• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Kajian Pustaka

Penelitian ini memfokuskan bagaimana Proses komodifikasi budaya terhadap uis Karo dalam berbagai perspektif kajian budaya. Penelitian ini akan menjelaskan gambaran umum uis Karo, berbagai bentuk komodifikasi terhadap uis Karo, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya komodifikasi, dan dampak sosial, budaya ekonomi serta makna komodifikasi uis Karo tersebut di era globalisasi. Konteks dari penelitian komodifikasi uis Karo ini adalah dimana kondisi industri kreatif yang dipengaruhi oleh ide-ide globalisasi dalam fenomenda kapitalisasi pada dimensi kebudayaan. Objek materi dari penelitian ini adalah uis Karo sebagai karya kebudayaan masyarakat Karo yang mengandung nilai-nilai estetika tinggi dan memilki suatu potensi sebagai komoditi yang bernilai ekonomi.

Referensi yang tersedia adalah literatur - literatur kepustakaan teoritis dan berbagai wacana mengenai komodifikasi uis Karo. Kajian dan Penelitian yang terkait dengan komodifikasi uis Karo belum pernah dilakukan sebelumnnya.

Karena itu penelitian ini merunjuk pada berbagai penelitian yang terkait dengan komodifikasi tenun di luar uis Karo.

A.A. Ngr Anom Mayun K. Tenaya (2014) dalam tesisnya yang berjudul

“Komodifikasi Kain Tenun Songket Bali Di Tengah Perkembangan Industri Kreatif Fashion Di Denpasar” mengangkat sebuah fenomena komoditisasi terhadap artefak budaya yaitu kain tenun tradisional Songket Bali.

Pada mulanya hak produksi dan konsumsi Songket Bali secara terbatas hanya dimiliki secara eksklusif oleh keluarga bangsawan dan para pendeta Hindu Bali. Tenaya menjelaskan Songket Bali dahulu ditenun secara khusus dengan menggunakan bahan-bahan berkualitas seperti benang emas, benang perak dan sutra. Dengan meningkatnya sektor pariwisata dan industri kreatif di Bali, Songket Bali menjadi sebuah objek komodifikasi. Unsur estetika Songket Bali yang dilatarbelakangi oleh budaya Bali yang adiluhung mengalami pedangkalan makna, daur ulang, parodi, kekacauan tanda dan seterusnya. Proses ini menjadikan Songket Bali sebagai komoditi dan Proses demokrasi menjadikanya milik semua lapisan masyarakat.

Dalam tesis ini, Tenaya memfokuskan pada pembahasan mengenai bentuk komodifikasi kain tenun Songket Bali faktor-faktor yang menyebabkan komodifikasi kain tenun Songket Bali dan dampak dan makna komodifikasi kain tenun Songket Bali. Metode penelitian yang digunakannya pada tesis ini adalah

metode kualitatif, dengan alat analisis teori-teori kritis yaitu Teori Komodifikasi, Teori Perubahan Sosial dan Budaya, Teori Simeotika dan Teori estetika Post Modern.

Tenaya mendeskripsikan berbagai bentuk komodifikasi Songket Bali, kemudian faktor perubahan struktur sosial masyarakat, peningkatan kesejahteraan, pendidikan, pengaruh media dan globalisasi, serta berkembangnya pariwisata dan industri kreatif fashion di Bali. Dampak komodifikasi Songket Bali secara sosial budaya adalah memperkuat kecenderungan membentuk masyarakat yang makin konsumtif dan erosi budaya, serta secara ekonomi adalah peluang bagi peningkatan pendapatan masyarakat melalui industri kreatif fashion.

Komodifikasi Songket Bali juga mengandung makna-makna lain seperti makna sakral ke profan, egalitarian, kesejahteraan, kreativitas, pelestarian, identitas, dan estetika.

Kajian yang dilakukan Tenaya menjadi sangat relevan dengan penelitian yang peneliti lakukan karena memberikan pemahaman tentang komodifikasi pada artefak budaya, khususnya pada komodifikasi tenun. Penelitian Tenaya tersebut telah memberi inspirasi untuk melakukan penelitian terhadap objek lain yaitu komodifikasi pada uis Karo. Persamaan antara kajian Tenaya dengan kajian penulis adalah dalam hal penggunaan konsep dan teori komodifikasi, sedangkan perbedaannya yaitu objek penelitian Tenaya di atas adalah Songket Bali sedangkan penulis menggunakan objek uis Karo.

Langa Lambertus (2013) dalam tesisnya “Komodifikasi Warisan Budaya Tenun Ikat Masyarakat Bena, Kabupaten Ngada, Flores Dalam Era Globalisasi“

menjelaskan suatu pergeseran nilai dan fungsi warisan budaya berupa tenun ikat masyarakat Bena yang diakibatkan oleh perkembangan dunia Pariwisata.

Lambertus menjelaskan awalnya budaya tenun ikat memiliki nilai-nilai budaya berfungsi sebagai kelengkapan berbagai upacara dalam ritus-ritus budaya Bena maupun Ngadha, kemudian bergeser menjadi produk yang bernilai ekonomis dalam bentuk barang dagangan atau komoditas. Pergeseran tersebut terjadi pada berbagai tahapan baik produksi, distribusi maupun tahapan konsumsi.

Penelitian Lambertus difokuskan pada masalah-masalah, berbagai bentuk komodifikasi warisan budaya tenun ikat, faktor-faktor yang mendorong terjadinya komodifikasi dan dampak dan makna komodifikasi. Teori yang dipakai Lambertus pada menganalisa penelitian ini adalah menggunakan teori komodifikasi, teori perubahan sosial, dan teori semiotika. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan kajian budaya yang bersifat kritis, interdisipliner, dan multidimensional.

Lambertus menemukan pemahaman tentang komodifikasi warisan budaya khususnya tenun ikat dalam era globalisasi yang dikaitkan dengan pengembangan pariwisata, dengan harapan akan berdampak terhadap berbagai kebijakan, program dan kegiatan pariwisata budaya.

Data penelitian dalam tesis Lambertus, diperoleh melalui teknik pengumpulan data observasi, wawancara mendalam terhadap nara sumber yang ditentukan secara purposif serta studi dokumen terkait. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teori komodifikasi, teori perubahan sosial, dan teori semiotika.

Hasil penelitian Lambertus menunjukan bahwa komodifikasi telah merambah semua aspek kehidupan tenun ikat Bena (produksi, distribusi dan konsumsi) dengan bentuk-bentuk komodifikasi seperti komodifikasi produksi tenun ikat Bena, komodifikasi distribusi tenun ikat Bena, dan komodifikasi konsumsi tenun ikat Bena. Bentuk-bentuk komodifikasi tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor internal yaitu terbatasnya sumber daya produksi tenun ikat Bena, adanya orientasi ekonomi, dan idiologi/pandangan hidup masyarakat Bena, faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi komodifikasi tenun ikat Bena adalah globalisasi dan pengembangan pariwisata. Dampak komodifikasi adalah dampak ekonomi, dampak sosial, dan dampak budaya. Sementara makna komodifikasinya adalah makna efisiensi, makna inovasi, dan makna pelestarian.

Persamaan antara kajian Lambertus dengan kajian penulis adalah dalam hal penggunaan konsep dan teori komodifikasi, sedangkan perbedaannya yaitu objek penelitian Lambertus di atas adalah tenun ikat masyarakat Bena sedangkan penulis menggunakan objek uis Karo. Penulis mengadopsi proses bentuk komodifikasi pada tesis Tenaya dan Lambertus. Bentuk komodifikasi pada kedua tesis mereka adalah komodifikasi produksi (komodifikasi desain, motif dan warna pakem), komodifikasi distribusi, dan komodifikasi konsumsi.

Sandra Niessen (2009) dengan bukunya “Legacy in Cloth, Batak textile of Indonesia” mendeskripsikan mengenai tenun di Sumatera Utara khususnya didaerah Samosir, Simalungun, Karo, Si Tolu Huta, Holbung/Uluan dan Silindung. Buku ini memilki isi mengenai berbagai jenis uis Karo dari bentuk, desain, dan fungsi.

Fadlin Muhammad Djafar pada jurnalnya “Songket Melayu Batubara:

Eksistensi Dan Fungsi Sosio budaya” mengkaji keberadaan dan fungsi Songket Melayu Batubara di Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara. Kajian budayanya bertumpu kepada eksistensi (etnografi, teknologi, dan organisasi) dan fungsi sosiobudaya, dengan pendekatan-pendekatan antropologi.

Penelitian ini menjelaskan Songket Melayu Batubara di Sumatera Utara memiliki ciri-ciri umum dan khusus dalam konteks dunia Melayu seperti kesamaan secara konseptual, aktivitas dan dalam bentuk artefak adalah memiliki kesamaan-kesamaan dengan budaya Songket di kawasan Melayu lainnya, seperti yang ada di Semenanjung Malaysia. Kesamaan-kesamaan itu boleh dilihat melalui ide yang terkandung di dalam Songket, motif-motif, warna, dan cara pembuatannya.

Persamaan ciri khas dan perbedaan kebudayaan Songket Batubara dengan kawasan lainnya adalah dikaji sesuai dengan lingkungannya. Songket dan kain tenunan tradisional di Sumatera Utara menggunakan tiga jenis alat, yaitu: okik untuk Songket, partonunan untuk Ulos, uis dan Abit Batak, serta alat tenun bukan mesin (ATBM) seperti yang disarankan pemerintah Indonesia.

Ciri khas lainnya bahwa tenunan Songket Batubara selain digunakan oleh masyarakat Melayu, ia juga digunakan oleh masyarakat Karo, Batak Toba, Simalungun pada acara-acara kebudayaan. Fungsi Songket secara fisik adalah untuk baju, kain samping, sarung, selendang, bantal, bag, dompet dan lainnya.

Fungsi sosial budaya Songket di antaranya adalah untuk penjaga kontinuitas dan

stabilitas budaya Melayu, juga sebagai wahana integrasi dan masuknya seorang menjadi Melayu, penguat identitas Melayu, sebagai penunjuk strata sosial dan sebagai ungkapan rasa cinta serta fungsi lainnya.

Penelitian ini menjelaskan Songket di kawasan Batubara juga mencerminkan strata sosial orang yang menggunakannya. Kalangan atas biasanya memakai Songket yang berkualitas dan berhargarelatif mahal. Sementara kelas sosial menengah dan sosial ke bawah menggunakan Songket sesuai dengan kemampuan ekonominya. Sehingga Songket yang diproduksi ada yang berharga relatif dari termahal sampai termurah.

Dalam mengkaji industri uis Karo di masyarakat saat ini, penulis menggunakan skripsi Leavanny Laurie S “Analisis Bauran Pemasaran Dalam Meningkatkan Penjualan Kain Tenun Tradisional Karo Pada Trias Tambun Kabanjahe” sebagai referensi pustaka. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif ini bertujuan untuk : (1) mengetahui strategi bauran pemasaran kain tenun tradisional Karo pada Trias Tambun Kabanjahe, (2) mengetahui tingkat penjualan kain tenun tradisional Karo pada Trias Tambun Kabanjahe, dan (3) mengetahui peranan bauran pemasaran dalam meningkatkan penjualan kain tenun tradisional Karo pada Trias Tambun Kabanjahe.

Buku “Estetika : Sebuah Pengantar” tulisan A.A.M. Djelantik terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Buku “Estetika” karya Dharsono (Sony Kartika) terbitan Rekayasa Sains dan Jurnal Netty Juliana “Kreasi Ragam Hias

uis Bara” dipergunakan sebagai mengaji unsur-unsur estetika pada visual ragam hias modifikasi uis Karo.

Dalam mengkaji berbagai jenis uis Karo, corak, makna dan bentuk ragam hiasnya penulis menggunakan buku A.G.Sitepu yang berjudul “Ragam Hias (ornamen tradisional) Karo”, “Mengenal Seni Kerajinan Tradisional Karo”, dan

“Mengenal Aksara-Merga-Orat Tutur Seni Kerajinan dan Ornamen Karo”. Pada ketiga buku tersebut dijelaskan berbagai macam uis Karo, berikut coraknya, dan maknanya. Penulis juga menggunakan buku Ragam Hias (ornamen) Rumah Adat Batak Karo dan Laporan Penelitian Pengumpulan dan Dokumentasi Ornamen Tradisional di Sumatera Utara tahun 1977/1980 sebagai referensi tambahan dalam mengkaji penerapan ragam hias pada uis Karo.

Referensi dalam mengkaji berbagai budaya tradisional masyarakat Karo, penulis menggunakan buku “Pilar Budaya Karo” tulisan Sempa Sitepu, Bujur Sitepu, A.G. Sitepu yang diterbitakan Forum Komunikasi Masyarakat Karo Sumatera Utara, kemudian buku “Intisari Adat Istiadat Karo Jilid I”, “Sejemput Adat Budaya Karo” yang disusun oleh U.C. Barus dan Drs. Mberguh Sembiring, S.H, kemudian buku “Tanah Karo: Selayang Pandang” karya Leo Joosten Ginting dan Kriswanto Ginting, dan buku “Mengenal Suku Karo” karya Roberto Bangun.

Buku-buku karya Drs. Sarjani Tarigan, MSP juga dijadikan sebagai referensi tambahan dalam mengenal masyarakat Karo seperti “Dinamika Orang Karo, Budaya dan Modernisme” (2008), “Seminar Kebudayaan Karo dan

Kehidupan Masa Kini” (1986) dan “Mengenal Rasa, Karsa dan Karya Kebudayaan Karo” (2016).

Dalam mengkaji makna pemberian uis Karo, penulis menggunakan buku Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru, tulisan Pdt. Dr. E.P.

Gintings terbitan Abdi Karya tahun 1999 dan tulisan Andi Satria Putranta Barus (2016) “Memaknai Yesus lewat pemakaian uis dalam Adat suku Karo”.

Untuk menganalisis dampak dan makna komodifikasi uis Karo pada masyarakat Karo, penulis menggunkan teori semiotika dan hipersemiotika yang diambil dari buku “Semiotika Komunikasi Visual” karya Sumbo Tinarbuko terbitan Jalasutra Yogyakarta tahun 2008 dan “Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna” karya Yasraf Amir Piliang terbitan Jalasutra Yogyakarta tahun 2003.

Dokumen terkait