• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV: Perlindungan Bagi Konsumen Terhadap Usaha Waralaba ( Franchise )

D. Tanggung Jawab Franchisee Terhadap Konsumen yang Mengalam

YANG MENGALAMI KERUGIAN DAN KERACUNAN

Usaha Roti Cappie merupakan salah satu usaha franchise yang bergerak di bidang makanan yang ada di kota Medan. Roti Cappie berdiri pada tanggal 27 September 2015 dan berpusat di Jln. HM joni Medan. Usaha tersebut sekarang sudah berkembang dan sudah di franchisekan ke beberapa tempat yang ada di kota medan. Salah satu tempat franchise Roti Cappie terletak di Jln. Kalimantan dan di Jln. Bromo Medan.

Pemilik usaha Roti Cappie ialah Enzo Sauqi Hutabarat, pemilik membuka usaha tersebut di Jln. HM Joni Medan. Sedangkan Frachisee Roti Cappie tersebut ialah Margery Kusbiono yang menjalankan usaha tersebut di Jln. Kalimantan dan Supriadi menjalankan usaha di Jln. Bromo Medan.

Ketentuan mengenai tanggung-jawab franchisee terhadap konsumen yang mengalami keracunan dan kerugian akibat mengkonsumsi Roti Cappie terdapat dalam klausula kontrak antara franchisor dengan franchisee. Ketentuan tersebut terdapat di dalam pasal 3 ayat (6), dalam kontrak tersebut dikatakan “bahwa franchisor akan melayani komplain dan memberikan solusinya dari mitra waralaba”.

Perlu diketahui bahwa apabila konsumen mengalami kerugian akibat mengkonsumsi produk Roti Cappie di wilayah franchisee, maka franchisor ikut bertanggung-jawab terhadap kerugian konsumen tersebut. Franchisee wajib memberitahukan komplain konsumen tersebut kepada franchisor, supaya franchisor

dapat memberikan solusi yang tepat kepada konsumen sesuai dengan ketentuan pasal 3 ayat (6) klausula kontrak Roti Cappie.

Adapun bentuk pertanggung-jawaban dari pihak Roti Cappie terhadap konsumen yang mengalami kerugian dan keracunan akibat mengkonsumsi Roti tersebut ialah:

1) Pemilik Roti Cappie akan memberikan ganti rugi kepada konsumen dengan membayar dua kali lipat harga makanan yang dibeli oleh konsumen.

2) Jika konsumen harus mendapat penanganan melalui pengobatan medis atau masuk rumah sakit, maka pihak Roti Cappie bertanggung-jawab untuk membayar biaya perobatan konsumen. Tetapi disini Rumah Sakit ditentukan oleh pihak Roti Cappie, dan konsumen tidak bisa menentukan sendiri Rumah Sakit mana yang akan merawatnya.66

Melihat bentuk pertanggung-jawaban dari pihak Roti Cappie diatas, maka hal tersebut selaras dengan ketentuan pasal 19 ayat (1dan 2) Undang-undang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal 19 mengatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen, dimana dalam pasal 19 ayat (1) dikatakan “bahwa pelaku usaha bertanggung-jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Sedangkan ketentuan pasal 19 ayat (2) dikatakan “ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

E. PERAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA KONSUMEN

66

Hubungan hukum antara pelaku usaha/penjual dengan konsumen tidak tertutup kemungkinan timbulnya perselisihan/sengketa konsumen. Selama ini sengketa konsumen diselesaikan melalui gugatan di pengadilan, namun pada kenyataannya yang tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pengadilan pun tidak akomodatif untuk menampung sengketa konsumen karena proses perkara yang terlalu lama dan sangat birokratis. Berdasarkan pasal 45 UUPK setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.67

Di luar peradilan umum UUPK membuat terobosan dengan memfasilitasi para konsumen yang merasa dirugikan dengan mengajukan gugatan ke pelaku usaha di luar pengadilan, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Mekanisme gugatan dilakukan secara sukarela dari kedua belah pihak yang bersengketa. Hal ini berlaku secara gugatan perorangan, sedangkan gugatan secara kelompok (class action) dilakukan peradilan umum.68

Badan ini dibentuk di setiap daerah Tingkat II (pasal 49) BPSK dibentuk untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan (pasal 49 ayat (1), dan badan ini mempunyai anggota-anggota dari unsur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha. Setiap unsur tersebut berjumlah 3 (tiga) orang atau sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang, yang kesemuanya diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (Perindustrian dan Perdagangan). Keanggotaan Badan terdiri atas ketua merangkap

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah peradilan khusus konsumen (small claim court) yang sangat diharapkan dapat menjawab tuntutan masyarakat agar proses berperkara berjalan cepat, sederhana dan murah. Dengan demikian, BPSK hanya menerima perkara yang nilai kerugiannya kecil.

67

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, hal. 126

68

Marianus Gaharpung, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Korban Atas Tindakan Pelaku Usaha,” Jurnal Yustika, Vol. III No. 1 Juli 2000. Hal. 43

anggota, wakil ketua merangkap anggota, dan aggota dibantu oleh sebuah sekretariat.69

Setelah adanya kata damai dari pihak konsumen dengan pelaku usaha, maka akan dibuat ke dalam suatu putusan dan putusan tersebut harus di daftarkan ke Pengadilan Negeri. Apabila pelaku usaha dan konsumen tidak menerima putusan dari BPSK, maka para pihak dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan perkara tersebut

Adapun peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menyelesaikan sengketa konsumen ialah:

1. Melalui mediasi, dimana BPSK akan menjadi mediator bagi kedua belah pihak yakni pelaku usaha dengan konsumen. BPSK akan mendengarkan segala keluhan dari konsumen dan juga pembelaan dari pihak pelaku usaha. Setelah mendengarkan beberapa keluhan dari kedua belah pihak, maka mediator akan mencoba mencari jalan kata damai bagi kedua belah pihak.

2. Melalui Arbitrase, dimana pihak konsumen yang dirugikan akan menunjuk satu orang arbiter dan pelaku usaha menunjuk satu orang arbiter serta pihak BPSK akan menunjuk juga arbiter dari bagian pemerintahan untuk menyelesaikan sengketa kedua belah pihak.

70

69

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, hal. 127 70

Wawancara Dengan Bapak Hudri Aidil Fitri Selaku Anggota Sekretariat BPSK Kota Medan

.

Peran BPSK diatas sejalan dengan pasal 52 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 52 tersebut membahas mengenai tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menyelesaikan sengketa konsumen. Adapun isi pasal 52 tersebut ialah:

a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melaluimediasi atau arbitrase atau konsiliasi;

b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini;

e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;

g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini; i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,

saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;

j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;

l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Perlindungan Konsumen Terhadap Usaha Waralaba (franchise) menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Studi pada Usaha Roti Cappie Medan) dapat disimpulkan: 1 Bahwasanya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen memberikan bentuk perlindungan hukum yang jelas kepada konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang diperdagangkan atau dipasarkan oleh pelaku usaha. Adapun bentuk perlindungannya diatur dalam Undang-undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal tersebut dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu.

a. Perlindungan Hukum Dari Aspek Hukum Administratif

Bentuk perlindungan hukum yang dilakukan melalui hukum administratif terhadap konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi makanan dan minuman ataupun barang dan/atau jasa milik pelaku usaha yang melanggar tanggung jawabnya, maka terhadap pelaku usaha dibebankan untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen yang dirugikan oleh makanan dan minuman yang diperdagangkan olehnya.

Saksi administratif yang dijatuhkan bagi pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) UUPK tersebut berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00,- (dua ratus juta rupiah), sedangkan pihak yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dalam hal ini diatur dalam pasal 60 ayat (1, 2 dan 3) Undang-undang Perlindungan Konsumen.

b. Perlindungan Hukum Dari Aspek Hukum Pidana

Secara umum pelaku usaha seharusnya menjaga mutu barang dan/atau jasa yang dipasarkan sehingga tetap sepadan dengan pengeluaran konsumen yang ingin mendapatkan produk tersebut, hal ini berarti pengaturan dibidang perlindungan konsumen harus sejalan dengan peraturan dibidang perlindungan bisnis yang sehat dan jujur.

Terhadap konsumen yang mengalami kerugian akibat memakai, menggunakan atau mengkonsumsi makanan dan minuman serta barang dan/atau jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha, maka bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen dapat dilakukan melalui penuntutan pidana terhadap pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UUPK. Adapun dalam pasal 62 UUPK tersebut dikatakan, bahwa:

1. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana

penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

2. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyakRp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

2. Ketentuan mengenai tanggung-jawab franchisee terhadap konsumen yang mengalami keracunan dan kerugian akibat mengkonsumsi Roti Cappie terdapat dalam klausula kontrak antara franchisor dengan franchisee. Ketentuan tersebut terdapat di dalam pasal 3 ayat (6), dalam kontrak tersebut dikatakan “bahwa franchisor akan melayani komplain dan memberikan solusinya dari mitra waralaba”.

Perlu diketahui bahwa apabila konsumen mengalami kerugian akibat mengkonsumsi produk Roti Cappie di wilayah franchisee, maka franchisor

ikut bertanggung-jawab terhadap kerugian konsumen tersebut. Franchisee

wajib memberitahukan komplain konsumen tersebut kepada franchisor, supaya franchisor dapat memberikan solusi yang tepat kepada konsumen sesuai dengan ketentuan pasal 3 ayat (6) klausula kontrak Roti Cappie.

Adapun bentuk pertanggung-jawaban dari pihak Roti Cappie terhadap konsumen yang mengalami kerugian dan keracunan akibat mengkonsumsi Roti tersebut ialah:

a. Pemilik Roti Cappie akan memberikan ganti rugi kepada konsumen dengan membayar dua kali lipat harga makanan yang dibeli oleh konsumen.

b. Jika konsumen harus mendapat penanganan melalui pengobatan medis atau masuk rumah sakit, maka pihak Roti Cappie bertanggung-jawab untuk membayar biaya perobatan konsumen. Tetapi disini Rumah Sakit ditentukan oleh pihak Roti Cappie, dan konsumen tidak bisa menentukan sendiri Rumah Sakit mana yang akan merawatnya.

3. Adapun peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menyelesaikan sengketa konsumen ialah:

a. Melalui mediasi, dimana BPSK akan menjadi mediator bagi kedua belah pihak yakni pelaku usaha dengan konsumen. BPSK akan mendengarkan segala keluhan dari konsumen dan juga pembelaan dari pihak pelaku usaha. Setelah mendengarkan beberapa keluhan dari kedua belah pihak, maka mediator akan mencoba mencari jalan kata damai bagi kedua belah pihak. b. Melalui Arbitrase, dimana pihak konsumen yang dirugikan akan menunjuk satu orang arbiter dan pelaku usaha menunjuk satu orang arbiter serta pihak BPSK akan menunjuk juga arbiter dari bagian pemerintahan untuk menyelesaikan sengketa kedua belah pihak.

B. SARAN

Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis dalam skripsi ini ialah sebagai berikut:

1. Pelaku usaha dalam menjalankan usahanya sehari-hari diharapkan untuk memperdagangkan produk-produk yang bagus, baik dan aman untuk dikonsumsi oleh konsumen. Pelaku usaha juga tidak boleh melakukan tindakan kecurangan kepada konsumen dalam hal jual-beli, dimana pelaku usaha dan konsumen harus memiliki posisi tawar-menawar yang seimbang diantara kedua belah pihak.

2. Kepada pihak Roti Cappie diharapkan agar segera menyempurnakan isi kontrak kedua belah pihak, supaya kontrak tersebut memberikan manfaat dan tujuan yang jelas bagi kedua belah pihak serta kepada konsumen Roti Cappie. 3. Kepada masyarakat konsumen diharapkan agar selalu berhati-hati dalam

menentukan, membeli, ataupun mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha. Diharapkan untuk selalu mencari informasi yang jelas atas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha, supaya tidak merasa dirugikan atas produk yang sudah dipakai.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A.

SEJARAH PERLINDUNGAN KONSUMEN

Untuk membahas masalah perlindungan konsumen , kita juga perlu memahami bagaimana sejarah gerakan perlindungan konsumen, baik ketika awal mula berdiri hingga pada perkembangannya saat ini. Dengan melihat sejarah ini, kita akan bisa mencermati bagaimana pergulatan sosial, ekonomi, dan politik ketika itu mendesak masalah perlindungan konsumen muncul ke permukaan wacana publik.11

1. Tahapan I

Secara umum, sejarah gerakan perlindungan konsumen dapat dibagi dalam empat tahapan.

Kurun waktu ini titik awal munculnya kesadaran masyarakat untuk melakukan gerakan perlindungan konsumen. Pemicunya, histeria massal novel karya Upton Sinclair berjudul The Jungle, yang menggambarkan cara kerja pabrik pengolahan daging di Amerika Serikat yang sangat tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.

2. Tahapan II (1920-1940)

11

Pada kurun waktu ini muncul pula buku berjudul Your Money’s Worth

karya Chase dan Schlink. Karya ini mampu menggugah konsumen atas hak-hak mereka dalam jual beli.

3. Tahapan III (1950-1960)

Pada dekade 1950-an ini muncul keinginan untuk mempersatukan gerakan perlindungan konsumen dalam lingkup internasuional. Dengan diprakarsai oleh wakil-wakil gerakan konsumen dari Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia, dan Belgia, pada 1 April 1960 beridirilah International

Organization of Consumer Union.

4. Tahapan IV (pasca-1965)

Pasca-1965 sebagai masa pemantapan gerakan perlindungan konsumen, baik ditingkat regional maupun internasional. Sampai saat ini dibentuk lima kantor regional, yakni di Amerika Latin dan Karibia berpusat di Cile, Asia Pasifik berpusat di Malaysia, Afrika berpusat di Zimbabwe, Eropa Timur dan Tengah berpusat di Inggris, dan negara-negara maju juga berpusat di London, Inggris.12

Ada dua sejarah gerakan perlindungan konsumen yang akan dibahas dalam skripsi ini, pertama gerakan perlindungan konsumen yang ada diluar negeri dan gerakan yang ada di Indonesia.

12

A. Sejarah Gerakan Perlindungan Konsumen di Luar Negeri

Perkembangan hukum konsumen di dunia berawal dari adanya gerakan perlindungan konsumen pada abad ke-19, dimana hal ini ditandai dengan munculnya gerakan perlndungan konsumen (consumers movement) yang terjadi di America Serikat). Negara Amerika Serikat merupakan suatu negara yang sangat banyak memberikan sumbangan dalam masalah perlindungan konsumen.

Secara historis ada tiga fase atau gelombang gerakan perlindungan konsumen. Gelombang pertama, yaitu diawal abad ke-19. Di New York pada tahun 1891 terbentuk Liga Konsumen yang pertama kali di dunia, Kemudian pada tahun 1898 di tingkat nasional (The National Consumer’s Leangue). Organisasi i ini kemudian tumbuh dan berkembang dengan pesat sehingga pada tahun 1903 Liga Konsumen Nasional di Amerika Serikat telah berkembang menjadi 64 cabang yang meliputi 20 negara bagian.13

13

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 13

Pada tahun 1906 lahirlah undang-undang tentang perlindungan konsumen dan undang-undang ini sangat mempengaruhi perkembangan berikutnya, yaitu The Meat Inspection Act dan The Food and Drugs Act (pada tahun 1937, undan-undang ini diamandemen menjadi The Food and Drugs, hal dikarenakan adanya tragedi Elixir Sulfanilamide dimana tragedi ini menewaskan 93 konsumen di Amerika Serikat).

Gelombang yang kedua yaitu pada tahun 1914. Pada tahun ini, terbentuklah sebuah komisi yang bergerak dibidang perlindungan konsumen, atau disebut dengan FTC (Federal Trade Comission). Pada waktu itu, keberadaan program pendidikan konsumen dirasakan perlu sekali untuk menumbuhkan kesadaran kritis bagi masyarakat konsumen. Selanutnya, pada tahun 1930-an mulai dipikirkan urgensi dari pendidikan konsumen. Mulailah penulisan buku-buku tentang konsumen dan perlindungan konsumen dengan dilengkapi riset-riset yang mendukungnya.

Gelombang ketiga terjadi pada tahun 1960-an, yang melahirkan era hukum perlindungan konsumen dengan lahirnya suatu cabang hukum baru, yaitu hukum konsumen (consumer law).14

14

Happy Susanto, Op. Cit, hal. 6

Jika kita lihat, sejarah perlindungan konsumen berawal dari kondisi yang terjadi di Amerika Serikat. Perlindungan ha-hak konsumen ini dapat berjalan seiring dengan perkembangan demokrasi yang ada dalam suatu negara. Dalam suatu negara yang menjunjung tinggi demokrasi, hak-hak daripada warga negara, termasuk hak- hak dari masyarakat konsumen harus dihormati dan juga harus dilindungi. Antara produsen dengan konsumen mempunyai posisi yang seimbang dikarnakan keduanya dimata hukum adalah sama.

Jika melihat kemajuan perkembangan gerakan perlindungan konsumen di Amerika Serikat, tentu kita bertanya tentang bagaimana dengan sejarah awal mula munculnya gagasan hukum konsumen dan beridirinya gerakan-gerakan perlindungan konsumen di Indonesia? Masalah perlindungan konsumen di Indonesia terjadi pada tahun 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973.

Pada waktu itu, gagasan perlindungan konsumen disampaikan secara luas kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan, dan publikasi media konsumen.

YLKI ini merupakan salah lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) pertama muncul di Indonesia. Adapun tujuan didirikannya lembaga ini ialah untuk melindungi hak-hak masyarakat konsumen dari peredaran barang-barang yang dibawah standar dan dapat menyebabkan kerugian kepada konsumen. Di samping itu, YLKI juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran kiritis kepada konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya sehingga konsumen dapat melindungi dirinya sendiri dan juga lingkungannya.

Keberadaan YLKI ini sangat membantu dalam upaya peningkatan kesadaran atas hak-hak konsumen. Lembaga ini tidak sekedar melakukan penelitian atau

pengujian, penerbitan, dan menerima pengaduan, tetapi sekaligus juga mengadakan upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan.15

Sebenarnya, kalau kita melihat kebelakang dimana awal mula berdirinya YLKI ini karna bentuk keprihatinan sekelompok masyarakat pada saat itu yang melihat perkembangan masyarakat Indonesia yang lebih menyukai produk-produk dari luar negeri dibandingkan dengan produk dalam negeri. Munculnya YLKI tidak lepas dari kampanye “cinta produk dalam negeri” yang saat itu krisis terhadap barang/jasa yang tidak aman atau tidak bagus untuk dikonsumsi. Adapun upaya pertama YLKI ialah mendesak produsen susu kental manis untuk mencantumkan label “Tidak Cocok Untuk Bayi” dalam kemasan susu kental manis, dikarnakan susu tersebut lebih banyak mengandung gula daripada susu.

Selama ini praktek yang terjadi dilapangan dimana upaya hukum yang dilakukan oleh konsumen untuk menggugat produsen, baik yang berbentuk swasta maupun pemerintah, tidak banyak membuahkan hasil yang positif kepada konsumen.

16

Sejak dekade 1980-an, upaya untuk mewujudkan sebuah peraturan perundang-udangan tentang perlindungan konsumen sangatlah sulit. Dimana langkah tersebut mendapat rintangan yang begitu besar dikarnakan pihak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memiliki greget yang begitu besar untuk mewujudkannya, hal ini dapat kita lihat dimana pengesahan Rancangan Undang.

15

Shidarta, Op. Cit, hal. 51

16

Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen (RUUPK) itu bisa diterima pada masa pemerintahan Bj Habibie, yaitu pada tanggal 20 April 1999. Hal ini tentunya menjadi angin segar bagi semua gerakan-gerakan yang menyuarakan perlindungan konsumen dan khususnya bagi para masyarakat konsumen, dikarnakan melalui RUUPK tersebut jaminan atas perlindungan hak-hak konsumen di Indonesia diharapkan dapat terpenuhi dengan baik.

Seiring perkembangan waktu, gerakan-gerakan konsumen banyak tumbuh dan berkembang di Tanah Air. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPSKM), sebagai lembaga yang bertugas untuk melindungi hak-hak konsumen, menjamur dimana-mana. Perkembangan tersebut patut disambut secara positif.17

17

Ibid hal. 11

B. PENGERTIAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Didalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu di dalam pasal 1 ayat (1) terdapat pengertian perlindungan konsumen. Dalam pasal tersebut dijelaskan, sebagai berikut:

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”

Dan menurut para ahli memberikan pandangan tentang pengertian hukum perlindungan konsumen yaitu:

1. Menurut Mochtar Kusumaatmaja, hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen.

2. Menurut A. Z Nasution, hukum perlindungan konsumen adalah memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa antara perlindungan konsumen dengan hukum perlindungan konsumen sebenarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu mengarah kepada untuk melindungi segala kepentingan-kepentingan konsumen semata.

Menurut saya antara hukum perlindungan konsumen dengan perlindungan

Dokumen terkait