• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Makna Hidup Anto

Dalam dokumen Kebermaknaan Hidup yang Dimiliki oleh Ateis (Halaman 43-66)

Sebagai seorang Ateis, Anto mengetahui adanya pandangan negatif masyarakat terhadap Ateis, namun ia tidak takut akan hal tersebut karena menganggap wajar bila masyarakat memiliki pandangan negatif terhadap Ateis. Menurutnya, hal itu dikarenakan masyarakat kurang memiliki informasi dan

kurang memahami kelompok Ateis. Untuk menghilangkan tanggapan negatif masyarakat tersebut, Anto sebisa mungkin mencoba untuk menunjukkan bahwa ia tidak mau menyakiti sesama, tidak melakukan tindakan kriminal, tidak menyusahkan orang lain dan berusaha membantu teman-temannya yang berada dalam kesulitan. Terkadang, ia juga berdiskusi dengan orang beragama yang bertanya padanya dengan memberitahu definisi Ateis, pandangannya mengenai agama dan kehidupan serta menjelaskan bahwa Ateis juga memiliki moral. Meski terkadang ketika berdiskusi, lawan bicaranya tidak menyetujui pendapatnya, Anto mampu memaklumi hal tersebut. Selain itu, ia berani mengadopsi identitas Ateis karena banyak membaca pengalaman orang yang menjadi Ateis dan ternyata mereka tidak memiliki kehidupan yang hampa dan kosong.

Anto juga berani membuka identitas Ateisnya terhadap orang-orang tertentu karena ia penasaran dengan reaksi orang-orang tersebut. Selain itu, ia juga ingin mencoba jujur membuka dirinya terhadap orang lain. Awalnya, ia memberitahu kekasihnya saat itu, namun ternyata, reaksinya tidak begitu bagus. Kekasihnya tersebut mencoba mati-matian untuk mengubah Anto kembali percaya pada Tuhan, namun tidak berhasil, sehingga akhirnya mereka pun berpisah. Meski merasa sedih, Anto juga lega karena ia telah mengaku dan jujur kepada mantan kekasihnya tersebut. Selanjutnya, ia mengaku pada seorang temannya, ternyata temannya tidak menjauhinya, malah secara terbuka menerima identitas Ateis-nya bahkan mereka pun saling berdiskusi. Anto kemudian mengaku pada beberapa teman dekatnya yang lain. Meski awalnya mereka mempertanyakan ke-Ateis-an Anto, namun akhirnya mereka mampu menerima

dan tidak mempersoalkan hal tersebut. Merasa diterima oleh teman-temannya, membuat Anto semakin percaya diri dan menerima identitas Ateisnya. Hal ini menunjukkan bahwa Anto mendapat dukungan sosial dari teman-temannya. Dukungan sosial yang dimaksud bukanlah dukungan agar Anto menjadi Ateis, tetapi menghormati apapun pilihan Anto dan tidak menganggap Anto sebagai hal yang harus dijauhi.

“… Itu yang ketika aku bilangkan pertama kali sama bg Rizki sm Ani, aku lega, akhirnya aku bisa keluar loh, akhirnya aku bisa bilangkan..iya ini emang identitas aku, aku merasa ini cocok sama aku dan aku merasa oh iya ya..bisa diterima, kubilang ini penerimaan diri.” (W2S1/ma5/b.792-800).

“…dan mungkin kalo untuk pelepas terakhir lebih ke orang sekitar, lebih kayak bang Riki, bang Ari, bahkan orang-orang kayak Budi, Toni, Tono, orang-orang tu malah bikin aku merasa nyaman, aku bisa, aku bia ngelepas ini, lepas agama ini baik-baik aja, si ini..siapa lagi..yang bikin aku…itu pelepas terakhinya…..Mungkin, kalo umpama lingkungan aku ga kayak yang sekarang, aku ga bakal bilang, aku ga bakal seterbuka sekarang, aku bakal mungkin balek lagi diam-diam aja.” (W2S1/ma2/b.575-601).

Saat awal menjadi Ateis, Anto mengetahui bahwa orangtuanya pasti tidak akan menyetujui pilihannya. Meski demikian, hal tersebut tidak menjadi beban pikirannya hingga kini karena ia masih dapat berpura-pura menjadi Muslim dan hal tersebut bukanlah hal sulit. Oleh karena itu, ia pun memutuskan untuk tidak memberitahu orangtuanya sampai kapanpun karena tidak ingin orangtuanya kecewa, sedih, merasa gagal telah mendidiknya serta merasa bersalah. Anto tidak ingin menambah beban pikiran orangtuanya sehingga ia menerima keadaan dirinya yang harus berpura-pura tetap beragama di depan orangtuanya.

“Aku mikirkan itu ketika aku di awal-awal mikir, haruskah aku bilang ini? Haruskah aku kasih tahu? Dan sekarang aku mikirnya

ga usah aku kasih tahu, kenapa gausah karena ya itu bakal buat mereka kecewa…...sekarang mikirnya ya aku emang ga usah kasih tahu aja.” (W4S1/ka11/b. 1988-2000).

Anto menjadi Ateis karena menganggap bahwa pengajaran agama tidak masuk akal serta tidak memiliki bukti yang nyata. Selain itu, menurutnya sedari kecil, manusia sudah diatur bagaimana seharusnya menjalani hidup, termasuk soal agama. Anto beranggapan bahwa seharusnya manusia itu sendirilah yang harus berpikir sendiri bagaimana seharusnya ia menjalani hidupnya.

Itu yang bikin, rasa penasaran aku..curious, pengen tahu tentang masalah agama ini, Ketuhanan, kepercayaan, itu menarik bagiku, makanya kucari terus,..pengen tahu.. rasa penasaran aku yang terus bikin aku bertanya cari tahu. Rasa apa lagi ya….masuk akal..rasa make sense, akal sehat aku tentang agama dan metode-metode di sains itu lebih menarik rasaku dibandingkan agama. Itu dua hal yang bikin aku terus untuk membaca, untuk terus ragu, mencoba bertanya, membaca apa yang ada, berargumen.

(W6S1/fp14/b.3342-3359).

“Mungkin karna waktu kita kecil, kita ga diajari untuk berpikir sendiri sebenarnya. Kita selalu diajari kekmana orang lain berpikir, seharusnya kau berpikir seperti ini gitu. Seharusnya laki-laki tu seperti ini, seharusnya perempuan tu seperti ini, seharusnya orang Islam tu seperti ini. Kau udah diharuskan seperti itu, ketika kau udah dewasa, kau udah bisa berpikir sendiri, kau jadi ngeliat lagi masa lalumu, kau jadi berpikir.. Pokoknya selama waktu kecil, SD, SMP itu masih cuma diajari berpikir seperti apa, manusia itu harusnya seperti apa, kau ga sebagai orang, kau ga diajari untuk berpikir sendiri, sedangkan harusnya kau berpikir sendiri mengenai apa yang kau mau. (W6S1/ ba8/b.3160-3181).

Anto yang dulu yakin atas kepercayaan pada Tuhan akhirnya menjadi tidak percaya lagi. Ia menganggap Tuhan adalah sosok dongeng, sama seperti unicorn yang keberadaannya tidak nyata. Anto juga tidak lagi percaya terhadap

ajaran agama apapun. Baginya, agama merendahkan kemampuan manusia untuk berbuat baik, seolah-olah tanpa agama, manusia tidak dapat berbuat baik.

“….Ginilah, kalo kau mau diperlakukan dengan baik, perlakukan jugalah orang lain dengan baik. Masa’ aku mikirnya, masa’ dalam dua ribu tahun, lima ribu tahun, berkembangnya sejarah dan manusia, masa’ ga bisa sampe ke titik perlakukan orang dengan baik kalo kau mau dirimu juga diperlakukan dengan baik…masa’ itu harus ada embel-embel dibuat sama agama, itu agama yang buat, itu agama yang diturunkan dari…itu Tuhan yang bisikkan ke manusia. “(W4S1/ba4/b.1542-1584).

“Apalagi ya, aku merasa..yang paling aku ga suka itu agama merendahkan kemampuan manusia untuk yang namanya empati,yang namanya filantropi, menyayangi sesama, seakan-akan kalo ga ada agama, manusia ini bakal ini loh bakal apa ya, bakal suka-suka hatinya, bakal banting-banting ini, bakal mencuri dimana-mana, kayak gitu dan butuh namanya agama untuk bilangkan, hey jangan...jangan lakukan ini..jangan lakukan itu.” (W4S1/ba7/b.1844-1858).

Anto menganggap agama merendahkan kemampuan manusia untuk berbuat baik karena ia meyakini bahwa moral seharusnya tidak didasari oleh ajaran agama, melainkan pemahaman manusia sendiri melalui interaksi sosial dengan sesama sehingga mengetahui apakah suatu hal patut untuk dilakukan atau tidak, atau pun melalui budaya dan bersifat dinamis. Dalam hal ini, ia mengandalkan logikanya sendiri untuk mempertimbangkan suatu hal, misalnya saja mengenai LGBT dan menikah dalam satu rumpun marga dalam suku Batak. Anto menyikapi bahwa sebenarnya, kedua hal tersebut tidak usah menjadi masalah.

“Moral bagi aku itu uda jadi bagian konstruksi sosial yang tujuannya untuk kelangsungan dan kualitas hidup suatu komunitas ato masyarakat sekitar. Dia berkembang sesuai zaman sama situasi sekitarnya karena moral itu dinamis, beragam di tiap tempat, misal, budak yang dulu di anggap biasa trus sekarang dianggap gak

bermoral, ato tentang poligami yang kalo di barat, yang banyak agama kristennya nganggap hal yang imoral, sedangkan di timur poligami itu hal yang biasa” (W6S1/v3/ b.3462-3477).

“…dan pasti budaya atau kebiasaan juga ikut bermain peran. Ada hal yang aku merasa itu baik tapi budaya atau kebiasaan kita bilangkan itu gak baik, misal eksistensi kaum lgbt, aku merasa gak masalah, tapi kebiasaan bilangkan itu masalah, tentu kalo uda kayak gini kan harus kita pikirkan lagi, pake kesadaran kita untuk lihat mereka. nikah dengan yang satu rumpun marga misal, bagi aku gak masalah, tapi budaya kita kan bilangkan ga boleh. karena aku merasa satu rumpun pun, tapi itu pasti uda jauh sejauh jauh nya, dan mungkin uda ga saudara lagi uda sanking jauh nya, jadi punya anak pun secara biologis kan ga ada masalah nanti anak nya” (W6S1/v4/ b.3479-3501).

Selain itu, bagi Anto, nilai moral seperti pengorbanan, tidak seharusnya dilakukan atas dasar agama. Hal tersebut dapat berasal dari pemahaman akan interaksi sosial, pengalaman hidup yang memunculkan keinginan dalam diri seseorang untuk berkorban bagi sesama. Menurutnya, manusia yang disertai akal tentu seharusnya lebih pandai daripada hewan untuk mempelajari nilai-nilai moral tanpa agama.

“Bahkan di hewan, rasa untuk menyelamatkan rasnya, untuk menyelamatkan dirinya, untuk menyelamatkan kelompoknya itu ada..apalagi seharusnya manusia. Masa’sih kita ga bisa ngerti kalo dalam keadaan tertentu, pengorbanan harus dilakukan dan kita sadar bahwa kita bisa melakukan tersebut ya karena memang kita pengen berbuat sesuatu untuk menyelamatkan. Bukan karena agama mengajarkan demikian” (W3S1/ba6/ b.1588-1600).

Anto juga tidak lagi mengandalkan doa dalam hidupnya. Ia menganggap berdoa tidak memberikan dampak jika ia mengalami persoalan dalam hidupnya. Anto mengandalkan kekuatannya sendiri bila ia mengalami persoalan karena ia yakin bahwa hanya itulah yang mampu menyelesaikan hal tersebut.

Emang harus fight gitu, harus dihadapi langsung, ga bisa dengan menenangkan diri kalo aku, dengan cara berdoa atau apa ya menenangkan diri, kalo kau punya masalah, langsung selesaikan, langsung hadapi. Ada masalah sama kawanmu langsung bicaain, kalo ada masalah sama orang lain atau dengan sesuatu apapun itu… Gabisa aku, Tuhan tolong kirimkan…gabisa aku, pokoknya kalo kau butuh ama kawan ya bicara ama kawan” (W2S1/ba3/ b.1038- 1057).

Setelah menjadi Ateis, konsep kematian yang diyakini Anto pun berubah. Ia memang masih memiliki rasa takut pada kematian, namun bukan lagi karena takut adanya neraka, namun takut untuk menjalani proses kematian tersebut. Ia menganggap bahwa kematian adalah bagian dari proses kehidupan. Setelah meninggal, maka ia akan kembali lagi ke Bumi dan tubuhnya terurai. Oleh karena itu, baginya, yang paling penting adalah apa yang bisa dan apa yang harus dilakukan saat hidup. Ia menganggap bahwa agama mengajarkan apa yang harus dilakukan saat hidup untuk menghadapi kematian. Manusia memang takut dengan kematian dan tidak mengetahui apa yang terjadi setelahnya, oleh karena itu, ia mengaku agama memberikan jawaban mengenai hal tersebut. Namun, sekarang, Anto tidak lagi mempercayai hal tersebut karena ia ingin menikmati hidup tanpa harus menjalaninya atas dasar takut pada neraka dan demi masuk ke dalam surga, sehingga tidak dapat menikmati apa yang ada saat ini karena hidup hanya berlangsung sekali.

“Beda rasa takut yang kualami. Ini kayak rasa takut yang… terimalah, kematian itu harus bisa kita terima, itu emang bagian dari proses hidup. Balek lagi, yang karna itu bagian dari proses hidup yang..walopun dibelakangnya bakal ada penuh gelap, gelap ga tahu apa lagi, ya paling gak, karna kita ga tahu itu, ya mikirin sekarang ajalah, yang masih terang inilah, itu mungkin salah satu pandangan yang aku liat beda dari sebelumnya, lebih bisa nerima lah.”( W1S1/ba2/b.271-286).

“Aku bukan ga takut mati, tapi aku juga bukan berarti aku harus takut sama yang namanya mati itu tapi ya yang namanya takut itu pasti ada tapi paling ga ya aku pengen nikmati hidup ini dan aku senang karna aku bisa nikmatinya dengan hidup aku sendiri dan tanpa aku harus hidup untuk mati gitu. Aku merasa gitu, aku merasa di agama kayaknya hidup untuk mati, gataulah, mungkin ada juga beberapa orang yang beragama ga mesti hidup untuk mati, hidup untuk bersenang-senang, tapi aku ngelihatnya lebih agama itu ngajarkan hidup untuk mati, dia dihantuinya rasa takut sama mati itu” (W3S1/mha2/b.1636-1643).

Anto yang ingin menjalani hidup tanpa perlu takut akan neraka ataupun mengharapkan surga, membuatnya memiliki tujuan dalam hidupnya agar hidupnya menjadi maksimal. Ia ingin membuat sesuatu yang berguna bagi sesama. Keinginan tersebut timbul ketika ia mengalami perasaan menyenangkan sesederhana saat ia membuat orang lain tertawa karena apa yang ia lakukan, juga karena ia melihat orang lain melakukan hal yang bermanfaat bagi sesama yang membuatnya menganggap bahwa ia pun dapat melakukan hal serupa.

“…waktu SMP lah itu, aku sama kawan aku, gataulah, mungkin karna tingkah kami yang aneh-aneh, naik angkot ni ya, satu angkot ketawa, karna ngeliatin kami, cukup karna itu aja, ngeliat orag senyum karna apa yang ku lakukan, menyenangkan loh rasanya itu rasanya ya paling nggak, apa yang dia rasakan, aku rasaka juga. Mereka senang, aku senang juga dan apalagi aku kalo berguna sama orang, lebih senang, lebih terpenuhi lagi, lebih enak ya..” (W2S1/tha6/b.1018-1035).

“…aku sendiri sering bilang gini, bayangin orang-orang sekitar aku kalo dia ga ada, kayak misanya bayangin kalo ga ada Bang Tono, kalo ga ada ia di kampusku, orangnya ga pernah ada, aku bayanginya, organisasi yang di bentuk itu ga bakal ada karna salah satu pionirnya itu bang Tono. Ga ada itu, maka,yang bantu tugas- tugas kuliah ga ada, sesimpel itulah. Aku bayanginnya, luar biasa gitu, itu mulai dari hal kecilnya.” (W1S1/tha4/b.343-354).

Keinginan untuk menjadi berguna bagi orang lain, sekecil apapun bentuknya, merupakan tujuan hidup yang ingin dicapai oleh Anton. Ia ingin keberadaannya diapresiasi oleh orang lain. Anto ingin meninggalkan sesuatu yang dapat dikenang dengan baik sebagai bukti bahwa hidupnya tidak sia-sia.

” ….Gila hormat, bukan, tapi aku emang pengen buat sesuatu yang ga sia-sia gitu, bukan suatu yang merugikan, paling ga buat orang merasa untung gitu, kayak, aku sendiri sering bilang gini, bayangin orang-orang sekitar aku kalo dia ga ada..” (W4S1/tha3/b.336-341). “Karna aku pengen ninggalin sesuatu apa ya..legacy..inggalin turunan..ga harus anak..ada inilah…aku pengen itu. Aku ngeliat itu penting. Itu bukti kau pernah ada disini, kau hidup. Ga harus seluruh dunia, paling ga orang-orang terdekatlah” (W6S1/tha8/b.3409-3417).

Baginya, ketika orang lain merasakan kebahagiaan karena kehadirannya, itu juga memberinya kebahagiaan dan kepuasan tersendiri. Ia ingin berperan bagi orang lain, bukan karena ia ingin dihormati, namun ia ingin orang lain merasa untung atas kehadiran dirinya. Anto juga ingin membuat sesuatu yang berguna dengan merangkak dari titik terendah hingga akhirnya mencapai kesuksesan yang tentunya bermanfaat bagi sesama.

“Kalo bisa aku pengen buat apa ya..aku pengen buat gini, kalo dibilang dari dulu, aku pengen merangkak, aku pengen merangkak dari nol sampe aku duduk di atas suatu yang tinggi, aku pengen kaya buat usaha, aku pengen di perusahaan kecil, aku buat di jadi besar. Aku pengen..apa ya..dari yang nol jadi suatu yang besar, kenapa ya karna balek lagi di awal, aku pengen buat sesuatu yang berguna.” (W2S1/tha7/b.1165-1178).

Anto mengutamakan nilai hubungan sosial yang baik dengan sesama. Baginya, sangat penting memiliki komunikasi yang baik dengan teman-temannya karena ia menyadari bahwa di dunia seseorang tidak bisa hidup tanpa bantuan

orang lain. Hal ini merupakan nilai yang dimiliki oleh Anto, yaitu nilai kolektif bermasyarakat yang membuatnya memiliki tujuan hidup untuk menjadi atau membuat sesuatu yang berguna bagi masyarakat.

“Aku merasa teman itu yang bisa bantu kita, yang paling bisa bantu kita pertama, ada masalah, cerita ama teman, curhatkan masalah apa dan mereka bisa bantu paling gak nenangin, ngasih solusi sementara atau cukup ada disitu aja udah cukup.” (W5S1/v3/ b.2052-2060).

“Kalau nilai-nilai kayak gitu, bagiku nilai pertemanan, hubungan dengan orang yang disayangi, orangtua, pasangan, itu nilai-nilai hidup yang kayak gitu yang bikin aku merasa hidup” (W4S1/v2/b.1063-1068).

Tidak hanya tujuan hidup, Anto juga memiliki harapan dalam hidupnya yaitu memiliki pekerjaan yang mampu menghasilkan materi yang stabil sehingga tidak perlu lagi merepotkan orangtuanya. Anto ingin bisa lulus kuliah, menikah, kerja, menikmati hari-hari yang dijalaninya dengan tenang dan tanpa hambatan. Anto juga ingin menikmati hidup apa adanya dengan melakukan hal-hal yang ia sukai tanpa gangguan. Ia mengaku, melakukan aktivitas hidup sekecil apapun dengan tenang, misalnya, ketika sore hari saat ia melakukan kegiatan santai, seperti minum kopi sambil membaca buku saja, sudah dapat membuatnya menikmati hidup.

“Pertama ya balek lagi kayak yang kubilang, pengennya berguna bagi orang, dan selanjutnya, nikmatin hidup. Sebenarnya, aku pengen bisa jalani hidup dengan tanpa harus aku susah-susah dengan ini..dengan..apa ya..masalah, ya cukup nikmatin hiduplah, melakukan yang biasa aku lakukan tanpa diganggu, tanpa harus susah.Bukankah itu yang paling enak dilakukan ama orang? Bukankah hal-hal yang menyenangkan seperti itu yang enak dilakukan? Aku terbayang gini, paling ga aku sore hari, duduk, minum kopi atau teh, dikawanin ama roti atau wafer, itu aja udah enakloh..wuihh enakloh, itulah hidup itu, santai..tenang.. yang gitu,

aku paham gitu tu enaknya gimana, tapi itulah kalo dibilang primary, sekunder. Yang pertama itu, paling ga, ada gunanya, yang kedua itu, ya nikmati hidup, jalani hidup tanpa aku harus susah, paling ga, simple aja, kalo bisa, janganlah ada masalah karna aku beda, karna aku ga beragama” (W2S1/ka5/b.995-1011).

Memiliki tujuan hidup membuat Anto berusaha untuk mewujudkannya. Untuk mewujudkannya, Anto memulainya dengan membantu teman-temannya sebisa mungkin. Ia tidak harus langsung turun ke jalan membantu kaum yang membutuhkan, baginya hal tersebut dapat ia mulai dari teman-teman dekatnya dulu, misalnya menjadi teman berdiskusi bagi temannya yang membutuhkan, membantu orangtuanya apabila membutuhkan bantuan tenaganya. Beberapa hal kecil yang ia lakukan adalah meminjamkan barang atau materi kepada teman yang membutuhkan ketika ia mampu, menemani ibunya pergi ke tempat-tempat tertentu dan sebagainya. Ia sadar bahwa masih belum banyak hal yang bisa ia lakukan. Akan tetapi, setidaknya, ia berkomitmen untuk tidak menjadi orang jahat yang merugikan orang lain. Berbagai upaya tersebut merupakan kegiatan terarah yang dilakukan Anto untuk mewujudkan tujuan hidupanya.

“Ya…aku belum bisa melakukan banyak, jadi yang paling bisa aku lakukan,ya tidak menjadi orang jahat, mencoba untuk bantu orang selama masih bisa bantu masih ga keterlaluan orangnya tapi bukan berarti aku bakal bantu tiap orang yang ada di jalan, aku langsung turun ke jalan, ya enggak juga. Paling gak, orang sekitar aku yang signifikanlah misalnya, mungkin kalo ada kesempatan buat aku ya bantu juga” (W5S1/rth1/b.1922-1935).

“Aku ga tau uda ada konkretnya atau engga, tapi yang sekarang yang bisa ku lakukan ya berbuat baik ajalah sama orang. Kalo bisa di bantu ya bantu. Emang kedengaran klise, tapi mau cemana lagi. Lebih baik hidupkan satu lilin daripada mengutuk kegelapan” (W6S1/rth2/b.3503-3508).

Anto kini merasa bahagia dengan kehidupan yang dijalaninya. ia merasa lega karena akhirnya ia bisa terlepas dari agama dan ia telah jujur dan mengakui apa yang selama ini ia ragukan. Ia juga bahagia bisa menemukan teman-teman yang menghormati pilihannya. Baginya, dalam menjalani hidup, tidak perlu menoleh ke belakang dan tidak usah takut akan hari esok, yang terpenting adalah menjalani apa yang ada saat ini. Anto cukup sederhana dalam mendefinisikan kebahagian, baginya, melakukan hal-hal yang tidak membuatnya susah saja sudah merupakan kebahagiaan. Meski sudah merasa hidupnya bahagia, itu tidak berarti ia berhenti sampai di titik ini saja. Menurutnya, kepuasan dalam hidup akan menjadi lengkap bila ia telah berhasil mewujudkan tujuannya untuk bermanfaat bagi orang banyak. Hal ini membuktikan bahwa Anto mulai memasuki kehidupan bermakna karena ia sudah merasakan kebahagiaan karena terlepas dari penderitaannya terdahulu yang bingung, ragu dan kalut atas kebenaran agamanya. Kini, ia sudah merasa lega dan senang dengan apa yang dijalaninya. Meski demkian, kehidupan bermakna Anto masih berada dalam proses penyelesaian karena ia masih berusaha untuk mewujudkan impiannya.

Dalam dokumen Kebermaknaan Hidup yang Dimiliki oleh Ateis (Halaman 43-66)