• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Urgensi Perlindungan Hukum

2. Jenis-Jenis Pertanggungjawaban

Pembahasan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban dalam perseroan menjadi semakin menarik, karena pertanggungjawaban tersebut dijadikan sebagai salah satu pertimbangan mengapa kalangan pengusaha lebih memilih mendirikan Perseroan Terbatas untuk menjadi badan hukum bagi perusahaannya. Pengutamaan perseroan dalam pilihan tersebut tercermin pula dari pandangan, bahwa ada beberapa

faktor atau alasan mengapa seorang pengusaha memilih Perseroan Terbatas untuk menjalankan usaha dibandingkan dengan bentuk perusahaan lain seperti Persekutuan Perdata, Koperasi, Firma, CV, yaitu semata-mata untuk mengambil manfaat karakteristik pertanggungjawaban terbatas.7

Namun demikian perlu ditegaskan dari penjelasan di atas bahwa pertanggungjawaban perseroan terbatas yang pada dasarnya merupakan suatu instrumen yang khas perseroan terbatas itu tidak semata-mata dimanfaatkan kemudahannya apalagi disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang tercela dalam dunia bisnis.

Untuk menuju kinerja perseroan yang efektif dan efisien, Pemegang Saham, Direksi, Komisaris dan konstituen-konstituen perseroan lainnya harus memahami tidak hanya pertanggungjawaban terbatas, tetapi juga komponen-komponen lain dari sistem pertanggungjawaban perseroan pada umumnya. Secara garis besarnya sistem pertanggungjawaban dalam perseroan terdiri dari :

a. Tanggungjawab Pemegang Saham

Sehubungan dengan uraian mengenai tanggung jawab pemegang saham terlebih dahulu hendaknya dipisahkan antara Pemegang Saham dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang merupakan salah satu organ perseroan. Sementara itu Pemegang saham pada dasarnya merupakan pribadi atau orang dan atau badan hukum yang memiliki saham-saham suatu perseroan. Dengan demikian Pemegang Saham

7

bukanlah organ perseroan. Berbeda halnya dengan RUPS, Pemegang Saham tidak memiliki kewenangan, melainkan kewajiban pokok yaitu melakukan penyetoran atas modal saham yang diambilnya, dan suatu tanggungjawab. Adapun tanggungjawab yang dimaksud adalah seperti yang tertuang dalam Pasal 3 UUPT yakni tanggungjawab tersebut meliputi tanggungjawab terbatas dan tanggungjawab pribadi.

Tanggungjawab terbatas mengandung pengertian, dimana pemegang saham perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimilikinya (Pasal 3 ayat 1).8

Tanggungjawab pribadi mengandung pengertian, pemegang saham perseroan tidak dibatasi lagi tanggungjawabnya dalam hal persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi,yang bersangkutan dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi, yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan dan yang bersangkuatan secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan (Pasal 3 ayat 2).9

8

(Pasal 3 ayat 2) “Pasal Pemegang saham Perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki”.

9(Pasal 3 ayat 2)”ketentuan-ketentuan yang sebagaimana dimaksud pada pasal 3 ayat 1 tidak berlaku”.

Tanggungjawab pribadi terhadap pemegang saham yang antara lain seperti tertuang dalam ketentuan tersebut pada intinya merupakan suatu asas atau prinsip dalam pengertian mengecualikan berlakunya asas tanggungjawab terbatas Pemegang Saham.

Asas tanggungjawab pribadi bersifat adanya tanggungjawab yang keberadaan prinsipnya yang selama ini membentengi dan menjadi kebanggaan bagi pemegang saham. Oleh karena sifatnya yang menguak suatu hambatan, maka kinerja asas tanggungjawab pribadi tersebut disebut pula dengan Piercing The Corporate Veil

Principle. Berdasarkan Piercing The Corporate Veil Principle, tanggungjawab

terbatas pemegang saham dapat menjadi hapus apabila terbukti telah terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perseroan, sehinga perseroan yang didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya.10

b. Tanggungjawab Komisaris

UUPT pada dasarnya menentukan tanggung jawab Komisaris secara limitatif dan ketentuan-ketentuannya dapat dijumpai dalam Pasal 114 dan Pasal 115. Dari kedua pasal tersebut dapat diketahui, bahwa ruang lingkup tanggung jawab Komisaris itu meliputi dua hal yaitu:

1. Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan perseroan menyangkut kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan, dan memberi nasehat kepada Direksi (Pasal 114 ayat 1 yang merujuk Pasal 108 ayat 1),

2. Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi (Pasal 115).

10

Jamin Ginting, 2007, Hukum Perseroan Terbatas(UU. No. 40 Tahun 2007), Citra Aditya Bakti,Bandung, h. 19

Jika Komisaris melaksanakan tanggungjawab yang kedua, berarti Komisaris tunduk pada Sistem Majelis. Sistem Majelis ini dimaksudkan bahwa seseorang tidak dapat bertindak sendiri terlepas satu sama lain dalam hal mewakili satu kelompok. Melainkan haruslah selalu bertindak secara bersama-sama.11

Sistem Majelis adalah sesuai dengan Pasal 108 ayat (3) dan (4) yang pada pokoknya menentukan Dewan Komisaris terdiri atas 1 (satu) orang anggota atau lebih. Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota merupakan majelis dan setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris.

UUPT menetapkan organ Komisaris tersebut sebagai dewan atau board, dan apabila anggotanya lebih dari satu, maka dewan itu sudah merupakan suatu majelis

(assembly). Oleh karena karakteristik kinerja suatu assembly bertumpu pada

kebersamaan dari setiap anggota, maka Dewan Komisaris sebagai majelis harus bertindak dan bertanggungjawab secara bersama-sama. Tanggungjawab inilah yang dalam UUPT dikukuhkan dengan konsep Tanggungjawab Renteng.

c. Tanggungjawab Direksi

Seperti halnya Dewan Komisaris, tanggungjawab Direksi pun juga diatur secara limitatif. Pengatuan mengenai tanggungjawab Direksi dapat dijumpai dalam Pasal 97 ayat (1) ayat (3), dan ayat (4). Ketentuan-ketentuan tersebut pada pokoknya menentukan, Direksi bertanggungjawab atas pengurusan Perseroan untuk

11

Munir Fuady, 2002, Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek, Buku Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 74.

kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan (Pasal 97 ayat (1) yang merujuk Pasal 92 ayat 1). Setiap anggota Direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya (Pasal 97 ayat 3). Dalam hal Direksi terdiri atas 2(dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku tanggung jawab renteng bagi setiap anggota Direksi (Pasal 97 ayat 4).

Tidak seperti Dewan Komisaris yang dapat merupakan majelis, keberadaan Direksi menurut UUPT tidak dirancang sebagai majelis, akan tetapi personalia atau anggotanya dapat terdiri lebih dari 1(satu) orang. Oleh karena itu dari aspek pertanggungjawaban, pada satu sisi Direksi menganut Sistem Individual

Representatif, dan pada sisi lainnya tunduk pada Sistem Kolegial. Sistem Individual

Representatif memperkenalkan semacam otoritas yang mana seseorang dapat

bertindak sendiri untuk mewakili satu kelompok.12

Implementasi sistem di atas dapat dijumpai dalam Pasal 98 ayat (2) yang pada pokoknya menentukan, dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar. Dewan Komisaris melaksanakan tugas sesuai karakteristik majelis, sedangkan Direksi menunaikan tugas-tugas yang dibebankan berdasarkan model yang bersifat kolegial.13

Sistem kolegial di atas pada intinya juga dapat diterapkan terhadap Direksi yang melakukan perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan Komisaris Perseroan dan mereka semua bertanggungjawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut.14

12

Munir Fuady,Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek, Buku Ketiga,h.74

13

Munir Fuady,Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek, Buku Ketiga,h.76.

14

d. Pertanggungjawaban Dalam Hubungannya Dengan Pihak Investor

Uraian mengenai sistem pertanggungjawaban perseroan yang telah ditentukan secara limitatif dan telah pula disesuaikan dengan organ 156 organ perseroan tersebut pada akhirnya menimbulkan persoalan siapakah yang bertanggung jawab dalam hal pihak ketiga mengalami kerugian akibat perjanjiannya dengan perseroan yang ultra vires.

Pemegang saham yang tanggungjawabnya juga dapat meliputi antara lain perbuatan hukum yang dilakukan untuk dan atas nama Perseroan oleh anggota Direksi sebelum pengangkatannya batal (Pasal 95 ayat 3), pada dasarnya dapat diminta memberikan pertanggungjawaban secara pribadi sepanjang dapat dibuktikan bahwa tindakan ultra vires itu dilakukan untuk memenuhi tujuan pribadi pemegang saham. Demikian pula halnya dengan Dewan Komisaris dan Direksi. Diantara

stakeholder perseroan yang telah disebutkan itu, Direksilah yang menjadi sasaran

yang paling relevan untuk diminta pertanggungjawaban dalam hal pihak ketiga mengalami kerugian akibat perjanjiannya dengan perseroan yang ultra vires. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa oleh undang-undang Direksi sudah ditetapkan sebagai wakil perseroan baik didalam maupun di luar pengadilan. Dengan demikian Direksilah yang berhadapan langsung dengan pihak ketiga.

Prinsipnya, mengingat pihak ketiga yang beritikad baik dan tidak menyadari adanya unsur ultra vires itu harus memperoleh perlindungan hukum, maka secara logika haruslah ada pihak yang dapat diminta pertanggungjawabanya, dalam

pengertian harus terdapat solusi atau upaya-upaya baik yang bertujuan mencegah maupun yang bersifat remedial atau memulihkan.

B. Pelaksanaan Upaya Remedial Terhadap Pihak Investor. 1. Bentuk-Bentuk Upaya Remedial

Fasilitas yang diberikan itu dapat dilaksanakan terhadap kesalahan pihak lawan dalam perjanjian. Istilah Remedy pada dasarnya merupakan kata benda yang sudah umum dipergunakan dalam uraian-uraian mengenai ultra vires sebagai konsep atau istilah untuk upaya-upaya yang bertujuan memperbaiki dan atau memulihkan kerugian-kerugian yang dialami oleh pihak ketiga akibat perjanjiannya dengan perseroan dinyatakan ultra vires.

Dari uraian mengenai pengertian remedy tercermin dua tindakan, pertama, tindakan yang mengandung aspek memperbaiki dan mencegah, serta yang kedua, tindakan atau upaya yang mengandung aspek yang bertujuan memulihkan. Oleh karena itu uraian selanjutnya mengenai bentuk-bentuk upaya remedial sudah tentu akan disesuaikan dengan aspek-aspek tersebut yaitu :

a. Ratifikasi

Berdasarkan pengertian yang umum, ratifikasi merupakan suatu langkah memberi konfirmasi terhadap tindakan yang telah dilakukan sebelumnya baik oleh pihak pihak pemberi konfirmasi maupun yang lainnya sehingga dengan demikian dapat pula dikemukakan, adanya ratifikasi tersebut sebenarnya menunjukkan adanya suatu penerimaan atau pengakuan terhadap perjanjian-perjanjian yang sebelumnya

telah dibuat tanpa mengindahkan atau tidak sesuai dengan ruang lingkup wewenang yang ada.

Perseroan pada umumnya Ratifikasi diberikan melalui RUPS atau merupakan hasil atau keputusan RUPS. Dengan melaksanakan prosedur ratifikasi seperti itu, maka segala tindakan dan kontrak yang diratifikasi menjadi sah bahwa itu menjadi tanggung jawab perseroan. Ratifikasi tidak dapat diberikan semata-mata karena tindakan atau kontrak yang telah dilakukan menguntungkan perseroan, melainkan harus sesuai dengan kriteria tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Dengan perkataan lain, penilaian dalam rangka ratifikasi tindakan Direksi masih didasarkan kembali pada ukuran-ukuran apakah dalam melaksanakan tindakan tersebut sudah dilandasi prinsip fiduciaries duties dimana Direksi memegang kepercayaan dalam bertindak untuk kepentingan perseroan. Apabila tindakan yang akhirnya dinyatakan ultra vires itu hendak diakui atau diterima sebagai tindakan yang

intra vires melalui ratifikasi, maka tindakan sebelumnya yang tidak tercantum itu

haruslah dimasukan dan menjadi bagian ketentuan maksud, tujuan serta kegiatan usaha perseroan dalam anggaran dasar perubahan.

Di Indonesia mengubah anggaran dasar baik secara umum maupun khusus yang meliputi maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan telah diatur dalam peraturan undang-undang yaitu Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 UUPT. Dalam proses perubahan ini anggaran dasar perseroan diperiksa dan dinilai kembali oleh Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia untuk memperoleh pengesahan.

Dilakukannya ratifikasi terhadap tindakan Direksi yang ultra vires justru memberikan keuntungan tersendiri bagi Direksi. Apabila sebelumnya Direksi karena tindakan ultra vires yang dilakukannya diwajibkan untuk bertanggungjawab secara pribadi dengan dilakukannya ratifikasi yang berarti pula merupakan pengesahan terhadap perjanjian yang ultra vires sehingga menjadi tanggungjawab perseroan, maka dengan demikian Direksi terbebaskan dari tanggungjawab tersebut. Disamping Direksi, pihak ketiga pun memperoleh manfaat yang tidak kecil.

Sehubungan oleh itu, maka pihak ketiga dapat mengharapkan keuntungan dan yang terpenting kerugian yang kemungkinan timbul karena perjanjian dihentikan akhirnya dapat dicegah. Dari uraian di atas dapatlah dipetik makna bahwa langkah perseroan dalam hal ini RUPS melakukan ratifikasi terhadap tindakan Direksi yang

ultra vires pada dasarnya merupakan upaya yang bersifat remedial dalam pengertian

ratifikasi tersebut bertujuan memperbaiki kondisi perjanjian dan mencegah kerugian.

b. Ganti rugi

Ganti rugi atau damages pada dasarnya merupakan suatu kompensasi dalam bentuk pemberian sejumlah uang. Oleh karena itu pemberian ganti rugi juga merupakan salah satu bentuk upaya remedial untuk menanggulangi kerugian yang timbul sebagai akibat dihentikanya perjanjian pihak ketiga dengan perseroan yang

ultra vires. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan bahwa kajian hukum memang

mengenal lebih dari sekitar 25 (dua puluh lima) jenis ganti rugi. Akan tetapi untuk menanggulangi kerugian yang timbul dari perjanjian yang ultra vires, tidak semua jenis ganti rugi tersebut mengandung relevansi untuk dapat diterapkan.

Penerapan jenis-jenis ganti rugi yang efektif dan efisien dalam hubungannya dengan akibat tindakan ultra vires harus disesuaikan dengan bentuk-bentuk kerugian yang terjadi, dan sebagaimana telah diuraikan pada pokoknya terdapat dua bentuk kerugian, pertama, kerugian berupa sumber-sumber yang telah dialokasikan untuk menunjang sampai tahap pelaksanaan, akan tetapi perjanjianya sendiri dihentikan sebelum berakhir jangka waktunya, dan kedua, kerugian karena tidak berhasil memperoleh keuntungan yang terjadi dengan dilaksanakan perjanjian secara penuh.