• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V : Berisikan bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran

DALAM UNDANG-UNDANG 31 TAHUN 1999 JO UNDANG-UNDANG 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

A. Pengaturan Tindak Pidana Korupsi dan Perkembangannya

1. Istilah Tindak Pidana Korupsi

Penggunaan istilah korupsi dalam peraturan tersebut terdapat pada bagian konsiderannya, yang antara lain menyebutkan, bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian Negara yang oleh khalayak ramai

51

http://syafieh74.blogspot.com/2013/05/korupsi-dan-perkembangannya-di-indonesia.html diakses tanggal 23 Februari 2015 pukul 23:42

52

Ibid, halaman 2 53

Rohim, SH, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Multi Media, Jakarta, 2008, halaman 3

dinamakan korupsi.54 Korupsi pertama kali dianggap sebagai tindak pidana di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya, Undang-Undang ini dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan terakhir sejak tanggal 16 Agustus 1999 diganti denga Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.55

Tujuan pemerintah dan pembuatan undang-undang melakukan revisi atau mengganti produk legislasi tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai modus operandi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum,

yang dapat dijadikan alasan untuk dapat melepaskan pelaku dari jeratan hukum.56

Pemahaman atas hal tersebut sangat membantu mempermudah segala tindakan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi, baik dalam bentuk pencegahan (preventif) maupun tindakan (represif). Pemberantasan korupsi tidak hanya

memberikan efek jera bagi pelaku, tetapi juga berfungsi sebagai daya tangkal. Secara umum perbuatan korupsi adalah suatu perbuatan yang melanggar norma-norma kehidupan bermasyarakat dimana dampak yang ditimbulkan sangat merugikan masyarakat dalam arti luas dan jika dibiarkan secara terus menerus, maka akan merugikan keuangan Negara/ perekonomian Negara yang

54

H. Elwi Danil. Opcit, halaman 5 55

Ibid. 56

mengakibatkan Negara tersebut gagal dalam mencapai tujuan pembangunannya, yaitu menciptakan suatu masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.

Black ‘s Law Dictionary mendefenisikan korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau

orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hal-hak dari pihak lain.57

Syed Husein Alatas mengemukakan pengertian korupsi dengan menyebutkan benang merah yang menjekujuri dalam ativitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa

akan akibat yang diderita oleh masyarakat.58

Kartono memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri. Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan

57

Rohim, SH, Opcit, halaman 7 58

http://definisipengertian.com/2012/pengertian-definisi-korupsi-menurut-para-ahli/ halaman 1

pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan

teman.59

Modus operandi dan pelaku dari tindak pidana korupsi, kejahatan korupsi

bisa dikategorikan sebagai white collar crime dalam kategori kejahatan jabatan

(occupational crime). Kejahatan jabatan dapat ditujukan terhadap berbagai

kepentingan hukum, baik kepentingan hukum dari masyarakat maupun kepentingan hukum dari individu-individu. Suatu cirri yang bersifat umum dari kejahatan jabatan tampak pada kenyataan bahwa semua kejahatan tersebut juga

ditujukan terhadap kepentingan hukum dari Negara.60

Pengertian korupsi secara hukum adalah “tindak pidana sebagaimana

yang dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi”.61

Syed Hussein Alatas mengemukakan secara sosiologis ada tiga tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni

penyuapan (briebery), pemerasan, dan nepotisme.62

Syed Hussein Alatas menjelaskan ciri-ciri korupsi antara lain sebagai

berikut:63

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;

b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah

merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka

59

http://syafieh74.blogspot.com/2013/05/korupsi-dan-perkembangannya-di-indonesia.html diakses tanggal 23 Februari 2015 pukul 23:42

60

P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatab Jabatan tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, halaman 7

61

Firman Wijaya, Opcit, halaman 7 62

Ibid. 63

yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya;

c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.

Kewajiban dan keuntungan yang dimaksud tidak selalu berupa uang;

d. Mereka yang mempraktikan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk

menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum;

e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan

mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu;

f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh

badan public atau umum (masyarakat);

g. Setiap tindakan korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

Selanjutnya ia mengembangkan 7 (tujuh) tipologi korupsi sebagai

berikut:64

1. Korupsi Transaktif, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan di antara

seorang pendonor denga resipien untuk keuntungan kedua belah pihak;

2. Korupsi Ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan dan pemaksaan

untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi;

3. Korupsi Investif, yaitu korupsi yang berawal dari tawaran yang merupakan

investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan di masa datang;

64

Chaerudin Dkk (Editor Aep Gunarsa), Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, PT Refika Aditama, 2008, halaman 2-3

4. Korupsi Nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik

dalam pengangkatan kantor public maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat;

5. Korupsi Otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat

keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insiders information) tentang berbagai kebijakan public yang seharusnya dirahasiakan; 6. Korupsi Supportif, yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang menjadi

intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan; dan

7. Korupsi Defensif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka

mempertahankan diri dari pemerasan.

Marwan membagi jenis tindak pidana korupsi dalam aspek sosiologis, yaitu :65

1. Korupsi karena kebutuhan. Bagi karyawan dan pegawai rendahan pada umumnya melakukan korupsi karena terdorong dari kebutuhan pribadi yang terasa belum dapat dicukupi dari gaji mereka. Mulai dari mencuri peralatan kantor, memeras pelanggan, menerima suap sampai dengan mengkorupsi waktu kerja.

2. Korupsi untuk memperkaya diri. Biasanya dilakukan oleh golongan pejabat

eselon didorong oleh sikap serakah, melakukan mark up terhadap pengadaan

barang kantor dan melakukan berbagai pungutan liar. Penyebabnya karena gengsi, gaya hidup mewah, haus pujian dan kehormatan, serta tidak memiliki sense of crisis.

65

Marwan Mas, Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi, Galiah Indonesia, Bogor, 2014, halaman 12

3. Korupsi karena ada peluang. Pejabat atau sebagian anggota masyarakat ketika mereka mengangap diberikan sedikit peluang akan memanfaatkan keadaaan tersebut, karena: (a) penyelenggara negara, khususnya pelayanan publik yang terlalu birokratis, (b) manajemen yang tidak terkordinasi, (c) pejabat atau petugas yang tidak bermoral.

Mengacu pada uraian di atas, maka secara umum dapat dikatakan bahwa

perilaku korupsi terjadi di Indonesia karena hal berikut :66

1. Sistem yang keliru. Negara yang baru merdeka selalu mengalami

keterbatasan SDM, modal, teknologi, dan Manajemen. Oleh karena itu, perlu perbaikan atas sistem administrasi pemerintahan dan pelayanan masyarakat yang kondusif terhadap terjadinya korupsi.

2. Gaji yang rendah. Rendahnya gaji membuka peluang terjadinya korupsi.

3. Law enforecement tidak berjalan. Sering terdengar dalam masyarakat kalau

pencuri ayam dipenjarakan, pejabat korup lolos dari jeratan hukum. Ini karena pejabat yang berwenang, khususnya penegak hukum mudah menerima suap dari koruptor atau pejabat yang membuat kesalahan. Akhirnya, koru psi berjalan secara berantai melahirkan apa yang disebut sebagai korupsi sistemik.

4. Hukuman yang ringan. Memang UU korupsi mengancam penjatuhan pidana

mati, tetapi harus memiliki syarat tertentu, ancaman pidana penjara seumur hidup, denda yang besar, serta ancaman membayar uang pengganti sejumlah yang dikorupsi, tetapi kalau tidak mampu membayar dapat diganti (subsidair)

66

dengan hukuman penjara ringan (Pasal 18 UU Korupsi). Hal tersebut tidak memberikan efek jera dan tidak menimbulkan rasa takut bagi yang lain.

5. Tidak ada keteladanan pemimpin. Sebagai masyarakat agraris rakyat

Indonesia cenderung paternalistik, yaitu mereka akan mengikuti apa yang dipraktikkan oleh pemimpin, senior, atau tokoh masyarakat. Tapi tidak adanya teladan yang baik dari pemimpin di Indonesia menyebabkan perekonomian di Indonesia masih dililit hutang dan korupsi.

6. Masyarakat yang apatis. Pemerintah mengeluarkan PP 68/ 1999 yang

menempatkan masyarakat sebagai elemen penting dalam pemberantasan korupsi. KPK membentuk Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, yang antara lain bertugas menerima dan memproses laporan dari masyarakat.