• Tidak ada hasil yang ditemukan

Citra Landsat yang digunakan untuk analisis tutupan lahan terlebih dahulu dipotong untuk membatasi area penelitian dan mengurangi beban kerja komputer dalam processing data. Area penelitian tidak serta merta dipotong dengan batas administrasi DKI Jakarta, melainkan dipotong dengan bentuk area of interest berupa persegi. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terpotongnya piksel saat klasifikasi tutupan lahan dilakukan. Setelah area penelitian pada citra disekat, kemudian citra diperbaiki secara geometrik dan radiometrik agar memiliki proyeksi koordinat yang tepat dan tampilan yang sama pada tiap tahunnya. Gambar 3, 4 dan 5 merupakan citra tahun 2000, 2004 dan 2012 yang telah dibatasi sesuai area penelitian dan dikoreksi secara geometrik dan radiometrik.

10

Gambar 4 Citra Landsat ETM+ tahun 2004 area DKI Jakarta

Gambar 5 Citra Landsat ETM+ tahun 2012 area DKI Jakarta

Ketiga citra tersebut menjadi data dasar dalam klasifikasi tutupan lahan di DKI Jakarta. Pada Gambar 3 dan Gambar 5 dapat dilihat kondisi citra yang banyak mengandung awan dan bayangan awan, sehingga daerah yang tertutupi tersebut tidak dapat diklasifikasi. Selanjutnya, perbedaan posisi awan setiap tahunnya akan menghasilkan luas tutupan lahan multi waktu yang tidak akurat, karena itu posisi awan setiap tahun yang diteliti harus disamakan.

Berdasarkan hasil ground check yang dilakukan pada awal tahun 2013 dapat diketahui jenis tutupan lahan yang berada di balik awan dan bayangan awan, sehingga awan dan bayangan awan pada tahun 2012 dapat dihilangkan melalui proses update polygon. Untuk kasus citra tahun 2000 yang juga memiliki tutupan awan dan bayangan awan, perlakuan mengubah poligon tidak dapat dilakukan karena data ground check yang didapatkan pada tahun 2013 tidak valid bila digunakan pada tahun 2000, atau dengan rentang waktu terlalu jauh. Selanjutnya, awan dan bayangan awan pada tahun 2000 dijadikan patokan posisi awan untuk setiap tahun penelitian. Proses update polygon kembali dilakukan pada citra tahun 2004 dan 2012 untuk mengimport data awan dan bayangan awan tahun 2000, sehingga setiap citra akan memiliki lokasi tutupan awan dan bayangan awan yang sama.

11

Klasifikasi Tutupan Lahan

Klasifikasi penggunaan dan penutupan lahan di DKI Jakarta yang dilakukan berdasarkan hasil cek lapangan menghasilkan 6 kelas tutupan lahan yaitu hutan kota, sawah, rumput, rawa, lahan terbangun, dan badan air. Selanjutnya, kelas tutupan lahan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelas besar, yaitu kelas tutupan lahan ruang terbuka hijau, lahan terbangun dan badan air. Jenis tutupan lahan yang dapat dikategorikan ke dalam ruang terbuka hijau adalah hutan kota, sawah, dan rumput.

Hutan kota

Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2002 menyatakan bahwa hutan kota adalah suatu hamparan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat berwenang.

Batasan hutan kota yang digunakan dalam klasifikasi adalah seluruh kenampakan area dengan tegakan pohon yang dominan dan terlihat pada citra. Hutan kota ini meliputi ruang terbuka hijau privat dan ruang terbuka hijau publik dengan ketentuan memiliki tegakan pohon yang kompak di atasnya. Ruang terbuka hijau privat dalam penelitian ini terdiri atas halaman rumah, halaman kantor, dan kebun warga. Ruang terbuka hijau publik terdiri atas jalur hijau, makam, taman kota, hutan lindung, kawasan konservasi, dan hutan kota yang disahkan pemerintah. Jenis vegetasi dominan yang berada di hutan kota DKI Jakarta adalah Mahoni (Swietenia mahagoni), Ketapang (Terminalia cattapa), Trembesi (Samanea saman), Flamboyan (Delonix regia) dan Akasia (Acacia auriculiformis).

Menurut BPLHD Provinsi DKI Jakarta (2012), jumlah hutan kota di DKI Jakarta yang telah disahkan oleh pemerintah adalah 59 hutan kota yang tersebar di 5 Kotamadya. Hutan kota terbanyak berada di Kotamadya Jakarta Timur dengan jumlah 20, kemudian disusul oleh Jakarta Selatan 19 hutan kota, Jakarta Utara sebanyak 12 hutan kota, Jakarta Pusat sebanyak 5 hutan kota, dan Jakarta Barat sebanyak 3 hutan kota. Hutan lindung yang tercatat berada dalam wilayah DKI Jakarta adalah Hutan Lindung Muara Angke di Jakarta Utara, sedangkan untuk kawasan konservasi terbagi atas Suaka Marga Satwa Muara Angke dan Taman Wisata Alam Angke Kapuk.

Komposisi band yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan standar Departemen Kehutanan, yaitu komposisi 543. Pada citra komposisi band 543 obyek bervegetasi dengan non vegetasi lebih mudah dibedakan. Karakteristik pantulan spektral dari vegetasi terbagi menjadi 2 bagian, yaitu pada bagian spektrum tampak dan pada spektrum infra merah dékat. Komposit 543 menempatkan warna merah pada saluran 5, warna hijau pada saluran 4 dan warna biru pada saluran 3, jika pantulan vegetasi tertinggi berada pada saluran 4 (inframerah), maka pada komposit 543 vegetasi akan berwarna hijau atau gradasi dari hijau. Hal tersebut ditunjukan dengan tampilan pada citra untuk jenis tutupan lahan hutan kota yang memiliki warna hijau tua. Gambar 6 menampilkan gambar hutan pada citra dan foto lapangan.

12

(a) (b)

Gambar 6 Hutan kota di lapangan (a) hutan kota pada citra (b) Keterangan:

: Deliniasi hutan kota Sawah

Jenis tutupan lahan sawah memiliki batasan, yaitu kenampakan semua aktivitas pertanian lahan basah. Klasifikasi ini meliputi sawah dengan padi di dalamnya dan sawah yang telah mengalami kegiatan panen sehingga memiliki warna kekuningan pada citra. Jenis tutupan lahan sawah paling banyak ditemui di daerah Kotamadya Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Tampilan tutupan lahan sawah di lapangan dan pada citra disajikan pada Gambar 7.

(a) (b)

Gambar 7 Sawah di lapangan (a) sawah pada citra (b) Keterangan:

: Deliniasi sawah Rumput

Berdasarkan pengamatan di lapangan jenis tutupan lahan rumput di DKI Jakarta sebagian besar berupa kawasan golf dan lahan kosong di sekitar perumahan yang hanya ditumbuhi rumput tanpa pepohonan di dalamnya. Selain itu terdapat pula jenis penggunaan lapangan sepak bola dan kawasan berumput di sekitar lapangan udara. Pada citra rumput memiliki warna hijau kekuningan. Warna hijau kekuningan dihasilkan dari pantulan spektral vegetasi yang terdapat di atas lahan tersebut. Gambar 8 menunjukan tampilan jenis tutupan lahan rumput di lapangan dan pada citra.

13

(a) (b)

Gambar 8 Rumput di lapangan (a) dan rumput pada citra (b) Keterangan:

: Deliniasi rumput Rawa

Rawa adalah genangan air yang terbentuk secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri- ciri yang khusus secara fisik, kimiawi, dan biologi (Perda Provinsi DKI Jakarta 2012: 17). Melalui hasil cek lapang diketahui lokasi rawa pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta berada di Jakarta Utara, khususnya di sekitar daerah Pantai Indah. Jenis tutupan lahan rawa yang cukup luas juga dapat diamati dari Jalan Tol Airport Prof. Sedyatmo.

Citra dengan komposit band 543 mempunyai kelebihan dalam membedakan obyek yang mempunyai kandungan air atau kelembapan tinggi. Obyek dengan tingkat kelembapan atau kandungan air tinggi akan dipresentasikan dengan rona yang lebih gelap. Tampilan jenis tutupan rawa pada citra menyerupai badan air yaitu hitam kebiruan dengan pola kotak teratur dan terdapat rona hijau di dalamnya. Kenampakan rawa di lapangan dan pada citra disajikan pada Gambar 9.

(a) (b) Gambar 9 Rawa di lapangan (a) rawa pada citra (b) Keterangan:

: Deliniasi rawa Lahan terbangun

Lahan terbangun merupakan seluruh kenampakan lahan yang telah tertutupi bangunan meliputi permukiman, industri, perkantoran, jasa, bangunan pemerintahan, bandara, dan jalan. Pada citra lahan terbangun dapat dikenali dengan mudah. Kelas ini ditandai dengan warna violet dan merah muda keunguan. Pada lokasi-lokasi industri, lahan terbangun memiliki pola bangunan yang jelas karena bangunannya yang relatif besar dan mengelompok, sedangkan untuk

14

permukiman pada citra tidak memiliki pola bangunan yang jelas. Di lapangan lahan terbangun diobservasi dengan menggunakan 2 titik. Kenampakan lahan terbangun berupa permukiman di lapangan dan lahan terbangun berupa permukiman pada citra ditampilkan pada Gambar 10.

(a) (b)

Gambar 10 Lahan terbangun di lapangan (a) lahan terbangun pada citra (b) Badan air

Jenis tutupan lahan badan air dalam wilayah DKI Jakarta terdiri atas sungai, danau, situ, dan waduk. Kotamadya Jakarta Utara memiliki badan air terluas dibandingkan dengan Kotamadya lain di Jakarta, beberapa waduk dan sungai berada pada wilayah Kotamadya ini. Pada citra badan air dicirikan dengan warna hitam kebiruan, hal ini disebabkan pada citra dengan komposit band 543, jenis tutupan lahan badan air akan dipresentasikan dengan rona yang gelap. Gambar 11 menunjukan tampilan badan air di lapangan dan badan air pada citra.

(a) (b)

Gambar 11 Badan air di lapangan (a) badan air pada citra (b) Keterangan:

15 Analisis Separabilitas dan Evaluasi Akurasi

Evaluasi separabilitas dan evaluasi akurasi hasil klasifikasi adalah tahapan yang perlu dilakukan sebelum hasil klasifikasi tutupan dan penggunaan lahan yang valid didapatkan. Menurut Jensen (2005) nilai minimum separabilitas yang diperbolehkan adalah 1700, sedangkan nilai separabilitas di bawah 1700 dapat dikatakan buruk. Nilai separabilitas yang buruk menunjukan kemungkinan pertampalan antar kelas jenis tutupan lahan, atau dengan kata lain terdapat kelas- kelas yang tidak dapat dibedakan nilai spektralnya. Analisis separabilitas citra Landsat ETM+ tahun 2000 menggunakan kombinasi band 543 memiliki nilai keterpisahan yang bernilai sangat baik dan baik. Nilai separabilitas sebagian dari masing-masing kelas mencapai 2000, sedangkan sebagian lagi berada di atas 1900. Jensen (2005) menyatakan bahwa nilai separabilitas di atas 1900, memiliki makna bahwa nilai spektral kelas tersebut dapat dibedakan dengan kelas yang lainnya. Matriks separabilitas citra Landsat tahun 2000 disajikan pada Lampiran 1.

Nilai analisis separabilitas citra Landsat ETM+ tahun 2004 menggunakan kombinasi band 543 memberikan nilai separabilitas dominan yang sangat baik, yaitu bernilai 2000. Separabilitas terendah sebesar 1904.5 berada antara kelas tutupan lahan hutan kota dan rumput karena, warna di antara kedua kelas tersebut relatif serupa. Walaupun demikian, hasil analisis separabilitas ini dapat dikatakan bernilai baik. Matriks separabilitas citra Landsat ETM+ dengan kombinasi band 543 ini ditampilkan pada Lampiran 2.

Hasil analisis separabilitas citra Landsat tahun 2012 menunjukan nilai rata- rata yang sangat baik yaitu 2000. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada kelas dengan nilai spektral yang bertampalan. Terdapat pula nilai separabilitas sebesar 1999.9 yang mencerminkan perbedaan antara kelas hutan kota dan rawa, serta lahan terbangun dan sawah. Nilai-nilai separabilitas tersebut menunjukan bahwa semua kelas jenis tutupan lahan dapat dibedakan dengan baik dan tidak ada kelas tutupan lahan yang nilai spektralnya tidak dapat dibedakan. Matriks separabilitas citra Landsat untuk tahun 2012 disajikan pada Lampiran 3.

Akurasi dianalisis menggunakan matriks kontingensi atau confusion matrix. Berdasarkan matriks ini akurasi dapat diketahui akurasi pengguna dan akurasi produser yang selanjutnya digunakan dalam perhitungan akurasi overall. Matriks kontingensi citra Landsat tahun 2012 disajikan dalam Lampiran 4. Perhitungan akurasi klasifikasi citra tahun 2000 dan 2004 tidak dilakukan karena dalam mengklasifikasi kedua citra tersebut digunakan informasi berdasarkan kunci interpretasi hasil klasifikasi citra tahun 2012. Menurut Jaya (2010) overall akurasi menghasilkan nilai yang over estimate. Nilai akurasi overall citra Landsat ETM+ tahun 2012 adalah 95.1%. Jaya (2010) kembali menyatakan, bahwa akurasi kappa lebih dianjurkan dalam perhitungan akurasi hasil klasifikasi tutupan lahan. secara teoritis nilai akurasi kappa yang mengindikasikan hasil klasifikasi yang baik adalah di atas 85%. Nilai akurasi kappa pada tahun 2012 adalah sebesar 94.4%. Nilai hasil akurasi yang tinggi ini menunjukan bahwa hasil klasifikasi dapat digunakan dengan baik.

16

Klasifikasi Tutupan Lahan pada Citra Landsat ETM+

Citra Landsat ETM+ tahun 2000, 2004 dan 2012 diolah secara digital menggunakan metode klasifikasi terselia atau metode supervised. Klasifikasi citra secara digital akan mengkategorisasi semua piksel ke dalam kelas tutupan lahan atau suatu tema tertentu secara otomatis (Purwadhi 2001). Perbedaan kenampakan klasifikasi tutupan lahan menunjukan perbedaan kombinasi dasar nilai digital piksel pada sifat pantulan dan pancaran spektral yang dimiliki masing-masing jenis tutupan lahan. Hasil klasifikasi citra Landsat ETM+ tahun 2000 disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Peta tutupan lahan tahun 2000 Provinsi DKI Jakarta

Tahun 2003 Scan Line Corrector pada Landsat 7 ETM+ mengalami kerusakan dan mengakibatkan timbulnya stripping pada citra Landsat. Stripping adalah area pada citra yang berbentuk garis dan kehilangan nilai pikselnya, sehingga nilai piksel pada bagian stripping tersebut adalah 0. Stripping pada citra Landsat dapat diperbaiki melalui proses gapfill.

Hasil penelitian Bruce dan Hilbert (2006) menunjukan bahwa perbedaan pada citra Landsat normal dan citra Landsat yang memiliki stripping bersifat minor, sehingga klasifikasi jenis tutupan lahan secara digital dapat dilakukan terhadap citra Landsat tahun 2004 dan 2012. Hasil klasifikasi citra Landsat ETM+ tahun 2004 dan 2012 secara berturut- turut disajikan pada Gambar 13 dan 14.

17

Gambar 13 Peta tutupan lahan tahun 2004 Provinsi DKI Jakarta

Gambar 14 Peta tutupan lahan tahun 2012 Provinsi DKI Jakarta

Hasil klasifikasi digital yang disajikan pada Tabel 2 memperlihatkan penggunaan dan penutupan lahan di DKI Jakarta bahwa pada tahun 2000, 2004 dan 2012 didominasi oleh lahan terbangun sebanyak 58.79%, 68.06% dan 69.91%. Urutan ke-2 dalam dominasi penggunaan dan penutupan lahan ditempati oleh

18

hutan kota. Lahan terbangun menunjukan pola perkembangan yang positif, pola ini ditunjukan oleh peningkatan luasan yang terjadi antara tahun 2000, 2004 dan 2012. Pola sebaliknya terjadi pada jenis tutupan lahan hutan kota yang luasannya berkurang antara tahun 2000, 2004 dan 2012. Gambaran dari penutupan dan penggunaan lahan di DKI Jakarta pada tahun 2000, 2004 dan 2012 disajikan pada Gambar 15.

Tabel 2 Luas tutupan dan penggunaan lahan DKI Jakarta tahun 2000-2012

Kelas tutupan dan penggunaan lahan

Luas tutupan dan penggunaan lahan Landsat ETM+ tahun 2000 Landsat ETM+ tahun 2004 Landsat ETM+ tahun 2012

Hektar % Hektar % Hektar %

Awan 911.00 1.37 911.00 1.37 911.00 1.37 Badan air 477.34 0.71 638.47 0.96 541.86 0.81 Bayangan awan 1109.70 1.67 1109.70 1.67 1109.70 1.67 Lahan terbangun 39026.54 58.79 45179.15 68.06 46404.76 69.91 Rawa 616.76 0.93 455.28 0.68 460.93 0.69 Hutan kota 21769.26 32.79 14222.82 21.42 10939.56 16.48 Rumput 1518.15 2.28 2676.61 4.03 4926.04 7.42 Sawah 948.33 1.43 1184.39 1.78 1083.65 1.63 Total luas 66377.45 100.00 66377.45 100.00 66377.45 100.00

Gambar 15 Tutupan lahan tahun 2000, 2004 dan 2012

Analisis Perubahan Tutupan Lahan

Analisis perubahan tutupan lahan pada tahun 2000-2004, 2004-2012 dan 2000-2012 dihitung menggunakan matrik perubahan tutupan lahan. Matrik ini dapat memberikan informasi luas dan arah dari perubahan suatu tutupan lahan ke tutupan lahan lainnya.

Hasil analisis menunjukan antara tahun 2000 dan 2004 terjadi perubahan tutupan lahan hutan kota menjadi lahan terbangun seluas 8827.3 ha. Perubahan hutan kota menjadi lahan terbangun ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk

19 DKI Jakarta yang semakin meningkat. Selain itu, kedudukannya yang khas sebagai ibukota negara membuat DKI Jakarta mengemban tugas sebagai pusat pemerintahan, pusat kegiatan ekonomi, perdagangan dan jasa, pusat kegiatan sosial dan budaya, dengan sarana terbaik dalam bidang pendidikan, budaya dan kesehatan. Hal ini didukung oleh pernyataan dari Irwan (2005) bahwa pembangunan yang terjadi di DKI Jakarta berjalan beriringan dengan menyusutnya luasan hutan kota dan ruang terbuka hijau.

Hutan kota di DKI Jakarta juga mengalami penurunan fungsi ekologis dengan berubah menjadi rumput pada rentang tahun 2000 hingga 2004, perubahan yang terjadi sebesar 1277.4 ha (Tabel 3). Selain perubahan negatif, terdapat juga perubahan positif terhadap luasan hutan kota melalui kegiatan penghijauan, sebanyak 3135.9 ha lahan terbangun berubah menjadi hutan kota selama tahun selama 4 tahun pengamatan. Sebanyak 61.3 ha badan air mengalami perubahan menjadi lahan terbangun antara tahun 2000 dan 2004, perubahan ini terjadi di Kotamadya Jakarta Utara melalui kegiatan pengerukan badan air oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Perubahan tutupan lahan antara tahun 2000 dan 2004 di DKI Jakarta disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2000-2004 Tahun

2000

2004 Tutupan

Lahan (Ha) 1 2 3 4 5 6 Total

Badan air (1) 416.0 61.3 - - - - 477.3 Lahan terbangun (2) - 35408.2 2.7 3135.9 479.7 - 39026.5 Rawa (3) 60.6 102.5 390.8 54.6 8.2 - 616.7 Hutan kota (4) 158.5 8827.3 61.8 10613.5 1277.4 830.7 21769.2 Rumput (5) 1.4 373.1 - 235.1 784.2 124.4 1518.2 Sawah (6) 1.9 406.7 - 183.3 127.2 229.2 948.9 Total 638.4 45179.1 455.4 14222.8 2676.6 1184.8 64356.8

Luas hutan kota yang terus berkurang dari tahun ke tahun dan pembangunan fisik perkotaan yang semakin pesat menjadikan 2 jenis tutupan lahan ini sebagai highlight of change dari perubahan tutupan lahan di DKI Jakarta. Kekhawatiran terhadap ketidakseimbangan ekosistem timbul ketika pembangunan yang dilaksanakan tidak berpihak pada lingkungan. Irwan (2005) menyatakan bahwa perkembangan kota menyebabkan suhu di kawasan kota naik sekitar 0.4-2.1 °C. Selain itu meningkatnya gas polutan di udara, debu, dan kebisingan juga merupakan bagian dari kerugian yang dihadapi masyarakat karena hilangnya ruang terbuka hijau.

Pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) merupakan tanda dari degradasi kualitas lingkungan yang sedang terjadi di DKI Jakarta. Permasalahan lingkungan ini dapat diminimalisir dengan menerapkan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Pengembangan ruang terbuka hijau sebagai bentuk mitigasi dan penyelesaian masalah lingkungan sudah banyak diterapkan di beberapa Provinsi di Indonesia, termasuk Provinsi DKI Jakarta. Menurut Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012, ruang terbuka hijau yang selanjutnya disingkat RTH adalah area memanjang/jalur

20

dan/mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Berdasarkan definisi tersebut maka jenis tutupan lahan yang termasuk dalam ruang terbuka hijau pada hasil klasifikasi adalah hutan kota, sawah, dan rumput. Peta degradasi ruang terbuka hijau tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16 Peta perubahan ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta tahun 2000-2004

Gambar 16 menunjukan bahwa ruang terbuka hijau dengan jenis tutupan lahan hutan kota mengalami konversi menjadi lahan terbangun dengan luasan terbesar dan menyebar di 5 Kotamadya DKI Jakarta. Ruang terbuka hijau berbentuk rumput di DKI Jakarta yang berada pada lokasi perumahan adalah jenis area berumput yang termudah untuk dikonversi. Berdasarkan kenampakan pada citra tahun 2000, area paling barat dan timur dari Kotamadya Jakarta Utara adalah area yang masih memiliki vegetasi dan memiliki persawahan yang luas, namun seiring berjalannya tahun 2000-2004 area tersebut banyak yang dikonversi menjadi lahan terbangun.

Perubahan jenis tutupan lahan hutan kota menjadi bentuk lahan terbangun dan rumput masih menjadi sorotan pada rentang tahun 2004 hingga 2012. Di samping itu penghijauan juga terus dilakukan, tetapi hal ini tidak sepadan dengan luasan hutan kota yang terkonversi menjadi jenis tutupan lahan lain. Lahan terbangun di Jakarta juga terus meningkat melalui kegiatan pengerukan badan air untuk pembangunan perkotaan di Kotamadya jakarta Utara, hal ini turut mengurangi luasan badan air di Jakarta. Selanjutnya, jenis tutupan lahan rumput dan sawah turut mengalami konversi menjadi lahan terbangun sebanyak 907.2 ha

21 dan 518.5 ha (Tabel 4). Perubahan tutupan lahan antara tahun 2004 dan 2012 di DKI Jakarta disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2004-2012 Tahun

2004

2012 Tutupan

Lahan (Ha) 1 2 3 4 5 6 Total

Badan air (1) 541.9 96.5 - - - - 638.4 Lahan terbangun (2) - 39757.7 3498.3 1519.7 403.5 45179.2 Rawa (3) - 55.1 356.7 31.1 12.4 - 455.3 Hutan kota (4) - 5069.7 98.7 6666.4 2132.9 255.1 14222.8 Rumput (5) - 907.2 5.1 522.5 1093.1 148.7 2676.6 Sawah (6) - 518.5 0.4 221.2 167.9 276.4 1184.4 Total 541.9 46404.8 460.9 10939.6 4926.0 1083.7 64356.8

Selama periode 2004 sampai dengan 2012, sebanyak 518.5 ha tutupan lahan sawah mengalami konversi menjadi lahan terbangun, dan sebanyak 221.2 ha sawah berubah menjadi hutan kota. Gambar 17 menunjukan konversi jenis tutupan lahan rumput menjadi lahan terbangun terjadi di wilayah Jakarta Utara, begitu pun dengan kelas tutupan lahan sawah di Jakarta Utara yang mengalami pengurangan akibat pembangunan fisik kota. Perubahan hutan kota antara tahun 2004 dan 2012 lebih menuju kepada penurunan fungsi, karena sebagian besar hutan kota berubah menjadi tutupan lahan rumput pada rentang waktu tersebut.

Gambar 17 Peta perubaha ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta tahun 2004-2012

22

Pada interval waktu penelitian 12 tahun jenis tutupan lahan rawa, hutan kota, rumput, dan sawah mengalami konversi menjadi lahan terbangun. Hutan kota adalah jenis tutupan lahan dengan luasan terbesar yang terkonversi menjadi lahan terbangun, yaitu seluas 9344.0 ha. (Tabel 5). Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun antara tahun 2000 dan 2012 disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2000-2012 Tahun

2000

2012 Tutupan

Lahan (Ha) 1 2 3 4 5 6 Total

Badan air (1) 319.5 157.8 - - - - 477.3 Lahan terbangun (2) - 35978.9 - 2208.5 597.9 241.2 39026.5 Rawa (3) - 152.5 372.0 74.7 17.5 - 616.7 Hutan kota (4) 222.4 9344.0 85.3 8134.9 3438.9 543.7 21769.2 Rumput (5) - 431.0 2.4 276.1 707.1 101.6 1518.2 Sawah (6) - 340.6 1.2 245.4 164.5 197.2 948.8 Total 541.9 46404.8 460.9 10939.6 4926.0 1083.7 64356.7

Pemerintah DKI Jakarta berusaha untuk menyeimbangkan antara pembangunan dan aspek ekologis melalui kegiatan penghijauan. Hal ini terlihat pada luasan lahan terbangun dan rumput yang berubah menjadi hutan kota selama 2000 sampai dengan 2012. Penghijauan ini belum seimbang dengan pembangunan yang telah dilakukan, karena luas wilayah yang dikonversi menjadi hutan kota lahan belum sebanyak luas wilayah yang dikonversi menjadi perkotaan Kegiatan pembangunan yang kurang melihat aspek ekologis ini terjadi akibat pemberian ijin dalam penggunaan lahan yang tidak melihat aspek ekologis oleh pemerintah, dan lemahnya pengawasan terhadap pemanfaatan lahan. Selain itu, hutan kota yang belum disahkan oleh pemerintah juga memiliki posisi yang rentan untuk dikonversi menjadi penggunaan lahan lain. Peta degradasi ruang terbuka hijau tahun 2000 sampai dengan tahun 2012 disajikan pada Gambar 18.

Gambar 18 menunjukan bahwa perubahan penutupan lahan yang dominan adalah perubahan ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun, perubahan ini tersebar di 5 Kotamadya DKI Jakarta. Pada Kotamadya Jakarta Timur dan Jakarta Selatan terlihat bahwa telah terjadi konversi ruang terbuka hijau berbentuk jalur hijau yang mengalami koversi menjadi lahan terbangun. Perubahan tutupan lahan sawah menjadi lahan terbangun terjadi di 3 Kotamadya DKI Jakarta, yaitu Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur karena di Jakarta, jenis penggunaan lahan sawah memang terkonsentrasi pada 3 area tersebut.

23

Gambar 18 Peta perubahan ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta tahun 2000-2012

Analisis Kesesuaian RTH pada RTRW dan RTH di Lapangan

Luasan ruang terbuka hijau di Provinsi DKI Jakarta yang terus berkurang antara tahun 2000 dan 2012 memberi dampak terhadap naiknya suhu secara global dan perubahan iklim, 2 masalah yang saat ini telah menjadi tantangan global. Tantangan ini membutuhkan aksi adaptasi dan mitigasi yang dituangkan dalam sebuah rencana tata ruang yang berwawasan lingkungan. Peruntukan lahan perlu

Dokumen terkait