• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagai ujung akhir kajian, bagian ini membahas tentang pembentukan identitas dan subjek para pengguna pakaian bekas. Dengan kata lain melihat bagaimana horison identitas dan subjektivitas para pengguna pakaian bekas dengan latar belakang status mereka masing-masing akhirnya dibentuk lewat proses konsumsi. Secara umum dikemukakan latar belakang yang mendasari pertimbangan dan putusan para pengguna atau konsumen dalam menggunakan pakaian bekas. Dalam kaitan ini akan dilihat persoalan histeria konsumsi mode modern dan munculnya simptom yang berakar pada pengalaman traumatik atau pengalaman negativitas konsumen terhadap pakaian pada masa lalu. Kemunculan simptom dijembatani oleh pengetahuan atau bakat paranoia sebagaimana melekat dalam pengalaman konsumen akan lack dan loss akibat proses penyeragaman dan estetisasi pasar mode pada umumnya. Persoalan akan diteruskan dengan melihat kekuatan pakaian bekas dalam melahirkan fantasi – satu hal yang diperlukan oleh konsumen untuk menetapkan identitas dan subjektivitas konsumen terhadap pelbagai identitas yang dibawakan oleh pakaian bekas.

Secara khusus uraian dimaksudkan untuk menggambarkan scope permainan yang dilakukan oleh para pengguna pakaian bekas sebagaimana berlangsung dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer. Dalam kaitan ini akan dikemukakan pelbagai

178

jenis kenikmatan (excitement) sebagaimana dialami para konsumen atau pengguna pakaian bekas dalam komunikasi atau hubungan sosial. Melalui strategi sublimasi para konsumen mengembangkan siasat guna menciptakan bahasa (master of signifier) baru dalam berpakaian. Bahasa yang berbeda dari bahasa yang bekerja dalam tatanan Imajiner dan tatanan Simbolik. Bahasa sublimatif tersebut dipakai untuk menghadapi fetishisme konsumsi mode kontemporer. Dengan kata lain penggunaan pakaian bekas tersebut bisa ditempatkan sebagai sebagai sarana untuk melakukan transfigurasi dan counter discourse atas pelbagai bentuk penyeragaman bahasa mode modern. Proses tersebut ditempuh oleh para konsumen lewat teknik

collage (kolase) dan recycle culture (budaya daur ulang). Sebagai pendukung uraian akan disampaikan pemaknaan atas pakaian bekas sebagaimana disampaikan para konsumen yang sekaligus merupakan responden penelitian ini.

A. Pakaian Bekas dan Identitas

A.1. Konsumsi Mutakhir dan Estetisasi Mode

Sebagaimana disinggung pada awal pembicaraan, selama satu dasawarsa terakhir wajah Yogyakarta telah sedemikian berubah menjadi sebuah sanctuaria

konsumsi. Perubahan wajah Yogyakarta kontemporer tidak lagi didasarkan pada hal-hal yang untuk beberapa waktu sebelumnya dipandang merepresentasikan kreativitas dan keluhuran atau keadiluhungan nilai, melainkan lebih ditentukan oleh faktor konsumsi sebagaimana ditandai dengan pelipatgandaan dan pergerakan objek- objek konsumsi atau komoditas. Seiring perjalanan waktu objek-objek konsumsi

179

atau komoditas yang semakin banyak itupun secara eksesif telah mengintrusi kehidupan masyarakat dalam pelbagai matra. Membayangkan sebuah ruang yang kebal atau imun dari pelbagai desakan objek-objek konsumsi atau komoditas pada zaman sekarang seolah-olah menjadi sesuatu yang mahal dan mustahil terpenuhi. Desakan objek-objek konsumsi atau komoditas yang sangat intensif dalam perkembangan kemudian secara gemilang berhasil mengubah wajah Yogyakarta kontemporer secara radikal.

Salah satu objek konsumsi atau bentuk komoditas yang ikut menentukan warna, arah, dan pembentukan wajah Yogyakarta kontemporer itu adalah pakaian bekas. Kemunculan pakaian bekas dalam masyarakat Yogyakarta kontemporer itu sendiri bisa ditempatkan sebagai suatu paradoks atau ambiguitas. Hal yang demikian karena di tengah multiplikasi dan pergerakan objek-objek konsumsi atau komoditas yang menekankan pada bentuk dan citarasa modern, kemunculan pakaian bekas merupakan satu hal yang berada di luar “nalar umum” konsumsi masyarakat. Lebih mengherankan lagi, melalui mekanisme perdagangan keberadaan pakaian bekas justru berhasil mendapatkan animo dan antuasisme publik yang tinggi dan memantik hasrat konsumsi pelbagai kalangan secara luas. Selama rentang waktu lebih dari satu dasawarsa pakaian bekas berhasil mendapatkan akseptabilitas publik sehingga menjadi bagian dari way of life masyarakat Yogyakarta kontemporer. Secara pelan dan pasti pakaian bekas berhasil memantapkan dirinya sebagai salah satu dari sekian banyak situs konsumsi masyarakat Yogyakarta.

Mendekatnya pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek konsumsi baik yang bersifat material maupun jasa secara massif dan massal dalam kehidupan sosial dan budaya pada perkembangan selanjutnya ikut menentukan arah dan pembentukan

180

masyarakat sebagaimana diistilahkan oleh Jean Baudrillard dengan consumer society. Sebuah masyarakat yang di dalamnya berkembang suatu suasana dan mentalitas yang senantiasa menghabituasi, memaksa, dan menggiring orang-orang yang ada di dalamnya untuk senantiasa berpartisipasi dalam aktivitas konsumsi alih- alih produksi, dan memuja kenikmatan (enjoyment, pleasure) alih-alih melakukan pelbagai pilihan rasional atas pelbagai komoditas yang hadir secara massif dan massal.1 Dalam masyarakat semacam itu proses konsumsi yang berlangsung sudah

sedemikian rupa sampai pada tahap -- meminjam istilah Jean Baudrillard -- “general hysteria.”2

Pergerakan dan multiplikasi objek konsumsi sebagaimana dikemukakan di atas dengan demikian sejatinya bukan hanya merepresentasikan lahirnya sebuah

consumer society, tetapi sekaligus merepresentasikan terbentuknya sebuah consumer culture. Dalam pengertian ini pelbagai bentuk komoditas atau objek-objek konsumsi yang ada tidak hanya mempenetrasi proses dan aktivitas sosial dan ekonomi rumah tangga masyarakat secara umum, melainkan juga telah mengintrusi atau merembes hingga pada proses pemaknaan atas pengalaman psikologis orang baik secara individual maupun kelompok. Dengan kata lain, konsumsi sebagaimana berkembang dalam masyarakat saat ini memiliki kekuatan besar dalam pembentukan identitas, komunikasi antar-personal, dan pengategorisasian peristiwa. Keadaan semacam ini bisa diilustrasikan sebagai sebuah proses dalam mana masyarakat konsumen telah sedemikian rupa tergantikan oleh masyarakat konsumeris. Dari aras ini, konsumsi yang terjadi di dalam masyarakat modern secara signifikan memainkan peran sosial

1 Jean Baudrillard (1998), The Consumer Society: Myths and Structure. London: Sage Publication. 2 Jean Baudrillard (1996),“The Consumer Society” dalam Mark Poster (ed.), Jean Baudrillard:

181

formatif yang bersifat fundamental, yakni sebagai bagian dari cara hidup (way of life).

Dalam situasi semacam ini terjadi perubahan dan pergeseran dalam pengertian konsumsi. Jika pada mulanya konsumsi mengacu pada aktivitas orang dalam memenuhi kebutuhan, kini ia telah bergeser menjadi sejenis kebutuhan baru. Proses pemenuhan kebutuhan sebagaimana berkembang dalam masyarakat dan budaya konsumen telah bergeser menjadi aktivisme yang dalam realitas keseharian ditandai oleh aktivitas belanja. Dalam pelbagai bentuk dan model konsumsi masyarakat semacam itu konsumen diarahkan sedemikian rupa menjadi homo economicus dala arti manusia yang mabuk untuk melakukan aktvitas konsumsi. Suatu aktivitas yang dalam bentuk keseharian direpresentasikan dalam aktivitas berbelanja. Di tengah masyarakat yang telah sedemikian dikepung atau dibanjiri oleh pelbagai komoditas secara berlimpah ruah, konsumsi telah menyeret para konsumen sedemikian rupa masuk dalam sebuah aktivitas berbelanja secara terus menerus tanpa berkesudahan. Ekspresi kebahasaan manusia masa kini secara eksistensial seolah-olah hanya akan tercapai lewat pelbagai komoditas sebagaimana dibawakan oleh pelbagai situs konsumsi perdagangan.

Bebelanja bagi manusia masa kini menjadi ritus yang akan selalu berulang- ulang dilakukan tanpa mengenal titik akhir kebersudahan. Demikian persis di sini sekali lagi kita menyaksikan bahwa konsumsi tidak lagi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan, melainkan menjadi sejenis kebutuhan baru. Ketika sesorang selesai dengan kebutuhan yang satu, orang segera akan berpindah dengan kebutuhan lainnya. karenanya, manakala seseorang telah mendapatkan bentuk komoditas tertentu, ia akan mencari bentuk komoditas lainnya. Gagasan bahwa sejatinya