• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Karakteristik Perawat di

BAB VI PEMBAHASAN

C. Gambaran Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Karakteristik Perawat di

Perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung

1. Usia

Usia menjadi salah satu faktor yang berkontribusi dalam terjadinya insiden keselamatan pasien. Semakin muda usia perawat memiliki kecenderungan menimbulkan terjadinya insiden keselamatan pasien dibandingkan dengan usia perawat yang lebih tua. Perawat yang berusia > 30 tahun biasanya jauh lebih terampil karena cenderung berhati – hati dan sangat memperhatikan pelayanan yang diberikan kepada pasien sebagai penerima pelayanan (Mulyana, 2013).

Dalam penelitian ini, responden dengan usia termuda di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung adalah 22 tahun dan perawat tertua berusia 45 tahun. Rata – rata responden dalam tahap usia dewasa muda yaitu 20 sampai 40 tahun yang merupakan usia dimana perkembangan puncak dalam mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki serta kebiasaan berfikir rasionalnya akan meningkat (Potter, 2005). Kondisi ini akan memengaruhi perawat dalam meengaplikasikan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kreativitas yang dimiliki termasuk dalam menerapkan keselamatan pasien sehingga dapat mencegah terjadinya insiden keselamatan pasien di rumah sakit pada saat memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Sehingga usia perawat di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung saat ini sebagian besar termasuk usia yang ideal dalam bekerja.

116

Hasil penelitian didapatkan pula bahwa perawat yang berusia ≤ 30 tahun cenderung pernah melakukan insiden keselamatan pasien sebanyak 25 perawat atau sebesar 53,2% dibandingkan perawat yang berusia > 30 tahun. Perawat yang berusia ≤ 30 tahun tersebut masih dikategorikan dewasa muda yang kemungkinan lebih besar memberikan sumbangsi terhadap terjadinya insiden keselamatan pasien. Hal ini menunjukkan semakin muda usia perawat, maka semakin berisiko menimbulkan terjadinya insiden keselamatan pasien.

Menurut Teori Robbins (2003), usia dapat memengaruhi kondisi fisik, mental, kemampuan kerja, dan tanggung jawab seseorang. Hal tersebut berarti bahwa semakin dewasa usia perawat, maka semakin baik kinerjanya dalam memberikan asuhan keperawatan yang aman atau tidak melakukan kesalahan yang menyebabkan insiden keselamatan pasien pada saat memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Staf dengan usia muda umumnya memiliki kekurangan karena cepat bosan, kurang tanggung jawab, dan turn over tinggi. Staf dengan usia lebih tua kondisi fisiknya kurang tetapi bekerja lebih ulet, tanggang jawab besar, dan turn over rendah. Upaya yang dapat dilakukan oleh pihak Manajemen Rumah Sakit Al-Islam Bandung yaitu memberikan perhatian khusus pada perawat yang berusia muda (< 30 tahun), misalnya dengan diberikan pengawasan dan bimbingan langsung oleh supervisor. Supervisi adalah melakukan pengamatan secara langsung dan berkala oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh bawahan untuk kemudian apabila ditemukan masalah segera diberikan petunjuk dan bimbingan atau bantuan yang bersifat

117

langsung guna mengatasinya (Gibson, 1996 dalam Aprilia 2016). Supervisor menginformasikan kepada staf hasil monitoring yang telah dilakukan. Bila terjadi penyimpangan, supervisor akan mendiskusikan masalah tersebut bersama dengan pihak terkait dan hasilnya dilaporkan kepada pimpinan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan tindak lanjut.

2. Pengetahuan

Menurut Kuncoro (2012), dalam menerapkan keselamatan pasien di rumah sakit ada beberapa aspek yang harus dibangun, salah satunya yakni aspek pengetahuan. Pengetahuan perawat tentang keselamatan pasien sangat penting untuk mendorong pelaksanaan program keselamatan pasien.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar perawat memiliki pengetahuan baik yaitu sebanyak 57 perawat atau sebesar 75%. Meskipun dalam penelitian ini pengetahuan perawat hanya diukur dengan menggunakan kuesioner terdiri dari 9 pertanyaan yang meliputi: konsep keselamatan pasien, pengetian keselamatan pasien, cara pelaporan insiden keselamatan pasien, dan tindakan yang betujuan pada keselamatan pasien yang memiliki kemungkinan belum mencakup secara detail dari aspek yang menyangkut pengetahuan perawat. Namun, ditemukan beberapa responden yang masih salah dalam menjawab pertanyaan yang diajukan yakni sebesar 51,3% belum mengetahui sejak kapan pelaksanaan keselamatan pasien di Rumah Sakit Al-Islam Bandung, 32,9% salah dalam menjawab sistem keselamatan pasien, dan 32,9% salah dalam menjawab waktu paling lambat

118

pelaporan setiap terjadi insiden keselamatan pasien di rumah sakit selama 2 x 24 jam.

Menurut Gunibala (2015), pengetahuan merupakan faktor penting dalam seseorang mengambil keputusan, namun tidak selamanya pengetahuan seseorang bisa menghindarkan dirinya dari kejadian yang tidak diinginkannya. Misalnya, perawat yang tingkat pengetahuannya baik, tidak selamanya menerapkan keselamatan pasien dengan baik karena segala tindakan yang dilakukan berisiko menimbulkan terjadinya kesalahan. Faktor lainnya adalah kurangnya minat belajar perawat, yakni perawat yang tidak mempunyai keinginan untuk mengakses teori – teori baru dalam bidang keperawatan khususnya mengenai keselamatan pasien.

Adapun Meliono (2007) berpendapat bahwa seseorang yang kurang memahami sesuatu tidak dapat melakukan tindakan dengan baik. Hasil penelitian ini menunjukkan hal serupa, bahwa perawat yang memiliki pengetahuan kurang baik cenderung pernah melakukan insiden keselamatan pasien sebanyak 17 perawat atau sebesar 89,5% dibandingkan perawat yang memiliki pengetahuan baik. Asumsi pertama peneliti mencoba meninjau dari usia perawat. Pada penelitian ini, proporsi responden paling banyak pada perawat yang berusia kurang dari 30 tahun yaitu sebanyak 47 perawat atau sebesar 61,8% dan 25 perawat atau sebesar 53,2% diantaranya pernah melakukan insiden keselamatan pasien. Dari hal tersebut, peneliti berasumsi bahwa perawat yang masih memiliki pengetahuan kurang dapat disebabkan karena masa kerja yang masih singkat sehingga perawat belum dapat menerapkan pengetahuan mengenai keselamatan pasien dengan baik.

119

Perawat dengan masa kerja lebih lama cenderung memiliki pengalaman kerja lebih banyak dibandingkan perawat yang baru bekerja. Lama kerja di unit keperawatan menentukan banyaknya pengalaman perawat mengenail keselamatan pasien yang telah atau hampir dialami. Pengalaman bekerja banyak memberikan keahlian dan keterampilan kerja. Hal ini sejalan dengan penelitian Aprilia (2011), perawat dengan masa kerja lebih lama akan lebih memahami pentingnya penerapan IPSG agar terhindar dari kejadian – kejadian tidak diharapkan yang dapat membahayakan pasien.

Penelitian yang dilakukan oleh Sofyan (2010), pada umumnya ditemukan bahwa pengetahuan seseorang yang sangat baik dipengaruhi oleh meningkatnya usia seseorang, akan tetapi dari hasil penelitiannya diketahui bahwa tingkat pengetahuan yang sangat baik lebih didominasi oleh perawat yang berusia 20 – 40 tahun. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan pengetahuan seseorang diantaranya: lingkungan sekitar seseorang, pergaulan sehari – hari, dan kemampuan belajar seseorang. Selain itu, dalam penelitiannnya memaparkan bahwa sumber informasi yang didapat mempengaruhi pengetahuan petugas kesehatan mengenai keselamatan pasien. Tingkat pengetahuan yang kurang disebabkan karena petugas kesehatan tidak pernah mendengar tentang keselamatan pasien dan tidak mendapatkan sumber informasi tentang keselamatan pasien. Dengan semakin banyaknya seseorang mendapatkan informasi dari berbagai sumber maka pengetahuan akan semakin baik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Notoatmodjo bahwa ketersediaan fasilitas merupakan faktor yang memudahkan untuk mempengaruhi tingkat

120

pengetahuan seseorang. Dalam hal ini yang dimaksud dengan ketersediaan fasilitas adalah sumber informasi.

Selain itu, adanya perawat yang masih memiliki pengetahuan yang kurang mengenai keselamatan pasien dalam penelitian ini dapat disebabkan oleh kurangnya pelatihan sehingga belum mampu untuk menerapkan pengetahuan yang ada. Menurut Lubis (2007), perawat yang tidak mendapat pelatihan/pembelajaran mempunyai kecenderungan lebih besar untuk melakukan tindakan tidak aman yang menjadi salah satu pemicu terjadinya insiden keselamatan pasien. Hal tersebut diperkuat dari pelatihan yang dilaksanakan oleh Sub Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit Al-Islam Bandung ditemukan belum semua perawat mendapatkan pelatihan terkait keselamatan pasien, sehingga pelatihan yang telah dilaksanakan belum maksimal disampaikan kepada seluruh perawat. Adapun perawat yang telah mendapatkan 1 kali pelatihan tentang keselamatan pasien karena rumah sakit sedang mempersiapkan untuk Akreditasi Rumah Sakit Nasional Versi 2012.

Upaya dalam meningkatkan pengetahuan yang bersifat tetap merupakan suatu hal yang penting khususnya dalam konteks keselamatan pasien. Hal tersebut didukung oleh pendapat Notoatmodjo (2009) bahwa, pengetahuan yang menunjang keterampilan perlu diberikan agar staf dapat melakukan tugasnya berdasarkan teori – teori yang dapat dipertanggungjawabkan. Sejalan dengan hal tersebut Henriksen (2008) juga menyatakan bahwa, keterbatasan pengetahuan sumber daya manusia memiliki peran penting dalam menyebabkan keterbatasan institusi

121

pelayanan untuk mengelola pelayanan yang berorientasi pada keselamatan pasien. Hal ini berarti bahwa keterbatasan pengetahuan merupakan hal penting yang sangat perlu dipertimbangkan demi keamanan asuhan yang diberikan oleh tenaga kesehatan termasuk perawat. Pada intinya, pengetahuan yang baik dapat menjadi tolak ukur dari suatu pelaksanaan, maka pelaksanaan yang baik dan benar harus didasari oleh pengetahuan dan pengalaman. Semakin baik pengetahuan perawat tentang keselamatan pasien, maka akan baik pula penerapan keselamatan pasien sehingga kesalahan – kesalahan yang mengancam keselamatan pasien dapat dihindari atau diminimalisir.

Dalam KPPRS (2008), terdapat suatu standar untuk mendidik staf tentang keselamatan pasien yaitu:

a. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan, dan orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas.

b. Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf, serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien dengan kriteria sebagai berikut:

1) Memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien.

2) Mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan in service training dan memberikan pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.

122

c. Menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien.

Dengan demikian, upaya yang dapat dilakukan oleh Sub Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit Al-Islam Bandung yaitu melalui pelatihan. Pelatihan diberikan kepada perawat di unit rawat inap terutama perawat yang masih memiliki tingkat pengetahuan kurang mengenai keselamatan pasien dan perawat yang termasuk dalam dewasa muda didorong agar lebih memiliki kemampuan mengenai keselamatan pasien dengan cara diberikan pelatihan secara berkala agar keselamatan pasien diterapkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan perawat mengenai keselamatan pasien dalam memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas kepada pasien, sehingga meningkatkan profesionalisme pada perawat yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dalam pelayanan yang diberikan menjadi lebih aman kepada pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Setiap kali ada pelatihan tentang keselamatan pasien harus dilakukan pretest dan post test agar dapat dimonitor seberapa jauh perkembangan pengetahuan perawat tentang keselamatan pasien.

Hal ini pun disampaikan oleh Rivai dan Sagala (2009), pelatihan memiliki peranan yang sangat penting dalam mencegah terjadinya insiden keselamatan pasien. Pelatihan sebagai bagian dari pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan

123

keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat.

Pelatihan terkait keselamatan pasien merupakan suatu upaya untuk mencegah atau meminimalisir kesalahan – kesalahan yang mengancam keselamatan pasien. Pelatihan yang diberikan tersebut meliputi standar keselamatan pasien rumah sakit dan pelaksanaan sasaran keselamatan pasien. Menurut PMK No. 1691 tahun 2011, sasaran keselamatan pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) terdiri dari: 1) ketepatan identifikasi pasien, 2) peningkatan komunikasi yang efektif, 3) peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai, 4) kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien operasi, 5) pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan, dan 6) pengurangan risiko pasien jatuh. Tujuan dari sasaran keselamatan pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian – bagian yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas permasalahan ini.

Untuk mengantisipasi hasil yang bias terkait pengukuran pada variabel pengetahuan perawat maka peneliti menyarankan kepada peneliti selanjutnya, untuk mengukur pengetahuan perawat mencakup secara detail yang meliputi: manfaat keselamatan pasien, standar keselamatan pasien, jenis insiden keselamatan pasien, pelaporan insiden keselamatan pasien, dan 6 sasaran keselamatan pasien yang terdiri dari: 1) ketepatan identifikasi pasien, 2) peningkatan komunikasi yang efektif, 3) peningkatan keamaman

124

obat yang perlu diwaspadai, 4) kepastian tepat lokai tepat prosedur dan tepat pasien operasi, 5) pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan, dan 6) pengurangan risiko pasien jatuh.

3. Stres

Pada titik tertentu dalam dunia pekerjaan banyak orang yang akan mengalami stres terkait pekerjaan. Stres dipengaruhi oleh keseimbangan antara persepsi terhadap tuntutan seseorang misalnya dengan beban kerja yang ada dengan bagaimana menilai sumberdaya untuk memenuhi tuntutan tersebut. Ketika tuntutan dirasa lebih utama dari kemampuan, seseorang akan mengalami efek tidak menyenangkan, seperti kelelahan atau perasaan lelah, konsentrasi kurang, dan mudah tersinggung (Arfan, 2014).

Menurut Houtman (2005), stres kerja umumnya lebih banyak dikeluhkan oleh petugas kesehatan seperti perawat. Kesiagaan setiap saat dari seorang perawat dalam menangani pasien, serta situasi pekerjaan dan beban kerja yang ada membuat perawat mengalami tekanan yang membuat stres. Profesi perawat merupakan profesi yang membutuhkan keterampilan tingkat tinggi dan juga membutuhkan kerjasama tim dalam berbagai situasi, sehingga profesi ini di dalam tempat kerja memiliki banyak stresor.

Stres perawat yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu suatu keadaan yang dapat memicu reaksi psikologis pemberi pelayanan kesehatan. Untuk mengukur variabel stres perawat, pada penelitian ini hanya terdiri dari 3 pernyataan terkait dukungan rekan kerja dan pimpinan, konsentrasi saat bekerja, dan jadwal kerja perawat yang diadopsi sebagian dari indikator stres Health and Safety Executive (HSE).

125

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar perawat mengalami stres rendah yaitu sebanyak 62 perawat atau sebesar 81,6%. Sedangkan perawat yang mengalami stres tinggi yaitu sebanyak 14 perawat atau sebesar 18,4% dan sebanyak 11 perawat atau sebesar 78,6% diantaranya cenderung pernah melakukan insiden keselamatan pasien. Hal ini menunjukkan semakin perawat mengalami stres, maka semakin berisiko menimbulkan terjadinya insiden keselamatan pasien.

Hasil distribusi jawaban perawat bahwa penyebab stres yang dialami perawat disebabkan karena jadwal kerja yang tidak memungkinkan untuk memulihkan semangat kerjanya sebesar 25%. Hal tersebut diduga disebabkan oleh jadwal kerja dan peraturan di rumah sakit yang menuntut perawat bekerja lebih lama dari waktu yang seharusnya dan perawat juga melakukan pekerjaan yang kompleks dengan ketersediaan waktu yang cukup singkat, namun hal tersebut tetap menjadikan setiap pelayanan yang diberikan oleh perawat harus berwaspada dalam mengutamakan keselamatan pasien.

Stres merupakan respon tubuh yang bersifat tidak spesifik terhadap setiap tuntutan atau beban atasnya. Stres terjadi apabila seseorang mengalami beban atau tugas yang berat orang tersebut tidak dapat mengatasi tugas yang dibebankan, maka tubuh akan berespon dengan tidak mampu terhadap tugas tersebut sehingga mengalami stres. Penyebab suatu stres dapat berasal dari lingkungan baik secara fisik, psikososial, maupun spiritual. Sumber stres yang lain adalah berasal dari 1) di dalam diri sendiri, yakni dikarenakan konflik yang terjadi antara keinginan dan kenyataan

126

berbeda, dalam hal ini permasalahan yang terjadi tidak sesuai dengan dirinya dan tidak mampu diatasi maka dapat menimbulkan suatu stres, dan 2) di dalam masyarakat, sumber stres ini dapat terjadi di lingkungan atau masyarakat pada umumnya seperti lingkungan pekerjaan karena beban kerja, tanggung jawab kerja, dan keamanan kerja (Bart Smet, 1993 dalam Tobing, 2007).

Penelitian National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) dalam Widyasari (2010) mengungkapkan bahwa profesi perawat merupakan profesi yang memiliki resiko tinggi terhadap stres, kondisi ini terjadi karena perawat memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat tinggi terhadap keselamatan nyawa manusia. Selain itu, penelitiannya juga mengungkapkan bahwa pekerjaan perawat memiliki karakteristik yang cukup sulit karena tekanan dan tuntutan kerja yang tinggi. Karakteristik tersebut terdiri dari: 1) otoritas bertingkat ganda, 2) heterogenitas personalia, 3) ketergantungan dalam pekerjaan dan spesialisasi, 4) budaya kompetitif di rumah sakit, 5) jadwal kerja yang ketat dan harus siap kerja setiap saat, dan 6) tekanan – tekanan dari teman sejawat.

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Tarigan (2004) yang melakukan penelitian di bagian ruang bedah RSU Santa Elisabeth Medan bahwa perawat mengalami stres kerja disebabkan komunikasi dengan atasan dan teman kerja tidak baik, mudah bosan, merasa tidak puas terhadap sesuatu yang salah dan beban kerja untuk gaji, merasa tidak seefisien sebagaimana mestinya, merasa tidak mempunyai perasaan secara emosional terhadap masalah dan kebutuhan orang lain, frustasi dalam melaksanakan

127

pekerjaaan, dan faktor individu yakni umur, lama kerja, serta lingkungan psikososial yakni hubungan personal.

Hasil survei dari PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) tahun 2006, sekitar 50,9% perawat yang bekerja di 4 provinsi di Indonesia mengalami stres kerja, sering pusing, lelah, tidak bisa beristirahat karena beban kerja terlalu tinggi dan menyita waktu. Stres kerja pada perawat merupakan salah satu permasalahan dalam manajemen sumber daya manusia di Rumah Sakit. Stress kerja adalah suatu tekanan yang tidak dapat ditoleransi oleh individu baik yang bersumber dari dirinya sendiri mapun dari luar dirinya. Penyebab stres bersumber dari biologis, psikologik, sosial, dan spritual. Stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan, yang disebabkan oleh stresor yang datang dari lingkungan kerja seperti faktor lingkungan, organisasi dan individu (Widyasari, 2010).

Menurut Manojlovich (2007), stres di tempat kerja memiliki efek yang negatif pada kesehatan mental dan kesejahteraan fisik perawat. Perawat yang mengalami stres kerja yang tinggi, tidak dapat menunjukkan kinerja yang optimal. Hasil penelitian Olaleye (2002) mengungkapkan bahwa stres pekerjaan berpengaruh sigifikan terhadap kondisi kesehatan dan kemampuan perawat dalam melayani pasien. Pengaruh stres pada kesehatan fisik muncul dalam bentuk, yakni sakit kepala, sakit punggung atau leher, nyeri otot, tekanan darah tinggi, sedangkan pengaruhnya terhadap kondisi psikis adalah munculnya perasaan cemas, merasa tertekan, kurang konsentrasi, dan kesulitan dalam membuat keputusan. Dari gambaran

128

tersebut diketahui bahwa, kesehatan fisik dan mental dipengaruhi oleh stres kerja yang secara tidak langsung akan mempengaruhi konsentrasi dan kinerja dari perawat itu sendiri sehingga berpengaruh ketika melayani pasien.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi stres kerja, yakni dengan melakukan manajemen stres. Manejemen stres penting untuk diterapkan di unit kerja dimana perawat mengalami stres kerja demi mengurangi angka insiden keselamatan pasien. Guna mengelola stres dengan baik ada beberapa cara yang direkomendasikan oleh para ahli berdasarkan kebutuhan dan tingkat stres yang dialami. Salah satunya, WHO (2009) menyatakan bahwa stres dapat dicegah dengan tiga cara, yakni secara primer, sekunder (mendeteksi dan mengelola gejala), dan tersier (efek stres yang dapat diobati). Untuk melakukan identifikasi risiko dapat dikelola dengan berbagai cara, misalnya dengan memastikan tingkat staf yang memadai dan memberikan pelatihan yang tepat. Selain itu, organisasi dapat mengurangi stres di tempat kerja, misalnya dengan memungkinkan periode pemulihan setelah periode beban kerja yang tinggi dan memberikan peran atau tugas yang jelas atau meningkatkan kesempatan untuk mendapatkan promosi jabatan.

Upaya yang dapat dilakukan oleh pihak manajemen Rumah Sakit Al-Islam Bandung untuk menurunkan stres yang dialami oleh perawat yaitu mendesain kembali beban kerja dengan melihat kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang tersedia dengan memperhatikan shift atau jadwal kerja pada perawat. Hal ini direkomendasikan dari penelitian Jones &

129

Johnston (dalam McVicar, 2003) program yang dapat dilakukan untuk mengurangi stres yakni 1) meninjau ulang mendesain kembali beban kerja dengan melihat kuantitas SDM yang tersedia, 2) perlu diperhatikan shift atau jadwal kerja, 3) model kepemimpinan atau manajemen yang berlaku pada organisasi, dan 4) manajemen konflik yang kondusif.

Selain itu, untuk mengantisipasi hasil yang bias terkait pengukuran pada variabel stres perawat, maka peneliti menyarankan kepada peneliti selanjutnya untuk mengukur stres perawat dengan menggunakan kuesioner HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) yang mengembangkan tiga gejala stres yaitu gejala psikologis, fisiologis, dan perilaku untuk mengukur tingkat stres kerja yang dialami oleh responden. Menurut Suparyanto (2011), tingkat stres dapat dikelompokkan dengan menggunakan kriteria HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale). Unsur yang dinilai antara lain: perasaan ansietas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan kecerdasan, perasaan depresi, gejala somatik, gejala respirasi, gejala gejala kardiovaskuler, gejala respirasi, gejala gastrointestinal, gejala urinaria, gejala otonom, gejala tingkah laku.

4. Kelelahan

Menurut Budiono (2003), kelelahan merupakan suatu kondisi yang disertai penurunan efisiensi dan kebutuhan dalam bekerja. AHRQ (2003) mengungkapkan bahwa dampak kelelahan yang dialami perawat mengakibatkan medical error. Lingkungan kerja dan pekerjaan perawat dapat menjadi sumber kelelahan perawat.

130

Kelelahan perawat yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu suatu keadaan yang dapat memicu reaksi psikologis pemberi pelayanan kesehatan. Untuk mengukur variabel stres perawat, pada penelitian ini hanya terdiri dari 3 pernyataan terkait jumlah perawat di unit tempat bekerja, adanya beban kerja, dan jadwal kerja perawat.

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar perawat mengalami kelelahan rendah yaitu sebanyak 47 perawat atau sebesar 61,8%. Sedangkan perawat yang mengalami kelelahan tinggi yaitu sebanyak 29 perawat atau sebesar 38,3% dan sebanyak 16 perawat atau sebesar 55,2% diantaranya cenderung pernah melakukan insiden keselamatan pasien. Hal ini menunjukkan semakin perawat mengalami kelelahan, maka semakin berisiko menimbulkan terjadinya insiden keselamatan pasien.

Hasil distribusi jawaban perawat bahwa penyebab kelelahan yang dialami disebabkan karena perawat melakukan kesalahan dalam pelayanan pasien karena bekerja melebihi dari ketentuan yang ada dan terlalu banyak tugas yang harus dikerjakan sebesar 48,7%, sehingga hal tersebut dapat