• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Kelangsungan Hidup Masa Uji Tantang

Kelangsungan hidup (KH) ikan perlakuan vaksinasi setelah diuji tantang dengan KHV menunjukkan bahwa perlakuan B (93,33%), D (86,67%), dan C (83,33%) menghasilkan nilai yang lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan perlakuan K+ (33,33 %) dan perlakuan A (50,00%). Nilai RPS berbanding lurus dengan nilai SR (Tabel 2).

Tabel 2 Kelangsungan hidup (KH) dan relative percent survival (RPS) ikan koi pascauji tantang Parameter Perlakuan K- K+ A B C D KH (%) 100±0d 33,33±5,77a 50,00±10,00b 93,33±11,55cd 83,33±5,77c 86,67±5,77cd RPS (%) - - 24,60±15,85a 90,48±16,50b 75,40±6,87b 80,16±7,65b

Keterangan: kontrol negatif (K-), kontrol positif (K+), GP-11 2,5 μ g/100 μ l (A),

GP-11 7,5 μ g/100 μ l (B), GP-11 12,5 μ g/100 μ l (C), GP-25 12,5 μ g/100 μ l (D).

Data pada baris yang sama dengan huruf yang berbeda menunjukkan perlakuan berbeda nyata (P<0,05).

Hasil tersebut (Tabel 2) menunjukkan bahwa vaksinasi mampu meningkatkan kelangsungan hidup ikan koi terhadap infeksi KHV. Nilai RPS yang diperoleh berbanding lurus dengan nilai KH, dimana nilai RPS pada perlakuan B, C dan D lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan A.

Pola Kematian Ikan Uji

Ikan uji mulai mengalami kematian delapan hari pascainfeksi (hpi) pada perlakuan K+, sedangkan pada perlakuan B, C, D dan A ikan uji teramati mengalami kematian pada 11 hpi (Gambar 1).

Gambar 1 Kematian kumulatif ikan koi pasca uji tantang dengan KHV. Kontrol negatif (K-), kontrol positif (K+), GP-11 2,5 μ g/100 μ l (A), GP-11 7,5

μ g/100 μ l (B), GP-11 12,5 μ g/100 μ l (C), GP-25 12,5 μ g/100 μ l (D). 0 20 40 60 80 100 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 K el ang sung an H idup (% )

Hari Pascainfeksi (hpi) K-K+ A B C D

11 Berdasarkan Gambar 1, kematian ikan pada perlakuan B hanya terjadi pada 11 12 hpi. Puncak kematian yang disebabkan oleh infeksi KHV ini terjadi pada 15 -22 hpi. Ikan perlakuan K+ dan A terus mengalami kematian hingga 24 hpi. Nilai mortalitas tertinggi terdapat pada perlakuan K+ (66,67%) yang diikuti oleh perlakuan A (50,00%), C (16,67%), D (13,33%), dan paling rendah adalah perlakuan B (5,77%).

Gejala Klinis

Pengamatan gelaja klinis dilakukan untuk mengamati perubahan yang terjadi pada ikan uji akibat adanya infeksi KHV. Pengamatan gejala klinis ikan uji dilakukan setiap hari selama masa uji tantang. Konfirmasi awal status kesehatan ikan uji dilakukan dengan menggunakan metode PCR. Hasil konfirmasi awal menunjukkan bahwa ikan uji yang digunakan adalah sehat dan bebas KHV (Gambar 2).

Gambar 2 Elektroforegram hasil konfirmasi awal status kesehatan ikan uji bebas KHV menggunakan metode PCR. Marker DNA (M), 1-4 (sampel ikan 1-4), kontrol negatif tanpa DNA templat (N), kontrol positif KHV (P). Tanda kepala panah di sebelah kanan gambar menunjukkan posisi DNA KHV produk amplifikasi PCR (296 bp).

Pengamatan gejala klinis menunjukkan bahwa ikan uji yang diinfeksi KHV mengalami beberapa perubahan morfologis dan tingkah laku dibandingkan dengan ikan kontrol negatif (Gambar 3A). Secara umum gejala klinis yang teramati diantaranya penurunan nafsu makan, ikan berenang di permukaan dan tampak megap-megap, bergerak tidak normal dan kehilangan keseimbangan, tubuh mulai terasa kesat, pecahnya pembuluh darah yang menyebabkan terjadinya pendarahan (hemorrhage) (Gambar 3B), kerusakan pada sirip (Gambar 3C) dan kematian sel (necrosis) pada insang (Gambar 3D).

Gambar 3 Gejala klinis ikan uji yang terinfeksi KHV. Ikan sehat (A),hemorrhage

12

Validasi kematian ikan selama masa uji tantang dilakukan dengan menggunakan metode PCR. Ikan perlakuan A, B, C, D dan K+ memiliki produk PCR sama dengan kontrol plasmid vaksin (berukuran 296 bp), sedangkan ikan K-tidak ada produk PCR tersebut (Gambar 4). Dengan demikian bahwa ikan yang mengalami kematian disebabkan oleh infeksi KHV.

Gambar 4 Elektroforegram hasil validasi kematian ikan selama masa uji tantang menggunakan metode PCR. Marker DNA (M), GP-11 2,5 μ g/100 μ l(A), GP-11 7,5 μ g/100 μ l (B), GP-11 12,5 μ g/100 μ l (C),kontrol negatif ikan tidak terinfeksi KHV (K-), kontrol ikan positif ikan terinfeksi KHV (K+), GP-25 12,5 μ g/100 μ l (D), kontrol positifplasmid KHV (P), dan kontrol negatif tanpa DNA templat (N). Tanda kepala panah di sebelah kanan menunjukkan posisi DNA KHV produk amplifikasi PCR (296 bp). Ekspresi mRNA

Ekspresi mRNA GP-11 terdeteksi pada ginjal ikan perlakuan dosis vaksin 2,5

μ g/100 μ l (A), 7,5 μ g/100 μ l (B) dan 12,5 μ g/100 μ l (C) (Gambar5A). Sementara

itu, ekspresi β-aktin terdeteksi pada semua sampel uji termasuk ikan kontrol tanpa vaksinasi (Gambar 5B).

Gambar 5 Ekspresi gen GP-11 pada ikan koi yang telah divaksin (A), dan produk

PCR menggunakan primer β-actin ikan koi (B). Marker DNA 100 bp ladder (M), dosis vaksin 7,5 μ g/100 μ l pada 24 jam pascavaksinasi (1),

dosis vaksin 12,5 μ g/100 μ l pada 24 jam pascavaksinasi (2), dosis vaksin

2,5 μ g/100 μ l pada 14 hpv (3), dosis vaksin 7,5 μ g/100 μ l pada 14 hpv

(4), dosis vaksin 2,5 μ g/100 μ l pada 28 hpv (5), dosis vaksin 7,5 μ g/100 μ l pada 28 hpv (6), ikan kontrol tanpa perlakuan vaksinasi (7), kontrol

negatif PCR (8), plasmid GP-11 (9). Tanda kepala panah di sebelah kanan gambar menunjukkan target produk amplifikasi PCR (200 bp).

13

Berdasarkan Gambar 5, promoter keratin ikan flounder Jepang Paralichthys olivaceus dapat aktif pada ikan koi. Namun demikian, ekspresi gen GP-11 pada ikan koi terekspresi pada waktu yang berbeda-beda, yaitu pada 24 jam pascavaksinasi ekspresi terdeteksi pada sampel 2, 14 hari pascavaksinasi (hpv) ekspresi gen tersebut terdeteksi pada sampel 3 dan 4, akan tetapi pada hari ke-28 ekspresi tidak terdeteksi. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk memperoleh jawaban mengapa hasil tersebut berbeda-beda.

Aktivitas Fagositik (AF)

Pengamatan aktivitas fagositik (AF) dilakukan pada ikan uji sebelum dan setelah uji tantang. Pengamatan terhadap nilai AF dalam darah ikan pada semua perlakuan menunjukkan hasil yang berfluktuatif (Gambar 6).

Gambar 6 Aktivitas fagositik selama masa pemeliharaan pascavaksinasi dan masa pemeliharaan pascainfeksi dengan KHV. Kontrol negatif (K-), kontrol positif (K+), GP-11 2,5 μ g/100 μ l (A), GP-11 7,5 μ g/100 μ l (B), GP-11 12,5 μ g/100 μ l (C), dan GP-25 12,5 μ g/100 μ l (D). Tanda panah

menunjukkan waktu injeksi untuk uji tantang KHV.

Berdasarkan Gambar 6, nilai AF teramati mengalami peningkatan pada semua perlakuan sejak awal pengamatan hingga 28 hpv. Ikan perlakuan vaksinasi (A, B, C dan D) memiliki nilai yg lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan ikan kontrol (K) pada 28 hpv. Namun demikian, nilai AF mengalami penurunan pada semua perlakuan sejak 35 hpv sampai satu minggu pascainfeksi (56 hpv). Pada minggu kedua pasacauji tantang (63 hpv), terjadi peningkatan kembali pada semua perlakuan di mana perlakuan ikan yang diberi vaksin memiliki nilai yang lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan ikan kontrol. Secara umum nilai AF perlakuan vaksinasi lebih tinggi dibandingkan dengan ikan kontrol pada masa pemeliharan.

Jumlah Sel Darah Putih (SDP) Total

Pengamatan rata-rata jumLah sel darah putih pada perlakuan yang berbeda menunjukkan bahwa nilai total SDP terus mengalami peningkatan pada semua perlakuan mulai awal pengamatan hingga 42 hpv. Namun demikian, nilai total SDP mengalami penurunan pada semua perlakuan, yaitu satu minggu pascainfeksi (56 hpv) (Gambar 7). a a a ab a ab ab a a a a a a a a a a a a a ab a a ab b abc b bc a a b bc a a ab b c b c b a c c b a b b bc b c ab a bc bc ab a ab b bc b c b a c c ab 0 5 10 15 20 25 0 7 14 21 28 35 42 56 63 70 77 A k ti v it as F ag o si ti k (% ) Hari Pascavaksinasi (hpv) K- K+ A B C D

14

Gambar 7 JumLah sel darah putih (SDP) total selama masa pemeliharaan pascavaksinasi dan pascainfeksi dengan KHV. Kontrol negatif (K-), kontrol positif (K+), GP-11 2,5 μ g/100 μ l (A), GP-11 7,5 μ g/100 μ l (B),

GP-11 12,5 μ g/100 μ l (C), dan GP-25 12,5 μ g/100 μ l (D). Tanda panah

menunjukkan waktu injeksi untuk uji tantang KHV. Diferensial Leukosit (DL)

Nilai diferensial leukosit (DL) yang diambil pada pengamatan ini merupakan rata-rata dari proporsi empat jenis sel leukosit yaitu limfosit, monosit, neutrofil, dan trombosit (Gambar 8).

Gambar 8 Jenis leukosit ikan koi yang teridentifikasi (ditunjukkan oleh tanda panah): limfosit (A), monosit (B), neutrofil (C), dan trombosit (D). Tanda garis pada ujung gambar menunjukkan garis skala (Bar: 6 µm). Limfosit

Hasil pengamatan terhadap jumLah limfosit sebelum vaksinasi (hari ke-0) berkisar antara 61,67 - 63,33%. Pola perubahan nilai rataan limfosit pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 9.

a ab a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a b a a a a a a ab c b c e c a a a a a ab ab a b c bc a a a a a b bc b c d ab a a a a 0 1 2 3 4 5 0 7 14 21 28 35 42 56 63 70 77 S el D ar ah P u ti h ( X 1 0 4sel/ m m 3 ) Hari Pascavaksinasi (hpv) K- K+ A B C D

15

Gambar 9 Persentase jumLah limfosit selama masa pemeliharaan pascavaksinasi dan uji tantang. Kontrol negatif (K-), kontrol positif (K+), GP-11 2,5

μ g/100μ l (A), GP-11 7,5 μ g/100 μ l (B), GP-11 12,5 μ g/100 μ l (C), dan

GP-25 12,5 μ g/100 μ l (D). Tanda panah menunjukkan waktu injeksi

untuk uji tantang KHV.

Berdasarkan Gambar 9, persentase jumLah limfosit menunjukkan bahwa semua perlakuan vaksinasi mengalami peningkatan pada hari ke-7 pascavaksinasi. JumLah limfosit pada ikan perlakuan vaksinasi terus mengalami peningkatan hingga hari ke-42 pascavaksinasi. Namun demikian, jumLah limfosit mengalami penurunan yang signifikan (P<0,05) pada perlakuan K+, A, B, C dan D, yaitu satu minggu pascainfeksi (56 hpv). JumLah limfosit mengalami kenaikan kembali pada minggu ke-2 hingga minggu ke-3 pascainfeksi (63 - 70 hpv). Secara umum jumLah limfosit perlakuan vaksinasi lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol pada masa pemeliharaan.

Monosit

Hasil pengamatan terhadap jumLah monosit sebelum vaksinasi (hari ke-0) berkisar antara 6,33 - 8,00%. Pola perubahan nilai rataan monosit pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Persentase jumLah monosit selama masa pemeliharaan pascavaksinasi dan uji tantang. Kontrol negatif (K-), kontrol positif (K+), GP-11 2,5

μ g/100 μ l (A), GP-11 7,5 μ g/100 μ l (B), GP-11 12,5 μ g/100 μ l (C), dan

GP-25 12,5 μ g/100 μ l (D). Tanda panah menunjukkan waktu injeksi

untuk uji tantang KHV. 30 40 50 60 70 80 0 7 14 21 28 35 42 56 63 70 77 Nila i R er ata L in fo sit (% ) Hari Pascavaksinasi (hpv) K- K+ A B C D 0 5 10 15 20 0 7 14 21 28 35 42 56 63 70 77 Nila i R er ata M o n o sit (% ) Hari Pascavaksinasi (hpv) K- K+ A B C D

16

Berdasarkan Gambar 10, persentase jumLah monosit menunjukkan bahwa semua perlakuan vaksinasi mengalami peningkatan pada 7 hpv. Rataan jumLah monosit menunjukkan perubahan yang fluktuatif di setiap minggu pascavaksinasi. Perubahan ini terjadi sebagai respons keseimbangan hematologi terhadap peningkatan jenis sel leukosit lainnya. Persentase jumLah monosit mengalami peningkatan yang signifikan (P<0,05) pada perlakuan K+, A, B, C dan D, yaitu satu minggu pascainfeksi (56 hpv). Namun demikian, pada minggu ke-2 pascainfeksi (63 hpv) jumLah monosit kembali menurun pada semua perlakuan. JumLah monosit mengalami peningkatan kembali pada minggu ke-3 pascainfeksi (70 hpv). Secara umum jumLah monosit perlakuan vaksinasi lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol pada masa pemeliharaan.

Neutrofil

Hasil pengamatan terhadap jumLah neutrofil sebelum vaksinasi (hari ke-0) berkisar antara 6,33 - 8,33%. Pola perubahan nilai rataan neutrofil pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Persentase jumLah neutrofil selama masa pemeliharaan pascavaksinasi dan masa pemeliharaan pascauji tantang dengan KHV. Kontrol negatif (K-), kontrol positif (K+), GP-11 2,5 μ g/100 μ l(A), GP-11 7,5 μ g/100 μ l (B), GP-11 12,5 μ g/100 μ l (C), danGP-25 12,5 μ g/100 μ l (D). Tanda panah menunjukkan waktu injeksi untuk uji tantang KHV.

Berdasarkan Gambar 11, persentase jumLah neutrofil menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang fluktuatif di setiap minggu pascavaksinasi. Rataan jumLah neutrofil pada semua perlakuan vaksinasi mengalami peningkatan pada 7 hpv. Namun, jumLah neutrofil terus mengalami penurunan hingga uji tantang. Persentase jumLah neutrofil mengalami peningkatan yang signifikan (P<0,05) pada perlakuan K+, A, B, C dan D, yaitu satu minggu pascainfeksi (56 hpv).

Trombosit

Hasil pengamatan terhadap jumLah trombosit sebelum vaksinasi (hari ke-0) berkisar antara 22,33 - 24,00 %. Pola perubahan nilai rataan trombosit pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 12.

0 4 8 12 16 0 7 14 21 28 35 42 56 63 70 77 Nila i R er ata Ne u tr o fil (% ) Hari Pascavaksinasi (hpv) K- K+ A B C D

17

Gambar 12 Persentase jumLah trombosit selama masa pemeliharaan pascavaksinasi dan masa pemeliharaan pascauji tantang dengan KHV. Kontrol negatif (K-), kontrol positif (K+), GP-11 2,5 μ g/100 μ l(A), GP-11 7,5 μ g/100 μ l (B), GP-11 12,5 μ g/100 μ l (C), dan GP-25 12,5μ g/100 μ l (D). Tanda panah menunjukkan waktu injeksi untuk uji tantang KHV.

Berdasarkan Gambar 12, persentase jumLah trombosit menunjukkan adanya kecenderungan penurunan jumLah trombosit pada 7 hpv. Penurunan jumLah trombosit terus terjadi pada masa pemeliharaan pascavaksinasi hingga menjelang masa uji tantang. Persentase jumLah trombosit ikan perlakuan mengalami peningkatan pada minggu ke-1 hingga minggu ke-2 pascainfeksi (56 - 63 hpv). Namun demikian, jumLah trombosit kembali mengalami penurunan pada minggu ke-3 pascainfeksi (70 hpv). Hal tersebut berbeda dengan perlakuan K+, dimana jumLah trombosit terus meningkat mulai minggu ke-3 hingga minggu ke-4 pascainfeksi (70 - 77). Secara umum, jumLah trombosit perlakuan vaksinasi lebih rendah dibandingkan dengan kontrol pada masa pemeliharaan pascavaksinasi, namun lebih tinggi dibandingkan kontrol pada masa pemeliharaan pascainfeksi. Titer Antibodi

Pengamatan titer antibodi terbagi atas pengujian titer antibodi ikan tanpa uji tantang dan dengan uji tantang. Nilai cut off value (CV) atau batas nilai yang menunjukkan positif terbentuknya antibodi protektif terhadap KHV yang diperoleh dalam pengujian ini sebesar 0,1477 nm. Pengamatan pada 7 - 14 hpv menunjukkan hasil positif yang ditunjukkan dengan adanya persinggungan antara nilai absorbansi pada perlakuan A, B, C dan D dengan nilai CV. Akan tetapi, nilai absorbansi mengalami penurunan pada 21 - 28 hpv pada seluruh perlakuan. Pada perlakuan B, nilai absorbansi kembali meningkat pada 35 hpv sehingga menunjukkan nilai yang positif, namun tidak pada perlakuan lainnya. Nilai absorbansi perlakuan D meningkat dan menunjukkan nilai yang positif pada 42 hpv. Peningkatan nilai absorbansi kembali terjadi pada perlakuan A, B, C dan D pada 56 hpv, namun hanya perlakuan A, B dan D yang menunjukkan hasil yang positif. Nilai absorbansi pada seluruh perlakuan mengalami penurunan kembali pada 63 - 70 hpv, kecuali pada perlakuan B, dimana perlakuan B pada 70 - 77 hpv menunjukkan nilai positif yang ditandai dengan nilai absorbansi yang berada di atas nilai CV (Gambar 13). Hal ini berbeda dengan hasil yang ditunjukkan oleh absorbansi ikan yang diuji tantang. Penurunan nilai absorbansi justru terjadi pada 56 hpv (7 hpi). Akan tetapi, peningkatan absorbansi terus terjadi pada 63 - 77 hpv (14 - 28 hpi), dimana

0 10 20 30 40 0 7 14 21 28 35 42 56 63 70 77 Nila i R er ata T ro m b o sit (% ) Hari Pascavaksinasi (hpv) K- K+ A B C D

18

perlakuan B, C dan D menunjukkan nilai yang positif pada 70 - 77 hpv (21 - 28 hpi) (Gambar 14).

Gambar 13 Respons antibodi spesifik ikan koi pada masa pemeliharaan pascavaksinasi tanpa uji tantang. (K-) kontrol negatif, (K+) kontrol positif, (A) GP-11 2,5 μ g/100 μ l, (B) GP-11 7,5 μ g/100 μ l, (C) GP -11 12,5 μ g/100 μ l, dan (D) GP-25 12,5 μ g/100μ l.

Gambar 14 Respons antibodi spesifik ikan koi pada masa pemeliharaan pascavaksinasi dengan uji tantang. (K-) kontrol negatif, (K+) kontrol positif, (A) GP-11 2,5 μ g/100 μ l, (B) GP-11 7,5 μ g/100 μ l, (C) GP -11 12,5 μ g/100 μ l, dan (D) GP-25 12,5 μ g/100 μ l. Tanda panah menunjukkan pengamatan pada masa uji tantang.

Pembahasan

Tingginya nilai kelangsungan hidup ikan yang divaksinasi menggunakan vaksin DNA GP-11 dengan dosis 7,5 μ g/100 μ l (B), 12,5 μ g/100 μ l (C) dan GP-25 dengan dosis 12,5 μ g/100 μ l (D) menunjukkan bahwa DNA dari vaksin yang diberikan mampu ditranskripsi dan ditranslasi menjadi protein imunogenik

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0 7 14 21 28 35 42 56 63 70 77 A b so rb an si (n m )

Hari Pascavaksinasi

ke-Tanpa Uji Tantang

K- K+ A B C D CV 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0 7 14 21 28 35 42 56 63 70 77 A b so rb an si (n m )

Hari Pascavaksinasi

ke-Uji Tantang

K- K+ A B

19 (glikoprotein KHV) yang diekspresikan pada ikan koi. Protein ini dikenali tubuh sebagai antigen KHV sehingga ikan dapat menginduksi respons imun dan memberikan proteksi terhadap infeksi virus KHV. Plasmid DNA yang diinjeksikan dalam sel inang akan ditranskripsi dan ditranslasi menjadi protein yang identik dengan protein tipe liar yang diekspresikan oleh virus sehingga mampu menginduksi respons kekebalan (Donnelly et al. 1997; Donnelly et al. 2000). Menurut Tangheet al. (2000), vaksin DNA dapat menginduksi imun dengan kuat dan tahan lama terhadap patogen infeksius tanpa perlu adanya organisme hidup, replikasi vektor ataupun adjuvan. Aktivasi respons imun direpresentasikan oleh tingginya kelangsungan hidup ikan pada perlakuan B (93,33%), C (83,33%) dan D (86,67%) selama 30 hari masa uji tantang dibandingkan dengan ikan kontrol (33,33%) (Tabel 2). Nilai RPS pada perlakuan B (90,48%), C (75.40%) dan D (80,16%) telah memenuhi kisaran nilai yang efektif untuk proteksi, yaitu lebih dari 50% (Triyantoet al. 1997). Vaksinasi menggunakan dosis yang lebih rendah, yaitu 2,5 μ g/100 μ l (A) tidak efektif karena masih menyebabkan kematian ikan hampir

75% setelah uji tantang.

Penggunaan vaksin DNA GP-11 dan GP-25 dalam penelitian ini memiliki efektivitas yang sama dalam kaitannya dengan proteksi terhadap infeksi KHV. Namun, dosis vaksin DNA GP-11 (7,5μ g/100 μ l) yang lebih rendah dibandingkan

GP-25 (12,5μ g/100 μ l) telah mampu memberikan proteksi terhadap infeksi KHV.

Rendahnya dosis yang digunakan, menjadikan vaksin DNA GP-11 lebih ekonomis dibandingkan GP-25. Penentuan dosis vaksin yang tepat akan berimplikasi terhadap efisiensi nilai ekonomis vaksin yang digunakan. Nuryati (2010) menyatakan bahwa pemilihan dosis vaksin yang akan digunakan harus mempertimbangkan nilai efisiensi yang melibatkan perhitungan dari sisi ekonomi.

Ikan yang diuji tantang menunjukkan adanya infeksi KHV dengan gejala klinis berupa terjadinya penurunan nafsu makan, ikan berenang di permukaan dan tampak megap-megap, bergerak tidak normal dan kehilangan keseimbangan, serta tubuh mulai terasa kesat, terutama pada perlakuan ikan kontrol positif. Menurut Taukhid

et al. (2005), permukaan tubuh ikan mulai terasa kesat diakibatkan karena hilangnya lendir. Hal ini terjadi akibat kerusakan sel-sel epitel yang menyebabkan produksi lendir menurun secara drastis hingga permukaan tubuh terasa kesat. Gejala klinis utama yang teramati pada ikan uji yaitu pecahnya pembuluh darah yang menyebabkan terjadinya pendarahan (hemorrhage), kerusakan pada sirip (geripis), dan kematian sel (necrosis) pada insang sehingga ikan mengalami kematian. Terjadinya hemorrhage dan necrosis pada insang menyebabkan terjadinya kerusakan sistemik pada organ tubuh (Pikarsky et al. 2004). Pada tahap awal infeksi, insang akan menunjukkan bercak-bercak putih kecil pada bagian ujung lembar insang dan warna insang masih terlihat normal dan cerah. Infeksi selanjutnya ditandai dengan warna pada ujung lembar insang menjadi pucat keabu-abuan disamping bercak putih yang semakin meluas. Perkembangan infeksi selanjutnya menunjukkan sebagian besar lembaran insang mengalaminecrosisatau kematian sel-sel insang. Secara keseluruhan insang mengalami kerusakan, terjadi penempelan diantara lembar-lembar insang, geripis dan akhirnya membusuk. Kerusakan insang ini akan mengganggu respirasi di insang. Untuk mengimbangi suplai oksigen, ikan akan meningkatkan frekuensi pergerakan operculum. Ikan yang terus menerus kekurangan oksigen akhirnnya akan mengalami kematian (Tamba 2006). Namun, beberapa ikan yang terinfeksi KHV tidak menunjukkan

20

gejala klinis yang terjadi pada permukaan tubuh seperti adanya borok (ulcer) atau pendarahan (hemorraghe) (Hedricket al. 2000).

DNA vaksin yang ditranskripsi dan ditranslasi oleh sel inang dibuktikan berdasarkan analisis mRNA dari vaksin DNA GP-11 yang teramati pada 24 jam pascavaksinasi, dan 14 hari pascavaksinasi. Hasil ekspresi gen tersebut menunjukkan bahwa promoter keratin ikanflounderJepangParalichthys olivaceus

dapat aktif pada ikan koi. Ekspresi gen pada tiap perlakuan teramati aktif pada waktu yang berbeda-beda (Gambar 5). Namun demikian, ekspresi gen dari vaksin DNA dalam waktu singkat (short-term expression) sudah cukup untuk membangkitkan respons imunitas baik seluler maupun humoral, sehingga mampu memberikan proteksi terhadap infeksi KHV. Respons imun dimulai oleh sel-sel APC (antigen precenting cells) yaitu sel-sel dendrit maupun makrofag setelah glikoprotein virus KHV di ekspresikan oleh sel tubuh denganup-takeDNA vaksin. Plasmid DNA yang masuk ke dalam sel akan ditranskripsi dan ditranslasi sehingga menghasilkan protein imunogenik yang berikutnya akan dipresentasikan sebagai protein asing (antigen) di permukaan sel oleh MHC kelas I dan MHC kelas II. Sel TCR (Tcell receptor) mengenali antigen yang dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I dan II masing-masing melalui molekul CD8+ yang ada di sel T (cytotoxicT

cell), dan CD4+ dari sel T (T helper) (Tonheim et al. 2008). Antigen endogenus diproses melalui jalur sitosolik (cytosolic pathway) dan dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I. Antigen eksogenus diproses melalui jalur endositik (endocytic pathway) dan dipresentasikan oleh molekul MHC kelas II (Rawat et al.

2007).

Ekspresi gen yang dihasilkan oleh vaksin DNA GP-11 pada sel inang, selain menginduksi sistem kekebalan humoral, juga menginduksi sistem kekebalan seluler yang ditunjukkan melalui hasil pengamatan aktivitas fagositik (AF). Secara umum nilai AF perlakuan vaksinasi lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol baik pada masa pemeliharaan pascavaksinasi maupun pada masa uji tantang (Gambar 6). Peningkatan nilai AF teramati mulai 7 - 28 hpv. Penurunan secara signifikan terjadi pada 56 hpv (7 hpi), hal ini berkaitan dengan proses uji tantang KHV. Penurunan nilai AF terjadi karena adanya pengaruh dari aktivitas kekebalan seluler pada sistem sirkulasi, diduga kemungkinan besar aktivitas fagositik berlangsung di tempat terjadinya infeksi sehingga sel-sel leukosit yang melakukan aktivitas fagositik di pembuluh darah lebih rendah (Nuryati 2010). Pola peningkatan dan penurunan nilai AF tersebut berkaitan dengan respons imun seluler yang terjadi pada ikan yang terinfeksi KHV. Tizzard (1998) menyatakan bahwa pola peningkatan nilai AF mencerminkan fungsi dari peningkatan total leukosit maupun persentase pada masing-masing sel leukosit (limfosit, monosit, neutrofil, dan trombosit) terhadap antigen yang masuk ke dalam tubuh.

Respons kekebalan seluler selain diamati dari AF juga dapat diamati berdasarkan jumLah sel leukosit (sel darah putih). JumLah leukosit dapat mengalami fluktuasi jumLah maupun persentase (limfosit, monosit, neutrofil, dan trombosit) karena adanya rangsangan dari benda asing dalam tubuh. JumLah leukosit pada penelitian ini mengalami peningkatan pada semua perlakuan mulai awal pengamatan hingga 42 hpv (Gambar 7). Kondisi ini disebabkan oleh terbentuknya glikoprotein dari vaksin DNA GP-11 yang diinjeksikan ke dalam tubuh ikan, selanjutnya GP-11 dikenali sebagai antigen. Tubuh ikan merespons glikoprotein GP-11 sebagai antigen dengan cara meningkatkan produksi sel-sel

21 darah putih. Peningkatan jumLah leukosit merupakan respons sistem imunitas ikan dalam mengembangkan respons imunitas seluler sebagai pemicu respons kekebalan tubuh (Kresno 2001). JumLah limfosit selama masa pemeliharaan pascavaksinasi teramati meningkat. Limfosit memiliki peran terutama dalam penyediaan zat kebal untuk pertahanan tubuh dengan cara mengenali antigen melalui reseptor spesifik pada membran sel (Mundriyantoet al.2002). Peningkatan jumLah sel limfosit pada pengamatan ini berbanding terbalik dengan jumLah sel monosit dan neutrofil yang teramati menurun selama masa pemeliharaan pascavaksinasi. Hal ini lebih disebabkan karena tidak adanya infeksi yang masuk ke dalam tubuh ikan sehingga sel monosit maupun neutrofil belum sepenuhnya teraktivasi. Kondisi ini teramati pula pada pengamatan trombosit selama masa pemeliharaan pascavaksinasi.

JumLah leukosit secara umum teramati mengalami penurunan pada seluruh perlakuan yaitu pada 7 hpi (56 hpv). Penurunan jumLah leukosit disebabkan karena respons dari sistem kekebalan tubuh yang mulai bekerja untuk mengatasi serangan yang ditimbulkan oleh KHV. Nuryati et al. (2010b) menyatakan bahwa secara umum tren penurunan jumLah leukosit pada ikan perlakuan dan ikan kontrol positif setelah uji tantang menunjukkan bahwa leukosit tersebut diduga aktif dan keluar dari pembuluh darah menuju ke jaringan yang terinfeksi. Kondisi ini juga teramati pada penurunan jumLah limfosit dalam darah yang disebabkan karena sebagian besar limfosit ditarik dari sistem sirkulasi dan berkompetisi ke dalam jaringan yang terinfeksi. JumLah sel limfosit yang memadai diperlukan untuk menghentikan infeksi virus yang bersifat intraseluler. Penghancuran mikroorganisme intraseluler seperti virus diperlukan respons imun seluler yang merupakan fungsi dari sel limfosit T dengan cara membunuh sel terifeksi untuk mampu membunuh mikroorganisme yang mengifeksi. Peningkatan limfosit T yang berupa sub populasi dari sel T yang disebut sebagai T-sitotoksik akan menghancurkan mikroorganisme intraseluler dengan cara mengenali mikroorganisme atau peptide-antigen virus yang langsung disajikan melalui MHC kelas I (cell to cell) pada permukaan sel makrofag. Selain itu, T-sitotoksik juga menghasilkan gamma-interferon yang mampu mencegah penyebaran mikroorganisme ke dalam sel lain. Dalam prosesnya, sistem imun seluler ini melibatkan sel limfosit T-sitotoksik dan sel limfosit yang tergolong dalam natural killer (sel NK), antibody dependent cell mediated cytotoxicity(ADCC), dan major histocompability complex(MHC) kelas I (Fenner

et al.1993; Kresno 2001; Almendras dan Catap 2002; Nakanishiet al. 2002). Namun demikian, penurunan jumLah sel limfosit berbanding terbalik dengan jumLah sel monosit dan neutrofil yang mengalami peningkatan pascainfeksi. Peningkatan jumLah sel monosit maupun neutrofil disebabkan oleh adanya infeksi KHV di dalam tubuh sehingga sel-sel tersebut teraktivasi. Menurut Baratawidjaja (2002), peningkatan jumLah monosit merupakan sinkronisasi antara sel monosit dan neutrofil dengan sel limfosit. Sel makrofag merupakan sel monosit yang telah matang yang berperan penting dalam proses fagositosis dan juga memiliki kemampuan untuk melepaskan interferon. Interferon memiliki sifat antiviral yang dapat menginduksi sel-sel sekitar yang terinfeksi agar resisten terhadap virus dan juga dapat mengaktifkan sel NK. Sel monosit dan neutrofil merupakan sel efektor yang teraktivasi oleh adanya mikroorganisme penginfeksi dan memiliki peranan

Dokumen terkait