• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Mikroorganisme

Pemeriksaan awal terhadap 36 sampel daging ayam dan 24 sampel daging sapi adalah pemeriksaan jumlah mikroorganisme. Hasil yang diperoleh untuk rataan jumlah mikroorganisme daging ayam adalah 4.5 x 106 cfu/g dengan nilai minimum 6.6 x 104 cfu/g untuk Kabupaten Tasikmalaya dan nilai maksimum 1.2 x 107 cfu/g untuk Kota Bandung. Pada pemeriksaan daging sapi nilai rataan jumlah mikroorganisme adalah 3.9 x 106 cfu/g dengan nilai minimum 1.2 x 105 cfu/g untuk Kabupaten Bandung dan nilai maksimum 1.1 x 107 cfu/g untuk Kota Bekasi. Hasil pemeriksaan rataan jumlah mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi yang dijual di pasar-pasar tradisional di 12 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Pemeriksaan jumlah cemaran mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi di 12 kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat

Jenis sampel

Jenis pemeriksaan mikrobiologi

Jumlah cemaran mikroorganisme

Rataan

Maksimum Minimum

Nilai Kota/Kab. Nilai Kota/Kab.

Daging ayam

TPC (cfu/g) 4.5 x 106 1.2 x 107 Bandung 6.6 x 104 Tasikmalaya

S. aureus (cfu/g) 5.3 x 105 3.1 x 106 Bogor 8.1 x 102 Tasikmalaya

E. coli (MPN/g) 2.3 x 101 5.3 x 101 Sumedang 3.0 x 100 Tasikmalaya

Bandung

Daging sapi

TPC (cfu/g) 3.9 x 106 1.1 x 107 Bekasi 1.2 x 105 Bandung

S. aureus (cfu/g) 1.5 x 106 6.2 x 106 Indramayu 1.9 x 104 Bandung

E. coli (MPN/g) 2.6 x 101 8 x 101 Sukabumi 3.0 x 100

Bandung Bandung Tasikmalaya

Pemeriksaan jumlah S. aureus digunakan sebagai salah satu persyaratan pada pengukuran tingkat cemaran mikroorganisme pada makanan. Keberadaan S. aureus pada daging mentah dapat diduga, karena mikroorganisme ini merupakan mikroflora utama pada kulit hewan dan manusia. Rataan yang diperoleh dari pemeriksaan jumlah S. aureus pada daging ayam adalah 5.3 x 105 cfu/g dengan nilai minimum 8.0 x 102 cfu/g untuk Kabupaten Tasikmalaya dan

nilai maksimum 3.1 x 106 cfu/g untuk Kabupaten Bogor. Pada pemeriksaan sampel daging sapi, jumlah rataan S. aureus adalah 1.5 x 106 cfu/g dengan nilai minimum 1.9 x 104 cfu/g untuk Kabupaten Bandung dan nilai maksimum 6.2 x 106 cfu/g untuk Kabupaten Indramayu.

Pemeriksaan terhadap jumlah MPN E. Coli pada sampel daging ayam memiliki nilai rataan jumlah E. coli adalah 2.3 x 101 MPN/g. Kota Bandung dan Kabupaten Tasikmalaya merupakan daerah dengan nilai E. coli minimum yaitu 3.0 x 100 MPN/g, sedangkan kota Sumedang memiliki nilai E. coli maksimum yaitu 5.3 x 101 MPN/g. Pada pemeriksaan sampel daging sapi, rataan jumlah E. coli adalah 2.6 x 101 MPN/g. Kabupaten Bandung, Kota Bandung, dan Kabupaten Tasikmalaya merupakan daerah dengan nilai E. coli minimum yaitu 3.0 x 100 MPN/g, sedangkan kota Sukabumi memiliki nilai E. coli maksimum yaitu 8.0 x 101 MPN/g.

Berdasarkan hasil di atas, terlihat bahwa nilai maksimum dan nilai minimum jumlah cemaran mikroorganisme terdapat pada kota/kabupaten yang berbeda-beda. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya proses pemotongan di Rumah Potong Hewan (RPH) dan Rumah Potong Unggas (RPU) yang belum menerapkan sanitasi dan higiene yang benar atau adanya perbedaan kondisi selama pendistribusian daging ayam atau sapi dari tempat pemotongan menuju pasar tradisional. Sanitasi dari pasar tradisional di tiap-tiap kota/kabupaten dan perbedaan penerapan higiene personal dari pedagang dapat menjadi faktor adanya perbedaan nilai maksimum dan minimum dari jumlah cemaran mikroorganisme.

Jumlah cemaran mikroorganisme (Tabel 2), apabila dibandingkan dengan syarat mutu mikroorganisme pada daging ayam (SNI 3924:2009) dan daging sapi (SNI 3932:2008), rataan yang diperoleh dalam penelitian berada di atas batas maksimum SNI. Pencemaran mikroorganisme pada daging dapat terjadi saat di peternakan (sebelum dan setelah pemotongan), tempat penjualan, dan sampai ke meja makan (Djaafar & Rahayu 2007).

Badan Standar Nasional (BSN) telah menetapkan syarat mutu maksimum jumlah mikroorganisme pada daging ayam (SNI 3924:2009) dan daging sapi (SNI 3932:2008) yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Syarat mutu mikroorganisme daging ayam dan daging sapi

No. Jenis uji mikrobiologi Satuan Persyaratan 1. Total Plate Count cfu/g Maksimum 1x106 2. Staphylococcus aureus cfu/g Maksimum 1x102

3. Eschericia coli MPN/g Maksimum 1x101

Jumlah mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi di 12 kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat setelah dibandingkan dengan syarat mutu mikroorganisme (SNI 3924:2009 tentang Mutu Karkas dan Daging Ayam dan SNI 3932:2008 tentang Mutu karkas dan Daging Sapi), maka diperoleh nilai persentase cemaran yang sesuai SNI dan tidak sesuai SNI. Tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi dari pasar tradisional di 12 kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Cemaran mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi (%)

Jenis sampel Batas cemaran mikroorganisme

Jenis pemeriksaan

TPC (%) S. aureus (%) E. coli (%) Daging ayam Sesuai SNI 52.78 2.78 30.56

Tidak sesuai SNI 47.22 97.22 69.44 Daging sapi Sesuai SNI 41.70 0 33.33 Tidak sesuai SNI 58.30 100 66.67

Persentase cemaran mikroorganisme pada daging ayam dengan pemeriksaan TPC di 12 kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat dengan hasil sesuai SNI 3924:2009 lebih tinggi (52.78%) dibandingkan dengan tidak sesuai SNI 3924:2009 (47.22%). Hal ini berbeda dengan tingkat cemaran mikroorganisme dengan pemeriksaan TPC pada daging sapi, yaitu 41.70% sesuai SNI 3932:2008 dan tidak sesuai SNI 3932:2008 sebesar 58.30%.

Tingginya tingkat cemaran mikroorganisme pada pemeriksaan jumlah mikroorganisme menandakan bahwa banyak mikroorganisme yang telah mengkontaminasi daging ayam dan daging sapi di tingkat penjualan. Kontaminasi mikroorganisme ini dapat terjadi pada saat hewan masih berada di peternakan, sebelum atau setelah pemotongan di Rumah Potong Hewan (RPH) atau Rumah Potong Unggas (RPU). Sesaat setelah dipotong, darah masih bersirkulasi ke seluruh anggota tubuh hewan sehingga penggunaan peralatan yang tidak bersih dapat menyebabkan mikroorganisme masuk ke dalam darah dan dapat menyebar ke seluruh tubuh hewan. Perlakuan hewan sebelum pemotongan juga berpengaruh terhadap jumlah mikroorganisme yang terdapat dalam daging. Ternak yang baru diangkut dari luar kota hendaknya tidak dipotong sebelum cukup istirahat, karena akan meningkatkan jumlah bakteri dalam daging dibandingkan dengan ternak yang istirahatnya cukup (Gustiani 2009).

Kontaminasi selanjutnya dapat terjadi dari lingkungan tempat penjualan daging ayam dan daging sapi di pasar tradisional. Keadaan pasar tradisional yang tidak memiliki kios daging dan memiliki suhu di atas suhu ruang, dapat berdampak pada jumlah mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi. Kadir (2004) menyatakan bahwa jumlah mikroorganisme pada daging dipengaruhi oleh suhu dan lama penyimpanan daging .

Jumlah mikroorganisme yang melebihi ambang batas pada daging ayam maupun daging sapi menandakan bahwa daging tersebut memiliki penurunan daya simpan dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan bila dikonsumsi tanpa pengolahan yang benar (Gustiani 2009). Pemeriksaan jumlah mikroorganisme dapat menunjukkan kualitas sanitasi dan higiene daging. Nilai jumlah mikroorganisme yang tinggi dapat menunjukkan bahwa faktor sanitasi pada tempat penjualan belum diterapkan secara baik dan benar.

Untuk lebih jelas melihat tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi di 12 kota/kabupaten Provinsi Jawa Barat, maka ditampilkan diagram batang pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Gambar 4 Persentase tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam di Provinsi Jawa Barat dibandingkan dengan SNI 3924:2009.

Gambar 5 Persentase tingkat cemaran mikroorganisme pada daging sapi di Provinsi Jawa Barat dibandingkan dengan SNI 3932:2008.

Pada pemeriksaan S. aureus baik daging ayam maupun daging sapi, menunjukkan hasil sesuai SNI jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil tidak sesuai SNI. Tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam sesuai SNI 3924:2009 (2.78%) dan tidak sesuai SNI 3924:2009 (97.22%). Keberadaan

S. aureus E. coli S. aureus E. coli 52.78 2.78 30.56 47.22 97.22 69.44 0 20 40 60 80 100 120 TPC S. aureus E. coli Tingkat cem aran m ikroorganism e (%)

Jenis pemeriksaan mikrobiologi (n = 36)

sesuai SNI tidak sesuai SNI

41.7 0 33.33 58.3 100 66.67 0 20 40 60 80 100 120 TPC S. aureus E. coli Ti ngkat c em ara n m ikroorgani sm e (%)

Jenis pemeriksaan mikrobiologi (n = 24)

sesuai SNI tidak sesuai SNI

S. aureus perlu mendapat perhatian karena S. aureus mampu memproduksi enterotoksin yang tahan terhadap panas. Djaafar dan Rahayu (2007) menyatakan bahwa enterotoksin S. aureus pada kasus-kasus keracunan makanan terdeteksi pada jumlah S. aureus mencapai jumlah 108 cfu/g.

Pemeriksaan S. aureus pada daging sapi menunjukkan seluruh sampel yang diperiksa tidak sesuai dengan SNI 3932:2008 (100%). Hasil yang diperoleh ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Nel et al. (2004) pada daging di Afrika Selatan. Tingginya tingkat cemaran mikroorganisme dengan parameter S. aureus pada daging ayam maupun daging sapi sangat membahayakan kesehatan konsumen. Daging yang tercemar atau mengandung S. aureus enterotoksigenik sangat berbahaya bagi kesehatan konsumen karena tidak adanya mikroorganisme pesaing lainnya yang biasanya dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan toksin dari S. aureus. Gundogan et al. (2005) juga menyatakan bahwa meskipun kontaminasi dari S. aureus terjadi setelah kontaminasi mikroorganisme lainnya, jumlah S. aureus tetap dapat melebihi jumlah mikroorganisme lain.

Habitat utama dari S. aureus adalah membran mukosa dari nasofaring manusia dan kulit hewan. Staphylococcus aureus juga dapat ditemukan di tanah, sumber air, debu, dan udara. Gundogan et al. (2005) menyatakan bahwa sekitar 50% dari populasi manusia membawa S. aureus sebagai mikroorganisme komensal dalam tubuhnya. Oleh karena itu, kehadiran S. aureus pada daging sering kali dihubungkan dengan orang yang menangani daging secara tidak higienis. Kehadiran S. aureus umumnya juga mengindikasikan kontaminasi secara langsung dari pekerja yang memiliki luka di kulit yang mengandung S. aureus, atau melalui bersin dan batuk (Gundogan et al. 2005). Staphylococcus aureus juga dapat ditemukan pada hasil perikanan seperti ikan, udang, dan moluska lainnya (Beleneva 2011).

Persentase cemaran mikroorganisme pada daging ayam dengan pemeriksaan Escherichia coli di 12 kota/kabupaten Provinsi Jawa Barat yang sesuai SNI 3924:2009 yaitu 30.56% dan tidak sesuai SNI 3924:2009 sebesar 69.44%. Hasil pemeriksaan pada daging sapi juga tidak terlalu berbeda dengan pemeriksaan pada daging ayam, yaitu hasil sesuai SNI 3932:2008 sebesar 33.33% dan tidak sesuai SNI 3932:2008 sebesar 66.67%. Kedua jenis sampel tersebut menunjukkan

bahwa masih tingginya tingkat cemaran mikroorganisme E. coli yang terjadi pada daging ayam dan daging sapi di Provinsi Jawa Barat.

Escherichia coli merupakan salah satu indikator sanitasi dan termasuk golongan koliform. Koliform umumnya ditemukan dalam usus manusia dan hewan hidup, juga dalam air yang tercemar. Escherichia coli merupakan mikroorganisme normal dalam saluran pencernaan makhluk hidup dan umumnya tidak menimbulkan penyakit. Jumlah E. coli yang mengalami peningkatan dapat menimbulkan gejala berupa enteritis. Manusia dapat terkena diare apabila makanan yang dikonsumsinya banyak mengandung E. coli. Penghitungan jumlah E. coli pada daging sangat penting karena keberadaan mikroorganisme ini dapat dijadikan sebagai penilaian terhadap kualitas sanitasi daging dan air (Suwansonthichai & Rengpipat 2003).

Tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam ataupun daging sapi dengan penghitungan jumlah mikroorganisme tidak berbeda secara signifikan antara hasil sesuai SNI dan tidak sesuai SNI. Hal ini menggambarkan bahwa kontaminasi terjadi setelah proses pemotongan hewan hidup atau pada saat sampel daging ayam atau daging sapi berada di tempat penjualan dan berkontak dengan alat-alat yang digunakan, misalnya pisau, alas pemotong daging, atau apron yang digunakan pedagang. Tingginya jumlah S. aureus dan E. coli pada daging ayam maupun daging sapi dapat disebabkan oleh kontaminasi pada saat kontak antara pedagang dengan daging atau pada saat pencucian daging dengan air. Tingkat cemaran mikroorganisme yang tinggi pada daging ayam dan sapi pada pasar tradisional dapat dikurangi dengan menerapkan sistem rantai dingin (cold chain system) (Lukman et al. 2009).

Pencegahan Cemaran Mikroorganisme

Tingginya tingkat cemaran mikroorganisme pada daging ayam dan daging sapi di Provinsi Jawa Barat dapat ditanggulangi dengan menerapkan konsep “Safe from farm to table”. Pelaksanaan Good Farming Practices (GFP) dan Good Slaughtering Practices (GSP) dapat menurunkan tingkat cemaran mikroorganisme yang terjadi saat proses pemeliharaan dan pemotongan hewan. Good Manufacturing Practices (GMP) pada saat proses pelayuan daging dan

Good Retailing Practices (GRP) bisa menurunkan tingginya tingkat cemaran mikroorganisme saat daging berada di tangan pedagang dan akan didistribusikan ke tangan konsumen.

Pada tahun 1993, Codex Alimentarius Commision (CAC) dari Badan Dunia FAO/WHO telah menetapkan sistem Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) (Djaafar & Rahayu 2007). HACCP merupakan suatu evaluasi sistematis terhadap prosedur pengolahan atau penyiapan pangan untuk mengidentifikasikan potensi bahaya yang berkaitan dengan bahan atau prosedur pengolahan bahan pangan. Tujuan utama dari HACCP untuk menjamin produk yang dihasilkan memiliki kualitas higienis yang tinggi. Penerapan sistem HACCP dapat memelihara bahkan meningkatkan keamanan pangan (Gonzalez-Miret et al. 2006).

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah cemaran mikroorganisme pada daging dan produk olahannya adalah perlunya dibentuk tim monitoring dan surveilans secara terkoordinasi di tingkat nasional pada umumnya dan di tingkat Provinsi Jawa Barat pada khususnya. Program ini selain mencakup pemeriksaan dan pengawasan terhadap tingkat cemaran mikroorganisme, dilakukan juga pendekatan kepada peternak, pedagang pasar tradisional, serta masyarakat berupa pemberian informasi dan edukasi tentang pentingnya menjaga keamanan pangan. Bahri (2008) menyatakan bahwa sampai saat ini belum ada peraturan yang mengharuskan produsen produk ternak untuk memeriksakan produk yang akan diedarkan di masyarakat terhadap cemaran mikroorganisme. Hal ini menyulitkan petugas berwenang dalam mengawasi keamanan daging dan produk olahannya untuk dikonsumsi.

Dokumen terkait