• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat Fisik

Sifat fisik yang diukur dalam penelitian ini adalah nilai pH, Daya Ikat Air, dan nilai keempukan daging. Nilai rataan dan standar deviasi sifat fisik disajikan pada Tabel.2 berikut.

Tabel 2. Nilai Sifat Fisik Daging Dada Ayam

Perlakuan (%) Peubah 0 0.2 0.4 0,6 0,8 pH 6,58±0,21 6,52±0,10 6,65±0,11 6,46±0,13 6,55±0,10 Keempukan 2,10±0,66 2,76±0,91 2,79±0,36 2,44±0,32 2,38±0,46 DMA (% mgH2O) 30,22±2,70B 37,19±1,82A 30,50±1,57B 36,52±2,35A 28,29±3,25B Keterangan: Superscript huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan

sangat nyata (p<0,01)

Nilai pH

Nilai pH daging merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi kualitas daging. Menurut Jones dan Grey (1989), nilai pH daging unggas penelitian relatif lebih tinggi dibandingkan pH unggas pada umumnya yaitu sekitar 5,4-5,8. Bouton et al.,(1957) menambahkan, nilai pH otot postmortem banyak ditentukan oleh laju glikolisis postmortem serta cadangan glikogen otot dan pH daging ultimat, normalnya adalah antara 5,4 -5,8. Perlakuan pemberian pakan tambahan sambiloto pada ternak secara stastistik tidak berpengaruh terhadap nilai pH daging, hal ini diduga karena konsentrasi penambahan tepung daun sambiloto dalam jumlah kecil (0,2%-0,8%), sehingga tidak cukup untuk mempengaruhi perubahan nilai pH secara nyata. Nilai pH daging yang lebih tinggi dari nilai pH ultimat daging (walaupun secara statistik tidak berbeda) diduga karena asam laktat yang terbentuk dari proses glikolisis dinetralisir oleh bahan alkali yang bersifat basa yang dihasilkan oleh zat aktif saponin dari tanaman sambiloto, sehingga pH daging naik kembali setelah tercapai pH terendah. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Lawrie (1995), bahwa pH daging setelah pemotongan akan lebih tinggi dari standar karena asam laktat yang terbentuk akan dinetralisir oleh bahan-bahan alkali.

Tabel 2 yang menunjukkan nilai pH daging yang lebih tinggi dari standar juga diduga karena ayam stres saat pemotongan, sehingga laju perubahan nilai pH

menjadi naik tidak terkendali, akibatnya nilai pH berada diatas nilai normal pH daging unggas pada umumnya. Menurut Soeparno (1992), faktor yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan pH postmortem dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ektrinsik. Faktor intrinsik antara lain spesies, tipe otot, dan variabilitas diantara ternak, sedangkan faktor ektrinsik antara lain adalah temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif sebelum pemotongan dan stres sebelum pemotongan yang diduga menjadi penyebab utama yang mempengaruhi hasil penelitian ini

Keempukan

Keempukan dan tekstur daging kemungkinan besar merupakan penentu yang paling penting pada kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging ayam digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, faktor umur, manajemen, jenis kelamin dan stres, serta faktor

postmortem diantaranya meliputi metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk. Jadi keempukan bisa bervariasi diantara spesies yang sama, pemotongan karkas, dan diantara otot, serta otot yang sama (Soeparno, 1992). Selanjutnya menurut Soeparno (1994), ada tiga komponen yang menentukan keempukan daging yaitu, (1) struktur miofibrilar (miosin, aktin dan tropomiosin) dan status kontraksi otot, (2) kandungan jaringan ikat dan ikatan silangnya, (3) daya ikat air oleh protein daging serta jus daging.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan tepung daun sambiloto tidak berpengaruh terhadap keempukan daging, hal ini diduga karena konsentrasi penambahan tepung daun sambiloto yang kecil, sehingga kandungan zat-zat yang terdapat dalam tepung daun sambiloto tidak cukup untuk mengubah nilai keempukan daging. Pearson dan Young (1971), menyatakan kisaran keempukan daging terbagi atas empuk dengan skala 0-3 Kg/g, cukup/sedang dengan skala 3-6 Kg/g dan alot dengan skala >6-11 Kg/g. Hasil uji fisik menunjukkan bahwa daya iris

Warner bratzler memiliki nilai dalam kisaran normal rendah (0-3), hal ini diduga karena perlakuan sebelum pemotongan, sehingga menyebabkan ayam stres, akibatnya terjadi ikatan aktin-miosin yang kuat, sehingga indikasi tingkat kealotan

miofribrial menjadi lebih tinggi. Secara fisik hal ini disebabkan tingginya nilai pH daging kontrol, sehingga menyebabkan nilai keempukan daging tinggi, dimana

seperti yang dinyatakan oleh Bouton dan Pederson (1971), bahwa hubungan pH dengan keempukan daging adalah searah. Daging dengan pH tinggi mempunyai keempukan yang lebih tinggi daripada daging dengan pH rendah.

Daya Ikat Air

Menurut Soeparno (1992), daya ikat air oleh protein daging atau Water Holding Capacity atau Water Binding Capacity (WHC atau BHC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemasakan, penggilingan dan tekanan. Nilai daya ikat air dilihat dari persentase keluaran air (mgH2O) dari dalam daging. Nilai mgH2O antar perlakuan disajikan pada Gambar 2.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 0,2 0,4 0,6 0,8 P e r s e n t a s e s a m b i l o t o N il a i m g H 2O(% )

Gambar 2. Nilai mgH2O Daging Ayam Broiler dengan Penambahan Tepung Daun Sambiloto.

Nilai mgH2O yang tinggi menunjukkan daya mengikat air yang rendah Daging unggas secara normal mempunyai kandungan air sekitar 70%-75% (Charles,1993; Smith dan Acton, 2001). Hasil penelitian menunjukkan nilai daya ikat air pada daging perlakuan tepung daun sambiloto 0,2% dan 0,6% cenderung lebih rendah dibandingkan dengan daging kontrol dan daging perlakuan penambahan tepung daun sambiloto 0,4% dan 0,8%, karena daging dengan perlakuan 0,4% dan 0,8% dapat mempertahankan kandungan air seperti kandungan air daging kontrol, yaitu dengan dapat menahan laju keluaran air sekitar ± 70% dan 72%. Hasil uji fisik pada tabel 2 menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai DMA daging antar pelakuan, akan tetapi data yang ditunjukkan tidak memperlihatkan perbedaan yang diakibatkan dari pengaruh penambahan tepung daun

sambiloto, karena perbedaan yang terjadi antar perlakuan tidak searah, sehingga perbedaan ini diduga disebabkan oleh faktor lain. Kandungan air pada daging perlakuan 0,2% dan 0,6% yang lebih rendah dari kontrol diduga akibat dari ayam stres saat pemotongan. Soeparno (1992) menambahkan, bahwa selain faktor pH, pelayuan dan pemasakan atau pemanasan, daya mengikat air juga dipengaruhi oleh faktor yang menyebabkan perbedaan daya ikat air diantara otot, misalnya ternak, spesies, umur dan fungsi otot, serta pakan, transportasi, temperatur, kelembaban, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskular

semua daging ternak. Ayam yang stres mengakibatkan proses glikolisis postmortem

tidak sempurna sehingga banyak terbentuk asam laktat, akibatnya banyak air yang berasosiasi dengan protein daging akan bebas meninggalkan serabut otot. Peristiwa pembentukan asam laktat yang terlalu cepat mengakibatkan terbentuknya filamen

aktin-miosin, sehingga ruang-ruang diantara filamen-fiamen ini akan menjadi lebih kecil dan semakin mempersempit ruang untuk air dalam daging. Soeparno (1992), menambahkan bahwa dua pertiga penurunan daya ikat air adalah karena pembentukan aktin-miosin dan habisnya ATP pada saat rigor.

Nilai Organoleptik

Sifat mutu organoleptik dilakukan dengan metode uji hedonik yang meliputi warna, tekstur dan aroma daging. Pengolahan data dengan menggunakan ujistatistik dan uji deskriptif untuk mengetahui penerimaan atau penolakan sampel oleh panelis. Penerimaan adalah kumpulan panelis yang memberi kesan sangat suka, suka dan netral, sedangkan penolakan adalah kumpulan panelis yang memberi kesan sangat tidak suka, dan tidak suka. Menurut Barton et al., (1988) kesukaan daging sangat tergantung pada faktor seperti penampilan, aroma, rasa, juiceness, keempukan dan warna daging. Nilai rataan uji hedonik daging paha ayam disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai Rataan Uji Hedonik Daging Paha Ayam

Peubah Perlakuan (%)

0 0,2 0,4 0,6 0,8

Warna 3,11 3,38 3,05 3,29 3,17

Tekstur 3,00 3,29 3,02 3,47 3,02

Warna

Hasil analisis ragam menunjukkan tingkat kesukaan panelis akan warna akibat perlakuan tidak berbeda. Skor warna berkisar dari 3,05-3,38 dan berada pada daerah netral yang berarti panelis dapat menerima warna daging. Berikut disajikan gambaran persentase penerimaan dan penolakan panelis terhadap warna daging.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 0,2 0,4 0,6 0,8 P e r s e n t a s e s a m b i l o t o N il a i P e rs e n ta se Menolak Menerima

Gambar 3. Nilai Persentase Penerimaan dan Penolakan Warna Daging Ayam Broiler dengan Penambahan Tepung Daun Sambiloto.

Hasil pengamatan secara deskriptif memperlihatkan lebih dari 60% panelis menerima warna daging dengan perlakuan penambahan tepung daun sambiloto. Soeparno (1994), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi warna daging adalah pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi konsentrasi pigmen daging mioglobin. Amrullah (2004) menambahkan, bahwa lemak pada ayam broiler dapat menyebabkan karkas atau daging yang diolah terlihat mengkilap (Greasy broiler), akan tetapi warna daging tidak terpengaruh.

Tekstur

Skor uji organoleptik terhadap tekstur berkisar dari 3,00-3,47 dan berada pada daerah netral yang berarti panelis menerima tekstur daging. Persentase Penerimaan dan penolakan panelis terhadap tekstur daging disajikan pada Gambar 4.

0 20 40 60 80 100 0 0,2 0,4 0,6 0,8 P e r s e n t a s e s a m b i l o t o N il ai P er se n ta se Menolak Menerima

Gambar 4. Nilai Persentase Penerimaan dan Penolakan Tekstur Daging Ayam Broiler dengan Penambahan Tepung Daun Sambiloto.

Hasil pengamatan secara deskriptif menunjukkan bahwa secara umum panelis lebih dari 70% menerima tekstur daging baik dengan perlakuan maupun tidak, sehingga dapat dikatakan pemberian tepung daun sambiloto dengan taraf sampai 0,8% tidak berpengaruh terhadap tekstur daging, hal ini diduga karena konsentrasi yang diberikan tidak cukup untuk mempengaruhi tekstur daging. Menurut Soeparno (1992), faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan tektur diantaranya perbedaan umur ternak dan tingkat kekasaran serabut otot ternak, spesies, dan bangsa ternak. Aroma

Hasil analisis ragam terhadap uji organoleptik aroma daging menunjukkan tidak adanya perbedaan antar perlakuan yang berarti tingkat kesukaan panelis akan aroma daging cukup baik. Skor uji organoleptik terhadap aroma daging berkisar dari 2,72-3,08 dan berkisar pada daerah netral yang berarti panelis menerima aroma sampel. Persentase Penerimaan dan penolakan panelis terhadap tekstur daging disajikan pada Gambar 5.

0

20

40

60

80

100

0 0,2 0,4 0,6 0,8

P e r s e n t a s e s a m b i l o t o N il a i P e rs e n ta se

Menolak

Dokumen terkait