• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Muskuloskeletal

2.4.2 Faktor Risiko MSDs

Dalam suatu pekerjaan ada faktor-faktor yang mempengaruhi risiko terjadinya sutu penyakit akibat kerja yang biasa disebut dengan musculoskeletal disorders, repetitive strain injury, cumulative trauma disorders dan penyakit lainnya. Humantech (1995) dalam Tia (2009) mengkategorikan kedalam empat kelompok faktor-faktor risiko utama terhadap terjadinya keluhan muskuloskeletal, yaitu postur, frekuensi, durasi dan beban pekerjaan.

1. Postur Kerja

Pembagian postur kerja dalam ergonomi didasarkan atas posisi tubuh dan pergerakan. Berdasarkan posisi tubuh, postur kerja dalam ergonomi terdiri dari: a. Postur Netral (Neutral Posture)

Postur dimana seluruh bagian tubuh berada pada posisi yang seharusnya dan kontraksi otot tidak berlebihan sehingga bagian organ tubuh, saraf jaringan lunak dan tulang tidak mengalami pergeseran, penekanan, ataupun kontraksi yang berlebihan.

b. Postur Janggal (Awkward Posture)

Postur dimana posisi tubuh (tungkai sendi dan punggung) secara signifikan menyimpang dari posisi netral pada saat melakukan suatu aktivitas yang disebabkan oleh keterbatasan tubuh manusia untuk melawan beban dalam

jangka waktu lama. Postur janggal akan menyebabkan stress mekanik pada otot rangka. Selain itu, postur janggal akan membutuhkan energi yang lebih besar pada beberapa bagian otot, sehingga meningkatkan kerja jantung dan paru-paru untuk menghasilkan energi. Semakin lama bekerja dengan postur janggal, maka semakin banyak energi yang dibutuhkan untuk mepertahankan kondisi tersebut, sehingga dampak kerusakan otot rangka yang ditimbulkan semakin kuat. Beberapa postur janggal antara lain :

1. Postur Janggal Tulang Belakang

a. Membungkuk (bent forward) yaitu punggung dan dada lebih condong ke depan membentuk ≥ 20º terhadap garis vertical.

b. Berputar (twisted) yaitu posisi tubuh yang berputar ke kanan dan kiri dimana garis vertical menjadi sumbu tanpa memperhitungkan berapa derajat besarnya rotasi yang dilakukan.

c. Miring (bent sideway) yaitu setiap deviasi bidang median tubuh dari garis vertikal tanpa memperhitungkan besarnya sudut yang dibentuk. Terjadi fleksi pada bagian tubuh, biasanya ke depan atau ke samping.

Selain itu terdapat postur janggal pada tulang punggung saat mengangkat seperti gambar berikut ini.

Gambar 2.2 Postur Mengangkat

Cara yang benar mengangkat dengan tangan adalah (Setiawan, 1980) :

a. Suatu angkatan hendaknya dimulai dengan kedudukan si pengangkat dalam sikap seimbang dengan meletakkan kedua belah kaki agak merenggang dan barang yang akan diangkat harus didekatkan badan. Sebelum mengangkat punggung harus tegak dan dalam kedudukan sedikit mungkin dengan barang yang akan diangkat.

b. Untuk mengangkat beban, mula-mula luruskan kaki. Cara ini meyakinkan bahwa daya angkat kita sedang disalurkan benar-benar melalui urat-urat dan tulang.

c. Untuk melengkapi angkatan, luruskanlah badan badan bagian atas sampai dengan keadaan tegak. Pengangkatan yang sempurna adalah menaikkan beban separoh tinggi badan pada kedudukan tegak.

Gambar 2.3 Cara mengangkat beban yang benar

2. Postur Janggal pada tangan dan pergelangan tangan (kiri dan kanan) Faktor risiko pada tangan dan pergelangan tangan adalah melakukan pekerjaan dengan posisi memegang benda dengan cara mencubit (pitch grip), tekanan pada jari terhadap objek (finger press), menggenggam dengan kuat (power grip), posisi pergelangan tangan yang fleksi dan ekstensi dengan sudut ≥ 45º , serta posisi pergelangan tangan yang deviasi selama lebih dari 10 detik dan frekuensi > 30/menit.

3. Postur janggal pada bahu (kiri dan kanan)

Postur bahu yang merupakan faktor risiko adalah melakukan pekerjaan lengan atas membentuk sudut ≥ 45º ke arah samping atau ke arah depan terhadap badan selama lebih dari 10 detik dengan frekuensi lebih dari satu atau sama dengan 2 kali per menit dan beban ≥ 4,5 Kg.

Gambar 2.4 Postur Janggal Bahu 4. Postur Janggal pada lengan bawah (kiri dan kanan)

Postur lengan bawah yang menjadi faktor risiko adalah posisi siku sebesar 135º dan jika menggunakan gerakan penuh dalam bekerja.

5. Postur janggal pada leher

Postur leher yang menjadi faktor risiko adalah melakukan pekerjaan (membengkokkan leher ≥ 20º terhadap vertikal), menekukkan kepala atau menoleh ke samping kiri atau kanan, serta menengadah.

Gambar 2.5 Postur Janggal pada Leher 6. Postur janggal pada kaki

a. Jongkok (squatting) yaitu posisi tubuh dimana perut menempel pada paha dimana terjadi fleksi maksimal pada daerah lutut, pangkal paha, dan tulang lumbal.

b. Berlutut (kneeling) yaitu posisi tubuh dimana sendi lutut menekuk, permukaan lutut menyentuh lantai dan berat tubuh bertumpu pada lutut dan jari-jari kaki.

c. Berdiri pada satu kaki (stand on one leg) yaitu posisi tubuh dimana tubuh bertumpu pada satu kaki.

Sedangkan berdasarkan pergerakan, postur kerja dalam ergonomi terdiri dari : 1. Postur Statis

Terjadi dimana sebagian besar tubuh tidak aktif atau hanya sedikit sekali terjadi pergerakan. Postur statis dalam jangka waktu lama sehingga otot berkontraksi secara terus-menerus dan dapat menyebabkan tekanan. Berikut contoh postur statis :

a. Berdiri, yaitu kepala, punggung, dan kaki tegak lurus atau sejajar dengan sumbu vertikal.

b. Duduk, yaitu pantat menyentuh suatu permukaan dan terjadi fleksi pada lutut 90º.

c. Berbaring , yaitu kepala, punggung, dan kaki sejajar dengan sumbu horizontal.

2. Postur Dinamis

Postur yang terjadi dimana sebagian besar anggota tubuh bergerak. Jenisnya adalah :

a. Carrying, aktivitas mengangkat beban sambil berjalan b. Pulling, yaitu tarikan pada benda agar benda bergerak

c. Pushing, yaitu memindahkan benda dengan memberikan gaya agar benda berpindah.

2. Frekuensi

Postur yang salah dengan frekuensi pekerjaan yang sering dapat mengakibatkan tubuh kekurangan suplai darah, asam laktat yang terakumulasi, inflamasi, tekanan pada otot, dan trauma mekanis. Frekuensi terjadinya postur janggal terkait dengan terjadinya repetitive motion dalam melakukan pekerjaan. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja terus- menerus tanpa melakukan relaksasi.

3. Durasi

Adalah jumlah waktu terpajan faktor risiko. Durasi dapat dilihat sebagai menit-menit dari jam kerja/hari pekerja terpapar risiko. Durasi juga dapat dilihat sebagai pajanan/tahun faktor risiko atau karakteristik pekerjaan berdasarkan faktor risikonya. Durasi diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Durasi singkat : < 1 jam/hari b. Durasi sedang : 1-2 jam/hari c. Durasi Lama : > 2 jam

Pada posisi kerja statis yang membutuhkan 50% dari kekuatan maksimum tidak dapat bertahan lebih dari satu menit, jika kekuatan digunakan kurang dari 20% kekuatan maksimum maka kontraksi akan berlangsung terus untuk beberapa waktu.

4. Force atau beban

Force merupakan usaha yang dibutuhkan untuk melakukan gerakan. Pekerjaan yang menuntut penggunaan tenaga besar, maka akan memberikan beban pada otot, tendon, ligament, dan sendi. Objek merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan otot rangka. Menurut ILO, beban maksimum yang diperbolehkan untuk diangkat oleh seseorang adalah 23-25 kg. Suma’mur (1996) menjabarkan cara menangani beban yang baik yaitu:

1. Peregangan harus tepat. Memegang diusahakan dengan tangan penuh dan memegang dengan hanya beberapa jari dapat menyebabkan ketegangan statis lokal pada jari dan pergelangan tangan.

2. Lengan harus berada di dekat tubuh dengan posisi lurus. Fleksi pada lengan untuk mengangkat dan membawa menyebabkan ketegangan otot statis pada lengan yang melelahkan

3. Punggung harus diluruskan. Posisi deviasi punggung membebani tulang belakang. Untuk menghindari punggung membungkuk, mula-mula lutut harus bengkok (fleksi) sehinggga tubuh tetap berada pada posisi dengan punggung lurus.

4. Posisi leher tegak sehingga seluruh tulang belakang diluruskan.

5. Posisi kaki dibuat sedemikian rupa agar mampu mengimbangi momentum yang terjadi dalam posisi mengangkat dan menurunkan. Kedua kaki ditempatkan untuk membantu mendorong tubuh.

6. Beban diusahakan menekan pada otot tungkai yang kuat dan sebanyak mungkin otot tulang belakang yang lebih lemah dibebaskan dari pembebanan.

7. Beban yang ditangani diusahakan berada sedekat mungkin terhadap garis vertikal atau pusat gravitasi tubuh. Posisi tubuh yang menahan beban cenderung mengikuti beban sedangkan posisi tubuh yang mnjauhi pusat gravitasi tubuh lebih berisiko MSDs.

Peter (2000) dalam Tarwaka (2004) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal, yaitu:

1. Peregangan otot yang berlebihan

Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja di mana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal.

2. Aktivitas berulang

Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus seperti pekerjaan ,mencangkul, membelah kayu besar, angkat angkut, dan sebagainya. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.

3. Sikap kerja tidak alamiah

Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitas tubuh, maka semakin tinggi pula terjadinya keluhan otot skeletal. Disebut sebagai sikap kerja tidak alamiah apabila dalam melakukan pekerjaan posisi bagian tubuh menyimpang dari posisi normalnya (postur janggal). Posisi janggal membebani sistem otot rangka sebagai penyangga tubuh. Ada beberapa postur janggal yang harus diperhatikan dalam bekerja seperti :

a. Menahan atau memegang beban jauh dari tubuh.

b. Menjangkau ke atas dan menangani beban di atas ketinggian bahu. c. Membungkuk dan menangani beban di bawah pertengahan paha d. Berputar

e. Membungkuk ke samping dan menangani beban dengan satu tangan. f. Mendorong dan menarik yang berlebihan.

Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja.

4. Faktor Penyebab Sekunder a. Tekanan

Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai contoh, pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang lunak akan menerima tekanan langsung dari pegangan alat, dan apabila hal ini sering terjadi, dapat meyebabkan nyeri otot yang menetap. b. Getaran

Menurut Suma’mur (1982) dalam Tarwaka (2004) menyebutkan bahwa getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini meyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laknat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot. c. Mikroklimat

Menurut Astrand & Rodhl, 1977; Pulat, 1992; Wilson & Corlett,1992 dalam Tarwaka (2004) paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Demikian juga dengan paparan udara yang panas. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan sebagian energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi kekurangan suplai energi ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah kurang lancar, oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laknat yang dapat menimbulkan rasa nyeri (Suma’mur (1982); Grandjean (1993) dalam Tarwaka (2004)).

5. Penyebab Kombinasi

Risiko terjadinya keluhan otot skeletal akan semakin meningkat apabila dalam melakukan tugasnya, pekerja dihadapkan pada beberapa faktor risiko dalam kegiatan yang bersamaan, misalnya pekerja harus melakukan aktivitas angkat angkut di bawah tekanan panas matahari seperti yang dilakukan oleh pekerja bangunan.

Di samping kelima faktor penyebab terjadi keluhan otot tersebut beberapa ahli menjelaskan bahwa faktor individu seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, aktivitas fisik dan ukuran tubuh juga menjadi penyebab terjadinya keluhan otot skeletal.

a. Umur

Chaffin (1979) dan Guo et al. (1995) dalam Tarwaka (2004) menyatakan bahwa pada umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu 25-65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga risiko terjadinya keluhan otot meningkat.

Sebagai contoh, Berni et al (1989) dalam Tarwaka (2004) telah melakukan studi tentang kekuatan statik untuk pria dan wanita dengan usia antara 20 sampai dengan di atas 60 tahun. Penelitian difokuskan untuk otot lengan, punggung, dan kaki. Hasil penelitian bahwa kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umut antara 20-29 tahun, selanjutnya terus terjadi

penurunan sejalan dengan bertambahnya umur. Pada saat umur mencapai 60 tahun, rerata kekuatan menurun sampai 20 %. Pada saat kekuatan otot mulai menurun maka risiko terjadi keluhan otot akan meningkat.

Rihimaki et al. (1989) dalam Tarwaka (2004) menjelaskan bahwa umur mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keluhan otot terutama otot leher dan bahu, bahkan ada beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa umur merupakan penyebab utama terjadinya keluhan.

b. Jenis Kelamin

Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang pengaruh jenis kelamin terhadap risiko keluhan otot skeletal, namun beberapa hasil penelitian secara signifikan menunjukan bahwa jenis kelamin mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah daripada pria. Menurut Astrand & Rodahl (1977) dalam Tarwaka (2004) menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita hanya sekitar dua per tiga dari kekuatan otot pria, sehingga daya tahan otot pria pun lebih tinggi dibandingkan dengan wanita Hasil penelitian Chiang et al. (1993), Bernard et al. (1994), Hales et al. (1994) dan Johanson (1994) yang menyatakan bahwa perbandingan keluhan otot antara pria dan wanita adalah 1:3, maka jenis kelamin perlu di pertimbangkan dalam mendesain beban tugas (Tarwaka,2004).

c. Kebiasaan Merokok

Sama halnya dengan faktor resiko jenis kelamin, pengaruh kebiasaan merokok terhadap resiko keluhan otot juga masih diperdebatkan dengan para ahli, namun demikian, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan.

Kebiasaan merokok akan dapat menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen menurun dan sebagai akibatnya, tingkat kesegaran tubuh juga menurun. Apabila yang bersangkutan harus melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi tumpukan asam laknat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot.

d. Kesegaran Jasmani

Pada umumnya, keluhan otot lebih jarang ditemukan pada seseorang yang dalam aktivitas kesehariannya mempunyai cukup waktu untuk istirahat. Sebaliknya, bagi yang dalam kesehariannya melakukan pekerjaan yang memerlukan pengerahan tenaga yang besar, di sisi lain tidak mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat, hampir dapat dipastikan akan terjadi keluhan otot (Tarwaka,2004).

Dokumen terkait