoks yang rendah (hingga selang Eh mencapai -200 mV) (Vance, 2007).

4. Faktor selanjutnya adalah jumlah total padatan terdigesti yang menunjukkan jumlah bahan organik yang telah terdekomposisi dan secara tidak langsung menunjukkan potensi biogas yang diproduksi. Persentase penurunan total padatan diperoleh dari selisih total padatan dalam limbah cair awal dengan limbah cair terdigesti pada pemanasan 60 oC selama 2x24 jam. Rata-rata penurunan total padatan selama proses digesti mencapai 73.9 %, di mana nilai ini berada dalam kisaran dekomposisi bahan organik yang normal, yaitu 30-80 %. Sahirman (1994) juga mendapatkan selama dekomposisi penurunan total padatan dan total padatan tersuspensi mencapai 86.5 % dan 96.5 %, serta persentase kadar minyak ± 98 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar persentase penurunan total padatan terdigesti, maka semakin tinggi pula biogas yang dihasilkan.

Gambar 6. Grafik Persentase Penurunan Total Padatan

5. Pada kondisi lingkungan minim atau tanpa oksigen, pertumbuhan mikroorganisme anaerobik yang membantu proses fermentasi selama proses dekomposisi akan meningkat, sedangkan mikroorganisme perombak sejumlah biomassa dalam proses biologis secara aerobik menjadi terbatas. Bakteri metanogenik merupakan bakteri anaerobik obligat yang terlibat dalam proses metanogenesis dan mengubah substrat asam asetat hasil dari proses

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 7/31/08 8/20/08 9/9/08 9/29/08 10/19/08 11/8/08 11/28/08 12/18/08 %

sebelumnya (fermentasi dan asetogenesis) menjadi gas metana. Dekomposisi bahan organik polimer dalam kondisi anaerobik melibatkan aktivitas enzim ekstraseluler (amilase, selulase, lipase dan protease) yang dikeluarkan oleh mikroorganisme anaerobik.

Gambar 7. Grafik Fluktuasi Bakteri Metanogen (≈ % CH4) 4.1.3 Produksi Biogas

Secara garis besar mekanisme pembentukan biogas melalui tiga tahapan proses penting, yaitu tahap pemecahan polimer melalui hidrolisis dan fermentasi, tahap produksi asam melalui asetogenesis dan dehidrogenasi, serta tahap pembentukan gas metana melalui proses metanogenesis. Biogas yang dihasilkan umumnya didominasi gas metana dan karbon dioksida. Proses pembentukan gas metana memerlukan sejumlah koenzim yang terdapat pada bakteri metanogenik. Reaksi-reaksi pembentukan metana yaitu:

a. CO2 + 4H2 → CH4 + 2H2O

b. 4HCOOH → CH4 + 3CO2 + 2H2O c. CH3COOH → CH4 + CO2

d. 2CH3CH2OH → 3CH4 + CO2

Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata volume biogas yang dihasilkan dari biodigester sederhana dengan kapasitas substrat ± 7.0 m3 (penambahan limbah cair segar 100-150 l/harinya) pada tekanan 0.3-1 cm tinggi kolom air selama dua minggu mencapai 13.4 m3 (dengan kisaran produksi biogas 195-1410 l/hari). Biogas yang diproduksi tersebut memiliki persentase kandungan metana sekitar

‐5 0 5 10 15 20 25 8/30/08 9/9/08 9/19/08 9/29/08 10/9/08 10/19/08 10/29/08 11/8/08

50.45-83.72 %. Selain gas metana, biogas tersebut diduga juga mengandung gas lain seperti CO2, H2S, serta uap air. Kandungan air tersebut berasal dari air yang terdapat dalam limbah cair yang menguap karena pengaruh fluktuasi suhu selama proses digesti dan bercampur dengan gas metan yang dihasilkan.

Gambar 8. Grafik Produksi Biogas Selama 2 Minggu

Komposisi metana dan karbon dioksida, serta kandungan air di dalam gas dapat mempengaruhi nilai kalor biogas. Biogas yang mengandung banyak uap air dan karbon dioksida akan memiliki nilai kalor dan daya bakar yang rendah. Berdasarkan persentase gas metana di dalamnya, biogas yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki nilai kalor bersih antara 16.65-27.63 kJ/dm3, di mana nilai ini masih termasuk dalam kisaran normal biogas yang memiliki 60-70 % metana dan 30-40 % karbon dioksida, dengan nilai kalor bersih antara 20-26 kJ/dm3. Potensi energi yang dihasilkan dari perombakan ± 495 m3 limbah cair yang dihasilkan dari pengolahan sawit per harinya secara anerobik adalah sebesar 1619- 6476 MWh.

Berdasarkan uji nyala api dan daya bakar biogas yang dihasilkan, pada awal proses dekomposisi, volume gas yang dihasilkan belum stabil, gas yang dihasilkan belum bisa dibakar dan nyala api berwarna merah, serta menimbulkan bau menyengat yang diduga merupakan gas H2S. Namun setelah 26 hari pertama, seiring dengan peningkatan kandungan metana dalam biogas, produksi gas mulai stabil dan gas yang dibakar sudah menghasilkan api berwarna biru. Dari volume

0 2 4 6 8 10 12 14 16 7/31/08 8/20/08 9/9/08 9/29/08 10/19/08 11/8/08 11/28/08 12/18/08 m3

maksimum biogas yang diperoleh selama penelitian, diketahui bahwa biogas dapat digunakan untuk memasak air sebanyak 14 l selama 2 jam dengan tekanan papan pemberat 504.37 N/m2, di mana nilai ini setara dengan 3/4 l minyak tanah yang dijadikan pembanding bahan bakar.

Dalam sistem pembuatan biogas yang memanfaatkan pemanas alami berupa sinar matahari, sering dijumpai kesulitan untuk mengetahui produksi biogas pada suhu yang tetap. Hal ini dibuktikan bahwa pada siang hingga sore hari, di mana suhu digester cukup tinggi, menunjukkan produksi gas yang tinggi pula dibandingkan produksi gas pada malam hingga pagi hari yang lebih rendah. Oleh karena itu, produksi gas tidak konstan setiap harinya.

4.2 Penelitian II:

Aplikasi Pupuk Organik Cair dari Pemanfaatan Limbah Cair Pengolahan Kelapa Sawit pada Pertanaman Kangkung (Ipomoea reptans)

Dokumen terkait