• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

4.2 Hasil Analisis Data

Analisis data merupakan pengklasifikasian daya bahasa dan nilai rasa bahasa ke dalam jenis-jenisnya berdasarkan unsur intralingual (kalimat, klausa, frasa, kata/diksi dan bunyi) dan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan serta konteks tuturan. Konteks tuturan adalah anggapan peneliti mengenai bagaimana cara konteks itu dimunculkan dalam suatu tuturan. Ada beberapa cara untuk memunculkan konteks yang ditemukan dalam penelitian ini yakni melalui fenomena praanggapan, tindak tutur, deiksis, inferensi, referensi, implikatur dan latar belakang penutur.

Hasil analisis data tentang penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual yang dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam acara

Sentilan-Sentilun sebagai penanda kesantunan berkomunikasi akan dipaparkan sebagai berikut.

4.2.1 Analisis Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi

Daya bahasa merupakan kekuatan bahasa yang diungkapkan melalui unsur intralingual (bunyi, kata dan pilihan kata, frasa, klausa, dan kalimat) serta diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan (ekspresi wajah, bahasa tubuh) serta selalu mengandung fenomena konteks tertentu untuk mencapai suatu fungsi komunikatif. Pemanfaatan unsur intralingual dan ekstralingual tersebut digunakan untuk memberikan efek komunikatif lebih kuat pada mitra tutur dengan tujuan tertentu, seperti membujuk, mengikuti pikiran, mengibur, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan pada 9 episode Sentilan Sentilun yang telah ditetapkan sebagai objek penelitian, terdapat 8 penggolongan jenis daya bahasa yang ditemukan, yaitu daya permintaan, daya ancam, daya perintah, daya kelakar, daya kabar, daya penolakan, daya pikat, dan daya dugaan. Penggolongan daya bahasa tersebut didasarkan pada kemiripan efek komunikatif yang ada dalam unsur intralingual dan ekstralingual sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Secara terperinci, analisis unsur intralingual dan ekstralingual yang digunakan untuk memunculkan daya bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi akan dipaparkan sebagai berikut

4.2.1.1Daya Permintaan

Daya permintaan merupakan kekuatan bahasa untuk menyatakan keinginan penutur agar dapat diwujudkan oleh mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam suatu tuturan. Daya permintaan menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penutur. Daya permintaan ini berkadar lebih ringan daripada paksaan karena minta tutur (orang yang dimaksud dalam tuturan) bebas untuk melakukan apa yang diinginkan oleh penutur ataupun tidak. Daya permintaan pada umumnya selalu dinyatakan dengan tuturan yang santun karena penutur menginginkan sesuatu dari mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan. Daya permintaan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti mengharap dan memohon.

4.2.1.1.1 Daya Harap

Daya harap adalah bentuk permintaan yang mengharapkan mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan untuk melakukan suatu hal. Daya harap ini biasanya muncul karena sebelumnya mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan melakukan suatu tindakan yang dianggap menyimpang (perilaku dan tugasnya dalam posisi tertentu) atau pernyataan tertentu yang sudah diungkapkan sebelumnya. Perhatikan tuturan berikut “Jadi aku ini bener-bener berharap bahwa presiden baru kita ini benar-benar memenuhi dan menepati janjinya” (SS/DB/04-08-2014/1). Tuturan ini dikatakan oleh Chacha Federicha yang mengetahui 9 poin pokok isi kampanye Pak Jokowi ketika pilpres 2014, yaitu meningkatkan profesionalisme guru, mensejahterakan desa, mengentaskan kemiskinan, membuat program kepemilikan tanah pertanian, perbaikan 5.000

pasar tradisional, menurunkan pengangguran, meningkatkan layanan kesehatan, meningkatkan mutu pendidikan pesantren, serta mewujudkan pemerataan pendidikan.

Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat “Jadi aku ini bener-bener berharap bahwa presiden baru kita ini benar-benar memenuhi dan menepati janjinya”, untuk memunculkan daya harap. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai harapan penutur kepada presiden Jokowi yang baru saja terpilih untuk merealisasikan janjinya selama kampanye pilpres kemarin dan tidak berlaku sama seperti pemimpin kebanyakan yang ingkar janji saat sudah menduduki posisi yang diinginkan. Kalimat tersebut menggunakan kata “berharap” untuk mengindikasikan harapan penutur. Daya harap juga diperkuat dengan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan yang dimunculkan lewat gerakan kedua tangan ditangkupkan dan diangkat ke depan dada. Gerakan tersebut dipersepsi seperti gerakan memohon sesuatu yang digunakan untuk memperkuat harapan penutur terhadap presiden untuk merealisasikan janjinya. Unsur ekstralingual berupa konteks dalam tuturan tersebut mengandung fenomena pranggapan atau pengetahuan awal yang dimiliki Chacha sebelumnya mengenai isi janji Pak Jokowi ketika kampanye pilpres yang bisa kita lihat dalam tayangan berita di televisi.

Tuturan di atas termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech 1983 (dalam Pranowo,2012:103), yaitu maksim kebijaksanaan “tact maxim” (tuturan dapat memberikan keuntungan

kepada mitra tutur). Di dalam konteks tuturan tersebut, Chacha memberikan keuntungan kepada Pak Jokowi karena dia berprasangka baik terhadap beliau yang akan benar-benar menepati janjinya.

Selain itu, ada beberapa data daya harap dalam acara Sentilan Sentilun yang tidak didukung oleh unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan, seperti dalam tuturan “Semoga pasangannya klop karena saya mendengar bisik-bisik tetangga, sekarang ini kalau mau ngurus apa-apa kecil, gampil. Kalau mau ngurus birokrasi lancar, ngurus KTP cepet, no bayar-bayar” (SS/DB/11-08-2014/11). Tuturan tersebut dikatakan oleh Asti Ananta yang mengalami sendiri pelayanan birokrasi saat pemerintahan Pak Jokowi-Ahok yang dipermudah dan sangat berbeda dengan pemerintahan Pak Fauzi Bowo yang terkesan dipersulit.

Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa semoga pasangannya klop” yang dipersepsi sebagai harapan Asti agar DPRD dan PDIP memilihkan pasangan yang cocok untuk Pak Ahok baik dari sisi kinerjanya maupun kepribadiannya. Klausa tersebut menggunakan kata “semoga” yang berarti mudah-mudahan (KBBI,2008:925) untuk mengindikasikan harapan penutur. Harapan penutur tersebut muncul karena melihat sistem birokrasi Jakarta yang berubah dengan mengedepankan prinsip kemudahan dan pelayanan yang ramah semenjak kepemimpinan Pak Jokowi dan Pak Ahok. Asti berharap dengan dipilihkannya pasangan yang tepat, Pak Ahok mampu memimpin kota Jakarta menjadi lebih baik lagi. Tuturan tersebut tidak diikuti oleh unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan karena Asti mengungkapkan tuturan tanpa ekspresi dan tanda ketubuhan tertentu, sedangkan unsur ekstralingual berupa konteks

dalam tuturan tersebut mengandung fenomena pranggapan. Asti Ananta memiliki pengalaman sebelumnya menganai pengurusan birokrasi pada zaman Pak Jokowi-Ahok yang dipermudah dan Pak Fauzi Bowo yang dipersulit.

Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech (1983, dalam Pranowo 2012:102) yang memandang prinsip kesantunan sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Di dalam konteks tuturan tersebut, Asti menggunakan klausa berdaya harap untuk menyatakan permintaan halus kepada PDIP untuk memilihkan pasangan yang cocok bagi Pak Ahok. Asti tidak langsung mengungkapkan permintaannya kepada PDIP, namun jika dilihat dari konteks yang menyertai tuturan jelas terlihat bahwa permintaan halus tersebut ditujukan kepada PDIP karena hanya parpol itulah yang berhak menentukan siapa pasangan yang akan mendampingi Pak Ahok memimpin Jakarta.

Tuturan berikut juga tidak memunculkan unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan “Saya ya Ndoro, sangat mengharapkan anggota dewan yang sudah terpilih dan diangkat itu bisa bekerja dengan baik. Sebagai rakyat kan saya pasti senang kalau wakil-wakil saya itu bisa bekerja sebaik-baiknya dan benar-benar memikirkan nasib rakyat. Jadi jangan hanya memikirkan bagaimana caranya menebus SK yang terlanjur digadaikan” (SS/DB/29-09-2014/21). Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang mempunyai pengetauan awal mengenai banyaknya anggota dewan yang menggadaikan SK kepada bank sehingga pikirannya akan terpecah antara memperbaiki nasib rakyat dan membayar pinjaman kepada bank.

Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat Saya ya Ndoro, sangat mengharapkan anggota dewan yang sudah terpilih dan diangkat itu bisa bekerja dengan baik”, untuk memunculkan daya harap. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai harapan Sentilun kepada anggota dewan untuk bekerja dengan baik dengan fokus memikirkan nasib rakyat dan tidak menggadaikan SK yang dapat mengakibatkan pikirannya terpecah. Kalimat tesebut menggunakan frasa “sangat mengharapkan” untuk mengindikasikan harapan yang sangat kuat. Tuturan tersebut mengandung unsur ekstralingual berupa konteks yang dimunculkan melalui fenomena pranggapan atau pengetahuan awal yang dimiliki Sentilun terhadap banyaknya anggota dewan yang menggadaikan SK kepada bank sehingga pikirannya akan terpecah antara memperbaiki nasib rakyat dan membayar pinjaman kepada bank.

Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech (1983, dalam Pranowo 2012:103), yaitu maksim kebijaksanaan “tact maxim” (tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur). Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun berprasangka baik terhadap anggota DPR bahwa mereka akan menjalankan tugasnya dengan baik dan pikirannya tidak terpecah walaupun mereka juga harus melunasi SK yang terlanjur digadaikan.

Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan juga tidak muncul dalam tuturan berikut “Tapi saya ini sebagai rakyat ya saya pengennya sih memang milihnya tuh harus langsung. Kalau milih pemimpin kayak ibarat milih jodoh, jadi benar-benar cinta, rasa bermain, ketika dapat akhirnya, gitu.

Emangnya zaman Siti Nurbaya, bisa-bisa dapat Datuk Maringgih nanti” (SS/DB/22-09-2014/23). Tuturan tersebut dikatakan oleh Asri Welas yang mengetahui dampak yang akan diterima rakyat berupa pelumpuhan demokrasi jika RUU Pilkada melalui DPRD jadi disahkan.

Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa “saya pengennya sih memang milihnya tuh harus langsung”, untuk memunculkan daya harap. Klausa tersebut dipersepsi sebagai harapan Asri agar Pak Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan ketidaksetujuannya terhadap RUU Pilkada melalui DPRD. Klausa tersebut menggunakan kata “pengennya” yang merupakan keinginan untuk menyatakan harapan agar RUU Pilkada tidak jadi disahkan. Tuturan tersebut tidak mengandung unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan yang mendukung karena Asri tidak memunculkan bahasa tubuh apapun, sedangkan unsur ekstralingual berupa konteks dalam tuturan tersebut mengandung fenomena pranggapan. Asri mempunyai pengetahuan awal mengenai dampak yang akan diterima rakyat jika RUU Pilkada disahkan berupa pelumpuhan demokrasi.

Tuturan tersebut dipersepsi santun karena memenuhi indikator kesantunan Leech (1983, dalam Pranowo 2012:102) yang memandang prinsip kesantunan sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya. Di dalam konteks tuturan tersebut Asri menggunakan klausa berdaya harap untuk menyatakan permintaan halus kepada Pak SBY untuk membatalkan RUU Pilkada. Asri tidak langsung mengungkapkan permintaannya kepada Pak SBY, namun jika dilihat dari konteks

yang menyertai tuturan jelas terlihat bahwa permintaan halus tersebut ditujukan kepada Pak SBY karena hanya beliaulah yang bisa membatalkan RUU Pilkada melalui DPRD.

Berdasarkan beberapa contoh data tuturan yang diambil dari Acara Sentilan Sentilun di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur intralingual yang digunakan oleh presenter dan bintang tamu dalam acara tersebut untuk memunculkan daya harap adalah berupa klausa dan kalimat. Walaupun ada kata dan frasa yang dominan untuk mengindikasikan daya harap seperti “berharap, pengen, semoga, dan sangat mengharapkan”, tetapi kata dan frasa tersebut tidak dapat dipisahkan dari kalimat atau klausa. Kata atau frasa tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena makna dan maksudnya baru dapat diketahui setelah berada dalam sebuah kalimat atau paling tidak suatu klausa.

Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan tidak selalu muncul dan mendukung daya harap karena hal tersebut tergantung dari keekspresifan penutur. Hal tersebut berbeda dengan unsur ekstralingual berupa konteks yang selalu menyertai tuturan karena dipergunakan untuk mengetahui maksud penutur. Unsur ekstralingul berupa konteks yang memunculkan daya harap dari acara Sentilan Sentilun hanyalah fenomena praanggapan karena sebelum mengharapkan sesuatu pasti penutur mempunyai latar belakang pengetahuan mengenai sesuatu yang dimaksud (yang diharapkan).

Daya harap yang ada dalam Acara Sentilan Sentilun selalu dinyatakan dengan santun karena penutur selalu berprasangka baik terhadap mitra tutur (sesuai dengan maksim kebijakasanaan Leech) dan penutur mengungkapkan

harapannya secara tidak langsung untuk mengimplikasikan maksud lain (sesuai indikator kesantunan Leech yang memandang prinsip kesantunan sebagai piranti untuk menjelaskan mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan maksudnya).

4.2.1.1.2 Daya Permohonan

Daya permohonan adalah bentuk permintaan yang digunakan untuk meminta dengan hormat mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan untuk melakukan suatu hal yang berkaitan dengan kewajibannya. Berdasarkan penggolongan data daya bahasa yang dilakukan dalam acara Sentilan Sentilun (9 episode yang termasuk dalam objek penelitian), hanya terdapat satu tuturan yang mengandung daya peromonan. Perhatikan tuturan berikut “Kalau nama saya kan Adil Lontong nggak ada. Tapi saya mohon dipersidangan mahkamah asmara ini saya diperlakukan secara adil dong. Ini kan ada tujuan lain selain mencari penyelesaian Ndoro” (SS/DB/15-09-2014/8). Tuturan tersebut dikatakan oleh Cak Lontong yang mengungkapkan reaksinya atas rujukan tuntutan jaksa penuntut tidak umum (yang diperankan oleh Sentilun) terhadap dirinya yang dianggap tidak masuk akal dan terkesan ingin menjatuhkannya karena ada maksud tertentu, yaitu ingin mengambil hati Chacha.

Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa klausa saya mohon dipersidangan mahkamah asmara ini saya diperlakukan secara adil” untuk memunculkan daya permohonan. Klausa tersebut menggunakan kata “mohon” yang berarti meminta dengan hormat (KBBI,2008:925). Kata “mohon” dalam tuturan tersebut digunakan untuk mengungkapkan permintaan Cak Lontong

perihal keadilan hukum yang seharusnya memang wajib ditegakkan. Secara utuh, klausa tersebut dipersepsi sebagai permohonan Cak Lontong untuk diperlakukan adil oleh Ndoro, selaku hakim dalam persidangan tersebut karena ia merasa diperlakukan semena-mena oleh Sentilun yang menuntutnya dengan hukuman berat dan tidak masuk akal. Sebagai Hakim, Ndoro wajib memegang teguh prinsip keadilan dan mengambil sebuah keputusan dengan mempertimbangkan dari berbagai aspek. Tuturan tersebut tidak mengandung unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan yang mendukung karena Cak Lontong tidak memunculkan bahasa tubuh apapun, sedangkan unsur ekstralingual berupa konteks dalam tuturan tersebut mengandung fenomena referensi. Cak Lontong merujuk tuturan Sentilun sebelumnya yang mengungkapkan bahwa dirinya selaku jaksa penuntut tidak umum mengajukan tuntutan dengan hukuman maksimal dua puluh tahun penjara dengan masa percobaan di Nusa Kambangan dan tidak ada potongan hukuman.

Tuturan tersebut termasuk santun karena memenuhi salah satu indikator kesantunan Pranowo (2012:104), yaitu pemakaian diksi santun. Tuturan tersebut menggunakan kata “mohon” yang termasuk dalam salah satu diksi santun.

Daya permohonan yang muncul dalam acara Sentilan Sentilun ini mempunyai ciri khas, berupa penggunaan kata “mohon” untuk memperkuat permohonan penutur. Kata “mohon” juga tidak dapat berdiri sendiri karena maksudnya baru tersampaikan setelah berada dalam kalimat atau paling tidak klausa. Unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan dalam daya permohonan juga bersifat opsional dan kebetulan dalam data yang ditemukan

tidak ada tanda-tanda ketubuhan yang dimunculkan oleh penutur untuk mendukung daya permohonan. Unsur ekstralingual konteks dalam data yang diperoleh hanya menggunakan fenomena referensi (merujuk pada tuturan mitra tutur sebelumnya). Daya permohonan yang ditemukan dalam objek penelitian selalu santun karena menggunakan kata “mohon” yang termasuk kata beraura santun (sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo berupa penggunaan diksi santun).

4.2.1.2 Daya Ancam

Daya Ancam merupakan kekuatan bahasa untuk menyatakan ancaman terhadap mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan. Daya ancam berusaha membuat mitra tutur atau orang yang dimakud dalam tuturan untuk tidak melakukan sesuatu yang dianggap menyimpang atau merugikan orang lain. Bila daya ancam ini tidak diindahkan oleh mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan, maka dapat menimbulkan suatu akibat tertentu. Daya ancam dapat dinyatakan dengan cara memperingatkan dan mengkritik.

4.2.1.2.1 Daya Peringatan

Daya peringatan adalah bentuk ancaman yang digunakan untuk memperingatkan mitra tutur atau orang yang dimaksud dalam tuturan agar tidak melakukan sesuatu yang dapat merugikan pihak lain. Daya peringatan ini dinyatakan sebelum seseorang yang dimaksud dalam tuturan melakukan sesuatu atau mengambil sebuah keputusan. Perhatikan tuturan berikut “Begini ya Ndoro. Menurut analisis saya. Kalau partisipasi rakyat meningkat semacam ini, yang

penting itu jangan sampai korupsinya juga ikut-ikutan meningkat” (SS/DB/04-08-2014/6). Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang mengetahui angka korupsi di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat Kalau partisipasi rakyat meningkat semacam ini, yang penting itu jangan sampai korupsinya juga ikut-ikutan meningkat”, untuk memunculkan daya peringatan. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai peringatan bagi para petinggi negara untuk tidak melakukan korupsi. Kalimat tersebut menggunakan frasa “jangan sampai untuk mengindikasikan peringatan yang sangat kuat. Kalimat tersebut mengandung analogi tentang meningkatnya partisipasi rakyat yang harus dibarengi dengan penurunan angka korupsi. Korupsi merupakan tindakan memalukan ditengah kesadaran rakyat yang sekarang ini semakin meningkat. Selain itu untuk mendukung daya peringatan, Sentilun juga memunculkan unsur ektralingual berupa gerakan tangan membentuk tingkatan. Unsur ekstralingual tersebut mengindikasikan bahwa korupsi tidak boleh terus meningkat dan harus dicegah. Selain itu, juga terdapat unsur ekstralingual berupa konteks yang dimunculkan melalui fenomena pranggapan atau pengetahuan awal yang dimiliki Sentilun sebelumnya mengenai angka korupsi di Indonesia yang meningkat dari tahun ke tahun. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin banyaknya kasus korupsi yang diungkap oleh KPK. Sentilun juga melihat bahwa saat ini kesadaran demokrasi

rakyat semakin meningkat, hal ini dibuktikan dengan banyaknya relawan yang mau mengawal pilpres dari awal hingga penghitungan suara.

Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Leech (1983, dalam Pranowo 2012:103), yaitu maksim kebijaksanaan “tact maxim” (tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur). Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun berusaha memberikan keuntungan bagi rakyat dengan memperingatkan para pejabat untuk tidak melakukan korupsi. Penutur menggunakan penganalogian (partisipasi rakyat yang meningkat dan angka korupsi yang harus diturunkan) untuk memperingatkan para petinggi negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan dengan melakukan korupsi.

Daya peringatan juga muncul dalam tuturan berikut “Makannya marilah kita berlomba-lomba dalam kebaikan. Jangan hanya berlomba-lomba memperebutkan jabatan dan kekuasaan” (SS/DB/04-08-2014/24). Tuturan tersebut dikatakan oleh Sentilun yang mengetahui para petinggi negara yang saat ini cenderung saling memperebutkan jabatan dan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.

Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat “Jangan hanya berlomba-lomba memperebutkan jabatan dan kekuasaan”, untuk memunculkan daya peringatan. Kalimat tersebut dipersepsi sebagai peringatan bagi para petinggi negara untuk tidak berlomba dalam memperoleh jabatan dan kekuasaan seperti fenomena yang terjadi belakangan ini. Kalimat tersebut menggunakan frasa “jangan hanya” untuk mengindikasikan peringatan bagi petinggi negara. Para

petinggi negara seharusnya bekerja bukan untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan, tetapi demi kesejahteraan rakyat. Para petinggi negara merupakan wakil yang dipilih rakyat, oleh sebab itu mereka harus memikirkan kesejahteraan rakyat dan bukan malah semakin menyengsarakan rakyat. Daya peringatan semakin diperkuat dengan unsur ekstralingual yang dimunculkan Sentilun berupa dengan gerakan tangan kanan diangkat ke depan wajah kemudian digerak-gerakkan ke kiri dan ke kanan. Unsur ekstralingual tersebut dipersepsi sebagai gerakan memperingatkan. Selain itu, juga terdapat unsur ekstralingual berupa konteks yang dimunculkan fenomena pranggapan atau pengetahuan awal yang dimiliki Sentilun sebelumnya mengenai para petinggi negara yang saat ini cenderung saling memperebutkan jabatan dan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Sentilun juga memiliki pengetahuan mengenai kasus korupsi di Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Tuturan tersebut termasuk santun karena sesuai dengan indikator kesantunan Pranowo (2012:111), yaitu sikap tenggang rasa sebagai manifestasi sifat rendah hati. Di dalam konteks tuturan tersebut, Sentilun mempunyai sikap tenggang rasa dengan tidak menyebutkan secara langsung bahwa orang yang diperingatkan dalam tuturan adalah para para petinggi negara.

Tuturan dalam acara Sentilan Sentilun ini juga memunculkan daya peringatan yang tidak santun, seperti pada tuturan “Iih ini namanya bukan jaksa penuntut. Ini mah Mas Sentilunnya aja, sama aja suka ngerayu. Sukanya itu janji-janji tapi nggak pernah ditepatin. Mas Sentilun tahu nggak aku itu bagaikan

rakyat dan masyarakat. Saya udah nggak dengerin janji-janji, tapi saya cuma mau melihat bukti” (SS/DB/08-09-2014/6), Tuturan tersebut dikatakan oleh Chacha Federicha yang mengetahui para petinggi negara yang terbiasa “melupakan janji” saat sudah terpilih.

Unsur intralingual dalam tuturan tersebut berupa kalimat “Saya udah nggak dengerin janji-janji, tapi saya cuma mau melihat bukti”, untuk memunculkan daya peringatan. Kalimat tersebut terdiri dari dua klausa, yaitu klausa “Saya udah nggak dengerin janji-janjiuntuk mengindikasikan kebosanan Chacha mendengarkan janji-janji palsu para calon petinggi negara sebelum terpilih, dan klausa “tapi saya cuma mau melihat bukti” mengindikasikan peringatan untuk membuktikan janji yang telah diucapkan saat kampanye. Secara utuh, kalimat tersebut dipersepsi sebagai peringatan bagi Pak Jokowi untuk membuktikan janjinya karena beliau telah terpilih sebagai presiden yang baru. Rakyat saat ini menginginkan pembuktian bukan hanya sekedar janji palsu. Daya peringatan juga diperkuat dengan unsur ekstralingual yang

Dokumen terkait