• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hegemoni dan Monopoli Dagang Aceh

BAB II KEADAAN PELABUHAN AIR BANGIS SUMATERA BARAT

2.3 Persaingan di Pelabuhan Air Bangis Abad XVII dan XVIII

2.3.1 Hegemoni dan Monopoli Dagang Aceh

Sejak penaklukan dan penguasaan Malaka oleh Portugis, Kesultanan Aceh tampil menjadi sebuah kekuatan politik dan ekonomi baru di kawasan barat dan timur Sumatera dan bahkan kawasan barat Semenanjung Malaya juga merasakan akibat kehadiran kesultanan baru ini.41 Portugis yang menguasai Malaka pada masa itu terlibat konflik dan tidak menyukai pedagang-pedagang Arab, Gujarat, dan Persia. Sikap orang Portugis ini masih terkait dengan keagamaan (peristiwa perang Salib), sehingga orang Portugis menjuluki pedagang Islam di daerah timur dengan sebutan bangsa Moor. Akibatnya, pedagang Muslim tidak mau berlayar dan berdagang melewati selat Malaka dan mengubah jalur pelayaran melewati Pantai Barat Sumatera menuju Selat Sunda dan terus ke Pantai Utara Jawa.42 Situasi ini dimanfaatkan oleh Kesultanan Aceh untuk menanamkan hegemoni politik dan monopoli dagangnya di daerah Pantai Barat Sumatera.43

Ekspansi teritorial Kesultanan Aceh ke daerah pesisir timur dan barat Sumatera dimulai sejak pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al Qahhar (1539-1571) dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).44 Kota-kota Pantai Barat Sumatera seperti Daya, Labu, Singkel, Barus, Natal, Air Bangis, Pasaman, Tiku, Pariaman, Padang, dan Indrapura dalam pengaruh

41 Gusti Asnan, 2012, op.cit., hal. 51-52.

42 Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014, hal. 139.

43 M. D. Mansoer, dkk., Sedjarah Minangkabau, Djakarta: Bhatara, 1970, hal. 74-76; dan lihat juga Tomi Pires, op.cit., hal. 380-382.

34

Kesultanan Aceh, sedangkan wilayah Jambi, Bengkulu, Palembang sampai ke selatan Lampung masuk wilayah Kerajaan Banten. Dengan wilayah penguasaan yang begitu luas pada abad XVII, Sultan Aceh dijuluki raja Pulau Sumatera.45

Dalam mengikat wilayah vasalnya, Aceh melakukan perkawinan politik, ikatan sosial-religius, dan pendekatan budaya. Keluarga Kesultanan Aceh melakukan perkawinan dengan putri maupun putra penguasa kota pantai dengan tujuan menjalin hubungan baik antara ke dua belah pihak.46 Dalam pendekatan budaya, Aceh menggunakan unsur budaya Islam. Ulama dan pembesar Aceh dikirim ke kota Pantai Barat Sumatera sebagai guru untuk mengajarkan ilmu agama dan sastra Islam.47

Di setiap kota pelabuhan yang dikuasai oleh Kesultanan Aceh ditempatkan seorang wakil raja Aceh yang bergelar panglima Aceh (syahbandar)48 dan mereka ini biasanya dipanggil teuku oleh masyarakat setempat. Para syahbandar bertugas mengawasi pelayaran dan perdagangan dengan hak memungut bea cukai,49 menjadi perantara perdagangan, kepala pemerintahan di pelabuhan, mengumpulkan komoditas

45 Ibid., hal. 123-124, dan 143.

46 Perkawinan Politik ini misalnya dalam penguasaan Pelabuhan Barus, Kesultanan Aceh mengawinkan saudara perempuan Alauddin Ri’ayat Syah al Qahhar dengan raja setempat. Lihat tulisan J. Kathirithamby-Wells, “Achehnese Control over West Sumatra up to the Treaty of Painan 1663”, dalam JESEAH, X, 1969, hal. 457-458. Gusti Asnan, 2012, op.cit., hal. 52.

47 M. D. Mansoer, dkk., op.cit., hal. 80-83.

48 Para syahbandar ini tidak menerima gaji sedikit pun dari Raja Aceh, mereka bahkan berkewajiban setiap tahun memberi raja sebuah hadiah, yaitu sehelai baju (atau pakaian) yang sesuai dengan kemampuan masing-masing, dan mereka pilih sebagus mungkin agar tetap dipertahankan dalam jabatan mereka. Lihat Denys Lombard, op.cit., hal. 149.

49 Setiap kapal yang berlabuh wajib membayar bea cukai kepada syahbandar. Jumlah bea cukai ini ternyata selalu selalu berubah tergantung kebijakan syahbandar. Bea cukai yang dikenakan Raja Aceh sangatlah tinggi. Bangsa Belanda dan Inggris yang Kristen dikenakan biaya 7 persen dari barang dagang yang mereka turunkan ke pelabuhan, sedangkan orang Islam yang berdagang dengan Aceh membayar cukai dengan emas. Sebelum abad XVII ternyata tidak ada bea cukai, yang ada bea chappe (cap). Bea cap biasa dibayar dengan bahan mentah dan dengan uang. Ibid., hal. 149-150.

35

dagang dari daerah hinterland dan membawanya ke Aceh untuk diperdagangkan dan diekspor. Kehadiran syahbandar Aceh di kawasan pesisir Pantai Barat Sumatera ditanggapi oleh penduduk dengan sikap pro dan kontra. Bagi yang pro, mereka mendukung keberadaan syahbandar di pelabuhan, sebab sebagian orang Aceh memang telah menjadi penduduk setempat dan berketurunan. Namun terkadang para syahbandar sering berbuat semena-mena terhadap penduduk dengan memonopoli perdagangan lada dan bahan komoditi lainnya.50

Monopoli yang dilakukan Kesultanan Aceh di Pelabuhan Air Bangis dengan mengendalikan seluruh perdagangan lada dan mewajibkan para petani lada di Pasaman (daerah hinterland Air Bangis) dan Tiku untuk menjual hasil panen mereka kepada syahbandar di Pelabuhan Air Bangis atau langsung membawanya ke pasar Aceh. Untuk harga komoditi lada di pasar-pasar Aceh dibeli sangat beragam oleh sultan mulai dari 4 real, 20 real, 30 real, bahkan mencapai 40 real sebahar. Harga 40 real sebahar merupakan harga tertinggi yang diberikan oleh Sultan Aceh. Namun, harga lada di daerah vasal Aceh seperti di Pelabuhan Air Bangis jauh lebih rendah daripada di pasar-pasar Aceh. Hal ini disebabkan, harga pembelian lada di daerah vasal ditentukan oleh syahbandar yang berada di pelabuhan tersebut.51

Dalam melakukan transaksi perdagangan dengan bangsa Eropa, harga lada dibandrol 54 real sebahar. Pedagang Belanda maupun Inggris biasanya melakukan penawaran sampai 40 real sebahar, dan bagi bangsa Eropa harga tersebut masih

50 M. D. Mansoer, dkk., op.cit., hal. 87. 51 Denys Lombard, op.cit., hal. 144-145.

36

cukup mahal sebenarnya. Akan tetapi Sultan Aceh tidak mau menurunkan harga, dan orang Eropa pun mengalah, karena dalam pertimbangan harga sedemikian, mereka masih bisa mendapatkan keuntungan yang tinggi sesudah kembali ke Eropa. Bagi orang Belanda dan Inggris pada masa itu tidak ada gunanya melawan Aceh, karena mereka sangat membutuhkan lada dari wilayah-wilayah yang dikuasai Kesultanan Aceh, dan tanpa lada roda perdagangan bangsa Belanda dan Inggris tidak jalan.52

Transaksi pembayaran dalam perdagangan yang digunakan di Pelabuhan Air Bangis dan pelabuhan di kawasan utara Sumatera pada abad ke XVII telah menggunakan mata uang. Mata uang ini diperkenalkan oleh Sultan Aceh, melalui para syahbandar, dalam aktivitas pembelian lada kepada pedagang dan petani. Mata uang tersebut terbuat dari emas dan timah yang dicetak dalam bentuk koin. Mata uang yang terbuat dari timah bernama cash dan mata uang dari emas bernama mas.53 Dalam aktivitas perdagangan emas, Sultan Iskandar Muda membuat kebijakan melarang semua orang asing memasuki kawasan pelabuhan tanpa persetujuan dari syahbandar, dan sultan menuntut 15 persen cukai untuk semua emas yang diekspor, dan menetapkan harga untuk sisanya.54

Sampai pada abad XVII ternyata Kesultanan Aceh tidak mempunyai undang-undang kelautan, sehingga hukum dan pengawasan di laut sangat lemah. Hal ini

52 Ibid., hal. 152.

53 Ibid., hal. 153-154; dan lihat juga Tome Pires, Suma Oriental: Perjalanan Dari Laut Merah Ke China & Buku Francisco Rodrigus, Yogyakarta: Ombak, 2014, hal. 198-199.

54 Christine Dobbin, Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, Sumatra Tengah, 1784-1847, Jakarta: INIS, 1992, hal. 75.

37

dimanfaatkan oleh pihak pedagang swasta55 untuk melakukan penyimpangan dengan menjual hasil bumi atau lada bukan kepada Aceh, tetapi kepada bangsa Eropa seperti Belanda dan Inggris. Pedagang swasta tentu tergiur dengan harga yang ditawarkan Belanda dan Inggris daripada harga yang ditetapkan Kesultanan Aceh yang dirasa kurang menguntungkan pedagang. Pedagang swasta bertransaksi dengan Belanda dan Inggris di laut, untuk menghindari pengawasan dari syahbandar yang ada di pelabuhan. Aktivitas pedagang swasta ini dikenal dengan nama “Sampan Aceh”.56

Dengan banyaknya “Sampan Aceh” yang tidak setia kepada Kesultanan Aceh,

membuat perekonomian Aceh menurun. Penduduk kota di Pantai Barat Sumatera pun mulai memberontak dan tidak mau menjalin hubungan kerjasama lagi dengan Aceh, karena mereka merasa dirugikan. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh Belanda dan Inggris untuk menanamkan pengaruhnya di kawasan Pantai Barat Sumatera.