• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan senyawa nitrat selama proses pengomposan, menambah kandungan nutrisi bagi kesuburan tanah khususnya kandungan nitrogen. Menurut Indrasti et.al (2005) kandungan nitrogen yang diserap pada tanaman berupa amonium (NH4+), Nitrit (NO2-) dan Nitrat (NO3-). Kemudian Meunchang et al.

(2004) menambahkan, bahwa sebagian besar unsur nitrogen berupa amonium (NH4+) pada pengomposan ditemukan dalam bentuk akhir nitrat (NO3-). Oleh karena itu, perubahan kadar nitrat selama pengomposan sangat penting sebagai indikator kualitas kompos. Perubahan kadar nitrogen (NH4+) menjadi nitrat terjadi melalui proses nitrifikasi, dimana aktivitas bakteri dari genus nitrosomonas dan

nitrobacter mengoksidasi serta merubah senyawa ammonium (NH4+) menjadi senyawa nitrat. Berikut perubahan kadar nitrat tampak pada Gambar 6 selama proses pengomposan berlangsung.

Gambar 6. Perubahan kadar nitrat selama co-composting abu ketel dan blotong

Berdasarkan pada grafik, peningkatan kadar nitrat pengomposan kapasitas 120 kg mulai terlihat pada minggu ke-1 sampai stabil memasuki akhir pengompo-san. Hal ini menunjukan bahwa kadar amonium yang semakin meningkat yang ditunjukan dengan peningkatan pH pada minggu ke-1 mulai tedegradasi membentuk nitrat oleh bakteri nitrobacter. Menurut Liao et al (1995) peningkatan kadar nitrat terjadi sampai akhir pengomposan, karena perubahan kandungan nitrogen (NH4-) yang ternitrifikasi oleh bakteri pengahasil nitrat dalam suasana aerob. Akan tetapi, di dua hari awal pengomposan, kadar nitrat masih dalam

0 4 8 12 16 20 0 10 20 30 40 50 60 K ad ar N it r at ( M g/ l)

Waktu (Hari ke-)

Pengomposan 5 kg (Erica 2012) Pengomposan 5 kg ( Erica 2012) Pengomposan 120 kg, Aktif Pengomposan 120 kg, Pasif

15 kondisi stabil, belum terlihat adanya peningkatan kadar nitrat. Kondisi ini terjadi karena di awal proses pengomposan perombakan ammonium (NH4+) menjadi nitrat oleh bakteri nitrobacter tidak begitu dominan karena kenaikan kondisi suhu. Menurut Puttana (1999) menyatakan bahwa terjadi penghambatan proses nitrifikasi ketika terjadi kenaikan suhu dari 10oC sampai 30oC. Kondisi tersebut tampak di dua hari awal pengomposan terjadi peningkatan suhu tertinggi pada fase mesofilik lebih dari 30oC yang diakibatkan oleh panas yang dihasilkan ketika proses penguraian senyawa karbon organik (Tiquia dan Tam 2000). Dengan demikian kondisi suhu pada pengomposan berpengaruh terhadap perubahan kadar nitrat.

Jika dibandingkan dengan kadar nitrat pada pengomposan 5 kg hasil penelitian Erica (2012), perubahan pembentukan nitrat tampak berbeda. Pada hasil penelitian Erica (2012) kadar nitrat mulai terjadi peningkatan pada minggu ke-3 (hari ke-20) memasuki akhir masa pengomposan, lebih lama dibandingkan dengan pengomposan 120 kg yang mulai terbentuk nitrat pada minggu ke-1. Perbedaan proses pembentukan nitrat tersebut menunjukan proses nitrifikasi baru medomi-nasi pada minggu ke tiga, sedangkan pada minggu pertama pengomposan 5 kg, masih didominasi oleh proses perombakan karbon yang menghasilkan asam-asam organik. Hal ini karena proporsi bahan hasil penentuan nilai C/N awal pada kapasitas 5 kg seimbang, sedangkan pada kapasitas besar (120 kg) campuran bahan didominasi oleh satu bahan (blotong). Kondisi ini lah yang memicu perbedaan terbentuknya senyawa nitrat pada kedua kapasitas pengomposan. Sebagaimana diketahui blotong salah satu bahan yang banyak mengandung ammonium (NH4+). Menurut Neto et.al (1987) bahwa konsentrasi nitrat pada pengomposan mula-mula akan menurun atau stabil pada awal pengomposan tetapi meningkat sampai akhir proses pengomposan.

Perubahan nilai C/N

Nilai C/N adalah perbandingan nilai Karbon (C) dan Nitrogen (N) sebagai parameter utama yang menunjukan proses pengomposan berjalan baik. Unsur karbon dan nitrogen merupakan unsur penting bagi aktivitas mikroorganisme. Karbon diperlukan sebagai sumber makanan, sedangkan nitrogen diperlukan untuk proses pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Isroi (2008) nilai C/N bahan yang terlalu rendah ataupun terlalu tinggi akan menghambat proses pengomposan yang berdampak pada waktu proses pengomposan yang semakin lama. Oleh karena itu dalam proses pengomposan diperlukan keseimbangan antara karbon dan nitrogen.

Salah satu faktor utama yang menentukan nilai C/N adalah kandungan bahan organik berupa kadar karbon (C). Kadar karbon akan digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi untuk berkembang biak. Berikut perubahan kandungan karbon selama pengomposan tampak pada Gambar 7.

16

Gambar 7. Perubahan kadar karbon selama co-composting abu ketel dan blotong Selama proses penguraian berlangsung secara aerobik, kandungan karbon pada kompos akan mengalami perombakkan menjadi unit senyawa yang lebih sederhana, akibatnya kadar karbon total akan mengalami penurunan. Hal ini tampak pada Gambar 7., terjadi perubahan kadar total karbon selama proses pengomposan skala 120 kg berlangsung. Penurunan kadar karbon dimulai pada minggu ke-1 (hari ke-8) sampai memasuki minggu terakhir pengomposan (minggu ke-8). Penurunan yang signifikan terjadi pada minggu ke-1 sampai minggu ke-3 pengomposan yang ditandai dengan peningkatan suhu pengomposan pada minggu ke-1, dimana suhu pengomposan pada minggu ke-1 mencapai level suhu tertinggi pada fase mesofilik. Hal ini menunjukan bahwa proses penguraian karbon sedang berlangsung. Menurut Djuarnani (2005) dan Rynk (1992) hasil proses penguraian bahan organik yang mengandung kadar karbon dengan kondisi aerob, akan menghasilkan CO2, H2O, humus, energi dan sisa energi yang tidak digunakan berupa panas.

Perombakan karbon mulai menurun secara lambat memasuki minggu ke-7 pengomposan. Hal ini menunjukan bahwa kadar karbon mulai menipis dan proses perombakan karbon tidak lagi didominasi. Kadar karbon yang mulai menipis, memaksa mikroorganisme menguraikan amonium (NH4-) sebagai sumber energi dan menghasilkan nitrit (NO2-) sebagai hasil samping. Menurut Sugito et al

(1995) perombakan amonium sebagai sumber energi akan menghasilkan hasil samping berupa nitrit (HNO2), dimana nitrit akan dikonversi menjadi nitrat (HNO3).

Jika dibandingkan dengan kondisi pengomposan skala 5 kg hasil penelitian Erica (2012), perubahan kadar karbon (Gambar 7) menunjukan perubahan yang berbeda. Pada kapasitas 5 kg perubahan senyawa karbon tidak menunjukan penurunan yang signifikan namum lebih cenderung stabil. Menurut Erica (2012) Kondisi tersebut diakibatkan oleh proporsi bahan yang seimbang antara blotong dan abu ketel. Sehingga penurunan karbon selama pengomposan tidak begitu menunjukan tren penurunan. Disamping itu pula, proses penguraian karbon organik tidak mendominasi pada pengomposan kapasitas 5 kg, akan tetapi lebih

0 2 4 6 8 10 0 10 20 30 40 50 60 K ad ar K ar b on ( % )

Waktu (Hari ke-)

Pengomposan 5 kg,Aktif (Erica 2012) Pengomposan 5 kg, Pasif (Erica 2012) Pengomposan 120 kg , Aktif

17 didominasi oleh perombakan amonium. Hal ini ditunjukan dengan kondisi pH pada kapasitas 5 kg yang terbentuk dengan kondisi basa diawal pengomposan.

Faktor selanjutnya, yang menentukan perubahan nilai C/N adalah kadar nitrogen. Kandungan nitrogen berperan penting sebagai nutrisi bagi pertumbuhan mikroorganisme. Bahan yang mengandung kadar nitrogen yang rendah akan menghambat proses penguraian yang berdampak pada lamanya proses pemata-ngan kompos. Menurut Indrasti (2004) mikroorganisme pendegradasi bahan organik membutuhkan zat lemas berupa nitrogen sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhan. Berikut Gambar 7. perubahan kadar nitrogen selama proses pengomposan berlangsung.

Gambar 8. Perubahan kadar nitrogen co-composting abu ketel dan blotong Berdasarkan pada Gambar 8., kadar nitrogen mengalami peningkatan mulai minggu ke-1 sampai minggu ke-3 (hari ke-22) pengomposan. Peningkatan kadar nitrogen terjadi karena proses pembentukkan senyawa amonium (NH4+) yang semakin meningkat. Menurut Haug (1980) dan FFTC (2005) selama proses pengomposan berlangsung, sejumlah amonium terbentuk akibat adanya perom-bakan asam amino yang dihasilkan oleh mikroorganisme pendegradasi gula terlarut dan protein. Kadar nitrogen mulai mencapai stabil memasuki minggu ke-3 pengomposan.

Kondisi kadar nitrogen yang stabil, menunjukan proses pengomposan dengan sistem aerated pile mampu mencegah kehilangan senyawa nitrogen berupa amonia (NH3+) yang mudah menguap. Menurut Bertoldi (1982) faktor utama yang mengakibatkan sebagian besar hilangnya nitrogen adalah teknik pengomposan secara manual atau pembalikan. Hal ini karena, kadar nitrogen berupa amonia bersifat volatil atau mudah menguap, sehingga ketika dilakukan proses pembalikan amonia (NH3) yang terkandung dalam kompos akan mudah teruapkan. Menurut Indrasti (2005) kehilangan kadar nitrogen berupa amonia disebabkan oleh kekurangan air dan banyak kehilangan nitrogen akibat penguapan amonia (NH3). Jika dibandingkan dengan penelitian Erica (2012) pada pengomposan kapasitas 5 kg, kadar nitrogen cenderung meningkat sama dengan pengomposan kapasitas 120 kg. Hal ini menunjukan bahwa kapasitas pengomposan 120 kg mendekati kondisi perubahan nitrogen yang sama dengan kondisi pengomposan kapasitas 5 kg.

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0 10 20 30 40 50 60 K ad ar N it r oge n ( % )

Waktu (Hari ke-)

Pengomposan 5 kg, Aktif (Erica 2012) Pengomposan 5 kg, Pasif (Erica 2012) Pengomposan 120 kg, Aktif

18

Kehilangan nitrogen dalam proses pengomposan merupakan hal yang harus dihindari. Menurut Indrasti et al. (2005) kehilangan nitrogen selama pengompo-san dapat menurunkan nilai kandungan nutrisi bagi tanaman, karena nitrogen yang diserap oleh tanaman hasil penguraian bahan organik, berupa amonium (NH4-), nitrat (HNO3-) dan nitrit (HNO2-). Kehilangan nitrogen pada proses pengomposan disebabkan oleh peningkatan proses nitrifikasi dan pembentukan senyawa amonia yang mudah tervolatilisasi (Strauss 2003).

Penurunan nilai C/N adalah parameter penentu terhadap lamanya waktu proses pengomosan. Untuk mengetahui seberapa lama proses pengomposan berlangsung, perlu diketahui hubungan penurunan nilai C/N dengan waktu serta pengaruh pemberian aerasi aktif terhadap kondisi perubahan pengomposan untuk mencapai nilai C/N sesuai dengan standar mutu kompos. Berikut tampak pada Gambar 9 perubahan penurunan nilai C/N selama proses pengomposan berlangsung.

Gambar 9. Perubahan nilai C/N terhadap waktu

Pada grafik perubahan nilai C/N (Gambar 9), menunjukan pada minggu ke-1 sampai minggu ke-3 (hari ke-22) terjadi penurunan nilai C/N hingga mencapai kondisi stabil. Kondisi ini menunjukan bahwa dominasi proses penguraian karbon mulai terjadi diminggu pertama pengomposan yang ditunjukan oleh penurunan karbon (Gambar 8) secara signifikan pada minggu ke-1 pengomposan. Pemberian aerasi aktif selama proses pengomposan berlangsung, tidak memberikan pengaruh terhadap proes penguraian. Tampak pada kedua grafik (Gambar 9) penurunan C/N baik dalam kondisi aerasi aktif maupun tanpa aerasi aktif menunjukan kondisi perubahan yang relatif sama selama proses pengomposan kapasitas 120 kg berlangsung. Jika dibandingkan perubahan C/N antara kapasitas 5 kg dengan 120 kg, tampak menunjukan kondisi perubahan C/N yang tidak berbeda signifikan pada kedua proses pengomposan tersebut. Perubahan kondisi terebut, baik pada kapasitas 120 kg maupun 5 kg sama-sama menunjukan grafik perubahan kondisi C/N yang sama.

Sedangkan dari segi waktu pengomposan, untuk mengetahui sejauh mana perbedaan waktu pengomposan untuk mencapai nilai C/N akhir manimum 20 antara kapasitas 120 kg dengan kapasitas 5 kg, dilakukan pendekatan persamaan ekponensial penurunan C/N terhadap waktu pengomposan. Berdasarkan grafik penurunan pada Gambar 9 dapat diperoleh persamaan ekesponensial yang

0 10 20 30 40 50 60 0 10 20 30 40 50 60 C /N r a sio

Waktu (Hari ke-)

Pengomposan 120 kg, Aktif Pengomposan 120 kg, Pasif

Pengomposan 5 kg, Aktif (Erica 2012) Pengomposan 5 kg, Pasif (Erica 2012)

19 menyatakan hubungan antara penurunan C/N dengan waktu pengomposan baik kapasitas 120 kg maupun 5 kg. Berikut tampak pada Tabel 4 persamaan ekponensial pengomposan yang menyatakan hubungan antara waktu dengan penurunan C/N rasio.

Tabel 4. Persamaan eksponensial nilai C/N terhadap Waktu

Kapasitas Produksi Aerasi

Persamaan Eksponensial ( x : hari ; y : C/N) Nilai R2 Kapasitas 5 kg (Erica 2012) Aktif y = 37,78e-0,03x R² = 0,704 Pasif y = 37,03e-0,03x R² = 0,747 Kapasitas 120 kg Aktif y = 41,44e-0,04x R² = 0,786 Pasif y = 34,59e-0,03x R² = 0,769

Berdasarkan pada persamaan eksponensial (Tabel 4) penurunan C/N antara kapasitas 120 kg dengan kapasitas 5 kg dapat digunakan untuk menentukan perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai nilai C/N maksimum 20 sesuai dengan SNI 19-7030-2004. Perhitungan dilakukan dengan memasukan variabel y (nilai C/N) pada persamaan eksponensial (Tabel 4) untuk mendapatkan variabel x (waktu). Hasil perhitungan diperoleh, untuk kapasitas 120 kg waktu yang diperlukan untuk mencapai C/N 20 yaitu, selama 20 hari, baik dalam kondisi aerasi aktif maupun pasif. Sedangkan pada kapasitas 5 kg dengan kondisi yang sama diperlukun waktu 21 hari untuk mencapai C/N 20. Hasil perhitungan perkiraan waktu pengomposan, tidak menunjukan perbedaan yang begitu signifikan antara pengomposan kapasitas 120 kg dengan kapasitas 5 kg untuk mencapai nilai C/N 20. Dengan demikian pengomposan kapasitas 120 kg dapat dinyatakan mendekati kondisi pengomposan kapasitas 5 kg dan bisa diterapkan sebagai acuan dalam pengomposan kapasitas industri.

Berdasarkan hasil perhitungan waktu perkiraan yang diperlukan selama proses pengomposan berlangsung, dapat diketahui perbedaan laju penurunan nilai C/N per hari antara skala 120 kg dan kapasitas 5 hasil penelitian Erica (2012) kg. Laju penurunan dihitung dengan menggunakan persaman dibawah ini.

Laju Penurunan C/N =C/N(awal)−C/N(akhir)

t akhir−t awal

Hasil perhitungan laju penurunan C/N rasio per hari pada pengomposan kapasitas 120 kg dengan kondisi aerasi aktif dan pasif diperoleh sebesar 1,607/ hari dan 1,139/hari. Sedangkan pada pengomposan kapasitas 5 kg hasil penelitian Erica (2012) dengan kondisi yang sama, laju penurunannya sebesar 0,992/hari (aktif) dan 1,077/hari (pasif). Laju penurunan C/N yang dihasilkan antara kapasitas 120 kg dengan kapasitas 5 kg tidak menunjukan perbedaan yang signifikan. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan co-composting abu ketel dan blotong dari kapasitas 5 kg menjadi kapasitas 120 kg menghasilkan kondisi perubahan proses pengomposan yang relatif sama.

Perlakuan aerasi tidak memberikan pengaruh pada laju penurunan C/N, karena selisih antara pengomposan aerasi pasif dengan aktif tidak begitu menunjukan perbedaan yang mencolok. Pada pengomposan 120 kg, selisih antara aerasi pasif dan aktif sebesar 0,468/hari sedangkan pada kapasitas 5 kg selisihnya

20

sebesar 0,085/hari. Selain itu pula, perubahan laju penurunan C/N pada pengomposan dipengaruhi oleh kontrol dan kondisi lingkungan pengomposan berbeda. Menurut Baptista et al. (2011) kondisi peningkatan kapasitas yang dibuat sedekat mungkin dengan kondisi optimun pada tingkat kapasitas yang rendah untuk memaksimalkan laju proses, masih banyak terkendala dengan kondisi lingkungan yang mengakibatkan perbedaan dengan kapasitas kecil.

Mutu Hasil Kompos

Indikator dalam menentukan kinerja proses co-composting abu ketel dan blotong adalah dengan melihat struktur fisik maupun karakteristik dari kompos yang dihasilkan. Struktur fisik kompos dapat diketahui dengan parameter bau, warna, tekstur, pH dan nilai C/N akhir. Menurut Cahaya dan Nugraha (2008) kompos yang telah matang akan berbau seperti tanah dan berwarna coklat kehitaman yang terbentuk akibat pengaruh bahan organik yang sudah stabil, dengan bentuk akhir sudah tidak menyerupai bentuk aslinya karena sudah terurai oleh mikroorganisme. Hasil karakteristik produk co-composting kapasitas 120 kg menunjukan sifat fisik yang sesuai dengan SNI 19-7030-2004 yaitu, berbau tanah, kehitaman dan halus.

Hasil analisis terhadap karakteristik fisik pengomposan kapasitas 120 kg menunjukan pH akhir kompos berada pada kondisi netral. Nilai pH akhir yang dihasilkan sebesar 7,3 (aktif) dan 7,11 (pasif). Nilai tersebut sesuai dengan standar nasional baku mutu kompos. Sedangkan nilai C/N akhir kompos menunjukan kompos telah berada pada kondisi matang dengan nilai C/N akhir sebesar 20,43 (aktif) dan 18, 44 (pasif). Perbedaan pada nilai C/N akhir tidak terlalu signifikan, masing-masing hasil pengomposan dengan kondisi aerasi aktif dan pasif menghasilkan nilai C/N akhir yang sesuai dengan standar baku mutu kompos. Hal ini menunjukan bahwa pemberian aerasi aktif tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai C/N akhir pengomposan. Akan tetapi, terdapat parameter unsur makro yang tidak sesuai dengan standar baku mutu kompos. Kandungan kalium tidak sesuai dengan batas minimun standar baku yang telah ditetapkan. Hasil pengujian menunjukan kadar kalium sebesar 0,130% sedangkan batas minimun sebesar 0,20%. Kadar kalium pada kompos dipengaruhi oleh karakteristik awal bahan pengomposan berupa abu ketel dan blotong, dimana hasil pengujian karakteristik pada kedua bahan tersebut menunjukan kadar kalium yang sama-sama rendah yaitu 0,024%. Sedangkan unsur mineral lainnya secara keseluruhan pada pengomposan kapasitas 120 kg menunjukan kualitas yang memenuhi standar baku mutu kompos.

Dibandingkan dengan mutu kompos yang dihasilkan oleh penelitian Erica (2012), terdapat perbedaan yang signifikan pada parameter daya ikat air dan kandungan bahan organik. Hasil pemerikasaan daya ikat air pengomposan kapasitas 120 kg sebesar 42,87% lebih rendah dibandingkan dengan kapasitas 5 kg yaitu, sebesar 51,87%. Kemampuan daya ikat air dipengaruhi olehkandungan karbon, serat kasar, protein dan komponen lainnya yang bersifat hidrofilik serta kondisi asam pada bahan (Alsuhendra 2013). Hal ini tampak pada kondisi pengomposan kapasitas besar dimana lebih didominasi oleh blotong yang mengandung ammonium serta karakteristik yang bersifat asam.

21 Selain itu juga, Djuarnani (2005) menyatakan bahwa kemampuan daya ikat air akan dipengaruhi ukuran pertikel yang akan berdampak pada kemampuan kompos meningkatkan daya serap air dan zat hara saat pengaplikasian. Sedangkan perbedaan dari segi bahan organik tidak menunjukan perbedaan yang signifikan. Bahan organik pada kapasitas pengomposan 120 kg sebesar 33,09% sedangkan pada kapasitas 5 kg sebesar 29,01%. Kandungan kadar bahan organik pada campuran kompos tersebut dipengaruhi oleh kondisi bahan sebelum dilakukan pengomposan sebagaimana diketahui, kondisi bahan khususnya blotong memiliki nilai C/N yang proposional. Menurut Yuwono (2002), kondisi bahan pengompo-san yang memiliki nilai C/N seimbang akan mudah terurai oleh mikroorgnisme. Secara umum pengomposan abu ketel dan blotong dengan kapasitas 120 kg telah memenuhi standar baku mutu kompos yang tertera pada SNI 19-7030-2004. Secara spesifik hasil akhir produk pengomposan dapat dilihat pada Lampiran 3.

Neraca Massa dan Rendemen

Neraca massa pengomposan kapasitas 120 kg, merupakan komponen untuk mengetahui perolehan produk akhir dari pengomposan. Pada awal pengomposan input bahan yang digunakan sebesar 14 kg abu ketel, 104 kg blotong dan 66,028 kg air, sehingga total input berjumlah 186,028 kg. Selama masa pengomposan tidak terjadi perubahan penyusutan pada tinggi tumpukan secara signifikan. Setelah akhir masa pengomposan, kompos yang dihasilkan berbobot 106 kg dari 120 kg, terjadi penyusutan sebesar 11,67%. Menurut Rynk (1992) dan Yuwono (2002), selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume biomassa dari volume atau bobot awal bahan. Kemudian kompos yang masih mengandung kadar air yang relatif tinggi, dikeringkan dan diperoleh bobot sebesar 57,68 kg. Pengeringan kompos dilakuan, agar ketika kompos dikemas atau didistribukan tidak mengalami penguraian kembali. Menurut Djaja (2008) pengeringan kompos dimaksudkan untuk menstabilkan berat kompos, meningkatkan kualitas kompos dan menghentikan seluruh aktivitas penguraian. Rendemen kompos dihitung berdasarkan pada persamaan berikut.

Rendemen =bahan baku −bahan akhir

bahan baku x 100%

Dari persamaan tersebut diperoleh rendemen bahan baku sampai menjadi kompos sebesar 68,97%. Secara lebih rinci perhitungan neraca massa pada proses pengomposan dapat dilihat di Lampiran 4.

Analisis Finansial

Analisis keuntungan dilakukan untuk mengetahui apakah usaha kegiatan pengomposan menguntungkan atau tidak. Kegiatan pengomposan ini akan sangat bermanfaat jika memiliki nilai ekonomi bagi industri. Sehingga industri gula tertarik untuk mengaplikasikan sebagai alternatif penanganan limbah padat menjadi kompos. Analisis keuntungan dilakukan terhadap kegiatan pengomposan dengan kapasitas produksi 120 kg selama satu kali proses dengan asumsi sebanyak 16 reaktor. analisis biaya pengomposan yang dikaji ini, diluar biaya

22

investasi tempat atau tanah. Parameter rasio benefit-cost (B/C), diterapkan sebagai indikator apakah menguntungkan atau tidak jika usaha pegomposan ini dijalankan. Berikut adalah rincian perhitungan analisis pengomposan kapasitas 120 kg.

a.Biaya Produksi

Biaya satu kali proses pengomposan produksi kompos terdiri atas dua jenis yaitu biaya penyusutan alat dan baiya operasional termasuk bahan baku. Rincian biaya penyusutan alat dan biaya operasional dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6 sebagai berikut.

Tabel 5. Rincian biaya penyusutan alat per tahun Peralatan Jumlah unit Harga satuan Umur ekonomi (tahun) Nilai Investasi nilai Sisa Penyus-utan Reaktor 16 320.000 4 5.120.000 120.00 0 800.000 Blower 2 800.000 5 1.600.000 200.00 0 240.000 Pipa 40 m 6.000 2 240.000 3.000 1.500 Lem pipa 4 6.000 - 24.000 - - Sambungan pipa 36 4.000 3 144.000 2.000 24.000 Keran 16 7.000 2 112.000 3.000 32.000 Terpal 42 m2 6.000/m2 5 252.000 30.000 44.400 Total Penyusutan 1.141.900

Penyusutan per hari 4.000

Tabel 6. Rincian biaya operasional Komponen Biaya Harga

satuan (Rp) Kebutuhan Total Abu ketel Blotong Kemasan Listrik Pekerja 30 60 250 Rp.605/kwh 50.000/hari 224 kg 1696 kg 200 kemasan 5 kg 150 kwh

2 pekerja, selama 6 hari

6.720 101.760 50.000 91.000 600.000 Total 849.480 a. Penerimaan

Penerimaan yang diperoleh dari usaha co-composting dalam satu kali produksi merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi kompos yang dihasilkan dengan harga jual kompos di pasaran. Dalam satu kali produksi kompos yang dihasilkan sejumlah 57,68 kg/reaktor, sehingga hasil sebanyak 16 reaktor adalah 928 kg (16 reaktor), sedangkan asumsi harga jual kompos di dipasaran adalah sebesar Rp2.000/kg. Sehingga diperoleh penerimaan dalam satu kali produksi sebesar Rp. 1.294.000

23 b.Analisis pendapatan

Pendapatan adalah selisih antara penerimaan total dengan biaya total. Total penerimaan dalam satu kali produksi adalah sebesar Rp. 1.294.000 dengan biaya total sebesar Rp.550.000 yang merupakan penjumlahan antara biaya penyusutan alat dan biaya operasional. Sehingga pendapatan yang diperoleh dalam satu kali produksi sebesar Rp 744.000.

c. Rasio penerimaan dan biaya Benefit / Cost (B/C)

Analisis B/C adalah hasil bagi antara penerimaan dan biaya. Nilai B/C yang diperoleh dari usaha co-composting abu ketel dan blotong pada kapasitas produksi 120 kg adalah sebesar 2,30 yang artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan pada usaha co-composting akan mendatangkan penerimaan Rp 2.30, sehingga usaha

co-composting bagas dan blotong pada kapasitas produksi 120 kg ini dinyatakan layak dari segi finansial.

Dokumen terkait