• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pewilayahan Hujan Provinsi Sulawesi Selatan Karakteristik pola hujan wilayah

Berdasarkan hasil pengolahan data curah hujan bulanan dari 142 stasiun hujan, wilayah Sulawesi Selatan memiliki tiga (3) pola hujan (Tabel 6) yaitu : (a) Pola Equatorial yang berhubungan dengan pergerakan zona konvergensi utara selatan mengikuti pergerakan matahari, yang dicirikan oleh dua kali maksimum curah hujan bulanan dalam setahun (pola bimodal), (b) Pola Monsunal yang dipengaruhi adanya angin darat atau angin laut dalam skala yang sangat luas, dicirikan oleh adanya perbedaan yang jelas antara periode musim kemarau dan musim hujan dalam setahun (pola tunggal), (c) Pola lokal yang dipengaruhi oleh keadaan dan kondisi setempat, sehingga polanya tidak jelas.

Tabel 6. Jumlah Curah Hujan, Tipe Iklim dan Pola Hujan di Sulawesi Selatan

Curah hujan (mm/tahun)

Tipe

Iklim Pola Hujan

Wilayah Hujan

Kabupaten Kecamatan

<1000 Sangat Kering

Monsunal Jeneponto Bontoramban Binamu

Lokal - -

Equatorial Sinjai Sinjai Timur

1000-2000 Kering Monsunal Jeneponto

Gowa

Takalar

- Binamu, Batang, Bangkalan Barat, Kelara

- Bontonompo, Somba Opu, Pallangga, Bringbulu, Bontonompo

- Mangara Bombang,

Polobangkeng Selatan, Galesong Selatan Lokal Pinrang Enrekang Sidrap Sopeng Wajo - Mattirosompe, Duampanua - Enrekang, Baraka, Maiwa - Tellulimpoe, Watang Sidenreng,

Panca Rijang, Watang Pulu, Duapitue, Pitu Riase

- Mario Riawa, Lili Riaja, Lili Rilau, Donri-Donri

- Tana Sitolo

Equatorial Bulukumba

Sinjai Bone

- Gantarang, Kindang, Ujung Bulu - Sinjai Selatan

- Ajangale, Libureng, Amali, Ulaweng, Ponre, Bengo,

Curah hujan (mm/tahun)

Tipe

Iklim Pola Hujan

Wilayah Hujan

Kabupaten Kecamatan

- Lappariaja, Barebo, Dua Boccoe, Tellu Limpoe, Kajuara,

Salomekko, Kahu, Tellu Siattinge, Cenrana, Tanete Riatang Timur dan Barat - Ponrang, Bua, Malangke

2000-3000 Sedang Monsunal Takalar

Gowa

Maros Barru

- Polobangkeng Utara dan Selatan - Bontonompo, Bajeng, Bajeng

Barat, Parangloe, Pallangga, Tinggimoncong, Bontomarannu - Camba, Maros Utara, Simbang,

Maros Baru

- Mallusetasi, Soppeng Riaja, Barru, Lokal Pinrang Enrekang Sopeng - Batulappa - Maiwa - Lalabata Equatorial Bulukumba Sinjai Bone Luwu - Rilau Ale

- Sinjai Utara, Bullupoddo, Sinjai Barat, Sinjai Tengah

- Pallaka, Awang Pone, Libureng, Mare, Barebbo, Tanete Riatang Barat, Cina, Kahu, Sibulue, Lamuru, Tonra, Bontocani,

Bone-bone

- Baebunta, Bassesang Tempe, Mangkutana, Sukamaju, Walenrang Utara, Larompong, Suli, Bajo

3000-4000 Basah Monsunal Gowa

Maros Barru

- Bungaya, Bontolempangan, Pattallasang

- Bantimurung, Lau, Mandai, Tompo Bulu

- Barru, Tanete Riaja, Mallusetasi

Lokal Pinrang Sidrap - Patampanua - Sidenreng Rappang Equatorial Sinjai Luwu Bulukumba - Sinjai Tengah

- Lamasi, Wotu, Bajo Barat, Suli Barat, Latimojong

- Bulukumba

>4000 Sangat Basah

Monsunal Gowa Parangloe, Parigi

Lokal Sidrap Pitu Riase

Wilayah dengan curah hujan tahunan kurang dari 1000 mm/tahun masuk kategori tipe iklim sangat kering dan pola hujan monsunal terdapat di Kabupaten Jeneponto yaitu Kecamatan Bontoramba dan Binamu. Pola hujan equatorial terdapat di Kabupaten Sinjai yaitu kecamatan Sinjai Timur.

Wilayah yang bertipe iklim kering dengan curah hujan 1000–2000 mm/tahun dan pola hujan monsunal terdapat di Kabupaten Jeneponto, Gowa dan Takalar. Wilayah dengan pola hujan lokal terdapat di Kabupaten Pinrang (Kecamatan Mattirosompe dan Duampana), Enrekang (Kecamatan Enrekang, Baraka dan Maiwa), Sidrap, Soppeng dan Wajo (Kecamatan Tana Sitolo). Wilayah dengan pola hujan equatorial terdapat di Kabupaten Bulukumba (Kecamatan Gantarang, Kindang, Ujung Bulu), Sinjai (Kecamatan Sinjai Selatan), Bone, dan Luwu (Kecamatan Ponrang, Bua, Malangke).

Wilayah yang bertipe iklim sedang dengan curah hujan 2000–3000 mm/tahun dan pola hujan monsunal terdapat di Kabupaten Takalar (Kecamatan Polobangkeng Utara dan Selatan), Gowa, Maros, dan Barru (Kecamatan Mallusetasi, Soppeng Riaja dan Barru). Wilayah dengan pola hujan lokal terdapat di Kabupaten Pinrang (Kecamatan Battulappa), Enrekang (Kecamatan Maiwa), dan Soppeng (Kecamatan Lalabata). Wilayah dengan pola hujan equatorial terdapat di Kabupaten Bulukumba (Kecamatan Rilau Ale), Sinjai, Bone, dan Luwu.

Wilayah yang bertipe iklim basah dengan curah hujan 3000–4000 mm/tahun dan pola hujan monsunal terdapat di Kabupaten Gowa (Kecamatan Pattallassang, Bungaya, Bontolempangan), Maros, dan Barru (Kecamatan Barru, Tanete Riaja, Mallusetasi). Wilayah dengan pola hujan lokal terdapat di Kabupaten Pinrang (Kecamatan Patampanua), dan Sidrap. Wilayah dengan pola hujan equatorial terdapat di Kabupaten Bulukumba, Sinjai, dan Luwu.

Wilayah yang bertipe iklim sangat basah dengan curah hujan lebih dari 4000 mm/tahun dan pola hujan monsunal terdapat di Kabupaten Gowa yaitu Kecamatan Parangloe dan Parigi. Wilayah dengan pola hujan lokal terdapat di Kabupaten Sidrap yaitu Kecamatan Pitu Riase.

Berdasarkan Tabel 6 diketahui Kabupaten Pinrang sebagai salah satu sentra produksi kakao memiliki tiga tipe iklim yaitu kering, sedang dan basah

dengan curah hujan tahunan antara 1000–4000 mm/tahun dengan pola hujannya adalah lokal. Selain Kabupaten Pinrang, Kabupaten lain yang memiliki pola hujan yang sama adalah Kabupaten Soppeng dengan tipe iklim kering dan sedang, curah hujan tahunan antara 1000–3000 mm/tahun. Kabupaten lain yang merupakan sentra produksi kakao adalah Luwu dan Bone, kedua kabupaten ini memiliki pola hujan yang sama yaitu; equatorial. Tipe iklim dari Kabupaten Bone dan Luwu juga sama yaitu kering dan sedang.

Analisis pewilayahan hujan dengan tiga metode

Gambar 8 menyajikan distribusi curah hujan tahunan dari 142 stasiun iklim di Sulawesi Selatan. Sebagian besar wilayah memiliki tipe iklim kering, sedang dan basah dengan jumlah curah hujan 1000–4000 mm/tahun. Berdasarkan informasi data curah hujan tahunan dan koordinat stasiun hujan selanjutnya dibuat pewilayahan hujan dengan Sistem Informasi Geografi.

Gambar 8. Distribusi Curah Hujan Tahunan pada 142 Stasiun Hujan di Sulawesi Selatan (sumber data; Balitklimat dan BMKG)

Distribusi Curah Hujan Tahunan dari 142 Stasiun Hujan Di Sulawesi Selatan 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 1 11 21 31 41 51 61 71 81 91 101 111 121 131 141 Stasiun Hujan Curah Huja n Ta huna n (mm ) Curah Hujan

Inverse Distance Weighting (IDW)

Hasil pewilayahan hujan dengan metode IDW disajikan pada Gambar 9. Jumlah curah hujan berkisar antara 623–5690 mm/tahun. Jumlah ini hampir sama dengan curah hujan hasil observasi dari stasiun-stasiun hujan yaitu 615–5690 mm/tahun. Wilayah dengan curah hujan yang cukup tinggi tersebar di bagian selatan dan bagian tengah sedangkan wilayah dengan curah hujan rendah terdistribusi di bagian barat laut Sulawesi Selatan.

Meskipun curah hujan dengan metode IDW mendekati nilai curah hujan observasi namun metode ini memiliki keterbatasan yaitu hanya memperhatikan jarak saja dan belum memperhatikan efek pengelompokan data, sehingga data dengan jarak yang sama namun mempunyai pola sebaran yang berbeda masih akan memberikan hasil yang sama. Artinya metode ini belum memberikan korelasi ruang antara titik data dengan tidak data yang lainnya.

Gambar 9. Hasil Pewilayahan Hujan Metode IDW

Metode Natural Neighbor (NN)

Hasil pewilayahan hujan dengan metode NN disajikan pada Gambar 10. Jumlah curah hujan berkisar antara 680–5630 mm/tahun. Hampir sama dengan

metode IDW metode NN juga memiliki kisaran curah hujan hampir sama dengan curah hujan hasil observasi dari stasiun-stasiun hujan. Prinsip menghitung nilai bobot metode IDW merupakan fungsi jarak antar titik sehingga mampu menginterpolasi sampai jarak terjauh berbeda dengan metode NN dimana nilai bobot merupakan fungsi dari luas poligon dari titik yang terdekat saja sehingga ada luasan tertentu yang tidak dapat dihitung nilai curah hujannya seperti sebagian Kabupaten Luwu Utara, Enrekang dan Bulukumba.

Gambar 10. Hasil Pewilayahan Hujan Metode NN

Metode Ordinary Kriging (OK)

Hasil pewilayahan hujan dengan metode OK disajikan pada Gambar 11. Jumlah curah hujan berkisar antara 1160–4375 mm/tahun. Kisarannya berbeda dengan curah hujan hasil observasi dari stasiun-stasiun hujan dimana crah hujan minimumnya lebih tinggi 500 mm dan curah hujan maksimumnya lebih rendah 1300 mm. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh pemilihan model semivariogram dan jumlah titik yang digunakan dalam interpolasi masih kurang dimana idealnya adalah 150 titik, dengan jarak antara titik minimum 1100 meter.

Gambar 11. Hasil Pewilayahan Hujan Metode OK

Tabel 7 menyajikan deskripsi statistik 142 pasang data curah hujan hasil Observasi, Metode IDW, NN dan OK. Hasil pewilayahan hujan dengan metode IDW memiliki nilai rataan, minimum dan maksimum yang hampir sama dengan curah hujan observasi. Curah hujan minimum yang dihasilkan dari metode OK adalah 1165.4 mm/tahun hasil ini berbeda jauh dari data observasi; 616.0 mm/tahun. Tabel hasil pewilayahan hujan dari 142 pasang data curah hujan Observasi, IDW, NN dan OK dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 7. Deskripsi Statistik 142 Pasang Data Curah Hujan Obs., IDW, NN, OK Variabel Jumlah Rataan Str. Deviasi Minimum Median Maksimum

CH Obs. 142 2250.4 837.1 616 2090 5699

CH IDW 142 2250.7 835.3 623 2090 5687

CH NN 142 2252.4 824.2 707 2092 5633

CH OK 142 2273.4 588.8 1165 2087 4365

Untuk mengetahui metode terbaik maka dihitung mean square error dari ketiga metode dengan menggunakan 142 data curah hujan (Tabel 8). Dari ketiga metode yang dianalisi IDW memberikan hasil MSE yang paling kecil (10,2),

diikuti NN dengan nilai MSE 1516,43 dan yang tertinggi adalah OK dengan nilai MSE; 107122,71. Metode dengan MSE yang mendekati 0 adalah metode terbaik maka pada studi pewilayah hujan di Sulawesi Selatan ini, metode yang terbaik adalah IDW.

Tabel 8. Nilai Mean Square Error dari Metode IDW, OK dan NN Model Jumlah data (n) SUM(obs-model)^2 Mean Square Error

IDW 142 1448.07 10.20

OK 142 15211425.08 107122.71

NN 142 215333.76 1516.43

Analisis Tingkat Produksi Kakao Berdasarkan Pewilayahan Hujan

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya Sulawesi Selatan memiliki tiga pola hujan yaitu equatorial, lokal dan monsunal. Dari informasi hasil perkebunan kakao di setiap Kabupaten (sumber BPS) dan pola hujan yang ada di Sulawesi Selatan ada kecenderungan untuk wilayah dengan pola monsunal produksi kakao relatif lebih rendah (rata-rata 0.3 ton/ha/tahun) dibandingkan untuk wilayah dengan pola hujan lokal dan equatorial yang rata-rata produksi kakaonya mencapai 0.7 ton/ha/tahun (Gambar 12).

Gambar 12. Produksi Kakao dan Pola Hujan di Sulawesi Selatan.

(Sumber Data : BPS dan BMG)

Keterangan : (0,7 dan 0,3) : Produkasi kakao rata-rata. Produksi Kakao di Sulawesi Selatan berdasarkan

kabupaten dan pola hujan

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 B ul ukum ba Si n ja i B one Lu w u Ta to r L u wu Ut a ra Lu w u Ti m u r S oppe ng Wa jo Si d ra p Pi n ra n g E nr e ka ng B an taen g Je ne pont o Ta k a la r Go w a Ma ro s P a ngke p Bar ru Stasiun P rod uks i K a ka o ( ton /ha /t a hu n Equatorial (0.7) Lokal (0.7) M ons oon (0.3)

Gambar 13 menyajikan hasil klasifikasi tinggat produksi kakao per kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan. Klasifikasi di bagi menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang dan tinggi. Gambar 14 menyajikan pewilayahan hujan dengan metode IDW berdasarkan kriteria curah hujan untuk kesesuaian lahan tanaman kakao. Wilayah hujan dibagi empat (4) kelas, yaitu (1) sangat sesuai (S1) dengan curah hujan 1500 – 2500 mm/tahun. (2) cukup sesuai (S2) dengan curah hujan 2500 – 3000 mm/tahun. (3) marginal sesuai (S3) dengan curah hujan 1250 – 1500 dan 3000 – 4000 mm/tahun. (4) tidak sesuai (N) dengan curah hujan < 1250 dan > 4000 mm/tahun. Gambar 15 menyajikan pola hujan wilayah di Sulawesi Selatan yang terdiri dari tiga pola yaitu monsunal, equatorial dan lokal.

Gambar 14. Hasil Pewilayahan Hujan Metode IDW Berdasarkan Kriteria Curah Hujan untuk Kelas Kesesuaian Lahan Komoditas Kakao di Sulawesi Selatan

Berdasarkan Gambar 13, 14 dan 15, yang dirangkum dalam Table 9. terlihat wilayah yang memiliki tingkat produksi rendah seperti Kabupaten Jeneponto, Maros, Pangkep dan Gowa memiliki kelas kesesuaian lahan S3 (marginal sesuai) dan N (tidak sesuai). Tingkat produksi rendah di empat kabupaten tersebut dapat disebabkan oleh tidak terdistribusinya curah hujan secara merata sepanjang tahun karena pola hujan wilayahnya adalah monsunal yang memiliki bulan kering >3 bulan.

Tabel 9. Klasifikasi Tingkat Produksi, Kriteria Curah Hujan untuk Kesesuaian Lahan dan Pola Hujan di Sulawesi Selatan.

Kabupaten Klasifikasi Tingkat Produksi

Kriteria Curah Hujan

untuk Kesesuain Lahan Pola Hujan

Bantaeng Rendah S1 Monsoon

Jeneponto Rendah S3 Monsoon

Gowa Rendah N Monsoon

Maros Rendah S3 Monsoon

Pangkep Rendah S3 Monsoon

Barru Rendah S2 Monsoon

Bulukumba Sedang S1 Equator

Sinjai Sedang S1 Equator

Bone Sedang S1 Equator

Luwu Sedang S1 Equator

Tator Sedang S1 Equator

Luwu timur Sedang S2 Equator

Wajo Sedang S1 Lokal

Sidrap Sedang S1 Lokal

Enrekang Sedang S1 Lokal

Takalar Sedang S1 Monsoon

Luwu Utara Tinggi S1 Lokal

Soppeng Tinggi S1 Lokal

Pinrang Tinggi S1 Lokal

Keterangan : S1 = sangat sesuai, S2 = cukup sesuai, S3 = marginal sesuai, N = tidak sesuai

Tingkat produksi di Kabupaten Bantaeng dan Buru adalah rendah sedangkan kriteria curah hujan kelas kesesuaian lahannya S1 (sangat sesuai) dan S2 (cukup sesuai). Artinya selain parameter curah hujan perlu dilihat parameter lain yang mempengaruhi kesesuaian lahan tanaman kakao seperti suhu dan lereng. Kabupaten Bantaeng mempunyai wilayah dengan ketinggian tempat 0-1000 m dari permukaan laut. Wilayah dengan ketinggian antara 100-500 m dari permukaan laut merupakan wilayah yang terluas atau 29,6 % dari luas wilayah

seluruhnya, dan terkecil adalah wilayah dengan ketinggian 0-25 m atau hanya 10,3 % dari luas wilayah (Sumber Pemda Kabupaten Bantaeng, 2010). Karena sebagian besar wilayahnya berada pada ketinggian >100 m maka parameter suhu yang berkaitan dengan ketinggian akan mempengaruhi tingkat produksi kakao. Selain itu 42,64 % wilayah Kabupaten Bantaeng memiliki lereng 2-15 % (16,877 hektar), sedangkan wilayah dengan lereng 0-2 persen hanya seluas 5.932 hektar atau 14,99 persen dari luas wilayah. Berdasarkan table 4 kondisi lereng di Kabupaten Bantaeng dapat menyebabkan bahaya erosi rendah sampai sedang. Kondisi lereng dan bahaya erosi akan mempengaruhi tingkat produksi kakao.

Kabupaten Buru memiliki kondisi wilayah yang hampir sama dengan Kabupaten Bantaeng. Berdasarkan data Badan Pertanahan Kabupaten Barru, wilayah dengan ketinggian antara 100-500 m dari permukaan laut merupakan wilayah yang terluas atau 44,93 % dari luas wilayah seluruhnya. Keadaan wilayah berdasarkan kelerengan, Kabupaten Burru memiliki lereng 15-40 % seluas 52951 hektar atau 45,08 % dari luas wilayah seluruhnya (Lampiran 4). Berdasarkan kondisi wilayah ini maka parameter suhu dan lereng akan lebih mempengaruhi tingkat produksi kakao selain karakteristik curah hujan.

Wilayah dengan produksi tinggi seperti Kabupaten Pinrang, Soppeng, dan Luwu Utara memiliki kelas kesesuaian lahan S1. Pola hujan di tiga kabupaten tersebut adalah lokal dimana curah hujannya terdistribusi secara merata sepanjang tahun dengan besaran yang sesuai dengan kebutuhan tanaman kakao yaitu 1500– 2500 mm/tahun.

Kabupaten Bulukumba, Sinjai, Bone, Tanah Toraja, Luwu Timur, Wajo, Sidrap, Enrekang dan Takalar memiliki kriteria curah hujan untuk kesesuaian lahan S1 (sangat sesuai) tetapi hasil produksi kakao di wilayah tersebut masuk kategori sedang. Tingkat produksi sedang di kabupaten-kabupaten tersebut dapat disebabkan oleh tidak terdistribusinya curah hujan secara merata sepanjang tahun karena pola hujan wilayahnya adalah monsunal dan equatorial yang memiliki bulan kering >3 bulan. Jadi meskipun jumlah curah hujan tahunannya sudah mencukupi kebutuhan tanaman akan tetapi perlu dilihat apakah distribusinya merata sepanjang tahun seperti pada pola lokal.

Untuk melihat kaitan antara tingkat produksi dan kriteria curah hujan selanjutnya dilakukan uji statistik (uji F) dengan menggunakan informasi Tabel 9. Hasil analisis statistik disajikan dalam bentuk tabel Anova (Tabel 10a dan b).

Tabel 10. Tabel Anova : Curah Hujan Mempengaruhi Tingkat Produksi Kakao Sumber keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung P Produksi 2 10,398 5,199 13,35 0,000 Galat 16 6,233 0,390 Total 18 16,632 Ftabel : F0,05(2,18) = 3,55 S = 0,6242 R-Sq = 62,52% R-Sq(adj) = 57,84%

Berdasarkan Table 10, F hitung produksi > F tabel artinya curah hujan mempengaruhi tingkat produksi. Koefisien determinasi (R2) untuk curah hujan mempengaruhi tingkat produksi adalah 62,52.

Selanjutnya dianalisis tingkat produksi kakao berdasarkan pewilayahan pola hujan pada setiap kabupaten sentra produksi kakao tertinggi di Sulawesi Selatan yaitu; Bone, Luwu, Pinrang, dan Soppeng. Bone dan Luwu adalah kabupaten dengan pola hujan equatorial sedangkan Pinrang dan Soppeng adalah Kabupaten yang memiliki pola hujan lokal. Wilayah dengan pola hujan monsunal yang memiliki hasil produksi kakao rendah tidak dianalisis.

Kabupaten Bone dengan pola hujan equatorial dan curah hujan 1082–3227 mm/tahun memiliki produksi kakao berkisar antara 0,24–1,00 ton/ha/tahun. Sebagai salah satu sentra produksi kakao di Sulawesi Selatan kakao merupakan tanaman perkebunan utama di Kabupeten Bone (27 kecamatan) dengan tingkat produksi yang beragam. Tabel 11. menyajikan tingkat produksi kakao pada setiap kecamatan di Bone. Gambar 16 dan 17 menyajikan hasil pewilayahan klasifikasi tingkat produksi dan pewilayahan hujan berdasarkan kriteria curah hujan untuk kesesuaian lahan tanaman kakao pada setiap kecamatan di Kabupaten Bone.

Gambar 16 menunjukkan wilayah dengan warna merah merupakan kecamatan dengan tingkat produksi kakao rendah yaitu kecamatan Cenrana (2), Tanete Riattang Barat (9), Tellu Limpoe (13), Ponre (15), dan Cina (17) dengan kriteria kesesuaian lahan S1 (Gambar 17). Artinya curah hujan yang mencukupi kebutuhan tanaman belum menjamin produksi kakao yang tinggi, ada faktor lain

yang dapat mempengaruhi tingkat produksi dan perlu dikaji lebih lanjut seperti suhu, kondisi tanah, ketinggian tempat, serangan hama penyakit dan dosis pupuk yang digunakan.

Sebagian besar wilayah di Kabupaten Bone yaitu 21 kecamatan dari 27 kecamatan yang ada (Gambar 16) memiliki tingkat produksi sedang (kuning) dengan kriteria kesesuaian lahan S1 (Gambar 17). Meskipun jumlah curah hujan rata-rata tahunan sudah mencukupi kebutuhan tanaman tetapi penyebaranya tidak merata sepanjang tahun. Pola hujan equatorial dengan 2-3 bulan kering di Kabupaten Bone dapat mempengaruhi produksi kakao menjadi tidak maksimal. Tabel 11. Klasifikasi Tingkat Produksi dan Kriteria Curah Hujan untuk

Kesesuaian Lahan di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Kecamatan Klasifikasi Tingkat

Produksi

Kriteria Curah Hujan untuk Kesesuaian Lahan

Cenrana (2) Rendah S1

Tanete Riattang Barat (9) Rendah S1

Tellu Limpoe (13) Rendah S1/S2

Ponre (15) Rendah S1

Cina (17) Rendah S1

Ajangale (0) Sedang S3/N

Dua Boccoe (1) Sedang S1

Amali (4) Sedang S1/S3

Awangpone (5) Sedang S1

Ulaweng (6) Sedang S1

Palakka (7) Sedang S1

Tanete Riattang Timur (8) Sedang S1/S3/N

Bengo (10) Sedang S1

Lamuru (11) Sedang S1

Tanete Riattang (12) Sedang S1

Barebbo (14) Sedang S1 Sibulue (16) Sedang S1 Lappariaja (18) Sedang S1 Mare (19) Sedang S1 Libureng (20) Sedang S1/S3 Patimpeng (21) Sedang S1 Tonra (22) Sedang S1 Kahu (23) Sedang S1 Salomekko (24) Sedang S1 Bontocani (25) Sedang S1/S2/S3 Kajuara (26) Sedang S1

Tellu Siattinge (3) Tinggi S1

Keterangan : S1 = sangat sesuai, S2 = cukup sesuai, S3 = marginal sesuai, N = tidak sesuai

Gambar 16. Hasil Klasifikasi Tingkat Produksi Kakao di Kabupaten Bone

Pola hujan di Kabupaten Luwu adalah equatorial dengan curah hujan rata-rata pertahun 1057–3590 mm/tahun memiliki produksi kakao berkisar antara 0,25-1,14 ton/ha/tahun. Tabel 12 menyajikan tingkat produksi kakao pada setiap kecamatan di Luwu. Gambar 18 dan 19 menyajikan hasil pewilayahan klasifikasi tingkat produksi dan pewilayahan hujan berdasarkan kriteria curah hujan untuk kesesuaian lahan tanaman kakao di Kabupaten Luwu.

Sama halnya dengan Kabupaten Bone yang memiliki pola hujan Equatorial, sebagian besar wilayah di Kabupaten Luwu yaitu 16 kecamatan dari 21 kecamatan yang ada (Gambar 18) memiliki tingkat produksi sedang (kuning) dengan kriteria kesesuaian lahan S1 (Gambar 19). Tingkat produksi di Kabupaten Ponrang dan Latimojong tetap tinggi meskipun kriteria curah hujan untuk kesesuaian lahannya adalah S3 dan N. Kondisi ini dipengaruhi oleh faktor lain seperti suhu, kondisi tanah, ketinggian tempat, serangan hama penyakit.

Tabel 12. Klasifikasi Tingkat Produksi dan Kriteria Curah Hujan untuk Kesesuaian Lahan di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.

Kecamatan Klasifikasi Tingkat Produksi

Kriteria Curah Hujan untuk Kesesuaian Lahan

Walenrang Barat (1) Rendah S1/S2

Kamanre (12) Rendah S2/S1

Walenrang Utara (0) Sedang S1/S2

Lamasi (2) Sedang S1/S2

Lamasi Timur (3) Sedang S1/S2

Walenrang (4) Sedang S1/S2

Walenrang Timur (5) Sedang S1/S2

Bassesang Tempe (6) Sedang S1/S2/S3

Bua (7) Sedang S1/S3/N

Bupon (9) Sedang S1/S2

Bajo (11) Sedang S2/S1

Bajo Barat (13) Sedang S2/S3

Belopa Utara (14) Sedang S2

Belopa (16) Sedang S2

Suli Barat (17) Sedang S3

Suli (18) Sedang S2/S3

Larompong (19) Sedang S2/S3

Larompong Selatan (20) Sedang S2

Ponrang (8) Tinggi S1/S3/N

Ponrang Selatan (10) Tinggi S1

Latimojong (15) Tinggi S3

Keterangan : S1 = sangat sesuai, S2 = cukup sesuai, S3 = marginal sesuai, N = tidak sesuai

Gambar 18. Hasil Klasifikasi Tingkat Produksi Kakao di Kabupaten Luwu

Gambar 19. Hasil Pewilayahan Hujan Metode IDW di Kabupaten Luwu Kabupaten Pinrang dengan pola hujan lokal dan curah hujan 1476–3282 mm/tahun memiliki produksi kakao berkisar antara 0,8–1,2 ton/ha/tahun. Tabel 13 menyajikan tingkat produksi kakao pada setiap kecamatan di Luwu. Gambar 20 dan 21 menyajikan hasil pewilayahan klasifikasi tingkat produksi dan pewilayahan hujan berdasarkan kriteria curah hujan untuk kesesuaian lahan tanaman kakao pada setiap kecamatan di Kabupaten Pinrang.

Tabel 13. Klasifikasi Tingkat Produksi dan Kriteria Curah Hujan untuk Kesesuaian Lahan di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.

Kecamatan Klasifikasi Tingkat Produksi

Kriteria Curah Hujan untuk Kesesuaian Lahan

Batulappa (2) Sedang S1

Cempa (4) Sedang S1

Mattiro Sompe (8) Sedang S1/S3

Mattiro bulu (9) Sedang S1

Paleteang (5) Sedang S1/S2

Lembang (0) Tinggi S1

Duampanua (2) Tinggi S1

Watang Sawito (7) Tinggi S1

Lanrisang (10) Tinggi S1

Suppa (11) Tinggi S1

Tiroang (6) Tinggi S1

Patampanua (3) Tinggi S1/S2/S3

Keterangan : S1 = sangat sesuai, S2 = cukup sesuai, S3 = marginal sesuai, N = tidak sesuai

Gambar 20 menyajikan dari 12 kecamatan di Kabupaten Pinrang tidak terdapat kecamatan dengan tingkat produksi rendah, Tujuh kecamatan memiliki tingkat produksi tinggi dan lima kecamatan dengan tingkat produksi sedang. Jika dilihat pewilayahan curah hujan seperti yang disajikan pada gambar 21, sebagian besar wilayah di Kabupaten Pinrang memiliki kriteria curah hujan S1. Meskipun curah hujan wilayah sudah sangat sesuai ternyata masih ada wilayah dengan tingkat produksi sedang ini artinya tingkat produksi tidak hanya dipengaruhi oleh curah hujan tetapi ada faktor lain yang perlu diperhatikan seperti suhu, kelembaban, kondisi tanah, ketinggian.

Gambar 20. Hasil Klasifikasi Tingkat Produksi Kakao di Kabupaten Pinrang

Gambar 21. Hasil Pewilayahan Hujan Metode IDW di Kabupaten Pinrang Kabupaten Sopeng dengan pola hujan lokal dan curah hujan 1312–3371 mm/tahun memiliki produksi kakao berkisar antara 0.93–1.05 ton/ha/tahun. Sebagai salah satu sentra produksi kakao di Sulawesi Selatan kakao merupakan tanaman perkebunan utama di Kabupeten Sopeng (9 Kecamatan). Tabel 14 menyajikan tingkat produksi kakao pada setiap kecamatan di Soppeng. Gambar 22 dan 23 menyajikan hasil pewilayahan klasifikasi tingkat produksi dan pewilayahan hujan berdasarkan kriteria curah hujan untuk kesesuaian lahan tanaman kakao pada setiap kecamatan di Kabupaten Soppeng.

Tabel 14. Klasifikasi Tingkat Produksi dan Kriteria Curah Hujan untuk Kesesuaian Lahan di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan.

Kecamatan Klasifikasi Tingkat Produksi

Kriteria Curah Hujan untuk Kesesuaian Lahan

Citta (6) Tidak ada data S1

Lalabata (4) Tinggi S1/S2

Lili Rilau (2) Tinggi S3/S1

Maria Riwawo (7) Tinggi S1

Mario Riawa (0) Tinggi S1/S2/S3

Donri-Donri (1) Tinggi S1

Ganra (3) Tinggi S1

Lili Riaja (5) Tinggi S1/S2

Keterangan : S1 = sangat sesuai, S2 = cukup sesuai, S3 = marginal sesuai,

Dokumen terkait