• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Kelangsungan hidup ikan uji pada masa uji tantang

Secara umum nilai SR pada perlakuan vaksinasi (17.78-68.89%) lebih tinggi dibandingkan perlakuan kontrol positif (8.89-13.33%). Hal tersebut mengindikasikan bahwa proses vaksinasi dalam penelitian ini mampu meningkatkan kelangsungan hidup benih ikan mas terhadap infeksi KHV pada masa uji tantang. Kelangsungan hidup benih ikan mas yang divaksin menunjukkan perlakuan V8 menghasilkan nilai SR lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan perlakuan V12. Hal tersebut menunjukkan bahwa kepadatan optimal dalam proses vaksinasi untuk meningkatkan imunitas terhadap infeksi KHV pada benih ikan mas adalah 800 ekor/L. Nilai tersebut didukung oleh hasil RPS pada perlakuan V8 yang menghasilkan nilai tertinggi (P<0.05) dibandingkan dengan perlakuan V12 (Tabel 1).

9

Tabel 1. Kelangsungan hidup (SR) dan relative percent survival (RPS) benih ikan mas pada saat uji tantang KHV

Parameter Perlakuan K-8 K+8 V8 K-12 K+12 V12 SR Uji Tantang (%) 100±0a 13.33±6.67cd 68.89±3.85b 100±0a 8.89±3.85d 17.8±3.85c RPS (%) - - 68.93±8.74 a - - 9.89±4.76b

Keterangan: Kontrol negatif kepadatan 800 ekor/L (K-8), kontrol negatif kepadatan 1200

ekor/L (K-12), kontrol positif kepadatan 800 ekor/L (K+8), kontrol positif kepadatan 1200

ekor/L (K+12), perlakuan vaksinasi kepadatan 800 ekor/L (V8), perlakuan vaksinasi

kepadatan 1200 ekor/L (V12). Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama

menunjukkan perlakuan berbeda nyata (P<0.05). Nilai yang tertera merupakan nilai

rata-rata dan simpangan baku.

Pola kematian ikan uji

Minggu ke-2 dan minggu ke-3 pascauji tantang dalam penelitian ini merupakan puncak infeksi KHV. Hal tersebut ditunjukkan dengan tingginya nilai mortalitas, baik pada perlakuan K+8, K+12, V8 maupun V12 masing-masing sebesar 40%, 60%, 20% dan 33% dari populasi. Kematian pada ikan perlakuan V8 dan V12 mulai terhenti pada 20 hari pascainfeksi (hpi), sedangkan pada kontrol positif kematian masih berlanjut hingga 28 hpi (Gambar 1).

Gambar 1. Kematian kumulatif benih ikan mas pascainfeksi KHV. Perlakuan vaksinasi dan kontrol positif diuji tantang dengan 0.1 mL filtrat KHV konsentrasi 10-3. Kontrol negatif kepadatan 800 ekor/L (K-8), kontrol negatif kepadatan 1200 ekor/L (K-12), kontrol positif kepadatan 800 ekor/L (K+8), kontrol positif kepadatan 1200 ekor/L (K+12), perlakuan vaksinasi kepadatan 800 ekor/L (V8), perlakuan vaksinasi kepadatan 1200 ekor/L (V12).

Insang pada ikan uji yang mati diperiksa dan dilakukan validasi terhadap keberadaan virus KHV dengan metode PCR. Hasil validasi membuktikan bahwa kematian yang terjadi pada ikan uji akibat infeksi KHV (Gambar 2A dan 2B).

0 20 40 60 80 100 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 K em at ian K um ul at if ( % )

Hari Pascainfeksi (hpi) K-8 K+8 V8 K-12 K+12 V12

10

Gambar 2. Elektroforegram hasil validasi kematian ikan pada saat uji tantang KHV menggunakan metode PCR. Validasi infeksi KHV minggu ke-2 pascauji tantang (A). Validasi infeksi KHV minggu ke-3 pascauji tantang (B). DNA marker: KAPA universal DNA ladder (M), kontrol negatif (N), kontrol positif KHV (P), perlakuan kontrol positif kepadatan 800 ekor/L (K+8), perlakuan kontrol positif kepadatan 1200 ekor/L (K+12), perlakuan vaksinasi kepadatan 800 ekor/L (V8), perlakuan vaksinasi kepadatan 1200 ekor/L (V12). Tanda kepala panah menunjukkan posisi fragmen DNA KHV (296 bp).

Gajala klinis ikan uji

Pengamatan gejala klinis pada ikan uji dilakukan selama 28 hari masa uji tantang. Konfirmasi awal status kesehatan ikan uji bebas KHV dilakukan sebelum perlakuan vaksinasi. Hasil konfirmasi menggunakan metode PCR menunjukkan bahwa ikan yang digunakan adalah sehat dan bebas KHV (Gambar 3).

Gambar 3. Elektroforegram hasil konfirmasi awal status kesehatan ikan uji bebas KHV menggunakan metode PCR. DNA marker: KAPA universal DNA ladder (M), kontrol negatif (N), kontrol positif KHV (P), nomer 1-4 (sampel ikan 1-4). Tanda kepala panah menunjukkan posisi fragmen DNA KHV (296 bp).

11

Gejala klinis ikan uji mulai teramati pada 7 hpi yaitu perlakuan V8, V12 dan kontrol positif (K+), sedangkan perlakuan kontrol negatif (K-) teramati normal. Gejala klinis tingkah laku ikan uji yang teramati pada saat uji tantang KHV antara lain penurunan nafsu makan yang drastis, ikan berkumpul di permukaan air, pernafasan berlangsung cepat (megap-megap), dan bergerak tidak beraturan. Adapun perubahan morfologi pada ikan uji yang teramati antara lain perubahan warna ikan (discolouration), kulit ikan terasa kasar, mata ikan menjadi cekung (sunken eyes) geripis pada sirip ikan, pendarahan (hemorraghe) pada tubuh ikan, serta nekrosis pada insang ikan terutama perlakuan K+ pada periode puncak infeksi KHV (Gambar 4).

Gambar 4. Gejala klinis perubahan morfologi benih ikan mas pada masa uji tantang. Pendarahan pada kulit dan tubuh ikan (hemorraghe), mata ikan nampak cekung (sunken eyes) (A). Pembengkakan pada bagian abdomen ikan uji (hyperemia) (B). Kulit ikan menjadi kasar, geripis pada sirip ikan (C). Nekrosis pada bagian insang ikan (D).

Respons imunitas ikan uji

Respons imunitas pada ikan uji dalam penelitian ini meliputi pengamatan aktivitas fagositik (AF) dan titer antibodi. Aktivitas fagositik menggambarkan respons imunitas non-spesifik pada ikan mas, dilakukan pada ikan uji sebelum (pascavaksinasi) dan setelah uji tantang. Hasilnya menunjukkan terjadi fluktuasi nilai persentase AF pada tiap waktu pengamatan. Nilai persentase AF pascavaksinasi teramati meningkat pada semua perlakuan dari awal pengamatan hingga 28 hpi. Persentase kenaikan nilai AF pascavaksinasi yang signifikan teramati mulai 14 hingga 28 hpi terutama pada perlakuan vaksinasi, dengan nilai tertinggi (P<0.05) diperoleh oleh perlakuan V8. Hal tersebut menunjukkan bahwa vaksinasi dengan vaksin DNA KHV mampu meningkatkan respons imunitas non-spesifik pada benih ikan mas 30 hpt. Namun demikian, penurunan dan fluktuasi nilai persentase AF teramati pada saat uji tantang, yaitu pada 36 dan 50 hpi di semua perlakuan. Hal ini berkaitan dengan adanya infeksi KHV di dalam tubuh

12

inang/ikan uji. Pengamatan pada masa uji tantang secara umum nilai persentase AF perlakuan vaksinasi lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan kontrol (K+ dan K-) masing-masing perlakuan, dengan nilai tertinggi diperoleh oleh perlakuan V8 (Gambar 5).

Gambar 5. Respons imun non-spesifik ikan mas terhadap infeksi KHV. Kontrol positif kepadatan 800 ekor/L (K+8), kontrol positif kepadatan 1200 ekor/L (K+12), kontrol negatif kepadatan 800 ekor/L (K-8), kontrol negatif kepadatan 1200 ekor/L (K-12), perlakuan vaksinasi kepadatan 800 ekor/L (V8), perlakuan vaksinasi kepadatan 1200 ekor/L (V12). Huruf yang berbeda di atas bar menunjukkan perlakuan berbeda nyata (P<0.05). Tanda panah menunjukkan awal pengamatan AF pada masa uji tantang.

Pengamatan titer antibodi melalui uji ELISA menunjukkan respons antibodi spesifik ikan mas terhadap infeksi KHV. Nilai cut off value (CV) atau batas nilai yang menunjukkan positif terbentuknya antibodi protektif terhadap KHV yang diperoleh dalam pengujian ini sebesar 0.353 nm. Pengamatan pada 7 dan 14 hari pascavaksinasi (hpv) diperoleh nilai absorbansi benih ikan mas masih berada dibawah nilai CV, yang menunjukkan belum terbentuknya antibodi protektif terhadap KHV. Antibodi anti-KHV pada benih ikan mas yang divaksin umur 30 hpt menunjukkan hasil positif pada 28 hpv yaitu pada perlakuan V8 (0.360±0.06), sedangkan pada perlakuan lain belum positif terbentuk antibodi protektif terhadap KHV. Antibodi anti-KHV positif terbentuk pada semua perlakuan vaksinasi mulai 36 hingga 50 hpv. Nilai absorbansi ikan uji dari tertinggi hingga terendah pada akhir pengujian ini masing-masing teramati pada perlakuan V8 (0.529±0.02), V12 (0.437±0.01), K-8 (0.296±0.02) dan K-12 (0.276±0.04). Hasil nilai absorbansi pada pengamatan titer antibodi anti-KHV benih ikan mas 30 hpt melalui uji ELISA selengkapnya dalam Gambar 6.

a a b c c d c c a a b c c c c d a a a a a a a a a a c c d d cd d a a c c c d d e a a b b b b b b 0 5 10 15 20 25 30 0 7 14 21 28 36 43 50 A kt iv it as F agos it ik (% ) Hari Pascavaksinasi (hpv) K-8 K+8 V8 K-12 V+12 V12 30

13

Gambar 6. Respons antibodi spesifik benih ikan mas terhadap KHV. Antibodi sekunder yang digunakan adalah antibodi poliklonal IgG rabit anti-carp. Kontrol kepadatan 800 ekor/L (K8), kontrol kepadatan 1200 ekor/L (K12), perlakuan vaksinasi kepadatan 800 ekor/L (V8), perlakuan vaksinasi kepadatan 1200 ekor/L (V12). Nilai cut off value

(CV) 0.353 nm. Tanda bintang pada garis menunjukkan positif terbentuk antibodi protektif anti-KHV.

Hasil pengamatan terhadap respons imunitas benih ikan mas yang divaksin menunjukkan terbentuknya pola interaksi yang saling mendukung antara respons imun non-spesifik yang direpresentasikan oleh nilai AF dengan respons imun spesifik yang direpresentasikan oleh nilai titer antibodi dalam kaitannya dengan proteksi terhadap infeksi KHV. Pola interaksi respons imun yang terbentuk diamati dari nilai perlakuan terbaik yaitu kepadatan 800 ekor/L (Gambar 7).

Gambar 7. Pola interaksi respons imun non-spesifik dan spesifik pada benih ikan mas yang diberi perlakuan vaksin DNA KHV melalui perendaman. Nilai aktivitas fagositik (AF) perlakuan vaksinasi kepadatan 800 ekor/L, nilai titer antibodi (Ab) perlakuan vaksinasi kepadatan 800 ekor/L. Nilai cut off value (CV) positif antbodi anti-KHV 0.353 nm.

0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 7 14 21 28 36 43 50 O pt ikal D ens it at ( nm ) Hari Pascavaksinasi (hpv) K8 K12 V8 V12 CV 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0 5 10 15 20 25 30 0 7 14 21 28 36 43 50 O pt ikal D ens it at (nm ) A kt if v it as F ago si ti k (% ) Hari Pascavaksinasi (hpv) AF Ab * * * * * * *

14 a ab bc c 0.0 1.5 3.0 4.5 K8 V8 K12 V12 L P H (%) Kepadatan (ekor/L) Kinerja pertumbuhan

Hasil pengamatan SR kumulatif menunjukkan bahwa perlakuan V8 menghasilkan nilai lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan perlakuan V12, masing-masing sebesar 95.17±1.28% dan 83.78±1.44%. Hal serupa diperoleh pada nilai LPH perlakuan V8 (4.12±0.03%) menghasilkan nilai lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan perlakuan V12 (3.92±0.12%). Secara umum tidak ada perbedaaan (P>0.05) terhadap kinerja pertumbuhan benih ikan mas perlakuan vaksinasi (V8 dan V12) bila dibandingkan dengan kontrol masing-masing (Gambar 8).

Gambar 8. Kelangsungan hidup kumulatif (SR) dan laju pertumbuhan harian (LPH) selama pemeliharaan di kolam. Pengamatan kinerja pertumbuhan diamati selama 90 hari masa pemeliharaan. Kontrol kepadatan 800 ekor/L (K8), kontrol kepadatan 1200 ekor/L (K12), perlakuan vaksinasi kepadatan 800 ekor/L (V8), perlakuan vaksinasi kepadatan 1200 ekor/L (V12). Huruf yang berbeda di atas bar menunjukkan perlakuan berbeda nyata (P<0.05).

Pembahasan

Penelitian ini membuktikan adanya proses perlindungan yang efektif dari pemberian vaksin DNA KHV (1.3×109 CFU/L) pada benih ikan mas 30 hpt. SR benih ikan mas yang divaksin pada saat uji tantang adalah lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan perlakuan tanpa vaksinasi, berturut-turut 68.89% dan 17.8%. Perbedaan nilai SR ini menguatkan bahwa efikasi vaksin DNA KHV secara efektif mampu memberikan perlindungan pada benih ikan mas terhadap infeksi KHV. Disamping itu, tingginya kematian pada benih ikan mas tanpa vaksinasi (hingga 100%) pada masa uji tantang mengindikasikan bahwa virus yang digunakan adalah bersifat virulen. Vaksin DNA penyandi glikoprotein KHV

diaplikasikan menggunakan promoter β-aktin ikan medaka. Penggunaan promoter

β-aktin pada vaksin DNA memiliki peluang besar untuk dapat memproduksi glikoprotein KHV pada ikan mas, selanjutnya glikoprotein tersebut diproduksi sebagai antigen yang kemudian menginduksi respons imun ikan melalui pembentukan antibodi anti-KHV (Nuryati et al. 2010). Hal inilah yang kemudian

a a b b 0 20 40 60 80 100 K8 V8 K12 V12 SR Ku m u latif ( %) Kepadatan (ekor/L)

15

berpengaruh terhadap efektivitas proteksi vaksin DNA KHV pada benih ikan mas yang divaksin. Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian Nuswantoro et al. (2012), kelangsungan hidup benih ikan mas yang divaksin memiliki nilai SR lebih tinggi (60.00-63.33%) dibandingkan dengan kontrol (26.67%).

Perbedaaan hasil persentase nilai SR pada proses vaksinasi dapat pula disebabkan oleh frekuensi dan lama waktu pemberian vaksin. Namun demikian,

dalam penelitian ini aplikasi vaksin DNA KHV (1.3×109 CFU/L) sebanyak 1 kali

selama 30 menit (1 × 30 menit) sudah mampu memberikan perlindungan yang efektif pada benih ikan mas terhadap infeksi KHV. Hal ini didasarkan pada penelitian Nuswantoro et al. (2012) melalui optimasi waktu dan kepadatan penggunaan vaksin DNA KHV GP25, nilai SR benih ikan mas yang divaksin dengan frekuensi berbeda (1, 2, dan 3 kali) adalah tidak berbeda nyata, begitu pula

dengan lama waktu perendaman yang berbeda (30, 60, dan 90 menit). Tingginya

nilai SR pada perlakuan vaksinasi 800 ekor/L dibandingkan dengan 1200 ekor/L (Tabel 1) pada saat uji tantang diduga lebih disebabkan oleh pengaruh perbedaan kepadatan dalam vaksinasi. Peningkatan kepadatan populasi ikan pada saat vaksinasi berpengaruh terhadap pola distribusi dan uptake plasmid target, sehingga menyebabkan perbedaaan respons imun yang terbentuk.

Efikasi vaksin DNA KHV pada benih ikan mas terhadap infeksi KHV berkaitan erat dengan hasil persentase nilai RPS. Nilai RPS menunjukkan kisaran nilai untuk proteksi yang efektif dari suatu proses vaksinasi. Pengamatan RPS pada penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan vaksinasi kepadatan 800 ekor/L (63.37%) memiliki nilai lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan kepadatan 1200 ekor/L (9.89%). Nilai ini memenuhi kisaran untuk proteksi yang efektif pada proses vaksinasi. Hasil tersebut sesuai dengan Armend (1981) kisaran nilai RPS untuk proteksi yang efektif adalah lebih dari 60%. Hasil perolehan nilai RPS pada penelitian ini sejalan dengan nilai SR pada saat uji tantang pada ikan uji, perlakuan vaksinasi 800 ekor/L teramati memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan 1200 ekor/L. Hasil ini juga lebih baik apabila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (Nuswantoro et al. 2010), dengan nilai RPS yang diperoleh sebesar 44.10-50%.

Gejala klinis KHV pada penelitian ini teramati pada periode puncak infeksi, yaitu minggu ke-2 dan minggu ke-3 pascavaksinasi. Hal ini sejalan dengan tingginya nilai mortalitas ikan yang teramati pada puncak infeksi KHV tersebut (Gambar 4). Gejala klinis yang teramati secara umum sesuai dengan deskripsi penelitian sebelumnya (Hedrick et al. 2000; Taukhid et al. 2004; Pikarsky et al. 2004; Sunarto et al. 2005) diantaranya nafsu makan menurun drastis, ikan berkumpul di permukaan, megap-megap, bergerak tidak beraturan, perubahan warna ikan (discolouration), kulit ikan terasa kasar, mata ikan menjadi cekung pendarahan (hemorraghe)pada tubuh ikan dan nekrosi pada insang. Gejala klinis tersebut muncul terutama pada ikan kontrol positif. Hasil ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan ikan sehat yang memiliki ciri tanda pergerakan aktif, respons makan cepat, kondisi insang berwarna merah terang serta warna tubuh yang cerah (Taukhid et al. 2010). Gejala klinis khas pada infeksi virus KHV seperti bintik putih pada lamela insang serta geripis pada ujung lamela insang dalam penelitian ini tidak banyak teramati. Kondisi gejala klinis ini diduga akibat virulensi KHV yang tinggi sehingga menyebabkan kerusakan sistemik pada organ

16

tubuh ikan. Infeksi virus KHV berjalan dengan cepat dan menyebar ke seluruh tubuh sehingga menyebabkan kerusakan pada organ tubuh ikan (Pikarsky et al. 2004). Hal tersebut ditandai dengan hemorraghe yang terjadi pada hampir seluruh tubuh ikan dengan diikuti pembengkakan pada bagian abdomen ikan. Ikan yang terinfeksi KHV umumnya mengalami kerusakan pada insang berupa nekrosis dan bintik putih pada filamen, serta perubahan tingkah laku ikan. Namun demikian, beberapa ikan yang terinfeksi KHV tidak selalu menunjukkan gejala klinis. Gejala klinis yang secara konsisten teramati adalah discolouration, dan frekuensi pernafasan yang tinggi (Hedrick et al. 2000; Gray et al. 2002)

Secara umum nilai aktivitas fagositik perlakuan vaksinasi lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kontrol positif baik pada masa pemeliharaan maupun uji tantang, peningkatan terjadi secara signifikan teramati mulai minggu ke-2 pascavaksinasi (Gambar 5). Penurunan nilai aktivitas fagositik teramati pada saat uji tantang baik perlakuan vaksinasi maupun kontrol positif yaitu mulai 36 hpv. Penurunan nilai aktivitas fagositik yang terjadi berkaitan dengan puncak infeksi KHV pada saat uji tantang, ditandai dengan nilai mortalitas ikan yang tinggi pada semua perlakuan. Kondisi ini berkaitan dengan adanya pengaruh dari aktivitas kekebalan seluler pada sistem sirkulasi, di mana kemungkinan besar aktivitas fagositik berlangsung di tempat terjadinya infeksi sehingga sel-sel leukosit yang ditemukan di pembuluh darah melakukan proses fagositosis lebih rendah (Nuryati 2010). Peningkatan dan penurunan nilai aktivitas fagositik tersebut sangat berkaitan dengan respons imun seluler yang terjadi pada ikan yang diinfeksi oleh patogen. Nilai aktivitas fagositik berkaitan dengan perluasan infeksi dari suatu penyakit, yaitu apabila sel-sel fagosit bekerja secara optimal maka perluasan infeksi di dalam tubuh ikan dapat dibatasi. Hal yang sama dikemukakan pula oleh Tizard (1998), pola peningkatan aktivitas fagositik mencerminkan fungsi peningkatan total leukosit maupun persentase sel-sel leukosit masing-masing pada limfosit, monosit dan neutrofil terhadap patogen yang menyerang.

Aplikasi vaksin DNA KHV whole cell bacteria pada benih ikan mas yaitu melalui bakteri kompeten E. coli DH5α pada penelitian ini menjadi pemicu peningkatan respons imun non-spesifik pada ikan uji. Mekanisme pertahanan tubuh ikan melalui imunitas bawaan (innate immunity) terhadap bakteri dilakukan melalui produksi berbagai substansi antimikroba dengan spektrum luas, aktivasi komplemen, rilis sitokin, mekanisme inflamasi serta proses fagositosis dengan melibatkan berbagai sel kompeten (Ellis 2001). Lapisan peptidoglikan yang terdapat pada dinding bakteri E. coli DH5α selanjutnya akan memicu respons imun non-spesifik untuk aktif dan melakukan penghancuran. Lisozim merupakan salah satu enzim yang akan teraktivasi. Enzim ini berfungsi untuk membantu mendegradasi lapisan peptidoglikan pada dinding sel dan berperan dalam proses lisisnya bakteri tersebut (Ellis 1999). Lisozim juga akan mendorong proses fagositosis yaitu sebagai opsonin atau secara langsung mengaktifkan leukosit polimorfonuklear (neutrofil) dan makrofag yang terlibat dalam aktivitas bakterisidal (Mohanty et al. 2007). Komplemen pada ikan juga selanjutnya secara langsung akan teraktivasi dengan adanya lipopolisakarida (LPS), yaitu struktur utama dari dinding sel pada bakteri Gram-negatif, yang kemudian melalui mekanisme alternative complement pathway (ACP) menyebabkan lisis pada membran sel bakteri (Ellis 2001).

17

Respons antibodi spesifik yang terbentuk merupakan parameter penting dari efek vaksinasi. Titer antibodi spesifik pada penelitian ini meningkat secara perlahan pada dua minggu pertama dan secara signifikan meningkat (positif terbentuk) pada 28 hpv. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat proteksi pada saat uji tantang berkaitan dengan antibodi spesifik yang terbentuk. Ikan uji yang divaksinasi memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dan secara signifikan berbeda dengan perlakuan kontrol. Pengamatan titer antibodi antar perlakuan vaksinasi menunjukkan bahwa kepadatan 800 ekor/L mampu membentuk antibodi spesifik lebih cepat dibandingkan perlakuan kepadatan 1200 ekor/L, masing-masing pada 28 dan 36 hpv. Hal inilah yang menyebabkan tingkat mortalitas benih ikan mas perlakuan 800 ekor/L lebih rendah dibandingkan 1200 ekor/L. Hasil uji ekspresi DNA pada penelitian sebelumnya membuktikkan bahwa pemberian vaksin DNA GP25 melalui perendaman mampu terekspresi hingga hari ke-28 (Nuswantoro et al. 2012), sedangkan melalui injeksi berupa plasmid DNA KHV GP25 mampu terekspresi mulai hari kedua setelah injeksi hingga dua minggu selanjutnya (Nuryati et al. 2010).

DNA merupakan molekul yang stabil, aplikasinya dalam proses vaksinasi mampu menginduksi dengan kuat baik respons imun spesifik (melalui ekspresi dari antigen) maupun non-spesifik (melalui CpG-S motif) (Heppel et al. 2000; Lorenzen dan LaPatra 2005). Respons imun pascavakinasi dimulai oleh sel APC yaitu sel dendrit maupun makrofag, plasmid DNA masuk ke dalam sel yang selanjutnya ditranslasikan sehingga menghasilkan protein imunogenik (Tonheim

et al. 2008). Protein imunogenik inilah yang kemudian dianggap sebagai ‘benda asing’ oleh inang/ikan. Administrasi vaksin DNA selanjutnya akan mengaktivasi MHC I, spesifik limfosit T sitotoksik dan MHC II. Sistem imun menggunakan dua jalur untuk mengeleminasi antigen intraseluler dan ekstraseluler. Antigen endogeneous diproses di jalur sitosolik (cytosolic pathway) dan dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I. Antigen eksogenus diproses di jalur endositik (endocytic pathway) (Rawat et al. 2007). Sel-sel APC dapat mengambil antigen terlarut (peptida) yang dilepas oleh sel yang lain misalnya myosit. Sel-sel APC selanjutnya memprosesnya dan mempresentasikannya melalui molekul MHC kelas II yang ada di permukaan sel. Sel TCR (T cell receptor) mengenali peptida yang dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I dan kelas II masing-masing melalui molekul CD8+ yang ada di T cell (cytotoxic T cell) dan CD4+ dari T cell (T helper) (Tonheim et al. 2008). Jalur sitosolik berperanan dalam membangkitkan respons kekebalan seluler (non-spesifik), sedangkan jalur endositik berperanan dalam membangkitkan respons kekebalan humoral melaui pembentukan antibodi (spesifik).

Salah satu keunggulan vaksin DNA adalah kemampuannya untuk menstimulasi baik respons imun seluler maupun humoral (Restifo et al. 2000; Tonheim et al. 2008). Respons imun seluler secara sederhana, dilakukan dengan aktivasi sel Th1 yang selanjutnya akan mensekresikan pro-inflamatory cytokines

dan juga CD8+ yang berperan dalam penghancuran sel yang terinfeksi. Respons imun humoral direpresentasikan dengan pengaktifan limfosit B dan juga produksi antibodi (Tonheim et al. 2008). Hal ini didukung dengan pola interaksi yang terbentuk antara AF (imunitas non-spesifik) dan antibodi (imunitas spesifik) terhadap proteksi benih ikan mas pada infeksi KHV (Gambar 7). Penurunan

18

tingkat proteksi pada respons imunitas non-spesifik yang digambarkan oleh persentase nilai AF pada saat uji tantang, selanjutnya mekanisme proteksinya akan digantikan oleh respons imun spesifik melalui pembentukan antibodi anti-KHV. Hasil tersebut menggambarkan bahwa proses vaksinasi menggunakan vaksin DNA KHV mampu untuk menginduksi baik respons imun non-spesifik maupun spesifik, sehingga proteksi yang dihasilkan pada saat uji tantang lebih baik dibandingkan dengan kontrol (Gambar 1).

Rendahnya mortalitas ikan uji yang divaksinasi pada saat uji tantang terutama pada perlakuan 800 ekor/L, berkaitan dengan kemampuan netralisasi virus KHV oleh antibodi anti-KHV. Netralisasi dapat dikatakan sebagai hilangnya infektivitas pada virus akibat pengikatan oleh antibodi terhadap partikel virus (Dimmock 1995). Mekanisme netralisasi terjadi apabila terdapat proporsi antibodi yang cukup pada situs infeksi sehingga antibodi mampu menghambat proses penempelan (attachment) dan masuknya virus pada sel inang (Burton 2002). Proses netralisasi dilakukan pada virus dalam bentuk virus bebas (free virus).

Antibody Fc-mediated effector system mampu melawan virus bebas melalui beberapa mekanisme antara lain aktivasi komplemen yang kemudian akan mengikat dan mendeposisikan partikel virus ke permukaan virion sehingga akan meningkatkan proses netralisasi melalui virolisis. Reseptor antibodi dan komplemen akan melakukan pengikatan melalui ikatan antibody-coated virion

atau complement-coated virion yang selanjutnya akan menginisiasi terjadinya proses fagositosis dan inaktivasi virion di dalam kompartemen sel fagosit (Spear

et al. 2001). Proses netralisasi pada sel yang terinfeksi dilakukan melalui pengikatan molekul-molekul pada amplop virus yang terekspresi pada membran sel inang. Proses pelekatan ini selanjutnya akan menginisiasi terjadinya lisis dan pembersihan (clearance) virus oleh antibodi melalui antibody-dependent celluler cytotoxicity (ADCC) atau complement-dependent cytotoxicity (CDC), yang akan menghambat replikasi virus di dalam sel, keluarnya (release) virus dari dalam sel yang terinfeksi maupun transmisi virus dari sel ke sel lainnya (Burton 2002).

Efisiensi produksi merupakan salah satu aspek penting dalam proses budidaya. Aplikasi vaksin DNA KHV tentunya bertujuan untuk meningkatkan hasil produksi melalui peningkatan respons imunitas ikan terhadap patogen. Namun demikian, aplikasi vaksin DNA KHV pada proses budidaya berimplikasi terhadap penambahan biaya produksi, sehingga metode vaksinasi yang tepat dapat meminimalisir tingginya biaya produksi tersebut. Berdasarkan hasil yang diperoleh, aplikasi vaksin DNA KHV pada benih ikan mas memberikan hasil kinerja pertumbuhan yang tidak berbeda (P>0.05) dibandingkan dengan kontrol melalui pengamatan SR kumulatif dan nilai LPH. Nilai SR kumulatif dan LPH di kolam pemeliharaan yang tidak berbeda antar perlakuan vaksinasi dengan kontrol (Gambar 8), menunjukkan bahwa proses vaksinasi pada benih ikan mas 30 hpt tidak menghambat pertumbuhan (supresan) sehingga aman untuk diaplikasikan dan secara efektif mampu meningkatkan kelangsungan hidup ikan uji. Hal tersebut sesuai dengan syarat vaksin yang baik untuk digunakan, yaitu mampu memberi proteksi dengan masa induksi singkat, aman terhadap lingkungan

Dokumen terkait