• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Komisi Yudisal dengan Lembaga Negara Lain dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia

EKSISTENSI KOMISI YUDISAL DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

C. Hubungan Komisi Yudisal dengan Lembaga Negara Lain dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia

C. Hubungan Komisi Yudisal dengan Lembaga Negara Lain dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia

143

Komisi Yudisal merupakan organ negara yang wewenangnya diberikan langsung oleh UUD 1945. Pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman menunjukkan bahwa menurut UUD 1945 Komisi Yudisal berkaitan Sebagai lembaga negara yang baru lahir setelah perubahan UUD 1945, Komisi Yudisal juga berhubungan dengan lembaga-lembaga negara lain yang telah lebih dulu ada. Dalam penulisan skripsi ini, penulis membahas mengenai hubungan antara Komisi Yudisal dengan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat, dan dengan Presiden.

1. Hubungan Komisi Yudisal dengan Mahkamah Agung

140

Pasal 38 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

141

Ibid, Pasal 38 ayat (4).

142

Ibid, Pasal 38 ayat (5).

143

Philipus M. Hadjon, Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945, Bina Ilmu, Surabaya, 1996, hal. x.

dengan kekuasaan kehakiman, walaupun Komisi Yudisal tidak memiliki kekuasaan kehakiman.

Pasal 24A ayat (3) berbunyi, “Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.” Selanjutnya, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Komisi Yudisal bersifat mandiriyang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, terdapat dua kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisal, yaitu: pertama, Komisi Yudisial diberikan kewenangan untuk melakukan proses seleksi dan menjaring calon anggota hakim agung yang berkualitas, potensial, mengerti hukum dan profesional. Kedua, Komisi Yudisial diberi kewenangan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Dengan kewenangan Komisi Yudisal untuk mengusulkan pengangkatan hakim Agung, berkaitan dengan proses seleksi dalam rangka memilih hakim agung yang berkualitas, potensial, mengerti hukum dan profesional. Akan tetapi wewenang tersebut hanya sebatas mengusulkan calon hakim agung, sedangkan wewenang penuh untuk memilih hakim agung berada di tangan DPR. Melalui konstruksi yang demikian, maka kedudukan Komisi Yudisal adalah lemah dikarenakan tidak ada jaminan bahwa calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisal setelah melalui proses seleksi yang dilakukan oleh Komisi

Yudisial dapat disetujui oleh DPR. Keadaan yang demikian akan menimbulkan persoalan ketika suatu waktu terjadi penolakan calon hakim agung yang disulkan oleh Komisi Yudisal oleh DPR.

Selain kewenangan dalam hal mengusulkan pengangkatan calon hakim agung, Komisi Yudisal juga memiliki kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kewenangan Komisi Yudisal dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim walau pun dalam batas-batas tertentu dapat diartikan sebagai pengawasan, bukanlah kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan melainkan terhadap individu hakim.

Secara spesifik, Pasal 20 Undang-Undang Komisi Yudisal menyatakan upaya menjaga dan menegakkan kehormatan,martabat, dan perilaku hakim dilakukan melalui pengawasan perilaku hakim. Kemudian Pasal 22 menyebutkan tugas Komisi Yudisal dalam melaksanakan pengawasan itu, yaitu dengan menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim, dan melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran hakim, serta membuat laporan pemeriksaan dan rekomendasi kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden.

Terungkapnya kasus-kasus penyalahgunaan wewenang oleh hakim dan pejabat peradilan yang dipublikasikan oleh berbagai media akhir-akhir ini merupakan cerminan dari lemahnya integritas moral dan perilaku hakim, termasuk pejabat dan pegawai lembaga peradilan. Keadaan ini tidak saja terjadi di

lingkungan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, tetapi juga telah memasuki dan terjadi di lingkungan Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman yang tertinggi. Kondisi demikian menunjukkan bahwa fungsi pengawasan intern yang ada pada Mahkamah Agung tidak efektif. Untuk itu, Keberadaan Komisi Yudisal diperlukan sebagai pengawas eksternal Mahkamah Agung yang bersifat independen.

Berdasarkan pengaturan mengenai Komisi Yudisal di atas menunjukkan keberadaan Komisi Yudisal terkait dengan Mahkamah Agung. Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan di atas bahwa Komisi Yudisal bukanlah sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting organ atau state

auxiliary organ. Oleh karena itu, prinsip cheks and balances tidak dapat

berlangsung antara Mahkamah Agung sebagai principle organ dan Komisi Yudisal sebagai auxiliary organ. Dalam prespektif yang demikian, hubungan antara Komisi Yudisal dan Mahkamah Agung dalam bidang pengawasan perilaku hakim lebih tepat dipahami sebagai hubungan kemitraan (partenership) tanpa mengganggu kemandirian masing-masing.

2. Hubungan Komisi Yudisal dengan Mahkamah Konstitusi

Perubahan UUD 1945 melahirkan lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Keberadaan Mahkamah Konstitusi berfungsi untuk menegakkan konstitusi dalam mewujudkan negara hukum Indonesia yang demokratis. Sesuai ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang (a) Menguji undang-undang terhadap UUD; (b) Memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; (c) Memutus pembubaran partai politik; (d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan (e) Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Berdasarkan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 juncto Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, menegaskan bahwa Komisi Yudisial memiliki dua tugas utama yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

Lebih lanjut dalam hal pengawasan hakim, Pasal 20 Undang-Undang Komisi Yudisal menyebutkan bahwa Komisi Yudisal mempunyai tugas pengawasan terhadap perilalu hakim dalam rangka menegakan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Komisi Yudisal, yang dimaksud dengan hakim adalah hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Dengan dimasukkannya hakim konstitusi dalam pengawasan Komisi Yudisal menurut Undang-Undang Komisi Yudisal mengakibatkan lumpuhnya kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam menghadapi kenyataan timbulnya

persengketaan kewenangan konstitusional antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisal144

144

Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa dimasukkannya hakim konstitusi dalam Undang-Undang Komisi Yudisal yang dibahas pada tahun 2004 mencerminkan motif di kalangan pembentuk undang-undang untuk menitipkan kepentingan untuk mengontrol kekuasaan Mahkamah Konstitusi yang dianggap terlalu berkuasa, terutama setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan beberapa pengujian undang-undang, seperti pengujian atas ketentuan Pasal 50 Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi, pengujian atas Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan yang dibatalkan seluruhnya, pengujian atas Undang-Undang-Undang-Undang eks Perpu Pemberlakuan Undang-Undang tentang Anti Terorisme, ketentuan Undang-Undang tentang Pemilu yang membatasi hak warga negara eks anggota PKI untuk ikut serta dalam Pemilu, dan lain sebagainya. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum tata Negara Indonesia Pasca

Amandemen, Op. Cit, hal. 578-579.

. Padahal Mahkamah Konstitusi merupakan satu-satunya lembaga yang diberikan kewenangan oleh UUD 1945 untuk memutuskan dengan putusan yang final dan mengikat dalam hal terjadinya sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

Akan tetapi, dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Agustus 2006 No 005/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan judicial review yang diajukan oleh 31 hakim agung. Dua hal prinsip yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yaitu pertama, hakim kostitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 oleh karenanya pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Kedua, pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisal yang mengatur mengenai pengawasan dan perilaku hakim dinilai rancu oleh karenanya dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi menyebutkan, hakim konstitusi tidak termasuk pengertian hakim yang harus diawasi Komisi Yudisal berdasarkan Undang-Undang Komisi Yudisal. Hakim konstitusi tidak diawasi Komisi Yudisal karena masa jabatannya lima tahun setelah itu kembali ke profesi semula. Hakim konstitusi juga tidak diawasi Komisi Yudisal karena dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para hakim konstitusi yang diatur UUD 1945 tidak melibatkan Komisi Yudisal. Argumen lain, hakim konstitusi tidak diawasi Komisi Yudisal karena jika diawasi berpotensi mengganggu imparsialitas hakim konstitusi dalam sengketa kewenangan antarlembaga negara.145

Pada era reformasi terjadi perombakan besar-besaran terhadap tataran kekuasaan pemerintahan mulai dari konstitusi yaitu UUD 1945 yang di amandemen empatkali. Perubahan tersebut mengakibatkan berubahnya tatanan pemerintahan berserta lembaga-lembaganya termasuk kekuasaan kehakiman dan secara khusus tatacara pemilihan hakim agung. Konfigurasi proses perekrutan hakim agung mengalami perubahan, hal tersebut ditandai dengan keadaan dimana Dewan Perwakilan Rakyat tampil sebagai lembaga yang sangat kuat (powerful). Apabila pada masa Orde baru kekuasaan Pemerintah begitu kuat dan Dengan demikian, menyangkut pengawasan hakim konstitusi dikembalikan kepada mekanisme pengawasan internal yang dilaksanakan oleh majelis kehormatan menurut ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

3. Hubungan Komisi Yudisal dengan Dewan Perwakilan Rakyat

145

Dewan Perwakilan Rakyat lemah, maka setelah era reformasi keadaan menjadi sebaliknya, kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi lebih kuat daripada kekuasaan Pemerintah. Perubahan peta politik tersebut berdampak pula terhadap mekanisme perekrutan hakim agung dan pimpinan Mahkamah Agung.

Hubungan fungsional Komisi Yudisal dan Dewan Perwakilan Rakyat terlihat pada rumusan Pasal 24A ayat (3) juncto Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 24B ayat (3) UUD 1945. Berdasarkan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 disebutkan “Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.” Selanjutnya Pasal 24B ayat (1) menyebutkan “Komisi Yudisal bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.” Kemudian Pasal 24B ayat (30) menyebutkan “Anggota Komisi Yudisal diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat .”

Berdasarkan ketiga ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan mengenai hubungan fungsional Komisi Yudisal dan DPR meliputi dua hal: pertama, Komisi Yudisal berwenang mengusulkan calon hakim agung kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan kedua, anggota Komisi Yudisal diangkat dan diberhentikan oleh DPR dengan persetujuan Presiden.

4. Hubungan Komisi Yudisal dengan Presiden

UUD 1945 secara tegas menyatakan kedudukan Presiden adalah sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara (executive power)146. Meskipun demikian, menurut Ismail Sunny Presiden Republik Indonesia tidak menjadi kepala eksekutif dan pemimpin yang sebenarnya dari eksekutif seperti halnya di Amerika Serikat147. Ada dua alasan yang mendukung pendapat Ismail Sunny tersebut, yaitu: pertama, dalam melaksanakan kekuasaan itu telah ditentukan dalam undang-undang dasar,dan kedua, dalam melaksanakan tugasnya Presiden dibantu oleh para menteri dan para menteri inilah dalam konteks politik melaksanakan tugas-tugas permerintahan.148

Menurut Moh. Kusnardi dan Harmailiy Ibrahim, ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) tersebut memberi wewenang yang luas dan tidak terperinci kepada Presiden namun tidak berarti presiden dapat berbuat sekehendak hatinya karena dibatasi oleh UUD 1945.149

146

Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan “ Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar.”

147

Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1986, hal. 42.

148

Ibid.

149

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, Sinar Bhakti, 1983, Jakarta hal. 198.

Pasal 24B ayat (3) menyebutkan “Anggota Komisi Yudisal diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Berdasarkan ketentuan tersebut terdapat dua kewenangan Presiden yang berkaitan dengan Komisi Yudisal, yaitu: pertama, pengangkatan anggota Komisi Yudisal, dan kedua, pemberhentian anggota Komisi Yudisal.

Mekanisme pengangkatan anggota Komisi Yudisal diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Komisi Yudisal, yaitu:

1. Presiden membentuk panitia seleksi pemilihan anggota Komisi Yudisal.

2. Panitia seleksi terdiri atas unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat.

3. Panitia seleksi bertugas:

a. mengumumkan pendaftaran penerimaan calon Anggota Komisi Yudisal dalam jangka waktu lima belas hari;

b. melakukan pendaftaran dan seleksi administrasi serta seleksi kualitas dan integritas calon anggota Komisi Yudisal dalam jangka waktu enam puluh hari terhitung sejak pengumuman;

c. menentukan dan menyampaikan calon anggota Komisi Yudisal sebanyak empat belas calon, dengan memperhatikan komposisi Anggota Komisi Yudisal sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 6 ayat (3) dalam jangka waktu paling lambat tiga puluh hari.

Selanjutnya, dalam waktu paling lambat lima belas hari semenjak menerima nama calon dari panitia seleksi, Presiden mengajukan keempat belas nama calon anggota Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal ini, Dewan Perwakilan Rakyat wajib memilih dan menetapkan tujuh calon anggota Komisi Yudisal dalam waktu paling lama tiga puluh hari sejak diterima usul dari Presiden paling lambat lima belas hari terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden. Calon terpilih disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden paling lambat lima belas hari terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden. Presiden juga wajib menetapkan calon terpilih paling lambat lima belas hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat dari pimpinan DPR yang sebelumnya dilakukan pengambilan sumpah dan janji.

Sedangkan dalam hal pemberhentian anggota Komisi Yudisal dikategorikan ke dalam dua hal, yaitu pertama, pemberhentian secara terhormat

yaitu pemberhentian atas usul Komisi Yudisal dikarenakan meninggal dunia, permintaan sendiri, sakit jasmani atau rohani terus-menerus, dan berakhir masa jabatan. Kedua, pemberhentian tidak dengan hormat. Pemberhentian tidak dengan hormat dilakukan dengan persetujuan DPR atas usul Komisi Yudisal dengan alasan: (i) melanggar sumpah jabatan; (ii) dijatuhi pidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (3) melakukan perbuatan tercela; (4) terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya; dan (5) melanggar larangan rangkap jabatan. Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat tersebut dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Dewan Kehormatan Komisi Yudisal.

BAB IV

PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG