• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsolidasi jaringan

DINAMIKA SOSIAL, POLITIK DAN SEJARAH PEMUDA PANCASILA KABUPATEN LABUHAN BATU

2.1. Interaksi Organisasi Kemasyarakatan

Partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam berpolitik merupakan ukuran demokrasinya suatu Negara. Dapat kita lihat dari pengertian demokrasi itu sendiri yang secara normatif adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, ungkapan ini diterjemahkan dalam setiap negara yang menganut demokrasi, di Indonesia tercantum di dalam UUD 1945 (setelah Amandemen) pada Pasal 1 ayat (2): “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Rakyat membuat kontrak sosial lewat perwakilannya untuk mendelegasikan kekuasaannya kepada pemerintah yang dipilih. Maka akan ada aturan main yang berupa Undang-Undang Dasar, Peraturan Hukum dan sebagainya. Kemudian dibuat dan ditetapkan dengan maksud agar dengan sarana-sarana kekuasaan titipan yang dilaksanakan oleh pejabat atau penguasa itu benar-benar mulus lurus, benar dan jujur demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat, dan tidak dimanipulasikan untuk

kepentingan pribadi para pemimpin dan pejabat untuk mengeruh keuntungan dan memperkaya diri41

Fenomena pengangguran pemuda di setiap kampung atau dikantong- kantong pemukiman kelompok etnis, menjadi salah satupenyebab munculnya perkelahian antar kampung. Anak-anak muda ditiap kampung/pemukiman kelompok etnis di pinggiran Kota Medan, padawaktu itu, membentuk satuan- satuan pemuda dengan dasar solidaritas teritorial/etnis. Sebut saja seperti di beberapa kampung terdapat satuansatuan pemuda dengan nama: Cross-Boys Medan Baru, Jati Boys di JalanJati, Seri Boys, Viking Boys, Mongol Boys, Tar Tar Boys di Sukarame,dan lain-lain. Satuan-satuan pemuda kampung itu juga

.

Begitu kuatnya keingingan warga untuk berpolitik, dalam arti merebut pengaruh dan kekuasaan dalam negara, menyebabkan perhatian pada ekonomi nyaris terabaikan Strategi-strategi untuk mengembangkan sumber daya ekonomi negara kurang mendapat perhatian dalam arus pemikiran umum elit politik pada masa itu. Aktivitas-aktivitas ekonomi kurang terprogram secara berarti dalam kebijakan pemerintah. Ia dibiarkan berkembang begitu saja seperti sediakala, meniru dan mengikuti keadaan yang ada di masa-masa sebelumnya. Tetapi dalam keadaan itu sentralisasi ekonomi oleh negara justru terus berlangsung sehingga ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah menjadi begitu terasa. Akibatnya kekuatan ekonomi di masing-masing daerah semakin melemah untuk mensejahterakan penduduk yang hidup di daerah tersebut.

41

merekrut pemuda pelajar yang pada dasarnya terikat oleh kesadaran etnis dan teritorialnya

Tetapi dalam praktiknya, berbagai masalah muncul dalam pnerapan desentralisasi tidak berbanding positif dengan tujuan yang semestinya di tingkat lokal. Pemilihan kepala daerah secara langsung yang di harapkan akan menjalankan nilai-nilai kearifan lokal malah menjadi ruang untuk tujuan kekuasaan semata-mata dalam mencapai tujuannya. Berbagai praktik dilakukan untuk kepentingan yang praktis dengan cara-cara yang inkontitusional yaitu dengan pemaksaan, uang, lobi-lobi, curang dan sebagainya dengan mengatas namakan Demokrasi

Dalam buku Vedi R Hadiz yang mengatakan bahwa peran elit-elit politik dalam menggerakkan lembaga-lembaga politik dengan uang dan kekerasan agar saling menguntungkan42

Dalam situasi sosial segregatif itu kebudayaan masing-masing kelompok etnis mengalami proses retribalisme. Kebudayaan leluhur dari masing-masing kelompok etnis tidak mengalami pengikisan, melainkan justru menguat kembali. Identitas etnis semakin terpelihara dan loyalitas kepadanya pun semakin dipertinggi oleh warga masing-masing kelompok etnis. Oleh sebab itu, persaingan

. Pasca runtuhnya orde baru kelompok kekerasan dapat beradaptasi dengan perubahan sistem yang ada. Konsep preman disebut vrijman dalam bahasa Belanada yang berkonotasi orang yang tidak memiliki pekerjaan yang perilakunya kasar, licik, curang, berkata kotor dan sebagainya.

42

antar kelompok etnis yang identik dengan persaingan antar kampong. Daerah- daerah perbatasan teritori antar kelompok etnis termasuk wilayah yang paling mudah dijangkiti oleh kerusuhan berupa “perang massal” antar kampung. “Perang massal” ini biasanya dipelopori oleh para pemuda yang senantiasa siap tempur sekalipun berawal dari hal-hal yang sepele dalam kehidupan sehari-hari.43

Pemuda-pemuda yang disebut dengan istilah cross-boys yang merupakan bagian integral dari “pemuda kampung” tumbuh pada dasawarsa 1950-an hingga awal 1960-an. Di waktu itu sebagian anak anak muda pelajar memperlihatkan gaya dan tingkah polanya yang“nakal” seperti kumpul-kumpul di persimpangan jalan, lepas dari control orang tua, merokok, cari uang tidak bisa, suka iseng menggoda perempuan dan juga mengganggu orang-orang yang sedang lewat. Tidak jarang kelakuan mereka memancing marah orang lain sehingga menimbulkan perkelahian, seperti gaya “mejeng” anak muda dewasa ini.Berkelahi keroyokan di bawah seorang pemimpinnya yang disebut chips.Begitupun, yang namanya perkelahian, selalu dapat menimbulkan keresahan. Anak-anak “nakal” seperti ini sering juga dijuluki sebagai“preman lontong 44

Kesatuan dan persatuan yang solid dari suatu kelompok adalah satu kesatuan yang tak ternilai harganya bagi para “preman”. Dengan persatuan dan kesatuan yang kuat, mereka dapat mempertahankan atau mengembangkan sumber-sumber penghidupannya di bioskop-bioskop maupun di tempat-tempat

.

43

Muryanto Amin, Politik Simbiosis Mutualisme Dan Transaksional (studi Reslasi Organisasi pemuda dengan Calon Anggota DPR RI Dapil 1 Sumatera Utara) Vote Institute : hal 38-39

44

yang lain. Hal ini menjadi suatu keharusan karena biaya penghidupan untuk menopang gaya hidup mereka kian hari kian bertambah besar. Tidak berbeda seperti kehidupan para ambtenar umumnya, para preman tampil dengan pakaian necis, rambut klimis,sepatu mengkilap ditambah wewangian. Mengisap rokok kelas menengah dan meminum minuman keras, menikah dan berketurunan, membina rumah tangga dengan satu atau lebih perempuan. Oleh karenanya, keinginan untuk merebut dan menguasai sumber-sumber daya yang lebih banyak tak dapat dihindari. Akibatnya perkelahian dengan kelompok45

Menurut Muryanto Amin preman merupakan konsep sumber kekuasaan yang mengandalakan kekuataan, keberanian, dan fisik semata

Reformasi sebagai proses demokratisasi menjadi label terhadap berbagai kepentingan yang kemudian menjustifikasi tindakan-tindakan sosial, politik, dan ekonomi yang bertolak belakang dengan demokrasi itu sendiri, Konseptualisasi tentang Preman (Organisasi Kemasyarakatan) dalam bahasa Belanda, preman disebut vrijman. Pada saat itu,vrijman berkonotasi netral sebagai tuna karya atau orang yang tidak memiliki pekerjaan. Preman pada gilirannya dicap sebagai orang-orang tak bermoral. Orang yang tidak memiliki sopan-santun, arogan, licik, bengis, curang, culas, rakus, dan bermuka tembok. Preman dimaknai dari sikap atau tingkah lakunya, bukan hanya sebagai istilah semata.

46

45

Ibid

46

Muriyanto Amin. Op cit hal 39-41

.seorang preman sering sekali merintah, memaksa, dan mengintimidasi agar seseorang mengikuti sesuai kehendaknya dalam rangka mencapai tujuan praktisnya. Walaupun

demikian eksetensi mereka tidak hilang, sebab tidak sedikit dari para preman dapat menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan.

.Otonomi daerah sejatinya memberikan kewenangan kepada pemangku kekuasaan di daerah malah memeperkuat peran masyarakat sebagai pemilik kewenangan dan kedaulatan di tingkat lokal. Munculnya kelompok kekerasan bukan tanpa sebab, karena kelompok ini sengaja direkrut oleh kekuasaan orde baru untuk melancarkan kegiatan politiknya. Akibatnya para preman ini begitu leluasa dalam menjalankan praktik-praktik kegiatannya yang illegal. Hal ini juga ditemui dalam organisasi pemuda pancasila yang membasmi dan membunuh komunisme di sumatera utara47

Organisasi kemasyarakatan sebagai paramiliter ini berfungsi sebagai operator politik Orde Baru. Bersama dengan aparat keamanan melakukan intimidasi tidak resmi untuk penguasa kepada para pejabat di tingkat lokal

.

48

47

Muriyanto Amin. 2014, Relasi jaringan Organisasi Pemuda Dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara. Jurnal Komunitas Research & Learning Sosiology and Antropology : hal 152 48

Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi.IRE Press. hal. 16.

. Preman memiliki watak kekerasan yang selama ini lazim dipraktekan oleh rezim Orde Baru. Salah satu bentuk tempaan orde baru terlihat bagaiman preman dirangkul dan kemudian dilatih sebagai mesin pembersih proyek-proyek Negara. Mulai dari kerusuhan, pembunuhan, hingga penculikan. Setelah mereka selesai melaksanakan tugas, satu persatu mereka pun dibinasakan, lewat modus penembak misterius (Petrus). Beberapa tokoh organisasi tersebut yang berlatar

belakangkan seorang preman melakukan tindakan filantropi berupa amal kepada masyarakat, seperti bantuan berobat bagi keluarga tidak mampu, trasportasi dan keuangan bagi para korban konflik Aceh, khitanan massal, dan sebagainya. Sebagai operator politik penguasa, organisasi pemuda yang memiliki cukup banyak anggota ini berperan penting dalam setiap pemilihan umum masa itu. Mereka disebar kesemua tempat untuk memastikan tidak ada penyelewengan keinginan rezim penguasa. Sebagai sebuah organisasi preman, tentu saja kerjaan mereka dekat dengan dunia kriminal. Akan tetapi mereka selain berprofesi dalam dunia kriminal, juga mendapatkan kedudukan tersendiri dalam sistem Orde Baru, dimana mereka dapat bolak-balik antara dunia kriminal dan dunia masyarakat terhormat, seperti pengusaha atau tokoh masyarakat

Preman yang memiliki watak kekerasan digunakan produk orde baru yang sudah di tempah dan dirangkul untuk dilatih untuk menjalankan kegiatan politik orde baru yang tak jarang melakukan kerusuhan, penculikan dan pembunuhan. Tetapi tidak jarang mereka di anggap sebagai pahlawan bagi masyarakat karena sering melakukan kegiatan-kegiatan sosial berupa bantuan terhadap anak yatim, kaum dhuaffa, transportasi gratis,dan sebagainya49

Preman dalam dinamika politik lokal pasca runtuhnya orde baru memiliki kebebasan yang sering melanggar aturan-aturan hukum. Tetapi mereka juga

. Ini yang membuat organiasi ini mendapat simpatik di tengah-tengah masyarakat karena selalu siap untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.

49

memiliki aturan tersendiri dalam komunitas mereka yang sulit terdeteksi karena preman dalam melakukan kegiatanya lebih mengandalkan kemampuan fisik. Oleh karena itu para preman sering digunakan sebagai alat politik dalam memproleh sumber daya.

Dalam bukunya Muryanto Amin menjelaskan bahwa para preman merupakan para pengangguran yang hidup di jalan sambil mencari makan untuk memenuhi kehidupannya sendiri seperti menjaga keaamanan, jasa parkir50

50

Lihat Muryanto Amin Op CIit hal 40

. Sistem yang digunakan preman ini dalam rangka untuk menguasai sumber daya yang berpotensi ekonomi memudahkan dalam bertahan hidup di jalanan sebab para preman ini memiliki kelompok yang terorganisir dalam melancarkan kegiatannya.

Orde baru seperti yang di ceritakan diatas telah menggunakan mesin organisasi preman untuk tujuan kekuasaannya. Hal ini menjadi warisan habitus kekerasan yang memicu sekelompok masyarakat untuk melakukan kekerasan dalam meraih ambisi ekonomi dan politiknya. Kelompok kekerasan ini, kerapkali menggunakan identitas tertentu sebagai dalih legitimasi tindakan anarkis yang dilakukannya. Dalam konteks Sumatera Utara konstalasi organisasi kemasyarakatan tumbuh subur dan berkembang. Berbeda dengan daerah lain di Indonesia, Sumatera Utara memiliki banyak koleksi organisasi kemasyarakatan seperti contoh, Pemuda Pancasila (PP), Ikatan Pemuda Karya (IPK), Pemuda Panca Marga (PPM), FKPPI, PMS (Pemuda Marga Silima), AMPI, dan sebagainya.

Organisasi-organisasi ini tetap memiliki pengaruh yang besar dalam konstalasi politk dan stabilitas keamanan. Selain memiliki jumlah anggota yang besar. Hal ini beralasan karena perebutan lahan ekonomi antar organisasi akan menjadi konflik dalam masyarakat. Tetapi tidak dengan tokoh organisasi yang lebih memiliki akses ke atas. Preman mendapat tempat khusus dalam sebuah sistem kekuasaan lokal yang didalamnya mereka memiliki kemampuan paling tidak untuk mengancam.

Organisasi ini dicari mengingat militer tidak dapat lagi berperan dalam ranah politik. Penyediaan tenaga bagi calon-calon pejabat, para tokoh organisasi ini juga memiliki usaha gelap yang akan berfungsi sebagai penyandang dana dan penggunaan otot mereka. Hal demikian berpengaruh terhadap intervensi kedalam pemerintahan atas hasil keputusan politik yang diambil, sehingga mereka merupakan satu bagian integral dalam sistem pemerintahan lokal.

Dalam penjelasan di atas dapat dilihat pola kelompok preman yang sengaja di organisir oleh produk orde baru membuat kelompok ini memudahkan mempunyai hubungan terhadap kekuasaan di tingkat elit, karena memiliki jiwa militansi tinggi serta mempunyai basis massa yang cukup besar, tak jarang mereka juga digunakan untuk memobilisasi massa. Organisasi-organisasi preman tetap eksiss keberadaanya sampai saat ini mengingat peran militer tidak terlibat dalam dunia politik. Penyedian tenaga-tenaga calon terhadap kepala daerah dan tidak sedikit juga para organisasi ini terlibat dalam pengambilan kekuasaan

Labuhan Batu merupakan kabupaten induk dari dua Kabupaten hasil pemekaran yaitu Kabupaten Labuhan Batu Utara dan Labuhan Batu Selatan. Dalam beberapa studi tentang pemekaran daerah yang terjadi di Indonesia banyak dorongan pemekaran terjadi oleh faktor kepentingan politik dan dinamika politik lokal yang tinggi51. Beberapa faktor yang dominan terjadi adalah perebutan insentif sumber daya yang ada didaerah tersebut. Dalam konteks Labuhan Batu merupakan daerah perkebunan yang banyak beroperasi perusahaan-perusahaan perkebunan. Hal ini sama dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Luky Djani di Kabupaten Bau-Bau dimana ditemukan bahwa jaringan politik dan bisnis yang dibangun oleh kepala daerah untuk menguasai konsensi tambang di Kabupaten Bau-Bau52. Hubungan politik dan bisnis yang semakin intensif dilakukan, pada tahap yang lebih lanjut biasanya dalam banyak kasus akan memunculkan orang kuat lokal (local strongmen) yang menguasai konfigurasi politik lokal dengan jaringan-jaringan yang dibangun.53.

51

Partnership for Governance Reform (Kemitraan). 2008. “Design Besar Penataan Daerah Baru di Indonesia”. Policy Brief. Kemitraan: Jakarta

52

Luky Djani, Jurnal Prisma

53

Vedi R Hadiz dan Richard Robinson. “Ekonomi Politik Oligarki dan Pengorganisasian Kembali Kekuasaan di Indonesia”. Jurnal Prisma.Vol.33.No.1 2014. Pp 36-56. Hal 39.