• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Karakteristik Sifat Dasar

BAB VI PEMBAHASAN

E. Gambaran Insiden Keselamatan Pasien Berdasarkan Karakteristik Sifat Dasar

Dasar Pekerjaan di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Al-Islam Bandung

1. Kerjasama Tim

Menurut Katzenbach & Douglas dalam Cahyono (2008), kerjasama tim merupakan suatu kelompok kecil dengan keterampilan yang saling melengkapi dan berkomitmen pada tujuan bersama, serta sasaran – sasaran kinerja dan pendekatan yang mereka jadikan tanggung jawab bersama.

142

Kerjasama merupakan bentuk attitude dari perawat dalam bekerja di dalam tim karena membuat individu saling mengingat, mengoreksi, dan berkomunikasi, sehingga peluang terjadinya kesalahan dapat dihindari.

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar perawat memiliki kerjasama tim yang baik yaitu sebanyak 57 perawat atau sebesar 75%. Sedangkan perawat yang memiliki kerjasama tim kurang baik yaitu sebanyak 19 perawat atau sebesar 25% dan 13 perawat atau sebesar 68,4% cenderung melakukan insiden keselamatan pasien. Hal ini menunjukkan semakin perawat memiliki kerjasama tim yang kurang baik, maka semakin berisiko menimbulkan terjadinya insiden keselamatan pasien.

Hail distribusi jawaban perawat bahwa perawat yang masih kurang dalam kerjasama tim disebabkan karena perawat merasa sulit untuk berkoordinasi dengan unit lain sebesar 22,4% dan perawat lebih nyaman bekerja sendiri dibanding bekerja dalam tim sebesar 16,1%. Hal tersebut bisa jadi ada hubungannya dengan komunikasi yang terjalin di unitnya. Kurangnya komunikasi yang tejalin antar perawat disebabkan adanya status jawaban dan kurangnya keterbukaan sesama tim dapat menyebabkan kerjasama dalam tim tidak terkoordinasi dengan baik. Dalam melakukan asuhan keperawatan kepada pasien, perawat melakukannya hanya kepada pasien yang menjadi tanggung jawabnya saja dari pada bekerja di dalam tim. Setiap perawat memiliki tanggung jawab dan tugasnya masing – masing terhadap pasien sehingga perawat lain tidak saling mengetahui pekerjaan rekannya. Hal tersebut yang kemudian membuat perawat menjadi tidak saling meng-crosscheck pekerjaan satu sama lain, hal ini dapat

143

semakin besar menimbulkan potensi terjadinya kesalahan dalam memberikan asuhanan perawatan kepada pasien. Dengan demikian, peneliti memberikan masukan kepada pihak manajemen rumah sakit untuk meningkatkan kerjasama tim antar perawat. Tidak hanya untuk meningkatkan kinerja dalam asuhan keperawatan tetapi juga untuk meningkatkan keselamatan pasien selama melakukan perawatan di rumah sakit.

Menurut Manser (2009) dalam Lestari (2013), hambatan komunikasi dan pembagian tugas yang tidak seimbang menjadi penyebab kurang efektifnya kerjasama tim. Efektifitas kerjasama tim sangat tergantung pada komunikasi dalam tim, adanya supervisi, dan pembagian tugas. Menurut Vincent (2003) dalam (Setiowati, 2010) mengemukaan sebuah studi observasional dan analisis retrospektif oleh terhadap insiden keselamatan pasien menunjukkan bahwa faktor kerjasama tim yang kurang, berkontribusi lebih banyak dibandingkan dengan kemampuan klinis yang lemah.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mulyana (2013) yakni faktor kerjasama menjadi indikator bahwa perawat dengan kerjasama kurang memiliki kecenderungan menyebabkan insiden keselamatan pasien tiga kali lebih besar dari perawat yang memiliki persepsi sebaliknya. Darmanelly (2000) dalam WHO (2009) berpendapat bahwa kerjasama tim dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni kesesuaian mempercayai anggota tim, kesediaan untuk mengalah, kemampuan menyampaikan kritik, ketersediaan memperbaiki diri, solidaritas kelompok, tanggung jawab, dan pemantauan secara berkala.

144

Kerjasama tim dalam pelayanan dapat mempengaruhi kualitas dan keselamatan pasien di rumah sakit. Potensi konflik yang mungkin terjadi dalam interaksi tim dapat berakibat pada pelaksanaan kerjasama tim dalam pelayanan. Bekerja secara tim merupakan sebuah nilai yang harus dibangun sebagai budaya dalam penerapan keselamatan pasien. Konflik yang muncul dapat menurunkan persepsi individu atas kerjasama tim yang mengganggu proses pelayanan dan berujung pada kemungkinan terjadinya insiden keselamatan pasien. Sebagaimana yang disampaikan oleh Bower et al. (2003) dalam WHO (2009) bahwa kerja tim yang baik dapat membantu mengurangi masalah keselamatan pasien, meningkatkan semangat anggota, dan kesejahteraan tim sehingga tim akan berfungsi dari waktu ke waktu. Adapun menurut Baker et al. (2005), kerja tim sangat dibutuhkan antar tim medis untuk meningkatkan keselamatan pasien melalui pengurangan kesalahan – kesalahan akibat adanya kerjasama tim antar petugas medis.

Upaya yang dapat dilakukan oleh pihak Manajemen Rumah Sakit Al-Islam Bandung yaitu melaksanakan rapat rutin dengan mengundang setiap kepala instalasi atau atasan langsung beserta beberapa anggotanya untuk rutin membahas masalah – masalah internal terkait dengan kerjasama, koordinasi antar unit, dan koordinasi antar tim terkait dengan keselamatan pasien dan melaksanakan outbond bersama – sama antar perawat dan profesi kesehatan lainnya untuk meningkatkan kerjasam tim.

2. Gangguan atau Interupsi yang Dialami oleh Perawat

Adanya gangguan atau interupsi yang dialami oleh perawat memiliki kemungkinan untuk menimbulkan kesalahan – kesalahan yang dapat

145

berakibat fatal bagi pasien. Menurut teori Henrikson et al. (1993) dalam Henriksen et al (2008) bahwa penyebab insiden keselamatan pasien salah satunya disebabkan oleh faktor sifat dasar pekerjaan yang meliputi adanya gangguan atau interupsi selama bekerja.

Persepsi perawat terhadap gangguan atau interupsi tinggi yaitu apabila perawat merasakan adanya aktivitas atau kegiatan lain di luar tugas dan tanggung jawabnya yang harus dilakukan pada saat sedang memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien atau keluarga pasien lebih banyak dibandingkan kegiatan yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya.

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar perawat mengalami gangguan atau interupsi rendah yaitu sebanyak 48 perawat atau sebesar 63,2%. Sedangkan perawat yang mengalami gangguan atau interupsi tinggi yaitu seabnyak 28 perawat atau sebesar 36,8% dan sebanyak 16 perawat atau sebesar 57,1% diantaranya cenderung lebih banyak tidak pernah melakukan inisiden keselamatan pasien. Hasil distribusi jawaban perawat yang merasakan gangguan atau interupsi tinggi disebabkan karena ketika sedang melaksanakan tugas yang dirasakan oleh perawat paling banyak disebabkan karena sering melakukan lebih dari satu pekerjaan dalam waktu yang sama sebesar 28,9%. Namun, secara keseluruhan perawat yang mengalami gangguan atau interupsi rendah lebih banyak dibandingkan dengan perawat yang mengalami gangguan atau interupsi tinggi. Sehingga, adanya gangguan yang dialami oleh perawat ketika sedang melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya tidak memberatkan maupun

146

menyulitkan perawat untuk melakukan aktifitas atau kegiatan lain di luar tugas dan tanggung jawabnya. Hal tersebut dapat tejadi dikarenakan gangguan atau interupsi sudah membudaya di Rumah Sakit Al-Islam Bandung. Tugas perawat di ruang perawatan tidak hanya melakukan asuhan keperawatan tetapi juga melakukan pekerjaan administrasi seperti pengisian rekam medis, memfasilitasi pasien makan, berpakaian, mengantar dan menjemput pasien saat konsul ke unit atau rumah sakit lain, serta mengisi formulir lain yang terkait dengan asuhan keperawatan. Di luar itu, perawat juga dilibatkan dalam kegiatan rumah sakit yang menyebabkan terjadinya interaksi dengan banyak pihak dan terlibat dalam pekerjaan lain di luar asuhan keperawatan.

147