• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Sipil-Militer ( Civil-Military Relations )

1.6 Landasan Konsep dan Teori .1 Pola Transisi Demokrasi .1Pola Transisi Demokrasi

1.6.4 Hubungan Sipil-Militer ( Civil-Military Relations )

Fase ketiga replacement dalam transisi demokrasi adalah perjuangan setelah tumbangnya rezim. Adapun yang dimaksud dengan perjuangan setelah tumbangnya rezim dalam penelitian ini adalah pelaksanaan pemilu. Menurut Huntington, pemilu merupakan cara kerja demokrasi, di mana pemilu menjadi alat serta tujuan demokratisasi.57 Secara prosedural, demokrasi merupakan sebuah metode politik, yakni sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik.

56

Diadopsi dari Ibid., hal. 34. 57

28

Mekanisme untuk memilih pemimpin politik tersebut salah satunya adalah melalui pemilu.

Menurut Alwi Dahlan, pemilu adalah wajah demokrasi. Demokrasi dapat dikatakan tidaklah berjalan apabila dilaksanakan tidak melalui pemilu. Menurutnya, negara akan menjadi otoriter, misalnya apabila tidak melaksanakan pemilu yang sebenarnya.58 Untuk itu, menurut Joseph Schumpeter, dalam demokrasi warga negara diberikan kesempatan untuk memilih salah satu di antara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara dalam pemilu.59

Aspek pemilu dalam penelitian ini dinilai penting karena melalui pemilu, lembaga legislatif yakni wakil rakyat di parlemen dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal itu sebab perjuangan perlawanan rakyat di Tunisia dan Mesir memiliki cita-cita untuk menggantikan rezim yang selama ini berkuasa secara otoriter. Sehingga, setelah lengsernya rezim melalui revolusi, agenda utama dan mendesak untuk dilaksanakan adalah pemilihan pemimpin secara demokratis yang mengimplementasikan dimensi kompetisi dan partisipasi rakyat. Selain itu, sebagaimana keterlibatan militer pada dua fase sebelumnya, penyelenggaraan pemilu di kedua negara juga tidak terlepas dari peran dan keterlibatan militer.

Lebih lanjut, proses transisi demokrasi di Tunisia dan Mesir berlangsung dan dipengaruhi oleh pola hubungan sipil-militer di kedua negara. Hubungan sipil-militer merupakan salah satu kunci tercapainya kepastian mengenai proses

58

Baca artikel Mencont(r)eng Wajah Demokrasi, tulisan M. Alwi Dahlan di Harian Kompas tanggal 8 Juli 2009. Lihat dalam Nur Imam Subono, Hizkia Yosie Polimpung, dan Prasojo, 2012, Oposisi Demokratik di Era Mediasi-Massal Demokrasi, Jakarta: UI Press, hal. 67.

59

29

transisi ke arah demokrasi.60 Menurut Huntington, hubungan sipil-militer61 dapat dilihat dari dua model, yaitu subjective civilian control dan objective civilian control. Subjective civilian control, yaitu memaksimalkan kekuasaan sipil dan meminimalisasi kekuasaan militer.62 Sementara, objective civilian control, yaitu memaksimalkan profesionalisme militer dan menunjukkan adanya pembagian kekuasaan politik antara kelompok militer dan kelompok sipil yang kondusif menuju perilaku profesional.63 Hubungan sipil-militer yang baik akan ada jika militer berada dalam profesionalismenya dan hubungan itu buruk apabila militer berada di luar bidangnya.64

Subjective civilan control adalah keadaan ketika salah satu dari sejumlah kekuatan yang berkompetisi dalam masyarakat berhasil mengontrol tentara dan menggunakannya untuk tujuan dan kepentingan politik mereka.65 Jadi, subjective civilian control merujuk pada upaya untuk mengontrol militer dengan memolitisasi mereka dan membuat mereka lebih dekat kepada sektor sipil.66

60

Rizal Sukma dan J. Kristiadi (Peny.), 1999, Hubungan Sipil-Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta: Centre for Strategic and International Studies (CSIS) kerja sama dengan the Asia Foundation, hal. 2.

61

Hubungan sipil-militer merujuk pada luasnya interaksi antara kekuatan bersenjata (militer) sebagai institusi dengan berbagai sektor masyarakat (sipil). Hubungan sipil-militer fokus pada adanya distribusi kekuasaan antara pemerintah (sipil) dengan militer dalam sebuah negara. Lebih lanjut baca dalam Johanna Mendelson Forman and Claude Welch, 2008, Civil-Military Relations: USAID’S Role, Washington: Center for Democracy and Governance Bureau for Global Programs, Field Support, and Research U.S. Agency for International Development, hal. 7-8. Diakses dari http://transition.usaid.gov/policy/ads/200/200sbf.pdf (Diakses pada 26/11/2012).

62

Samuel P. Huntington, 1957, The Soldier and The State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations, Massachusetts: Harvard University Press, hal. 80.

63

Ibid., hal. 83. 64

Michael C. Desch, Ancaman Lingkungan dan Misi Militer, dalam Larry Diamond dan Marc F. Plattner (Ed.), 2000, Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi (edisi terjemahan), Jakarta: Rajawali Pers, hal. 19.

65

Baca Salim Said, 2001, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. 275.

66

Michael C. Desch, Ancaman Lingkungan dan Misi Militer, dalam Larry Diamond dan Marc F. Plattner (Ed.), Op. Cit., hal. 22.

30

Sementara itu, objective civilian control mengandung pengertian adanya profesionalisme militer67 yang tinggi dan pengakuan dari pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidangnya sehingga meminimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi intervensi politik dalam militer.68

Subjective civilian control dicapai dengan civilianizing the military, making them the mirror of the state. Adapun objective civilian control dicapai dengan militarizing the military, making them the tool of the state.69 Dua model hubungan sipil-militer tersebut yang paling mungkin menghasilkan hubungan sipil-militer yang sehat adalah objective civilian control sebab memberikan otonomi militer sesuai dengan bidangnya.

Jika Huntington hanya mengklasifikasikan hubungan sipil-militer dalam dua tipe atau model, maka pembagian lebih luas dan rinci dilakukan oleh Morris Janowitz. Janowitz dalam The Military in the Political Development of New Nations membagi model hubungan sipil militer menjadi lima tipe. Pembagian itu

67

Amos Perlmutter membagi profesionalisme militer menjadi dua, yakni profesionalisme personel dan profesionalisme korps. Profesionalisme personel meliputi keahlian, tanggung jawab dan kesatuan korps, yang didukung adanya sifat ulet, tekun, tegar, patuh, tulus, disiplin, dan menyenangi profesinya. Sedangkan profesionalisme korps meliputi adanya spesialisasi peran, yang didukung satu sumber otoritas kekuasaan. Antara keduanya memiliki hubungan yang saling

mempengaruhi. Baca dalam Peter Britton, 1996, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia,

Jakarta: LP3ES, hal. 11-36. Dikutip dalam Muhadjir Effendy, Op. Cit., hal. 17.

Lebih lanjut, menurut Huntington, profesionalisme militer memiliki tiga ciri. Pertama yakni expertise (keahlian), yaitu adanya pengetahuan dan keahlian dalam bidang perang. Sehingga disebut sebagai manager of violance. Kedua adalah responsibility (tanggung jawab), yakni militer harus dan hanya loyal kepada negara tanpa preferensi kepada siapa pun dan apapun kecuali pada negara. Ketiga, corporateness (karakter korporasi), yaitu memiliki semangat kesatuan yang kuat yang bersumber dari doktrin organisasi. Ketiga karakteristik tersebut oleh Huntington diposisikan di dalam kerangka ideologis tentang pengakuan supremasi sipil atas militer. Sehingga, apabila ada intervensi politik oleh militer, hal itu dipandang telah terjadi apa yang disebut sebagai political decay (pembusukan politik). Uraian lebih lanjut lihat dalam Samuel P. Huntington, 1957, Op. Cit., hal. 8-10. Lihat juga kajian yang dilakukan oleh Muhadjir Effendy mengenai profesionalisme militer dalam bukunya (2008), khususnya pada Bab II Profesionalisme Militer: Sebuah Perdebatan Teoritik Tanpa Akhir.

68

Samuel P. Huntington, Mereformasi Hubungan Sipil-Militer, dalam Larry Diamond dan Marc F. Plattner (Ed.), Op. Cit., hal. 4.

69

31

didasarkan pada pola mengenai hubungan antara militer sebagai kekuatan politik yang terjadi di berbagai negara berkembang. Kelima tipe itu adalah: (1) authoritarian-personal control, (2) authoritarian-mass party, (3) democratic competitive and semi-competitive systems, (4) civil-military coalition, dan (5) military oligarchy.70

Tipe pertama, authoritarian-personal cenderung ditemukan pada negara yang baru memulai proses modernisasi. Pemegang kendali politik nasional mendasarkan kekuasaannya kepada kekuasaan tradisional dan individu pemimpin.71 Kedua, authoritarian-mass party apabila terdapat partai tunggal dengan kepemimpinan pribadi pemimpin yang kuat (strong personal leadership), tanpa adanya institusi parlemen.72 Ketiga, democratic-competitive apabila ada lembaga kompetisi yang demokratis dan pola hubungan sipil-militer berdasarkan kontrol sipil atau militer di bawah kontrol sipil. Akan melahirkan hubungan semi-competitive apabila pengendalian dan pembatasan peran militer oleh politisi sipil berasal dari tradisi kerajaan atau tradisi kolonial.73

Tipe keempat dari Janowitz adalah civil-military coalition jika militer memainkan peranan politik yang luas dan menjadi suatu blok politik (military expands its political activity and becomes a political bloc). Sementara politisi sipil hanya masih bisa memegang kekuasaan atas dukungan pasif dari militer. Termasuk pula apabila militer melakukan aktivitas politik secara tidak formal dan

70

Morris Janowitz, 1977, Military Institutions and Coercion in the Developing Nations: Expanded Edition of The Military in the Political Development of New Nations, Chicago: the University of Chicago Press, hal. 81.

71 Ibid., hal. 82. 72 Ibid. 73 Ibid.

32

bertindak sebagai penengah di antara grup-grup politik sipil.74 Kelima, tipe military oligarchy apabila pola koalisi dan careteker (pejabat) di atas menghasilkan sistem politik yang tidak stabil. Sehingga mendorong militer untuk meningkatkan aktivitas politiknya sampai menjadi sebuah kekuatan politik utama yang mengendalikan sendiri politik nasional. Serta, aktivitas politik pihak sipil diubah, dibatasi, atau bahkan ditekan (transformed, constricted and repressed).75

Berdasarkan pembagian di atas, tipe keempat dan kelima merupakan tipe yang menunjukkan adanya peran politik berarti yang dimainkan oleh militer. Peranan politik militer dimulai dan bertindak sebagai penyokong politisi sipil, kemudian berturut-turut menjadi penengah atau wasit, pejabat, dan sampai kepada oligarki atau grup yang paling menentukan dalam kehidupan derajat pengendalian politik oleh militer dan derajat pengendalian politisi sipil terhadap militer.76

Pola hubungan sipil-militer yang terbentuk di Tunisia dan Mesir pasca revolusi, dalam penelitian ini, selanjutnya diidentifikasi berdasarkan lima varian pola hubungan sipil-militer yang diajukan oleh Janowitz di atas. Identifikasi itu akan menunjukkan bagaimana perbedaan pola relasi antara sipil dan militer di kedua negara dalam satu rentang waktu yang sama. Tipologi hubungan sipil-militer yang dikemukakan oleh Janowitz tersebut digunakan dalam penelitian ini karena menurut penulis varian yang diajukan lebih lengkap dan rinci sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan banyak kasus di negara berkembang.

74 Ibid., hal. 83. 75 Baca Ibid. 76

Lihat Arbi Sanit, Angkatan Bersenjata Pembangunan dan Pembaharuan Politik, dalam Asep

Nurjaman (Ed.), 1997, Dwifungsi ABRI, Demokrasi dan Pembaharuan Politik, Malang: UMM

33

Dokumen terkait