• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Lahan Pengamatan

Lahan yang digunakan dalam penelitian ini semuanya merupakan lahan tegalan (lahan kering). Lahan penelitian yang dikelola oleh 5 petani berbeda berada di ketinggian 185 m, 187 m, 196 m, 200 m, dan 206 m dpl. Terdapat 3 lahan yang berada di Desa Bojong, Kecamatan Kemang, 1 lahan berada di Desa Bantar Kambing, dan 1 lahan berada di Desa Cindali, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor.

Lahan yang berada di ketinggian 185 m dpl merupakan lahan yang dikelola oleh Pak Gandi yang diamati pada musim hujan. Lahan ini terletak di Desa Bojong, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, dan jumlah petakan yang diamati sebanyak 1 petakan lahan dengan luas 850 m2 dan umur tanaman 5 bulan. Lahan yang berada di ketinggian 187 m dpl berada di Desa Cindali, Kecamatan Rancabungur, dikelola oleh Pak Enoh dan diamati pada musim hujan. Lahan ini hanya terdapat 1 petakan lahan dengan luas 1600 m2 dan umur tanaman 6 bulan.

Lahan yang dikelola oleh Pak Idun berada di ketinggian 196 m dpl. Lahan ini diamati pada musim kemarau dan musim hujan, dan hanya memiliki satu petakan lahan dengan luas 2000 m2. Lahan ini juga berada di Desa Bojong, Kecamatan Kemang. Lahan yang berada di ketinggian 200 m dpl berada di Desa Bojong dikelola oleh Pak Khairul Bahri. Terdapat 3 petakan lahan yang berada di lahan ini dengan umur tanaman yang berbeda yang diamati pada musim kemarau dengan masing-masing luas lahan 500 m2 dengan umur 2.5 bulan, 600 m2 dengan umur 3 bulan, dan 1000 m2 dengan umur 4 bulan. Lahan kelima yaitu lahan yang dikelola oleh Pak Hasan terdapat pada ketinggian 206 m dpl, berada di Desa Bantar Kambing, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor. lahan ini diamati pada musim kemarau, dan terdapat 4 petakan lahan dengan umur tanaman yang sama yaitu 2 bulan, dan luas lahan 3000 m2 dengan masing-masing petakan lahan seluas 750 m2.

Lahan yang dikelola oleh Pak Gandi sebelumnya ditanami tanaman kangkung dan bayam. Pupuk yang digunakan petani adalah pupuk kandang (kotoran ayam petelur/kambing) dan pupuk pabrikan yaitu Urea, Phonska, NPK, dan TSP. Pupuk kandang diberikan di awal sebanyak sekitar 20 karung (ukuran 50 kg/karung) untuk setiap 850 m2 atau sekitar 12 ton/ha, sedangkan pupuk pabrikan digunakan sebanyak 2 kali pemupukan sebanyak 1.5 kuintal untuk 1 petakan lahanatau sekitar 2 ton/ha. Pestisida yang digunakan adalah insektisida dengan bahan aktif imidakloprid (Confidor), fungisida mancozeb (Dithane 45), insektisida metomil (Metindo), dan pupuk organik cair Cindoya. Keempat bahan tersebut dicampur dan tanaman terong disemprot setiap setelah panen sekitar 5-10 hari sekali. Petakan lahan diberi kapur sebanyak 2 karung untuk setiap lahan atau sekitar 2 ton/ha. Pengendalian gulma dilakukan dengan cara manual, gulma jarang disemprot dengan herbisida karena petani takut tanaman terong ikut mati akibat tersemprot herbisida.

Lahan yang dikelola oleh Pak Enoh sebelumnya ditanami pepaya, bengkuang, dan jagung. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang (kotoran ayam petelur) dan pupuk pabrikan (Urea dan TS). Pemupukan dilakukan

7 sebanyak 2 kali, yaitu di awal penanaman dengan dosis pupuk kandang 35 ton/ha dan pupuk pabrikan sebanyak 1 kuintal/ ha, dan pada saat pemetikan buah pertama dengan dosis pupuk pabrikan masing-masing sebanyak 2 kuintal/ha. Pestisida yang digunakan adalah Confidor cair yang dicampur dengan pupuk organik cair Cindoya untuk mengendalikan kutu daun. Lahan ini terdapat banyak gulma karena tidak disiangi. Untuk mengendalikan gulma, petani biasanya menggunakan herbisida dengan bahan aktif glifosat (Round Up). Penanaman benih terong dilakukan langsung di lahan pertanaman tanpa disemai terlebih dahulu. Menurut petani, penanaman biji terong tanpa persemaian dapat mengurangi serangan patogen penyebab busuk buah terong.

Lahan yang dikelola oleh Pak Idun sebelumnya ditanami kangkung. Penanaman terong dilakukan setelah lahan ditanami kangkung, dan setelah panen kangkung, lahan kemudian diberi pupuk Phonska, TSP, dan Mutiara. Menurut petani, hal ini dilakukan agar perakaran terong menjadi lebih kuat dan tidak mudah rebah sehingga tidak dibutuhkan ajir untuk menopang pertumbuhan tanaman terong. Pestisida yang digunakan oleh petani untuk mengendalikan kutu-kutuan di pertanaman adalah Confidor cair yang dicampur dengan ZPT (Atonik).

Lahan yang dikelola oleh Pak Khairul Bahri ditumpangsarikan dengan kangkung, sama seperti lahan yang dikelola oleh Pak Idun. Pupuk yang digunakan petani adalah pupuk kandang (kotoran ayam) dan pupuk pabrikan yaitu Phonska, dan TSP sedangkan pestisida yang digunakan adalah Confidor cair yang dicampur Cindoya untuk mengendalikan kutu daun.

Lahan yang dikelola oleh Pak Hasan sebelumnya ditanami kacang panjang, padi, bengkuang, pare dan timun. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang, Urea, NPK, TSP, dan Phonska dengan jumlah sekitar 25 kg untuk sekali pemupukan atau sekitar 333 kg/ha. Pemupukan dilakukan saat terong berumur 0.5 bulan. Pestisida yang digunakan adalah insektisida Metindo yang dicampur dengan insekitisida deltamethrin (Decis) dan ZPT (Atonik) untuk mengendalikan kutu daun. Dosis yang digunakan tidak diketahui, namun petani menggunakan 1 botol besar ukuran 5 liter insektisida untuk 6 kali pakai, atau sekitar 17 liter/ha dan sekali pemakaian sekitar 3 liter/ha. Aplikasi dilakukan setiap 2 kali panen atau setiap 10 hari sekali. Di lahan ini tidak ditemukan gulma karena lahan selalu dibersihkan dari gulma dengan cara manual.

Semua petani mendapatkan benih terong dari tanaman sebelumnya. Cara membuat benih terong adalah dengan membiarkan tanaman terong terakhir sampai benar-benar matang, kemudian bijinya diambil, dicuci dan dikeringkan. Setelah kering, benih tersebut digunakan untuk menanam terong musim berikutnya.

Gejala Penyakit Busuk Buah di Lahan

Salah satu penyakit penting pada tanaman terong adalah busuk buah yang disebabkan oleh cendawan P. vexans dan C. melongenae. Menurut Reddy (2010), hawar Phomopsis menyebabkan gejala berupa bercak pada daun berwarna abu-abu hingga coklat, sirkular, dan berwarna cerah di pusat bercak, lesio pada batang berwarna coklat gelap, lama kelamaan akan menjadi abu-abu di tengahnya, bercak yang membuat permukaan kulit terong tidak rata dan menutupi seluruh permukaan buah, serta seluruh buah akan mengalami mumifikasi jika cendawan masuk ke dalam kaliks karena cendawan tersebut menyebabkan busuk kering.

Sherf dan Macnab (1986) menyatakan bahwa penyakit antraknosa menyebabkan lesio pada buah dengan ukuran mencapai 1.2 cm dan jaringan yang terserang akan menjadi cekung, lama kelamaan buah yang terserang akan mengering dan menghitam, dan bakteri busuk lunak masuk ke jaringan busuk tersebut dan menyebabkan busuk basah pada buah.

Gejala penyakit busuk buah yang terlihat di lahan pengamatan adalah terdapat bercak kecoklatan pada buah serta kulit buah terlihat cekung sehingga permukaan buah tidak rata (Gambar 2).

Gambar 2 Gejala busuk buah di lahan. a. Bercak berwarna coklat b. Permukaan buah tidak rata

Gejala penyakit busuk buah yang ditemukan pada musim kemarau hanya terlihat pada buah yang berada di dekat permukaan tanah (Gambar 3). Hal ini terjadi karena cendawan tersebut merupakan patogen tular benih (seedborne) dan tular tanah (soilborne). Suhu optimal yang dibutuhkan oleh patogen penyebab busuk buah adalah 21 oC - 30 oC dengan kelembaban yang sangat tinggi mendekati 100% (Sherf dan Macnab 1986), sedangkan pada musim kemarau kelembaban udara di lahan lebih rendah sehingga tidak memungkinkan patogen untuk berkembang dengan cepat. Tetapi karena lahan masih tetap dalam kondisi basah akibat disiram oleh petani seminggu sekali, buah yang berada dekat dengan tanah masih terserang. Pemencaran patogen ini yang paling utama adalah dengan percikan air karena memiliki tipe spora basah (gloeospore).

Gambar 3 Buah yang terserang di dekat permukaan tanah

a

9 Serangan pada buah oleh P. vexans menyebabkan buah terong berwarna coklat seperti busuk, namun tidak lembek dan berbau karena tidak terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Gejala awal biasanya muncul bercak seperti antraknosa pada buah, lama kelamaan bercak menyebar menyebabkan kulit buah menjadi berwarna coklat dan tidak rata, serta bagian dalam buah menghitam dan tidak dapat dikonsumsi (Gambar 4A).

Cendawan P. vexans dapat membentuk 2 konidia, yaitu alfa (α) dan beta (β) (Mehrotra dan Aneja 1990). Hasil pengamatan dari jaringan tanaman ditemukan cendawan P. vexans namun hanya membentuk tipe konidia α. Konidia β hanya muncul saat lingkungan sangat mendukung perkembangan penyakit. Berdasarkan keterangan dari petani yang lahannya diamati, lahan tersebut hanya diairi seminggu sekali sehingga kelembaban di pertanaman kurang mendukung perkembangan penyakit.

A B

Gambar 4 Gejala busuk buah. A. Busuk buah akibat hawar Phomopsis B. Busuk buah akibat antraknosa

Selain penyakit busuk buah yang disebabkan oleh P. vexans juga ditemukan gejala penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. melongenae pada buah. Selama pengamatan di lapang gejala antraknosa mengakibatkan buah mengering dan muncul lapisan warna hitam, serta terdapat infeksi sekunder oleh bakteri yang menyebabkan gejala busuk kebasahan (Gambar 4B). Hal ini sesuai dengan gejala yang dideskripsikan oleh Sherf dan Macnab (1986) yang menyatakan bahwa gejala yang muncul akibat serangan antraknosa lama kelamaan buah yang terserang akan mengering dan menghitam, serta bakteri busuk lunak masuk ke jaringan busuk tersebut dan menyebabkan busuk basah pada buah.

Tubuh buah dan konidia cendawan patogen penyebab penyakit busuk buah ditemukan pada jaringan tanaman sakit yang diambil dari lapangan. Tubuh buah cendawan P. vexans (Gambar 5A) berbentuk bulat dan tidak terdapat setae. Konidia cendawan ini berbentuk fusiform (konidia α) dan filiform (konidia β) (Gambar 5C). Cendawan C. melongenae memiliki tubuh buah yang mirip dengan tubuh buah P. vexans namun memiliki setae (Gambar 5B), dan konidia cendawan ini berbentuk seperti bulan sabit (Gambar 5D).

A B

C D

Konidia cendawan C. melongenae umumnya disebarkan melalui cipratan air hujan. Konidia berkecambah dalam waktu 7 jam dalam keadaan basah/lembab. Suhu optimum yang dibutuhkan cendawan untuk menginfeksi tanaman sehat adalah sekitar 28 oC. Selama musim hujan atau kelembaban tinggi, semua stadia buah rentan terhadap infeksi cendawan ini (Nelson 2008).

Tingkat Kejadian dan Keparahan Penyakit Busuk Buah

Kejadian penyakit selama pengamatan pada musim kemarau sangat kecil, dan maksimum hanya mencapai 4.8%. Hal ini karena cendawan patogen tidak dapat berkembang dengan baik saat musim kemarau disebabkan oleh suhu tinggi dan kelembaban rendah, sedangkan cendawan busuk buah ini diketahui berkembang baik pada kelembaban yang lebih tinggi. Pengamatan pada awal musim hujan menunjukkan bahwa kejadian penyakit meningkat hingga 8.5%. Musim kemarau

Pengamatan pada musim kemarau dilakukan pada 8 lahan yang dikelola oleh 3 petani berbeda. Terdapat 4 lahan yang berumur berumur sama (2 bulan). Kejadian penyakit pada kedelapan lahan tersebut berbeda-beda (Gambar 6, Lampiran 3).

a b

Gambar 5 Hasil pengamatan jaringan tanaman sakit. A. Tubuh buah P.vexans B. Tubuh buah C. melongenae C. Konidia P. vexans a. Konidia α b. Konidia β D. Konidia C. melongenae

11

Gambar 6 Kejadian penyakit busuk buah terhadap umur tanaman pada musim kemarau

Secara umum, dalam pengamatan pada musim kemarau, kejadian penyakit semakin tinggi dengan bertambahnya umur tanaman. Reaksi semacam ini sering disebut sebagai resistensi ontogenik (ontogenic resistance). Perubahan kerentanan tanaman terhadap patogen dibagi menjadi 3, yaitu rentan pada awal pertumbuhan sampai akhir masa vegetatif (Pola I), rentan pada saat tanaman dewasa (Pola II), dan rentan pada umur muda kemudian tahan pada masa pertumbuhan kemudian rentan lagi saat tanaman tua (Pola III) (Gambar 7) (Agrios 2005). Patogen penyebab antraknosa umumnya mengikuti pola kerentanan pada saat tanaman semakin tua.

Gambar 7 Perubahan kerentanan tanaman berdasarkan umur

Sumber: Agrios (2005)

Selain pengaruh umur tanaman, cara budidaya diduga juga berpengaruh terhadap kejadian dan keparahan penyakit busuk buah. Pengamatan pada musim

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 1.5 2 2.5 3 4 Kej ad ian Pe n yak it ( % )

kemarau di lahan dengan umur yang paling tua (4 bulan) berada di Desa Bojong Kecamatan Kemang. Lahan tersebut terlihat kurang terawat sehingga gulma tumbuh sangat subur karena tidak dilakukan sanitasi. Banyaknya gulma ini menyebabkan kelembaban di sekitar pertanaman lebih lembab dan terjadi persaingan pengambilan unsur hara sehingga tanaman menjadi lemah yang akhirnya memicu tingginya serangan. Lahan yang berumur 2.5 bulan juga dikelola oleh petani yang sama, namun persentase kejadian penyakit paling rendah dibandingkan lahan lainnya. Hal ini karena lahan tersebut masih baru ditanami terong dan masih dirawat dengan baik. Lahan ini masih berdekatan dengan 2 lahan lain namun pada lahan tersebut tidak terdapat gulma.

Penyakit busuk buah tidak hanya diakibatkan oleh faktor biotik (patogen), namun juga abiotik (lingkungan). Peluang penyakit yang disebabkan oleh kedua faktor penyebab penyakit tersebut pada musim kemarau berbeda di setiap lahan. P. vexans merupakan patogen yang paling dominan yang terdapat pada pertanaman terong, kemudian diikuti oleh C. melongenae. Selain kedua patogen tersebut, busuk buah juga dapat diakibatkan oleh Sunburn atau terbakar matahari yang membuat kulit terong berwarna kecoklatan dan menyebabkan buah tidak dapat terjual. Patogen P. vexans dan C. melongena dapat berada pada satu buah secara bersama-sama (Gambar 8, Lampiran 4).

Gambar 8 Keparahan penyakit busuk buah terong dari 8 lahan berbeda pada musim kemarau. P.vexans C.melongenae P.vexans + C.melongenae Sunburn

Musim hujan

Pengamatan pada awal musim hujan dilakukan pada 2 lahan yang berada di Desa Bojong Kecamatan Kemang, yaitu lahan 1 yang dikelola oleh Pak Enoh dan lahan 2 yang dikelola oleh Pak Gandi dengan kondisi umur tanaman yang berbeda. Tanaman di lahan 1 berumur lebih tua dibandingkan tanaman pada lahan 2. Kejadian penyakit pada kedua lahan berbeda (Gambar 9) dan meningkat (hingga lebih dari 8%) dibandingkan dengan kejadian penyakit pada musim kemarau.

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 45.0 50.0 1 2 3 4 5 6 7 8 Keparahan Pe n yak it (% ) Lahan

13

Gambar 9 Kejadian penyakit pada awal musim hujan. Lahan 1 Lahan 2 Tidak ditemukan penyebab busuk buah oleh Sunburn dan campuran infeksi antara P. vexans dan C. melongenae (Gambar 10, Lampiran 5) di lahan 2 sedangkan busuk buah yang diakibatkan oleh P. vexans jauh lebih tinggi dibandingkan dengan lahan 1.

Gambar 10 Pengamatan awal musim hujan. Lahan 1 Lahan 2

Pengamatan keparahan penyakit busuk buah dilakukan di 3 lahan, yaitu lahan 1 yang dikelola oleh Pak Idun, lahan 2 yang dikelola oleh Pak Enoh, dan lahan 3 yang dikelola oleh Pak Gandi. Penyakit busuk buah akibat C. melongenae lebih dominan pada lahan 2 yang umurnya paling tua (Gambar 11, Lampiran 6) sedangkan penyakit yang diakibatkan P. vexans lebih dominan di lahan 3. Terdapat variasi jumlah proporsi patogen P. vexans dan C. melongenae namun kedua patogen ini ditemukan di semua lahan.

7 7.2 7.4 7.6 7.8 8 8.2 8.4 8.6 8.8 6 5 Kej ad ian Pe n yak it ( % )

Umur Tanaman (bulan)

0 5 10 15 20 25 30 35 40

P. vexans C. melongenae P+C Sunburn

Kej ad ian Pe n yak it ( % )

Gambar 11 Perbandingan penyebab busuk buah pada ketiga lahan.

P. vexans C. melongenae P.vexans + C.melongenae Sunburn

Pada pengamatan minggu ke dua (Gambar 12, Lampiran 7) keparahan penyakit busuk buah akibat patogen menurun, tapi pada minggu ke tiga dan seterusnya keparahan semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan patogen fluktuatif namun secara umum keparahan penyakit semakin meningkat dengan bertambahnya umur tanaman.

Gambar 12 Rataan penyakit busuk buah setiap minggu pengamatan. —— P. vexans —— C.melongenae —— P.vexans + C.melongenae

—— Sunburn

Secara umum keparahan semua penyakit yang diamati pada lahan 2 dengan umur tanaman paling tua lebih tinggi dibandingkan kedua lahan lainnya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13 (Lampiran 8). Secara khusus keparahan penyakit yang disebabkan oleh C. melongenae pada lahan 2 terlihat jauh lebih tinggi dibandingkan lainnya.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 1 2 3 Keparahan Pe n yak it (% ) Lahan 0 2 4 6 8 10 12 14 1 2 3 4 5 Keparahan Pe n yak it (% )

15

Gambar 13 Perbandingan penyakit busuk buah di 3 lahan. ——P. vexans ——

C.melongenae —— P.vexans + C.melongenae —— Sunburn Masing-masing penyebab penyakit busuk buah memiliki perkembangan yang berbeda-beda (Gambar 14, Lampiran 9-12). Secara umum tingkat keparahan semakin meningkat dari waktu ke waktu yang diduga karena tidak adanya sanitasi buah oleh pengelola lahan. Hal ini mengakibatkan sumber inokulum untuk

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 18 19 20 21 22 Keparahan Pe n yak it ( % )

Lahan 1

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 25 26 27 28 29 Ke para han Pe nyak it ( % )

Lahan 2

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 21 22 23 24 25 Keparahan Pe n yak it ( % )

Umur Tanaman (Minggu Setelah Tanam)

Lahan 3

penyakit kelompok biotik, yaitu P. vexans dan C. melongenae akan selalu berada di lahan dan menular melalui percikan air, baik air hujan atau pada saat penyemprotan pestisida.

Keparahan penyakit busuk buah yang diakibatkan oleh C. melongenae paling tinggi ditemukan pada lahan 2 yang umur tanamannya paling tua. Seperti diketahui, C. melongenae biasa menyerang buah yang berumur tua atau buah rentan. Contoh buah yang terdapat campuran antara P. vexans dan C. melongenae hanya terdapat pada pada lahan 2. Kedua patogen ditemukan pada buah yang sama di pertanaman, namun yang ditemukan hanya piknidia saja. Sunburn atau busuk buah akibat terbakar matahari tidak terdapat pada lahan 3 di setiap tanaman contoh yang diamati yang mungkin disebabkan kondisi pertanaman yang rimbun dan rapat, sehingga peluang terpapar matahari lebih kecil.

Gejala pada Batang, Cabang, dan Ranting

Dalam pengamatan saat hujan ditemukan patogen busuk buah juga menyerang bagian batang, cabang, dan ranting di semua lahan contoh. Beberapa mengalami kematian total jika menyerang pada batang utama. Jika serangan terjadi pada sebagian cabang atau batang maka akan menimbulkan gejala mati tajuk (Gambar 15A).

0 5 10 15 20 25 1 2 3 4 5 Keparahan (% )

A

0 5 10 15 20 25 1 2 3 4 5 Keparahan (% )

Pengamatan Minggu ke-

C

0 5 10 15 20 25 1 2 3 4 5

B

0 5 10 15 20 25 1 2 3 4 5

Pengamatan Minggu ke-

D

Gambar 14 Perkembangan penyakit oleh masing-masing penyebab pada beberapa lahan. A. P. vexans B. C. melongenae C. P. vexans + C. melongenae D. Sunburn —— Lahan 1 —— Lahan 2 —— Lahan 3

17

A B

Gambar 15 Batang tanaman yang terserang patogen. A. Tajuk tanaman mati B. Tubuh buah cendawan patogen

Pada bagian cabang atau ranting yang mati akibat serangan patogen ini terlihat adanya tubuh buah cendawan (Gambar 15B). Dari sejumlah tanaman contoh yang bergejala, patogen yang mendominasi adalah C. melongenae, sedangkan lainnya adalah P. vexans atau campuran keduanya (Tabel 2).

Tabel 2 Patogen penyebab kematian batang, cabang, dan ranting tanaman terong (N=20)

Patogen Proporsi (%)

C. melongenae 80

P. vexans 6.5

P. vexans + C. melongenae 13.5

Salah satu usaha petani dalam mengendalikan penyakit busuk buah ini adalah dengan menyemprotkan pestisida kimia. Namun ternyata usaha ini tidak menyelesaikan masalah. Menurut petani, penyemprotan pestisida tidak sepenuhnya mengendalikan penyakit busuk buah ini. Seperti diketahui, salah satu cara penyebaran penyakit busuk buah ini adalah melalui percikan air dan angin (Edgerton dan Moreland 1921 dalam CABI 2012). Bahan pencampur pestisida yang digunakan petani adalah air, sedangkan air menjadi salah satu cara penyebaran patogen. Meskipun pestisida mengandung racun, tidak semua spora cendawan akan mati jika terpapar pestisida, sehingga spora tersebut akan menyebar. Ada beberapa hal yang menyebabkan aplikasi pestisida oleh petani tidak efektif dalam mengendalikan penyakit busuk buah. Para petani cenderung mencampur beberapa pestisida dengan bahan aktif yang berbeda dalam aplikasinya. Umumnya pestisida yang digunakan adalah insektisida berbahan aktif imidakloprit, metomil, dan deltametrin sehingga tidak tepat sasaran jika pestisida tersebut digunakan untuk menyemprot cendawan penyebab penyakit busuk buah. Selain itu, salah satu petani menggunakan fungisida dalam penyemprotan, namun dicampur dengan insektisida lain.

dapat mengendalikan penyakit busuk buah akibat hawar Phomopsis secara efektif yaitu Carbendazim 0.1%, Mancozeb FP 0.3%, Propineb 0.25%, Tebucanozole 0.05%, Copper oxychloride 0.3%, dan Copper hydroxide 0.3%. Penyemprotan Carbendazim 0.1% sebanyak 4 kali dalam interval 10 hari dapat mengurangi kejadian penyakit hawar ranting dan busuk buah sebanyak 74.33% dan 78.10%. Selain dapat mengurangi kejadian penyakit di lahan, perlakuan yang sama juga dapat meningkatkan hasil panen sebanyak 71.12%. Thippeswamy et al. (2006) juga menyatakan pestisida mancozeb, carbendazin, dan captaf sangat efektif dalam menghambat patogen terbawa benih dan meningkatkan perkecambahan benih pada konsentrasi 0.20%. Fungisida Bavistin (carbendazim) dan Vitavax juga dapat digunakan untuk mengendalikan cendawan ini (Islam dan Meah 2011).

Pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada terong menurut Sherf dan Macnab (1986) adalah dengan mengurangi inokulum dengan perlakuan benih seperti pada penyakit hawar phomopsis. Selain itu, inang utama dari C. melongenae (takokak) juga harus dihilangkan, memusnahkan sisa tanaman sakit, dan merotasi tanaman.

Islam dan Meah (2011) menemukan banyak cara yang dapat digunakan untuk mengendalikan hawar phomopsis, diantaranya adalah menggunakan ekstrak bawang putih dan daun allamanda, agens hayati Trichoderma harzianum, dan perlakuan air panas. Ekstrak bawang putih dan daun allamanda dapat menghambat pertumbuhan miselia cendawan sebesar 76%-100%. Penghambatan ini disebabkan adanya unsur antimikroba yang terdapat dalam ekstrak tanaman tersebut. Bawang putih mengandung asam amino alliin yang diubah menjadi allicin saat bawang dihancurkan. Allicin inilah yang beracun bagi mikroorganisme.

Selain dengan penyemprotan pestisida, petani juga berusaha mengendalikan penyakit dengan menanam terong saat menjelang musim kemarau. Upaya ini efektif dalam mengendalikan penyakit karena jumlah air irigasi terbatas dan jarang terjadi hujan sehingga menyebabkan kelembaban lingkungan menurun dan perkembangan spora cendawan patogen tidak terjadi dengan baik. Selain itu terbatasnya air pada musim kemarau menyebabkan penyebaran spora terhambat.

Cara yang efektif dalam pengendalian penyakit busuk buah adalah dengan cara sanitasi lahan Reddy (2010). Namun para petani di lapang tidak melakukan sanitasi lahan dengan baik. Buah-buah terong yang sakit tidak dibuang atau dimusnahkan, namun hanya dikumpulkan di pinggiran lahan. Hal ini mengakibatkan terkumpulnya inokulum cendawan yang dapat menyebabkan infeksi kembali.

19

PENUTUP

Simpulan

Patogen penyebab busuk buah yang dominan pada terong di pertanaman adalah Phomopsis vexans dan Colletotrichum melongenae. Terdapat campuran infeksi antara kedua patogen tersebut dalam 1 buah yang terserang. Selain itu, busuk buah juga dapat terjadi akibat terbakar matahari. Persentase kejadian penyakit busuk buah pada musim kemarau paling tinggi mencapai 4.8%, sedangkan pada awal musim hujan mencapai 8.5%. Keparahan penyakit busuk buah akibat P. vexans pada musim hujan sebesar 15.3% di akhir pengamatan pada lahan 3. Sedangkan persentase keparahan penyakit akibat C. melongenae yang paling tinggi terdapat pada lahan 2 yaitu sebesar 23.7%. Tidak dilakukannya sanitasi oleh petani dan penggunaan pestisida yang tidak tepat sasaran diduga menyebabkan penyakit ini selalu ada di lahan dan terus berkembang dengan

Dokumen terkait