• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENYERAHAN KEWENANGAN BIDANG PERTANAHAN

B. Jenis-jenis Penyerahan Kemenangan Bidang Pertanahan

Pelimpahan wewenang oleh pemerintah kepada pejabatnya di daerah untuk menjalankan fungsi-fungsi terinci disebut dengan dekonsentrasi. Pada dekonsentrasi tersebut wewenang untuk mengurus dilimpahkan oleh pemerintah pusat, tetapi wewenang pengaturannya masih tetap di tangan mereka. Harold Alderfer menyebutkan sebagai berikut.

In deconcentration, it merely sets up administrative units or field stations, singly or in a hierarchy, separately or jointly, with orders as to what that should do it. No Major matters or policies are decided locally, no fundaental decisions taken. The central agency reservers’ all basic powers to itself. Local officials area strictly subordinate, they carry out orders.79

Dekonsentrasi menciptakan kesatuan administrasi atau instansi vertikal untuk mengemban perintah atasan. Kesatuan administrasi atau instansi vertikal tersebut merupakan bawahan dari pemerintah pusat sehingga segala sesuatu yang dilakukan oleh penerima pelimpahan kewenangan (daerah atau instansi vertikal) adalah atas nama pemberi pelimpahan kewenangan (pemerintah pusat) dalam wilayah yurisdiksi tertentu. Selain itu, di dalam dekonsentrasi juga tidak terdapat keputusan yang mendasar atau keputusan kebijaksanaan di tingkat daerah.

Hal tersebut yang menyebabkan dekonsentrasi juga disebut sebagai “desentralisasi administrasi” (administrative decentralization) karena dalam

79

Harold F. Aldelfer, Local Government in Developing Countries, Mc. Grian Hill Book Co, New York, 1964, hal. 176 dalam Dwi Andayani B, Keberadaan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia, Disertai, Pascasarjana Fakultas Hukum UI, 2004, hal 62-63.

dekonsentrasi wewenang yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada pejabat di daerah merupakan wewenang untuk mengambil keputusan administrasi.

Untuk lebih memudahkan pemahaman terhadap beberapa istilah yang akan

dibahas dalam bagian ini, berikut ini disajikan pengertian terhadap istilah-istilah di bawah ini.80

1. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah

kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

5. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

80

Sejumlah istilah tersebut menjadi istilah yang amat populer pada awal tahun 2000. Perubahan konsep administrasi pemerintahan yang lebih memberdayakan partisipasi lokal menyebabkan terjadinya pola pergeseran kekuasaan pemerintahan.

Istilah tersebut juga telah memperoleh materi muatannya dalam Undang- Undang Dasar 1945, khususnya pasal yang mengatur tentang pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam ayat (5) disebutkan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

Dalam konteks pertanahan, ketentuan ini setidaknya menimbulkan ketidakjelasan apabila kita kaitkan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan sandaran UUPA. Dalam pasal tersebut tidak disebutkan tentang

kemungkinan penyerahan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kepada pemerintah daerah, tetapi justru harus dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Secara tegas dinyatakan bahwa bidang tersebut harus dikuasai oleh negara demi terciptanya kemakmuran rakyat.

Sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 2 UUPA berdasarkan kewenangan-kewenangan yang terdapat dalam hukum tanah nasional, ternyata bahwa pembentukan hukum tanah nasional maupun pelaksanaannya menurut sifat dan pada asasnya merupakan kewenangan pemerintah pusat.

Dalam rangka otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pelimpahan kewenangan dalam otonomi adalah mengenai bidang pemerintahan. Walaupun ketentuan Pasal 11 ayat (2) undang-undang tersebut

mencakup kewenangan dibidang pertanahan, tidak berarti mencakup kewenangan di bidang hukum tanah nasional.

Oleh karena itu, pertanahan sebagai salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota dalam Pasal 11, tidak harus dicerna bahwa wewenang bidang tersebut secara utuh berada di kabupaten/kota. Wewenang yang berada di kabupaten/kota mengenai pertanahan sebatas yang bersifat lokalitas, dan tidak bersifat nasional.81

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tentang bidang-bidang yang menjadi kewenangan pemerintah daerah yang antara lain pelayanan pertanahan.

Pelaksanaan yang dilimpahkan kepada daerah dalam kerangka otonomi daerah adalah pelaksanaan hukum tanah nasional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA bahwa hak menguasai dari negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah. Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 2 UUPA disebutkan bahwa dengan demikian, pelimpahan

81

wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari negara atas tanah itu dilakukan dalam rangka tugas medebewind.

Kewenangan yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a UUPA, yaitu wewenang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan tanah di daerah yang bersangkutan, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat 2 UUPA yang meliputi perencanaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.

Berdasarkan Pasal 14 UUPA dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pemerintah daerah diberi wewenang mengatur peruntukan, penggunaan, dan persediaan serta pemeliharaan tanah. Penataan ruang meliputi suatu proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.82

Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, wewenang penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang, didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif. Dengan pendekatan wilayah administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah

82

Indonesia, Undang-Undang Agraria, Op.cit, Pasal 14, bandingkan dengan Ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

kabupaten, dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut merupakan subsistem ruang menurut batasan administratif.

Di dalam subsistem tersebut, terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan, dan dengan tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang apabila tidak ditata dengan baik, dapat mendorong ke arah adanya ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah serta ketidaksinambungan pemanfaatan ruang.83

Menurut rumusan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan

pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi :84

1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; 4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;

5. Penanganan bidang kesehatan;

6. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; 7. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;

8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;

83

Indonesia, Undang-Undang tentang Penataan Ruang, UU No. 26 Tahun 2007, LN No. 68 Tahun 2007, TLN No. 4725, Penjelasan.

84

9. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;

10.Pengendalian lingkungan hidup;

11.Pelayaran pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; 12.Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;

13.Pelayanan administrasi umum pemerintahan;

14.Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;

15.Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan

16.Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Sementara itu, urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Di samping itu, menurut rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi :85

1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;

85Ibid,

4. Penyediaan sarana dan prasarana umum; 5. Penanganan bidang kesehatan;

6. Penyelenggaraan pendidikan; 7. Penanggulangan masalah sosial; 8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;

9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; 10.Pengendalian lingkungan hidup;

11.Pelayanan pertanahan;

12.Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13.Pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14.Pelayanan administrasi penanaman modal; 15.Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

16.Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Sementara itu, urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Undang-undang ini memang menyebutkan pelayanan pertanahan sebagai salah satu kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota. Terkait dengan hal ini muncul pertanyaan yaitu, bagaimana kriteria dan mekanisme pelayanan pertanahan dan bagaimana landasan konsepsinya terhadap pembagian urusan

pemerintahan tersebut. Apakah serta merta menjadi kewenangan penuh dari pemerintah kabupaten/kota dengan menegasikan peran Badan Pertanahan Nasional.

Untuk membahas Pasal 13 dan 14 undang-undang tersebut, perlu kita cermati ketentuan Pasal 10 yang mengatur tentang pembagian urusan pemerintahan. Dalam ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah, dengan menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Terhadap hal ini, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah pusat meliputi :86

1. Politik luar negeri 2. Pertahanan 3. Keamanan 4. Yustisi

5. Moneter dan fiskal nasional; dan 6. Agama

Dalam rangka menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan wajib pemerintah pusat tersebut, pemerintah dapat :87

1. Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;

86Ibid,

Pasal 10 ayat (3) 87Ibid,

2. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil pemerintah;

3. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

Ketentuan pasal ini jika kita kaitkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA yang mengatakan bahwa hak menguasai dari negara pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Penjelasan pasal ini semakin menyatakan bahwa kewenangan pertanahan sesungguhnya merupakan kewenangan pemerintah pusat yang menyatakan bahwa soal agraria menurut sifatnya dan pada asasnya merupakan tugas pemerintah pusat. Dengan demikian, pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan negara atas tanah itu adalah merupakan medebewind.

Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang dalam bidang agraria dapat merupakan sumber keuangan bagi daerah itu.

Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan daerah atau desa termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari pemerintah atau pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah di bidang tertentu. Dalam hal ini, untuk melaksanakan kewenangan bidang pertanahan yang merupakan tugas pembantuan, pemerintah daerah dapat membentuk dinas pertanahan, dapat

melaksanakan tugas pembantuan tersebut melalui struktur pemerintahan yang ada misalnya bagian hukum.

Dalam rangka menghemat biaya dan memudahkan tersedianya pejabat pelaksana yang profesional dan berpengalaman, demikian juga dalam memelihara koordinasi dengan pelaksanaan tugas-tugas kewenangan lain di bidang pertanahan, yang ada pada pemerintah, dalam melaksanakan urusan-urusan yang ditugaskan dalam rangka medebewind, tidak perlu pemerintah provinsi, kabupaten/kota

membentuk perangkat pelaksana sendiri. Dengan tidak mengurangi tugasnya sebagai perangkat BPN, cukup kantor wilayah BPN provinsi, kantor pertanahan kabupaten/kota diperbantukan kepada provinsi, kabupaten/kota yang bersangkutan dengan tetap berstatus perangkat Pemerintah Pusat, demikian juga pejabat dan karyawannya.88

C. Peraturan Terkait di Bidang Penyerahan Kewenangan Pertanahan Kepada Pemerintah Daerah

1. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan

Dalam rangka mewujudkan konsepsi, kebijakan, dan sistem pertanahan nasional yang utuh dan terpadu, serta pelaksanaan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001

88

Boedi Harsono, 46 Tahun UUPA, Usaha Penyempurnaan yang Belum Selesai, Makalah disampaikan pada Pertemuan Tahunan Memperingati Hari Ulang Tahun UUPA, Jakarta, 14 September 2006, hal. 12.

tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Badan Pertanahan Nasional melakukan langkah-langkah percepatan :89

1. Penyusunan Rancangan Undang-Undang Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Rancangan Undang-Undang tentang Hak Atas Tanah serta peraturan perundang-undangan lainnya dibidang pertanahan;

2. Pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan yang meliputi : a. Penyusunan basis data tanah-tanah aset negara/pemerintah/pemerintah

daerah di seluruh Indonesia;

b. Penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan pendaftaran tanah dan penyusunan basis data penguasaan dan pemilikan tanah yang dihubungkan dengan e-government, e-commerce dan e-payment;

c. Pemetaan kadastral dalam rangka inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan teknologi citra satelit dan teknologi informasi untuk menunjang kebijakan pelaksanaan landreform dan pemberian hak atas tanah;

d. Pembangunan dan pengembangan pengelolaan penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui sistem informasi geografi dengan mengutamakan penetapan zona sawah beririgasi dalam rangka memelihara ketahanan pangan nasional.

89

Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, No. 34 Tahun 2003, Pasal 1.

Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan menyebutkan tentang bagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan tersebut antara lain :

1. Pemberian izin lokasi;

2. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; 3. Penyelesaian sengketa tanah garapan;

4. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; 5. Penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah

kelebihan maksimum dan tanah absentee;

6. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; 7. Pemanfaatan dan penyelesaian tanah kosong; 8. Pemberian izin membuka tanah;

9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.

Untuk kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi, dilaksanakan oleh pemerintah provinsi yang bersangkutan.90

Berdasarkan kerangka kebijakan pertanahan nasional yang disusun oleh Tim Teknis Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pertanahan, disebutkan bahwa kebijakan pertanahan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut :91

90

Ibid, Pasal 2. 91

Tim Teknis Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pertanahan, Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas dan Direktorat Pengukuran dan Pemetaan BPN, Jakarta, 2004, hal. v.

1. Tanah adalah aset bangsa Indonesia yang merupakan modal dasar pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, pemanfaatannya haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Dalam hal ini harus dihindari adanya upaya menjadikan tanah sebagai barang dagangan, objek spekulasi, dan hal lain yang bertentangan dengan prinsip- prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

2. Kebijakan pertanahan didasarkan kepada upaya konsisten untuk menjalankan amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yaitu “..bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat…” Oleh karena itu, merupakan tugas negara untuk melindungi hak-hak rakyat atas tanah dan memberikan akses yang adil atas sumber daya agraria, termasuk tanah.

3. Kebijakan pertanahan diletakkan sebagai dasar bagi pelaksanaan program pembangunan dalam upaya mempercepat pemulihan ekonomi yang difokuskan kepada ekonomi kerakyatan, pembangunan stabilitas ekonomi nasional dan pelestarian lingkungan.

4. Kebijakan pertanahan merupakan dasar dan pedoman bagi seluruh kegiatan pembangunan sektoral yang memiliki kaitan, baik secara langsung maupun tidak dengan pertanahan.

5. Kebijakan pertanahan dibangun atas dasar partisipasi seluruh kelompok masyarakat sebagai upaya mewujudkan prinsip good governance dalam

6. Kebijakan pertanahan diarahkan kepada upaya menjalankan TAP MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, khususnya Pasal 5 ayat 1.

Untuk mewujudkan tujuan kebijakan pertanahan tersebut, arah kebijakan pertanahan dan rencana tindak adalah sebagai berikut :92

1. Reformasi peraturan perundang-undangan yang menyangkut pertanahan, dengan rencana tindak : mengembangkan dan menetapkan undang-undang pokok yang memayungti keseluruhan peraturan perundangan sektoral lainnya; sinkronisasi seluruh peraturan perundangan yang terkait dengan pertanahan; revisi atas seluruh peraturan perundang-undangan pertanahan yang tidak sesuai dengan prinsip- prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945; mengintegrasikan pelaksanaan serta menegakkan berbagi ketentuan perundangan-undangan pertanahan bagi semua pihak.

2. Pengembangan kelembagaan pertanahan, dengan rencana tindak : menentukan kewenangan bidang pertanahan antar sektor dan tingkat pemerintahan; menentukan struktur kelembagaan pertanahan sesuai dengan kewenangan tersebut di atas; memperkuat kelembagaan pertanahan sesuai dengan tugas dan fungsinya; serta meningkatkan kemampuan sumber daya manusia pelaksana pengelola pertanahan dalam upaya mengefektifkan pelayanan kepada masyarakat sebagaimana dikemukakan dalam prinsip pelaksanaan otonomi daerah.

92Ibid, hal vi

3. Peningkatan pengelolaan pendaftaran tanah dan percepatannya, dengan rencana tindak : mengembangkan sistem pendaftaran tanah yang efektif dan efisien sebagai upaya memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah; mengembangkan sistem informasi berbasis tanah yang terpadu dan komprehensif untuk mendukung proses percepatan pendaftaran tanah dan sistem perpajakan tanah; mewajibkan pendaftaran tanah atas emua jenis hak atas tanah; penataan infrastruktur pendaftaran tanah dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

4. Pengembangan penatagunaan tanah dengan rencana tindak : mengembangkan mekanisme perencanaan tata guna tanah yang komprehensif sesuai dengan karakteristik dan daya dukung lingkungannya dengan menerapkan prinsip good

governance (transparansi, partisipasi, dan akuntabel) mulai dari tingkatan

nasional, regional, dan lokal; melaksanakan rencana tata guna tanah secara transparan berdasarkan kebutuhan masyarakat, pemerintah maupun swasta; membangun mekanisme pengendalian atas pelaksanaan rencana tata guna tanah yang mengikutsertakan berbagai pihak terkait secara efektif; mengembangkan mekanisme perizinan dalam upaya peningkatan daya guna dan hasil guna pengelolaan tata guna tanah.

5. Pengembangan sistem informasi berbasis tanah dengan rencana tindak : menentukan dan mengembangkan standar sistem informasi berbasis tanah untuk setiap level pemerintahan dan atau institusi; menentukan dan mengembangkan pengaturan untuk pertukaran data dan akses informasi, perubahan data

menyangkut updating dan edit, serta penyajian informasinya; mengembangkan

pola koordinasi teknis untuk pertukaran dan pemanfaatan data dari berbagai institusi yang mengumpulkan, menyimpan/memiliki, dan menggunakan informasi berbasis tanah dalam rangka efisiensi dan efektivitas pelayanan informasi bagi semua pihak, mengembangkan sistem informasi pertanahan yang didukung oleh teknologi informasi, sistem komputerisasi dan komunikasi serta sumber daya manusia yang andal.

6. Penyelesaian sengketa tanah dengan rencana tindak; menyelesaian sengketa tanah secara komprehensif; membentuk mekanisme dan kelembagaan dalam penyelesaian sengketa pertanahan sebagai upaya mengeliminasi berbagai gejolak sosial akibat sengketa; serta memprioritaskan penanganan sengketa kepada kasus- kasus struktural yang memiliki dampak sosial ekonomi dan politik yang sangat besar dengan cara yang berkeadilan.

7. Pengembangan sistem perpajakan tanah dengan rencana tindak; mengembangkan sistem perpajakan tanah sebagai salah satu instrumen dalam distribusi aset tanah yang berkeadilan; menerapkan mekanisme distribusi pendapatan yang bersumber dari pajak tanah sebagai upaya mengefektifkan pengawasan atas pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah; serta memberikan insentif dalam upaya mendorong pemanfaatan tanah secara maksimal dan disinsentif bagi penguasaan tanah secara berlebihan yang tidak memberikan manfaat yang maksimal.

8. Perlindungan hak-hak masyarakat atas tanah dengan rencana tindak : mengakui dan melindungi semua jenis hak atas tanah yang saat ini sudah dimiliki, baik oleh

masyarakat individu, kelompok masyarakat (tanah ulayah), badan hukum tertentu, serta instansi pemerintah tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; serta memberikan jaminan kepastian hukum pola hubungan kelembagaan dalam penguasaan tanah.

9. Peningkatan akses atas tanah dengan rencana tindak : membuka akses yang adil kepada seluruh masyarakat, khususnya kelompok masyarakat miskin, untuk dapat menguasai dan atau memiliki tanah sebagai sumber penghidupannya, melalui kegiatan landrefrom; mengaitkan kegiatan landreform dengan berbagai kegiatan

pembangunan lainnya sebagai upaya mengatasi masalah kemiskinan, baik di pedesaan maupun di perkotaan; serta memberdayakan kelompok masyarakat

miskin penerima tanah objek landreform dan masyarakat secara luas melalui

program-program departemen atau instansi pemerintah terkait.

2. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional

Eksistensi Badan Pertanahan Nasional yang memiliki tugas dan kewajiban di bidang pertanahan dipertegas dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006

tentang Badan Pertanahan Nasional. Dalam salah satu pertimbangan terbitnya Peraturan Presiden ini adalah bahwa tanah merupakan alat pemersatu Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa fenomena desentralisasi bidang pertanahan melalui model otonomi kepada daerah otonom tidak menjadi kenyataan

Dokumen terkait