• Tidak ada hasil yang ditemukan

Geliat Cendekiawan dalam Cengkeraman Neo-Fasisme Orde Baru

Dalam dokumen 2003 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 104-108)

Judul Buku : Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru Penulis : Daniel Dhakidae

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003 Tebal : xxxviii + 790 halaman

< : p>

GAMBARAN tentang kekuasaan-yang pencemburu, ganas, dan terus haus dalam nafsu ingin hadir dan berdaulat dalam setiap ruang kehidupan-disajikan oleh Daniel Dhakidae secara sangat memikat, baik dari substansi yang dipilih, kedalaman, dan ketajaman analisis yang dibuat, maupun olah-bahasa yang dipakai dalam buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru.

D>small 2small 0< memanfaatkan kerangka pikir Foucaultian yang sangat menekankan pentingnya peneropongan realitas sebagai sesuatu yang terus bergerak dalam proses relasional dialektis, Dhakidae menggeledah-periksa ruang bawah tanah dan loteng yang penuh sarang laba-laba di mana bertebaran dokumen tentang cengkeraman kuku rezim Orde Baru dan kiprah-geliat perlawanan para cendekiawannya.

Kaum cendekiawan dan wacana politik publik

Jenis geliat cendekiawan yang diperiksa buku ini adalah wacana politik publik, public political discourse, yang dilontarkan oleh para cendekiawan dalam publik. Konsisten dengan garis Foucaultian, Dhakidae menolak untuk mengerangkeng pengertian cendekiawan dan kecendekiaan dalam suatu sangkar definisi. Ia cenderung melihat dua hal itu sebagai suatu &quot;…relasi dalam suatu medan-medan sosial, medan ekonomi, medan sastra, medan politik-dengan titik berat diberikan pada produksi wacana, pertikaian wacana, pergantian wacana, dan kembali kepada formasi wacana baru lagi&quot; (xxviii).< dan dalam>

Demikian pula karena pelekatan sifat publik pada wacana politik para cendekiawan, Dhakidae menolak untuk masuk ke wilayah pribadi seperti: ciri-ciri pribadi, kecenderungan pribadi, ataupun hal-hal yang terjadi di belakang layar publik. Karena itu, ia tidak menganggap perlu untuk melakukan cek silang antara temuannya dengan para pelaku sejarah masa Orde Baru yang sebagian besar masih hidup. Pengecekan silang adalah upaya untuk mempengaruhi, memberi warna atas sedimen yang disebut teks. Itu ditolaknya.

Kecenderungan yang sama kembali terlihat ketika Dhakidae mengabaikan peran ilmuwan yang diduga sebagai "penulis hantu" pidato Adam Malik, yang melontarkan kritik terhadap ilmu-ilmu sosial dan para ilmuwannya dalam pertemuan HIPIIS, Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial, yang sangat bersejarah tahun 1977 di Manado. Dia pun menolak mencari penulis hantu pidato Soeharto dalam Kongres HIPIIS 1998 di Medan. Fakta bahwa pidato tersebut menjadi public discourse jauh lebih penting dibandingkan siapa penulis pidato

"sesungguhnya", yang secara publik hilang dalam kegelapan sejarah.

Buku ini "…memeriksa berbagai instansi dan kesempatan di mana kekuasaan menunjukkan dirinya dalam berbagai bidang pada masa Orde Baru dan memeriksa bagaimana semuanya berinteraksi satu dengan yang lain" (hal 65) di mana "…terjadi pertarungan yang tidak habis-habis antara totalisasi kekuasaan dengan perlawanan terhadapnya; kekuasaan yang merumuskan wacana dan perlawanan yang merumuskan wacana tandingan; perlawanan yang diberikan dan ancaman yang diterima dan pembinasaan yang dikerjakan kekuasaan" (hal 65-66).

Penggerak utama, prime movers, the underlying forces, sekurang-kurangnya ada tiga, yaitu: modal, kekuasaan dan kebudayaan, dan konflik, serta pertentangan yang dirangsang, dikembangkan dalam ruang publik oleh kaum cendekiawan yang terikat pada ketiga hal tersebut…" (xxxi).

Gulungan-utama, the main thread, dari organisasi buku ini berputar di sekitar proses totalisasi kekuasaan (negara dan modal) yang semakin ganas dalam upayanya membangun suatu formasi wacana dominan di satu pihak dan pihak lain muncul geliat cendekiawan dalam tiga bentuk: pertama, penghambaan hampir total oleh intelektual tukang; kedua, subversi dari dalam sistem oleh para intelektual yang memilih berpikir positif dan bergabung dengan rezim; dan ketiga, perlawanan total dari luar sistem oleh tukang intelektual yang yakin mereka harus berperan

kliping

ELSAM

maksimal secara Bendais, yaitu membela nilai-nilai abadi seperti kebenaran dan keadilan tanpa pamrih dan tanpa menanam kepentingan diri sendiri. Konsekuensinya, buku ini diurutkan dalam suatu pembabakan yang konsisten dengan alur pikiran tersebut.

Totalisasi kekuasaan

Bertolak dari keyakinan bahwa sejarah dapat dijadikan acuan untuk mengritik realita masa kini, Dhakidae berusaha memperlihatkan bahwa sesungguhnya rezim Orde Baru setali tiga uang dengan Pemerintah Kolonial Belanda masa politik etis. Kedua rezim ini pada awalnya bertolak dari niat luhur untuk memperbaiki kehidupan rakyat, sesuatu yang bisa disebut sebagai humanisme, humanisme politik etis dan humanisme pembangunan. Namun, seiring perjalanan waktu, mereka semakin menjauh dari tujuan semula.

Dalam upaya memperkuat cengkeraman kekuasaan atas pribumi, pemerintah kolonial melihat kebutuhan

membangun suatu formasi wacana dominan: Inlander-Nederlander. Dengan tetap menjaga batas antara keduanya, para kawulo Inlander dibuat berpikir bahwa mereka hanya mungkin maju, sejahtera, dan berjaya bila mereka tetap dalam kerangka Nederland Raya.

Orde Baru sebagai suatu rezim yang sama dan sebangun dengan rezim kolonial, diperlihatkan lebih brutal dari rezim kolonial, seperti dipaparkan dalam Bab Tiga. Rezim Orde Baru adalah suatu bentuk Neo-Fasisme Militer dengan terpenuhinya hampir semua unsur yang dapat dipikirkan menjadi ciri-ciri khas dari fasisme, antara lain: adanya sebuah ideologi yang sakral mendekati bahkan melampaui sifat agama; adanya seorang pemimpin yang terus mengkonstruksikan diri sebagai pihak yang penuh karisma; dan adanya sebuah mesin organisasi politik seperti Golkar yang dahsyat lengkap dengan organisasi paramiliter dan preman politiknya.

Rezim ini dimulai dengan peristiwa 1 Oktober 1965. Setelah dalam bagian akhir dari bab sebelumnya, Dhakidae telah menyemai pemahaman bahwa polarisasi Cendekiawan Kanan, Manikebu, Kiri, dan Lekra sudah kokoh mengendap dalam pertandingan diskursif era 1960-an (hal 181-192). Peristiwa ini terbukti merupakan kesempatan emas yang telah lama ditunggu pihak militer dalam perjalanannya menuju kekuasaan.

Intelektual tukang dan tukang intelektual

Kepengapan dan kesesakan yang diakibatkan oleh agresivitas rezim Orde Baru berlangsung demikian efektif baik dengan kebengisan maupun dengan kesejukan rayuan jabatan dan materi. Semuanya ditunjang oleh pemanfaatan teknologi bahasa yang ampuh. Teknik kekuasaan seperti memakai akronim/penyingkatan bahasa,

eufemisme/penghalusan bahasa, dan disfemisme/pengkasaran bahasa, seperti memberi cap dan langsung menuduh, seperti "Saudara adalah PKI, atau GPK, atau OTB", dan lain-lain menjadi alat ampuh Orde Baru. Semuanya berjalan sedemikian rupa sehingga para cendekiawan, sesuai dengan posisi dan relasi masing-masing dengan kekuasaan dan modal, dibuat menggeliat di sela-sela cengkeraman kuku rezim ini.

Geliat cendekiawan kanan diperagakan dalam beragam wujud wacana politik publik, public political discourse, dan di sana kelihatan bahwa secara perlahan semakin melemah dalam perlawanan, namun secara pasti menerima wacana politik Orde Baru dan semakin membudak pada kekuasaan maupun modal. Beberapa contoh dapat ditunjuk: dunia penelitian, organisasi kecendekiaan, seperti ISEI, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, dan HIPIIS, Universitas, Pers, MUI, CSIS, Center for Strategies and International Studies, dan dalam arti tertentu jurnal Prisma.

Akan tetapi, ada juga sedikit geliat dalam bentuk resistensi terhadap wacana Orde Baru yang berkembang cepat menjadi teriakan dalam kesepian. Namun, pemadaman perlawanan tersebut menyebabkan mereka terkulai dan mati-secara fisik dan intelelektual-dalam kesunyian akibat penculikan rahasia yang begitu berkembang dalam Orde Baru. Nama-nama bisa disebut di sini seperti kelompok diskusi di luar kampus, aktivis NGO dan NGI, nongovernmental intellectuals, pemikir-pemikir muda cemerlang dari jemaah NU, Wiji Thukul, Nuku Suleiman, Sandyawan, Budiman Sudjatmiko, Marsinah, dan Udin. Pada umumnya mereka yang disebut belakangan ini disikapi dan diperlakukan sebagai "Cendekiawan Kiri".

Semuanya bisa direntang dalam satu kontinuum antara jenis relasi "intelektual tukang" sampai "tukang intelektual". Yang pertama sudah direduksi kadar kecendekiaannya menjadi sekadar alat/tukang teknis dari kekuasaan dan modal dengan otonomi yang mendekati titik nadir. Yang kedua merujuk kepada mereka yang terus menjadikan kerja kecendekiaan kepedulian utamanya dan terus berurusan dengannya. Otonominya nyaris penuh karena berhasil lolos dari cengkeraman rezim dan karena itu berada di luar sistem.

kliping

ELSAM

Keberadaan cendekiawan pada sejumlah jenis relasi yang dapat dibayangkan di antara dua kutub kontinum relasi tersebut di atas tidaklah ajek karena setiap jenis relasi itu terus bergerak dalam arus proses interaksi dialektik segi tiga antara modal, kekuasaan, dan kebudayaan. Semua kenyataan itu menunjukkan betapa cendekiawan dan kecendekiaan adalah "…relasi yang dihasilkan, karakter yang tampak, dan peran yang dimainkan serta kekuasaan yang ditunggangi dan kekuasaan yang dihasilkan untuk membentuk suatu political discourse oleh kaum

cendekiawan itu" (xxxi). Semua ini berlangsung dalam suatu konfigurasi tatanan kemasyarakatan yang lebih luas dalam jangka-waktu tertentu di mana turut tegak terpacak berbagai enabling systems dan constraining systems yang turut mempengaruhi proses dimaksud.

Struktur memfasilitasi proses dengan cara meminjam tangan para aktor sejarah yang bermodalkan posisi dalam relasi struktural guna mengaktifkan suatu proses tertentu yang pada gilirannya kembali mengeras menjadi struktur relasional dalam suatu siklus proses sejarah yang terus berputar dan berkembang semakin kompleks.

Tatanan relasi dialektik ini pun pada gilirannya terus bergerak atau digerakkan oleh suatu proses relasi dari kekuasan mengolah wacana dan ilmu menjadi kekuasaan bersama dengan upaya modal mengakrabi dan sekaligus mengubah baik kekuasaan maupun wacana politik publik menjadi modal. Semuanya bertabrakan dengan upaya gigih olah-wacana para cendekiawan dalam memanfaatkan baik posisi kekuasaan maupun modal kultural yang dimilikinya untuk mentransformasikan kekuasaan dan modal menjadi penopang budaya kritis dalam arena laga-wacana tanpa akhir.

Apa pun posisi dan relasi mereka, jelas terlacak suatu kegeraman yang dalam terhadap rezim Neo-Fasisme Militer Orde Baru yang sudah demikian total dan mahadigdaya.

Kontroversi struktur dan aktor

Sejak Roy Bhaskar menulis The Possibility of Naturalism, 1978, dalam ilmu-ilmu sosial dia dianggap sudah menyelesaikan kontroversi antara kuasa tatanan dan peran aktor sejarah, the role of historical agency. Kuasa tatanan tidak mempedulikan tokoh-tokoh dalam menjelaskan perubahan sosial. Perubahan dilihatnya semata-mata sebagai hasil perubahan struktur modal, negara, dan lain-lain tanpa peduli dengan peran yang dimainkan aktor. Soekarno dan Hatta tidak penting dalam kemerdekaan Indonesia, akan tetapi perubahan struktur modal mondial pasca-Perang Dunia II lebih menentukan. Cepat atau lambat Indonesia akan merdeka, berdasarkan perubahan struktur modal dunia. Struktur meniadakan aktor.

Di pihak lain teori-teori liberal mengagung-agungkan aktor. Namun, sejak Bashkar seharusnya para tokoh sudah berada dalam posisi sangat kuat dan juga gagasan-gagasan mereka diperlakukan berperan sama pentingnya-kalau tidak, kadang-kadang lebih menentukan-vis-à-vis tatanan yang memungkinkan ataupun yang membatasi sesuatu untuk mewujud, enabling and constraining structures.

Dalam buku ini, Dhakidae cenderung mengabaikan peran tokoh-tokoh dan gagasan mereka dan semuanya dilebur dalam pergulatan wacana kecendekiaan di Indonesia. Meskipun buku ini sempat memeriksa para tokoh CSIS, tapi porsi itu tidak seimbang jika dibandingkan dengan diskusi atas dokumen dan proses pembentukan dan

pembongkaran wacana. Pelaku sejarah yang dikedepankan lebih sering hilang dalam wujud wadah kelembagaan. Akibatnya, discourse yang diutarakan dapat dianggap sebagai produk resmi lembaga cendekiawan. Padahal banyak hal yang "tidak resmi" di belakang layar justru berperan besar menentukan tampilan resmi di depan publik. Pengabaian peran para tokoh dan gagasan mereka membuat buku ini hanya bisa mengetengahkan bahwa organisasi para ekonom, ISEI, lebih mempunyai akses langsung ke Kantor Presiden Soeharto dan, karena itu, lebih berperan sebagai pemimpin dan perumus kebijakan-kebijakan pokok. Sementara itu, organisasi para ilmuwan sosial nonekonomi, HIPIIS, lebih punya kedekatan dengan Kantor Wakil Presiden saat itu dan karena itu lebih berfungsi sebagai pengontrol kebijakan.

Pengamatan ini tepat sekali tetapi tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: mengapa ISEI lebih berpengaruh atas Presiden Soeharto sedangkan HIPIIS lebih mempunyai kedekatan dengan Wakil Presiden? Kenyataan pertama hanya bisa dijawab dengan mengetengahkan hubungan yang telah dibina oleh para ekonom-teknokrat sejak mereka menjadi dosen di SESKOAD Bandung, sedangkan kenyataan kedua tidak dapat dilepaskan begitu saja dari posisi strategis Prof Selo Soemardjan, ilmuwan sosiologi, sebagai Sekretaris di Kantor Wakil Presiden. Laga wacana ilmuwan sosial nonekonomi mungkin akan lebih bergigi-tidak dalam makna menggeser sektor ekonomi untuk digantikan oleh sektor sosial, akan tetapi paling kurang pertimbangan-pertimbangan

kliping

ELSAM

kemasyarakatan lebih diperhatikan secara substantif dan tidak sekadar terbatas hanya pada sifat-sifat prosedural dan seremonial belaka.

Tubuh politik dan politik tubuh

Bertolak dari posisi epistemologis Foucaultian yang memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang cair dan terus bergerak secara dialektis maka baik kekuasaan, modal, ideologi, agama, maupun ilmu pengetahuan tidak dipahami sebagai suatu entitas yang tetap, melainkan terus berubah wujud.

Kekuasaan dapat bertukar rupa menjadi agama, agama dapat berwujud modal seperti kredensial religiusitas ataupun mengambil bentuk kekuasaan politik. Tak satu pun dari hal-hal ini dapat dipaku dalam suatu wujud tertentu pada titik waktu tertentu. Kemustahilan pemakuan itu dengan sendirinya menurunkan peluang pengambilan tindakan ke titik nadir.

Cara penelisikan Foucaultian ini memang sangat mengasyikkan dalam memperluas dan memperdalam pemahaman kita secara penuh dan menjelimet. Namun, di pihak lain kita dapat dibuat sedemikian asyik terbenam sehingga kita tidak tahu "rumah tetangga kita sudah habis terbakar" tanpa kita mampu bertindak menolongnya dan menghentikan bencana itu. Karena itu, biayanya terlalu besar demi kenikmatan diskursif yang mewah, khususnya bagi negeri-negeri yang serba terbelakang. Kesan elitis pendekatan ini tidak terhindarkan.

Dalam hubungan itu, beberapa contoh dapat dikemukakan untuk memahami apa yang dimaksudkan di atas. Analisis diskursif menempatkan tubuh/body natural, tubuh politik/body politic, dan politik terhadap tubuh dalam posisi yang menarik untuk disimak. Di sana ditekankan kontrol terhadap tubuh sebagai titik utama. Pada saat buku ini

menelanjangi kebijakan pengendalian kependudukan Orde Baru, umpamanya, ia hampir saja luput menyadari pentingnya kebijakan itu bagi seorang istri di wilayah pedesaan yang dalam usia lebih dari 40 tahun menderita setiap tahun selama sembilan bulan karena frekuensi kehamilan yang rapat untuk kemudian mempertaruhkan nyawanya dalam proses melahirkan tujuh sampai dua belas anak.

Ia juga hampir luput memahami arti suatu pakaian seragam bagi suatu keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan, yang tidak ada harkat apa pun selain pakaian seragam yang diberikan, pada saat buku ini membuka kedok kebijakan pakaian seragam Pemerintah Orde Baru. Dengan kata lain, keuntungan ekonomis yang didapat lapis bawah masyarakat baik dari program Keluarga Berencana maupun pakaian seragam sama sekali diabaikan buku ini.

Meskipun demikian, buku ini mengungkap dengan gamblang kontrol atas tubuh yang dijalankan program KB maupun pakaian seragam sekolah lengkap dengan perangkat kekerasan yang menyertai pelaksanaannya. Kontrol itu tidak lain maksudnya selain untuk meningkatkan kepatuhan tubuh, docility, juga berarti kepatuhan masyarakat pada umumnya, submission. Hanya dengan pendekatan diskursif-suatu yang tidak dimungkinkan oleh pendekatan positivistik-tokoh-tokoh seperti Marsinah, Wiji Thukul bisa dijaring dan kontrol yang dijalankan atas mereka dengan seluruh rentetannya dibuka. Hal yang sama berlaku untuk Inul Daratista yang juga terjaring dalam diskursus politik kecendekiaan dengan kekuasaan.

Dalam kurun waktu yang berbeda, pasca-Orde Baru, analisis diskursif di atas bisa dipakai untuk memahami kontrol kekuasaan atas tubuh Inul Daratista akhir-akhir ini. Ada beberapa persamaan antara pusat kekuasaan yang

mencengkeram para cendekiawan masa Orde Baru dengan lembaga kekuasaan moral agama yang berupaya meluruskan lenggak-lenggok "goyang ngebor" Inul.

Pertama, kedua jenis kekuasaan itu mendakukan diri menggenggam kebenaran yang laa raiba fihii, tidak ada keraguan di dalamnya, suatu kebenaran mutlak. Kedua, dua kekuasaan itu pada hakikatnya adalah dua sisi dari satu mata-uang yang sama. Rezim Neo-Fasisme Orde Baru bertingkah mutlak-mutlakan seperti laiknya agama. Bahkan berada di atas agama, ketika Orde Baru menggenggam monopoli pengakuan dan pelarangan agama yang dianggap mengandung ajaran sesat. Sebaliknya, lembaga agama berperilaku ganas seperti perlakuan negara Orde Baru terhadap perempuan, terhadap nasib seperti yang dialami Marsinah.

Ketiga, baik geliat cendekiawan Orde Baru maupun gigihnya perjuangan Inul sangat tergantung pada posisi masing-masing dalam relasi kuasa dengan negara dan kedigdayaan modal. Hasil akhir dari pertarungan masing-masing-masing-masing dengan dua kekuatan itu adalah sebagai berikut. Para cendekiawan Orde Baru nyaris tidak berkutik berhadapan dengan totalisasi kekuasaan Neo-Fasisme Militer Orde Baru dan mengguritanya modal. Sedangkan Inul Daratista di

kliping

ELSAM

pihak lain, berhasil menunggangi kekuasaan, seperti berfoto bersama Taufik Kiemas dan mendekati Gubernur DKI, untuk mendongkrak posisi tawarnya. Di bawah kaki kebesaran modal akhirnya Inul bersimpuh.

Penutup

Dengan semua kritik yang diberikan di atas, sebelum menutup tinjauan ini, beberapa hal perlu dikemukakan dalam hubungan dengan kehidupan akademi negeri ini. Pertama, nilai paling utama buku ini adalah kontribusinya dalam pemancangan kriteria-kriteria mutu akademik suatu karya ilmiah dalam hampir setiap aspeknya. Metode kerja yang diperagakan dengan cara mengumpulkan dan menyatukan secara kumulatif berbagai gagasan yang sempat beredar dalam beberapa tulisan sebelumnya dapat menjadi contoh bagi mereka yang berkiprah dalam bidang keilmuan untuk tidak mudah tergoda berpindah fokus spesialisasi.

Kedua, teknik pembongkaran dan pemeriksaan dokumen-dokumen dikerjakan sedemikian sungguh-sungguh sehingga buku ini nyaris tidak menyisakan satu pun ceruk konseptual yang tidak disorotnya. Karya ini boleh dibilang suatu academic exemplar yang bisa dijadikan ukuran/acuan mutu bagi para ilmuwan sosial profesional. Ketiga, dalam peta pengetahuan keilmuan, inilah buku pertama, baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia maupun yang ditulis dalam bahasa asing, terutama Inggris, tentang Indonesia, yang menggarap ranah kajian geliat

cendekiawan dalam suatu tatanan ekonomi politik tertentu dengan strategi periksa Foucaultian di bawah terang obor Andersonian. Kehadirannya menutup suatu ruang bolong besar dalam ranah kajian ilmu-ilmu sosial Indonesia tentang kaum cendekiawan dan masalah kecendekiaan.

Adanya ruang hampa ini agak mengherankan karena, sebagaimana dikatakan buku ini, cendekiawan dan masalah kecendekiaan adalah bagian kajian penuh daya tarik, ada fascinatio di sana. Namun, adanya ruang hampa ini bisa dijelaskan dari sisi lain, selain mengasyikkan, fascinans, masalah kecendekiaan juga sekaligus menakutkan, tremendum, karena seperti dikatakan Dhakidae "kaum cendekiawan itu sendiri menakutkan."

Dr Tamrin Amal Tomagola Sosiolog

Kompas, Jumat, 25 Juli 2003

Dalam dokumen 2003 Kumpulan Kliping KKR (Halaman 104-108)