• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Kajian Kajian Empirik

2.4.1 Sumber-Sumber Kredit di Tingkat Petani

Hasil Penelitian Supriatna (2003) mengenai aksesibilitas petani kecil pada sumber kredit pertanian di tingkat desa: studi kasus petani padi di NTB, melihat fakta bahwa kredit sudah menjadi bagian hidup dan ekonomi usahatani petani kecil, bila kredit tidak tersedia tingkat produksi dan pendapatan usahatani akan turun drastis. Dalam memenuhi pembiayaan usahatani, di samping menggunakan modal sendiri petani juga melakukan pinjaman kredit. Lembaga pendanaan yang paling banyak diakses petani berturut-turut adalah pedagang saprotan, penggilingan padi, UPKD, KKP, pelepas uang dan pegadaian.

Lembaga-Lembaga Kredit Formal seperti BRI Unit Desa dan BPR sebenarnya menyediakan kredit dengan suku bunga rendah, tetapi petani kecil masih kurang akses dikarenakan tidak memiliki agunan sertifikat tanah, cara pembayaran bulanan tidak sesuai dengan tipe usahatani padi yang memberikan

penerimaan musiman dan para petani pada umumnya belum paham dengan prosedur administrasi yang rumit. Sesuai dengan karakteristik petani dan usahatani padi, petani kecil mengharapkan kredit dengan agunan bukan sertifikat tanah tetapi bentuk barang bergerak, kredit diberikan dalam bentuk uang, periode kredit musiman, cara pengembalian kredit satu kali setelah panen dan tingkat suku bunga kredit 18 persen per tahun.

Akibatnya lembaga kredit formal hanya diakses oleh kelompok masyarakat ekonomi menengah ke atas seperti petani kaya, pemilik penggilingn padi, pedagang hasil, pedagang saprotan dan lainnya. Sebaliknya petani kecil terpaksa hanya akses ke lembaga kredit informal yang menetapkan suku bunga kredit tinggi.

Dari hasil kajian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007), mengenai potensi pembiayaan syariah untuk sektor pertanian padi dan palawija di Jawa Barat diketahui bahwa pengetahuan petani terhadap perbankan syariah masih terbatas, dimana hanya 32 persen yang pernah mendengar tentang bank syariah. Dalam hal pengetahuan bahwa bank syariah sesungguhnya juga menyediakan pembiayaan untuk usaha pertanian, hanya 10 persen yang mengetahui.

Namun ada hubungan yang positip antara skala usaha maupun keaktifan dalam berorganisasi terhadap aksesibilitas terhadap lembaga perbankan. Umumnya pelaku usaha yang telah menjadi nasabah perbankan adalah pengusaha maju ataupun mereka yang aktif dalam organisasi petani.

Dalam hal sistem dan prosedur pembiayaan perbankan syariah yang lebih disukai, 90 persen responden menginginkan jika produk pembiayaan yang mereka terima didasarkan atas perhitungan bagi hasil, maka mereka lebih menyukai pembagian dihitung dari hasil bersih, bukan dari hasil kotor. Selain itu, responden juga lebih menyenangi jika menerima pembiayaan dalam bentuk uang tunai, bukan berupa fisik, diterima sekaligus, dan pembiayaan diperhitungkan hanya per musim tanam, tidak setahun sekaligus.

Pelaku usaha pertanian yang telah dapat mengakses perbankan umumnya dicirikan dengan (1) skala usaha cukup besar baik dalam omset maupun luas lahan, (2) aktif dalam organisasi petani sehingga bisa membangun networking,

dan (3) telah memiliki sertifikat/BPKB sebagai agunan; serta memiliki tingkat pendidikan dan keluasan wawasan.

2.4.2 Persepsi Terhadap Bank Syariah

Menurut Ratnawati dkk. (2000) dalam penelitiannya mengenai Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat di Wilayah Jawa Barat terhadap Bank Syariah menyatakan bahwa mayoritas responden setuju dengan keberadaan perbankan dalam perekonomian dengan alasan perbankan merupakan salah satu institusi yang sangat penting dalam mendorong kinerja perekonomian. Tanpa kehadiran bank, ekonomi tidak dapat berkembang.

Kesan yang berkembang dalam masyarakat terhadap bank syariah adalah (1) bank syariah merupakan bank dengan sistem bagi hasil (2) bank syariah adalah bank islami, (3) bank syariah adalah bank khusus orang Islam, Sedangkan (4) Responden lain mengatakan tidak memiliki pengetahuan tentang operasional bank syariah.

Kelompok responden yang dapat menerima sistem bunga diterapkan pada perbankan adalah 58 persen untuk responden selain nasabah bank syariah. Alasan yang dikemukakan adalah (1) bunga digunakan untuk merangsang masyarakat dalam menyimpan uang di bank, (2) dalam ukuran yang wajar bunga diperbolehkan, (3) bunga sebagai balas jasa atas modal, (4) terpaksa karena tidak ada alternatif lainnya. Adapun persentase masyarakat yang tidak setuju dengan sistem bunga dalam perbankan cukup signifikan 42 persen untuk kategori nasabah bank syariah dan 45 persen untuk total responden). Alasan yang dominan dari kelompok masyarakat yang menolak sistem bunga adalah (1) bunga bank merupakan riba, (2) bunga bank memberatkan nasabah, (3) ada keragu-raguan terhadap sistem bunga dalam hukum agama yaitu antara halal dan haram (subhat).

Adapun persepsi masyarakat terhadap penerapan sistem bagi hasil sebanyak 92 persen untuk kelompok nasabah bank syariah dan 94 persen dari total responden dapat menerima sistem bagi hasil dengan alasan: (1) karena sistem bagi hasil lebih sesuai dengan syariah agama yang dianut (2) sistem bagi hasil lebih adil dan menguntungkan. Untuk kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan bagi hasil disebabkan karena kurang mengerti terhadap operasionalnya, dirasa kurang menguntungkan, belum ada bukti dan sulit dalam perhitungannya.

Karim business consulting dan Promp (2004) dalam Zaenudin 2006, dalam penelitiannya Menumbuh kembangkan Lembaga keuangan syariah (LKS) sebagai basis pembangunan ekonomi ummat. Dari hasil riset yang dilakukan menunjukan bahwa persepsi atau pemahaman sebagian masyarakat masih keliru tentang bank syariah, antara lain:

1) Pengetahuan masyarakat tentang bank syariah hanyalah bank tanpa bunga, disamping itu mereka tidak tahu tentang mekanisme bagi hasil. Sehingga responden beranggapan bila menabung di bank syariah tidak memperoleh apa-apa, sebab selama ini mereka memperoleh bunga bila menabung di bank konvensional.

2) Persepsi masyarakat bahwa bagi hasil nilainya lebih kecil dibanding bunga. Oleh karena itu mereka lebih memilih menabung di bank konvensional yang dapat memberikan return yang lebih besar dalam bentuk bunga.

3) Bank syariah baru akan digunakan oleh masyarakat hanya untuk hal-hal yang berhubungan dengan akhirat dan tanpa mencari profit duniawi. 4) Dalam persepsi responden, produk yang paling tepat atau paling cocok

untuk bank syariah adalah produk tabungan haji. Hal ini didasari oleh pemahaman bahwa ibadah haji adalah ibadah suci. Dan agar terjaga kesuciannya dan diridhai serta menjadi haji mabrur, maka uang yang digunakan untuk ibadah pun harus halal dan hal tersebut dapat dilakukan dengan menabung di bank syariah

5) Ada beberapa faktor yang membuat bank syariah kurang menarik atau kurang diminati oleh responden, diantaranya adalah mereka beranggapan bahwa bank syariah menawarkan keuntungan yang lebih rendah dibanding bank konvensional, selain itu mereka merasa cukup puas dengan menabung di bank konvensional.

2.4.3 Persamaan dan Perbedaan dengan Kajian-Kajian Empirik Sebelumnya Hasil Penelitian Supriatna (2003) mengenai aksesibilitas petani kecil pada sumber kredit pertanian di tingkat desa: studi kasus petani padi di NTB. Penelitian tersebut bersifat deskriptif diuraikan menurut hasil interprestasi data tabulasi. Adapun persamaan dari hasil-hasil kajian empirik tersebut dengan penelitian yang dilakukan ini yaitu menganalisis sumber-sumber kredit di tingkat petani,

menganalisis kemampuan petani dalam menjangkau LKS dan melihat persepsi masyarakat terhadap LKS. Perbedaan dengan kajian empirik sebelumnya pada umumnya terdapat pada lokasi, tujuan dan responden penelitian. Pada penelitian Supriatna (2003) penelitian dilakukan di Nusa Tenggara Barat dan responden yang diteliti adalah dikhususkan pada petani padi saja. Sedangkan dalam penelitian ini petani responden dibagi kedalam tiga subsektor (subsektor tanaman pangan, perikanan, dan peternakan). Tujuan dari penelitian tersebut adalah (a) mengidentifikasi sumber-sumber kredit petanian yang ada di tingkat petani, (b) mengidentifikasi sumber kredit yang diakses oleh petani dan (c) mengidentifikasi karakteristik skim kredit yang diharapkan oleh petani. Disamping itu hasil penelitian Supriatna (2003) lebih melihat aksesibilitas terhadap lembaga kredit formal dalam hal ini lembaga keuangan konvensional dan lembaga keuangan informal.

Perbedaan dengan hasil penelitian Tim Kajian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007) terletak pada objek kajiannya, pada penelitian tersebut dilakukan pada petani padi dan palawija serta cakupan lokasi penelitian lebih luas yaitu di Jawa Barat. Perbedaan dari tujuan penelitian tersebut mengukur analisis kelayakan usahatani, pengetahuan dan persepsi tidak hanya diukur dari sisi petani saja tetapi juga diukur dari sisi perbankan syariah terhadap pelaku usahatani, pola pembiayaan, prospek dan kendala pembiayaan syariah di sektor pertanian, dan rumusan model pembiayaan syariah untuk sektor pertanian.

Perbedaan dengan hasil penelitian Ratnawati dkk (2000), pada penelitian tersebut responden merupakan masyarakat umum baik yang pernah menjadi nasabah bank syariah maupun yang menjadi nasabah bank konvensional. Tujuan umum dari penelitian tersebut ingin menganalisis potensi pengembangan bank syariah pada wilayah penelitiannya dan preferensi dari pelaku ekonomi terhadap bank syariah.

III KERANGKA PEMIKIRAN