• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jumlah, Area, Lokasi dan Sebaran Perdagangan Pakaian Bekas

PERGERAKAN DAN KOMODIFIKASI PAKAIAN BEKAS

A. Pertumbuhan dan Pergerakan Perdagangan Pakaian Bekas

A.2. Jumlah, Area, Lokasi dan Sebaran Perdagangan Pakaian Bekas

Gerai pakaian bekas di Yogyakarta yang sejauh ini bisa dijangkau lewat penelitian lapangan tercatat sebanyak 57 buah.12 Dari total keseluruhan gerai yang ada 40 buah (70%) di antaranya dilakukan dalam manajemen keluarga, dalam arti hanya terbatas melibatkan satu keluarga (batih, familiy) yang di dalamnya terdiri dari: suami, isteri, dan anak atau saudara. Sementara itu 17 buah sisanya (30%) dikelola dalam manajemen yang relatif modern. Hal itu bisa dilihat dari cara pedagang melibatkan sejumlah tenaga kerja lokal Yogyakarta yang mereka pekerjakan sebagai pramuniaga seperti halnya pada awal 2000-an. Dari ke-17 gerai pakaian bekas sebagaimana disebutkan dalam kategori terakhir 9 buah di antaranya berada di bawah bendera dagang “Sandang Murah” milik Fadel; 3 buah di bawah nama “Mega Obral”, “Anissa Collection” dan “Annisa Fashion” milik Tedy; 5 buah di bawah nama “Top Obral”, “Vina Collection”, dan 3 buah sisanya berada di bawah payung “XX” (baca: tanpa nama) sebagaimana dimiliki oleh Amrizal.

Sejak awal kemunculannya perdagangan pakaian bekas berkembang melalui jalur rantai. Kegiatan itu melibatkan tiga pelaku dan tiga peran dengan tanggung jawab yang berbeda, yakni: pengepul (grosir), perantara (distributor), dan pengecer. Untuk posisi grosir masing-masing dipegang oleh tiga orang, yakni: Haji Haryono

83

yang berdomisili di Kediri, Jawa Timur; Fredi yang berdomisili Pasar Tanah Abang, Jakarta; dan Reinhard Simanjuntak yang berdomisili di Medan, Sumatera Utara. Di lapangan Haji Haryono berperan mengoordinasi seluruh perdagangan pakaian bekas untuk wilayah Jawa dan Madura, sementara Fredi mengawaki seluruh perdagangan pakaian bekas di wilayah Jakarta dan Bandung, dan Reinhard Simanjuntak mengendalikan seluruh perdagangan pakaian bekas di wilayah Sumatera. Fadel, Tedy, dan Amrizal, awalnya adalah distributor untuk wilayah Yogyakarta di bawah koordinasi Haji Haryono. Pasca pelarangan dari pemerintah, ketiganya memutuskan memilih menjadi pengecer dengan cara membuka gerai pakaian bekas sendiri.13

`Dari ke-57 gerai pakaian bekas sebagaimana diidentifikasikan di lapangan tersebar di tiga area, yakni: dalam kota, pinggir kota, dan luar kota. Area dalam kota adalah daerah yang secara administratif termasuk wilayah Kota (atau provinsi). Area pinggir kota adalah daerah yang secara administratif ada di perbatasan antara

13Wawancara secara terpisah dengan Tedy, Fadel, dan Amrizal pada 10 Mei 2010.

Gambar 4a

Gerai Pakaian Bekas di Dalam Kota

84

Gambar 4b

Gerai Pakaian Bekas di Dalam Kota

Gerai Pakaian Bekas “Sandang Murah”, Jl. Diponegoro (Tugu).

wilayah Kota dan Kabupaten. Area luar kota adalah daerah yang secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten. Gerai pakaian bekas pinggir kota, perbatasan antara wilayah Kota dan wilayah Kabupaten Sleman tersebar di daerah Depok, Demangan, Babarsari, dan Wirobrajan. Gerai di perbatasan antara wilayah Kota dan Kabupaten Bantul tersebar di daerah Karangkajen, Rejowinangun, dan Glagahsari. Sementara gerai pakaian bekas luar kota di wilayah Kabupaten Sleman meliputi daerah Cebongan, Senuko, Godean, Beran, Ngaglik, dan Gamping; dan daerah Banguntapan untuk wilayah Kabupaten Bantul.

Berdasarkan ketiga area atau wilayah sebaran perdagangan pakaian bekas di atas, tampak bahwa ke-57 gerai yang ada di Yogyakarta tersebar secara merata. Meskipun begitu jumlah, proporsi, dan persentase gerai pakaian bekas di setiap area cukup bervariasi. Menurut data yang berhasil dikumpulkan selama observasi di lapangan, jumlah gerai pakaian bekas di area dalam kota tercatat sebanyak 30 buah atau 53% dari total keseluruhan gerai pakaian bekas yang ada di pelbagai tempat di

85

Yogyakarta.14 Sementara itu jumlah gerai yang bertempat di area pinggir kota atau perbatasan tercatat sebanyak 14 buah atau 24% dari keseluruhan gerai yang ada.15

Sedangkan jumlah gerai di area luar kota tercatat sebanyak 13 buah atau 23% dari total gerai yang ada.16 Dari jumlah dan persentase ketiga area itu tampak bahwa wilayah dalam kota merupakan area terpadat dan berada di urutan pertama, disusul dengan area pinggir kota, dan terakhir adalah area luar kota. Perhitungan tentang jumlah dan sebaran gerai di ketiga area itu disajikan pada Tabel 2 berikut.

Pada Tabel 2 di atas, ada satu hal yang kiranya cukup penting untuk mendapatkan perhatian. Dari angka-angka sebagaimana tertera dalam tabel itu tampak bahwa jumlah antara gerai pakaian bekas yang ada di pinggir dan luar kota dibandingkan dengan jumlah gerai di dalam kota tidak terpaut jauh. Lebih lanjut selisih angka tersebut menandai terjadinya pergeseran trend perdagangan pakaian

14 Ke-30 buah gerai itu, 4 buah di Ngupasan, 5 buah di Ngampilan, 4 buah di Umbulharjo, 1 buah di Pakualaman, 5 buah di Ngasem, 1 buah di Poncowinatan, 1 buah di Suryatmajan, 1 buah di Randubelang, 3 buah di Sentul, 4 buah diTamansari, dan 1 buah diMergangsan.

15 Ke-14 buah gerai itu 1 buah di Condong Catur, 2 buah di Catur Tunggal, 2 buah di Karangkajen, 1 buah di Demangan, 1 buah di Banguntapan, 1 buah di Rejowinangun, 2 buah di Glagahsari, 2 buah di Wirobrajan, dan 2 buah di Gamping.

16 Ke-13 buah gerai itu 3 buah di Cebongan, 3 buah di Senuko, 1 buah di Ngijon, 1 buah di Rejondani, 1 buah di Beran, dan 2 buah di Gamping, 1 buah di Ngancar.

Area Jumlah Persentase

Dalam Kota 30 53

Pinggir Kota 14 24

Luar Kota 13 23

Total 57 100 Tabel 2

Area dan Sebaran Gerai Pakaian Bekas di Yogyakarta (Hingga Tahun 2012)

86

Gambar 5

Gerai Pakaian Bekas di Batas Kota

Atas: Gerai pakaian bekas “Anissa Fashion” & “Annisa Collection”, Jl. Wates Km. 3. Bawah: Gerai pakaian bekas “Sandang Murah, Jl. Adisucipto.

bekas dari dalam kota ke sisi luar kota. Berdasarkan pada pengamatan atas titik-titik persebaran gerai pakaian bekas di lapangan dan konfirmasi dengan sejumlah pedagang, wilayah dalam kota kini tidak lagi menjadi area pilihan utama untuk menempatkan atau membuka gerai di sana.17 Hal itu bertolak belakang dengan waktu sebelumnya yang menempatkan area dalam kota sebagai area favorit perdagangan. Jika begitu, apa yang mendorong adanya pergeseran itu?

17 Wawancara secara terpisah masing-masing dengan Amrizal (Jl. Parangtritis) dan Dedi (Jl. Godean) pada 15 Oktober 2011.

87

Gradasi area dan sebaran perdagangan pakaian bekas yang cenderung bergerak ke arah sisi luar kota sebagaimana dikemukakan di atas sejauh ini berkait berkelindan dengan tiga faktor. Pertama, berkaitan dengan semakin padatnya kegiatan ekonomi di area dalam kota. Hal itu ditandai dengan kian bertumbuhnya pusat-pusat konsumsi baik yang bersifat material maupun jasa. Kondisi semacam ini dalam perkembangan kemudian berimplikasi pada makin ketatnya persaingan usaha di kawasan itu. Kompetisi usaha di area kota dari waktu ke waktu semakin meningkat. Khusus berkaitan dengan gerak perdagangan pakaian bekas, kondisi itu mengakibatkan semakin tinggi atau mahalnya harga sewa tempat usaha di kawasan itu. Sebagai contoh dan perbandingan, jika harga sewa tempat usaha di sepanjang Jl. Kaliurang pada tahun 2000-an masih berada dalam kisaran angka antara Rp. 5,5 juta hingga Rp. 7,5 juta per tahun, maka sekarang harga sewa itu telah menembus angka Rp. 15 juta hingga Rp. 17 juta per tahun.18

Kedua, berkaitan dengan kebijakan sebagaimana dilakukan oleh pihak pemerintah Kota Madia Yogyakarta berupa relokasi pusat kegiatan ekonomi sekaligus pusat keramaian publik ke sisi luar kota. Relokasi pusat kegiatan ekonomi yang berkaitan secara langsung dengan perdagangan pakaian bekas adalah pemindahan Terminal Bis Umbulharjo (2005) dan Pasar Hewan Ngasem (2008), yang masing-masing berlokasi awal di Umbulharjo dan Ngasem, ke daerah Giwangan. Pemindahan kedua pusat kegiatan ekonomi itu berdampak serius pada keberlangsungan perdagangan pakaian bekas di dua daerah itu. Pasca relokasi, gerai- gerai pakaian bekas di daerah Glagahsari dan Ngasem yang pada waktu sebelumnya

18 Fadel menyatakan bahwa harga itu berlaku untuk gerainya yang berukuran 4x6 m2. Wawancara pada 14 Mei 2010. Latif, pemilik gerai “Yola Collection”, yang beroperasi sejak 2007 di perempatan

ringroad Condong Catur, mengatakan bahwa untuk menempati gerainya yang berukuran 5x8 m2, ia harus membayar uang sewa sebesar Rp. 20 juta setahun. Wawancara pada 27 Mei 2010.

88

ramai dikunjungi pembeli, belakangan menjadi sangat sepi pembeli. Sebuah keadaan yang kemudian mendorong para pedagang pakaian bekas di kedua wilayah itu memeras otak mencari jalan keluar terbaik. Ada sebagian pedagang pakaian bekas yang kemudian lebih memilih berpindah tempat atau mencari lokasi baru alih-alih meneruskan usaha ekonomisnya di sana. Sementara sebagian lainnya terpaksa harus memilih untuk menggulung tikar alias menghentikan usaha mereka untuk selamanya.19

Ketiga, berkaitan dengan bertumbuhnya pusat-pusat ekonomi dan keramaian publik baru di daerah perbatasan dan di luar kota. Kawasan di seputaran Gamping, Beran, dan Cebongan di Sleman, dan kawasan Karangkajen di Bantul adalah contoh area di luar kota yang belakangan hari gencar melakukan pembangunan sehingga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Apabila untuk beberapa waktu sebelumnya keempat daerah ini lebih dikenal sebagai zona penyangga (buffer zones) kawasan kota, belakangan ini bisa dipastikan siap memainkan peran signifikan mereka sebagai pusat perekonomian dan keramaian publik baru di Yogyakarta. Pelbagai syarat bagi kelengkapan berdirinya kota belakangan ini semakin bertumbuh pesat di empat daerah itu. Hal yang demikian itu bisa dilihat dari keberadaan dan pengembangan infrastruktur ekonomi jasa yang dikembangkan oleh pihak pemerintah maupun swasta seperti pusat-pusat pendidikan baik tingkat

19 Anwar, pemilik gerai “Pinta Collection” di Glagahsari, menjelaskan bahwa sejak pemindahan terminal bus Umbulharjo ke Giwangan ia merupakan satu-satunya pedagang yang bertahan di daerah itu hingga sekarang. Sebelumnya di daerah itu di samping gerainya terdapat 6 gerai pakaian bekas lainnya. Karena sepi pembeli mereka berpindah lokasi. Wawancara dengan Anwar pada 22 Mei 2010. Hal senada diungkapkan Fadel, bahwa sejak pemindahan Pasar Ngasem ke Giwangan, gerai- gerai pakaian bekas di Ngasem sepi pembeli. Banyak pedagang berpindah lokasi atau bahkan menghentikan usahanya. Pasca pemindahan ia sudah mengambil alih 2 gerai pakaian bekas milik temannya yang tidak mampu lagi beroperasi. Ia kini adalah satu-satunya pedagang pakaian bekas yang bertahan di daerah itu dengan mengoperasikan 5 gerai miliknya. Wawancara dengan Fadel pada 14 Mei 2010.

89

atas maupun tinggi, terminal, pusat-pusat perbelanjaan, klinik dan rumah sakit, serta institusi perbankan.20

Setelah melihat area dan sebaran perdagangan pakaian bekas secara umum, menarik kiranya untuk melihat lokasi atau tempat di mana gerai-gerai itu didirikan. Berdasarkan observasi lapangan, hampir semua gerai pakaian bekas yang ada di

20 Tentang syarat-syarat berdirinya sebuah kota dalam perspektif sosiologi perkotaan, periksa Hadi Sabari Yunus (2005), Manajemen Kota: Perspektif Spasial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 55-60.

Gambar 6

Gerai Pakaian Bekas di Luar Kota

Atas: Gerai pakaian bekas “XX” (tanpa nama) di Jl. Godean KM 11, Ngijon. Bawah: Gerai pakaian bekas “XX” di Jl. Wates KM. 5, Gamping.

90

Yogyakarta berada di tempat-tempat strategis, yakni di sepanjang jalan utama yang meliputi: jalan protokol (negara), jalan provinsi, dan jalan kabupaten. Jumlah gerai pakaian bekas yang berlokasi di sepanjang jalan protokol tercatat sebanyak 9 buah (16%), sementara 41 buah (72%) lainnya berlokasi di sepanjang jalan provinsi, dan 7 buah (12 %) sisanya berlokasi di sepanjang jalan kabupaten. Dari data yang ada, jumlah gerai pakaian bekas di sepanjang jalan provinsi menduduki peringkat pertama, disusul kemudian dengan gerai di jalan protokol (negara), dan jalan kabupaten. Tentang lokasi gerai dari jalan bisa diikuti dalam Tabel 3 berikut.

Data di atas sekaligus menginformasikan tentang pertimbangan pedagang pakaian bekas dalam menentukan tempat usaha mereka. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, hampir semua pedagang pakaian bekas menempatkan faktor aksesibilitas terhadap jalan sebagai hal utama yang akan mereka pertimbangkan saat hendak memulai usahanya. Di samping itu, ada satu aspek lain yang juga menjadi pertimbangan sebagian besar pedagang pakaian bekas dalam menjalankan aktivitas ekonominya, yakni keramaian publik. Hampir semua gerai pakaian bekas yang ada mengambil tempat usahanya di wilayah yang mereka perhitungkan merupakan sentral keramaian publik. Dalam khasanah budaya Jawa gejala ini sejajar dengan

Tipe Jalan Jumlah Persentase

Jalan Protokol (Negara) 9 16

Jalan Provinsi 41 72

Jalan Kabupaten 7 12

Total 57 100

Tabel 3

Lokasi Gerai Pakaian Bekas di Yogyakarta (Berdasarkan Akses Jalan)

91

istilah “mangku dalan”; sebuah seruan dan keyakinan yang berkambang di kalangan para pedagang tentang perlunya “memuliakan” jalan. Tentang lokasi gerai pakaian bekas dilihat dari titik keramaian publik bisa dilihat pada Tabel 4 berikut ini.

Dari Tabel 4 di atas, terdapat enam titik keramaian publik yang banyak

diperhitungkan oleh para pedagang pakaian bekas sebagai lokasi pilihan untuk melakukan aktivitas usaha mereka. Keenam lokasi yang dimaksudkan meliputi: sekolah atau kampus, pasar, terminal, rumah sakit, perkantoran, dan pabrik. Dari data yang berhasil dikumpulkan di lapangan tampak bahwa pasar merupakan lokasi yang banyak diincar atau diminati oleh sebagian besar pedagang pakaian bekas; disusul kemudian dengan sekolah atau kampus, kantor pemerintahan, terminal, rumah sakit, dan pabrik. Dari keenam lokasi pilihan para pedagang itu, pasar menduduki peringkat pertama dengan jumlah gerai sebanyak 28 buah (29,8%), disusul oleh sekolah/kampus pada peringkat kedua dengan jumlah gerai sebanyak 21 buah (40,3%), dilanjutkan oleh tiga peringkat sisanya yang masing-masing adalah kantor pemerintah sebanyak 7 buah (12,3%), terminal sebanyak 5 buah (8,8%), rumah sakit sebanyak 4 buah (7%), dan pabrik sebanyak 1 buah (1,7%).

Lokasi Jumlah Persentase

Dekat Sekolah/ Kampus 21 29,8

Dekat Pasar 28 40,3

Dekat Terminal 5 8,8

Dekat Rumah Sakit 4 7 Dekat Kantor Pemerintah 7 12,3

Dekat Pabrik 1 1,7

Total 57 100

Tabel 4

Lokasi Gerai Pakaian Bekas di Yogyakarta (Berdasarkan Jarak dengan Pusat Keramaian)

92

Informasi selanjutnya adalah berkenaan dengan status gerai atau kios sebagai sarana utama perdagangan pakaian bekas. Sejauh ini status gerai atau kios pakaian bekas sebagaimana digunakan sebagai tempat usaha dibedakan menjadi dua: sewa dan milik sendiri. Dari ke-57 gerai pakaian bekas yang ada di Yogyakarta 55 buah (96,5%) di antaranya berstatus sewa, sedangkan 2 gerai (3,5%) sisanya berstatus milik sendiri. Dengan demikian tampak bahwa mayoritas gerai pakaian bekas yang beroperasi di sejumlah tempat di Yogyakarta adalah berstatus sewa. Proses sewa umumnya melibatkan para pedagang dengan para pemilik tempat (bangunan) yang merupakan penduduk asli setempat. Dua gerai yang berstatus milik sendiri itu masing-masing adalah: gerai “Vina Collection” milik Amrizal yang berada di Jl. K.H. Wakhid Hasyim No. 74 dan gerai “NN” (tanpa nama) milik Telly Simanjuntak, yang terletak di Jl. Surya, No. 420, Banguntapan, Bantul; di seputaran gedung Jogja Expo Centre. Kedua gerai pakaian bekas ini dioperasikan menjadi satu bagian dengan rumah atau tempat tinggal pedagang.

Perbedaan status yang ada sejauh ini berkait berkelindan dengan performance gerai dalam menampilkan diri kepada publik. Untuk gerai yang memiliki status sewa tampak lebih atraktif. Hal ini bisa dilihat dari desain interior gerai dan display pakaian bekas yang diperdagangkan. Dalam konteks desain interior umumnya oleh para pedagang gerai yang akan akan ditata seefektif mungkin, sehingga dimungkinkan bisa menampung pakaian dalam jumlah banyak. Di beberapa gerai bahkan ada yang ditambahkan dengan pot-pot bunga yang terbuat dari plastik, bejana dari gerabah, atau sangkar burung yang didalamnya berisi burung tiruan eletronik yang bisa bersuara sebagai dekorasi. Sementara dari konteks display atau pemajangan, pakaian bekas yang ada di gerai umumnya ditata secara rapih dan

93

sistematik. Beberapa bagian dinding gerai tidak luput dipakai untuk menggantung beragam jenis pakaian.21 Sedangkan untuk gerai yang berstatus milik sendiri tampak

jauh lebih sederhana dan terkesan apa adanya.

Keterangan lain yang kiranya perlu diketengahkan di sini adalah kondisi fisik bangunan atau gerai yang selama ini menjadi titik tumpu aktivitas perdagangan pakaian bekas. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, kondisi fisik bangunan atau gerai dibedakan dalam dua kelompok, yakni: permanen dan semi permanen. Yang dimaksudkan dengan bangunan permanen adalah gerai yang secara fisik berbentuk rumah tinggal atau kios berukuran menengah hingga besar dengan lantai tegel dan berdinding tembok. Sedangkan bangunan semi permanen umumnya dikarakterisasikan oleh bentuk kios berukuran kecil dengan lantai ubin atau semen dengan dinding yang memadukan tembok dan papan (kotangan: Jawa). Dari 57 gerai pakaian bekas yang beroperasi di Yogyakarta tercatat 54 buah (94,7%) di antarannya termasuk kategori bangunan permanen, sedang tiga buah (5,3%) sisanya merupakan bangunan semi permanen.