• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.2 Kajian Teoretis

Penelitian unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada acara Sentilan Sentilun Metro TV merupakan penelitian bidang

linguistik dengan kajian bahasa dari sudut pandang semantik dan pragmatik. Kedua teori tersebut dipakai untuk memecahkan masalah yang bekaitan dengan unsur intralingual dan ekstralingual. Teori semantik digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat intralingual, sedangkan teori pragmatik digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat ekstralingual. Kedua teori tersebut dipakai sebagai ancangan untuk mengidentifikasi serta mendeskripsikan unsur intralingual dan ekstralingual daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Setelah unsur intralingual dan ekstralingual tersebut ditemukan, kemudian dianalisis menggunakan teori kesantunan untuk menentukan santun tidaknya tuturan tersebut dalam suatu tindak komunikasi. Kajian teoritis yang digunakan adalah sebagai berikut.

2.2.1 Kajian Bahasa secara Semantik

Semantik merupakan ilmu dalam bidang linguistik yang mempelajari makna suatu tanda-tanda linguistik (Chaer,2013:2). Pendapat tersebut didukung oleh I Dewa Putu dan Rohmadi (2011:2) yang mengungkapkan bahwa semantik merupakan ilmu yang mempelajari makna unsur kebahasaan meliputi bunyi, suku kata, morfem (pada umunya), kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Suatu tuturan baik lisan maupun tulisan mengandung makna tertentu yang dapat berdiri sendiri. Kajian bahasa secara semantik menempatkan bahasa dalam pemakaian yang terbebas dari konteks. Makna dan maksud bahasa diinterpretasi dari unsur-unsur lingual yang membentuk wacana. Makna dan maksud dapat dipahami dari unsur-unsur bahasa yang digunakan untuk menyusun satuan makna.

Makna yang terdapat dalam suatu tuturan dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Perlu diingat bahwa makna merupakan substansi paling penting dalam kajian intralingual. Suatu bunyi, kata, frasa, klausa, dan kalimat tanpa dimaknai, maka tidak akan menjadi unsur intralingual yang mampu memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Misalnya pada tuturan berikut:

“Saya sudah hidup sebatangkara sejak kecil”.

Tuturan tersebut memiliki makna bahwa penutur sudah terbiasa hidup sendiri karena sudah tidak mempunyai orang tua dan sanak saudara. Tuturan tersebut menimbulkan rasa kasihan dan iba yang dirasakan oleh mitra tutur.

2.2.2 Kajian Bahasa secara Pragmatik

Pragmatik merupakan ilmu tentang bahasa yang membahas tentang maksud yang ingin disampaikan penutur kepada mitra tutur. Menurut Yule (2006:5), pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Pragmatik banyak kita temukan dalam setiap percakapan. Pendapat Yule tersebut didukung oleh Nadar (2009:2) yang mengungkapkan bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang mempelajari bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan pragmatik merupakan kajian ilmu linguistik yang membahas hubungan antara bentuk-bentuk lingusitik dan pemakainya dalam percakapan dengan tujuan menyampaikan maksud tertentu dan melibatkan situasi/ konteks tertentu.

Konteks merupakan kajian yang paling penting dalam pragmatik. Nadar (2009:4) berpendapat bahwa konteks merupakan situasi lingkungan yang

memungkinkan penutur dan mitra tutur untuk dapat berinteraksi, dan membuat ujaran mereka dapat dipahami. Pendapat ini didukung oleh Halliday dan Hassan (dalam Rani, 2006:188) yang menyebutkan bahwa yang dimaksud konteks adalah teks yang menyertai teks lain.

Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut, dapat disimpulkan konteks adalah suatu hal yang menyertai sebuah tuturan agar dapat diketahui maksudnya oleh penutur maupun mitra tutur. Hal tersebut tidak hanya yang dilisankan dan dituliskan, tetapi termasuk pula kejadian-kejadian yang bukan kata-kata lainnya dalam keseluruhan lingkungan teks maupun tuturan tersebut. Tanpa konteks yang menyertai tuturan tersebut, kita tidak dapat mengetahui maksud penutur. Letak konteks disini sangat penting untuk mengetahui maksud dibalik suatu tuturan. Apabila maksud suatu tuturan ini dapat tersampaikan dengan baik, maka dapat dikatakan bahwa efek komunikatif yang dihasilkan oleh tuturan tersebut berhasil.

Yule (2006:13-81) serta Brown dan Yule (1996:38), mengungkapkan bahwa konteks dapat diketahui melalui berbagai aspek pragmatik yang meliputi (1) praanggapan, (2) tindak tutur, (3) implikatur, (4) deiksis, (5) referensi, (6) inferensi dan (7) latar belakang penutur. Secara terperinci, ketujuh aspek pragmatik yang digunakan untuk memunculkan konteks akan diuraikan sebagai berikut.

1) Praanggapan

Saat berkomunikasi, untuk dapat menangkap maksud tuturan yang diungkapkan oleh mitra tutur terlebih dahulu kita harus memiliki pengetahuan awal tentang hal yang dibicarakan. Menurut Yule (2006: 43), praanggapan

adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Bila penutur memiliki pranggapan yang sama dengan mitra tutur, maka tidak mungkin terjadi miskomunikasi. Misalnya saat penutur mengatakan:

“SBY mengunjungi korban jatuhnya pesawat Hercules”.

Praanggapan yang terkandung dalam tuturan diatas adalah presiden ikut bersimpati pada korban jatuhnya pesawat Hercules. Untuk memahami tuturan diatas, mitra tutur harus memiliki pengetahuan yang sama bahwa SBY adalah nama presiden yang merupakan akronim Susilo Bambang Yudhoyono. Pengetahuan yang sama antara penutur dan mitra tutur ini diperlukan agar maksud dari tuturan diatas tepat penginterpretasiannya.

2) Tindak Tutur

Suatu tuturan yang dihasilkan oleh seseorang selalu mengandung 3 tindak yang saling berhubungan, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi (Yule, 2006:83). Hal tersebut senada dengan pendapat Searle dalam Nadar (2009:14) yang membagi tindak tutur kedalam tiga macam tindakan, yaitu tindak lokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak perlokusioner.

Tindak lokusioner adalah tindak tutur yang semata-mata menyatakan sesuatu, biasanya dipandang kurang penting dalam kajian tindak tutur. Berbeda dengan tindak lokusi, tindak ilokusi adalah apa yang ingin dicapai oleh penuturnya pada waktu menuturkan sesuatu dan dapat merupakan tindakan menyatakan, berjanji, minta maaf, mengancam, meramalkan, memerintah, meminta, dan lain sebagainya. Tindak ilokusioner dapat

dikatakan sebagai tindak terpenting dalam kajian dan pemahaman tindak tutur. Jenis tindak tutur yang lain adalah tindak perlokusioner, yaitu tidakan untuk memengaruhi lawan tutur seperti memalukan, mengintimidasi, membujuk, dan lain-lain (Nadar, 2009:14).

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa tindak tutur mengandung tiga hal penting, yaitu apa yang kita tuturkan (lokusi), makna yang ada di dalam tuturan tersebut (ilokusi), dan efek yang muncul dari tuturan tersebut (perlokusi). Misalnya saat udara panas, dosen mengatakan:

“Panas sekali ya siang ini?”.

Tuturan tersebut merupakan tindak tutur tidak langsung yang dinyatakan dengan bentuk interogatif. Tuturan ini dikeluarkan dosen ketika konteksnya udara siang itu sangat panas dan menyebabkan tubuh menjadi gerah. Dibalik tuturan interogatif tersebut mengandung maksud lain, yaitu mahasiswa diminta untuk membuka jendela yang ada di ruangan tersebut agar angin bisa masuk ke dalam ruangan.

3) Implikatur

Implikatur berarti sesuatu yang diimplikasikan dalam suatu percakapan antara penutur dan mitra tutur. Di dalam tuturan yang sesungguhnya, penutur dan mitra tutur dapat secara lancar berkomunikasi karena mereka berdua memiliki kesamaan latar belakang pengetahuan tentang sesuatu yang dipertuturkan (Rahardi, 2006:43). Pendapat tersebut senada dengan Yule (2008:61) yang mengungkapkan bahwa implikatur merupakan makna tambahan yang tersirat dalam suatu tuturan diluar makna yang sebenarnya.

Penutur berharap pendengar akan mampu menentukan implikatur yang dimaksud dalam konteks berdasarkan apa yang sudah diketahui.

Levinson 1983 dalam Nababan (1987:28-30) melihat kegunaan konsep implikatur terdiri dari empat hal, yaitu (i) konsep implikatur memungkinkan penjelasan fungsional yang bermakna atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori linguistik, (ii) konsep implikatur memberikan suatu penjelasan yang tegas atau eksplisit tentang bagaimana mungkinnya bahwa apa yang diucapkannya secara lahiriah berbeda dari apa yang dimaksud dan bahwa pemakai bahasa itu mengerti pesan yang dimaksud, (iii) konsep implikatur ini kelihatannya dapat meneyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan antar klausa, (iv) hanya beberapa butir saja dasar-dasar implikatur dapat menerangkan berbagai macam fakta atau gejala yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan dan berlawanan.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa implikatur merupakan maksud yang ingin disampaikan melalui suatu tuturan. Implikatur ini hanya dapat berjalan karena adanya kesepahaman antara penutur dan mitra turur. Misalnya pada tuturan yang berikut:

“Segera bersihkan kamarmu, Ibu sudah pulang!”.

Tuturan tersebut tidak semata-mata memberitahukan bahwa ibu sudah datang. Si penutur berusaha memperingatkan mitra tutur untuk segera membersihkan kamarnya, bila tidak maka ibunya tersebut akan marah-marah. Tuturan tersebut mengimplikasikan bahwa ibu mempunyai karakter yang cerewet dan tidak suka melihat kamar yang berantakan. Jadi, dengan adanya

implikatur yang membentuk konteks tuturan antara penutur dan mitra tutur akan mempunyai kesepahaman dalam menginterpretasikan maksud tuturan tertentu.

4) Deiksis

Menurut Suryani (2013:29) deiksis adalah kata, frasa, atau ungkapan yang referensinya dapat berubah atau berganti-ganti. pendapat tersebut dilengkapi oleh Yule (2006: 13) mengungkapkan bahwa deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis berarti “penunjukkan” melalui bahasa. Jenis deiksis ada empat, yaitu deiksis persona dan deiksis sosial, deiksis tempat, deiksis sosial, dan deiksis wacana (Cummings, 2007:32-42). Jenis deiksis tersebut akan dipaparkan sebagai berikut.

a. Deiksis persona dan deiksis sosial

Deiksis persona dan deiksis sosial sangat erat hubungannya. Deiksis persona merupakan kata ganti orang seperti ia, dia, beliau, dan sebagainya, sedangkan deiksis sosial harus mencakup penyebutan deiksis orang tertentu. Fungsi deiktik ungkapan-ungkapan vokatif amat sangat jelas, yaitu bahasa yang digunakan untuk menyapa, memanggil, atau menunjuk seseorang dan menempatkannya pada referen tertentu dalam konteks ruang-waktu ujaran. Perhatikan tuturan berikut:

“Kasihan sekali beliau, diujung usia senjanya harus hidup sebatangkara”.

Tuturan tersebut mengandung dua deiksis, yaitu deiksis persona dan deiksis sosial. Deiksis persona ditunjukkan dengan penggunaan kata

“beliau” sebagai ganti orang, sedangkan deiksis personanya, penggunaan kata “beliau” menunjukkan status sosial yaitu penyebutan untuk orang yang lebih tua. Penggunaan kata “beliau” dalam tuturan diatas dianggap lebih santun dari pada tuturannya menjadi:

“Kasihan sekali dia, diujung usia senjanya harus hidup sebatangkara”.

Deiksis persona dan sosial ini dapat digunakan untuk mengetahui konteks yang digunakan untuk menginterpretasikan maksud tuturan.

b. Deiksis waktu

Deiksis waktu merupakan kata ganti yang menunjuk referennya adalah waktu seperti kata kemarin, minggu lalu, besok, lusa, dan sebagainya. Melalui dieksis waktu, kita dapat mengetahui konteks suatu tuturan yang digunakan untuk menginterpretasi maksud. Perhatikan contoh tuturan berikut berikut:

“Jangan seperti pemerintahan kemarin yang hobinya prihatin-prihatin mulu”.

Tuturan tersebut mengandung deiksis waktu, yaitu pada kata “kemarin”. Melalu deiksis waktu tersebut, kita dapat memahami konteks tuturan. Deiksis “kemarin” ingin mengungkapkan era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Konteks tuturan tersebut adalah menyindir pemerintahan SBY terkesan diam. Dahulu, saat berpidato presiden Susilo Bambang Yudhoyono banyak menggunakan kata „prihatin‟ pada saat pidatonya. Sebagai contoh saat masalah DPR mengajukan RUU pilkada melalui DPR, SBY terkesan diam saja. Begitu mendekati pengesahan

RUU pilkada tersebut, SBY baru bertindak dengan mengeluarkan Perpu pilkada.

c. Deiksis tempat

Deiksis waktu merupakan kata ganti yang menunjuk referennya adalah tempat seperti kata disini, disitu, tempat tertentu,dan sebagainya. Perhatikan tuturan berikut:

“Hakim harus berada di tengah dalam setiap kasus”.

Tuturan tersebut menggunakan deiksis tempat, yaitu pada kata “di tengah”. Melalui penggunaan deiksis tersebut, konteks tuturan dapat diketahui, yaitu protes terhadap hakim yang sering tidak adil.

d. Deiksis wacana

Deiksis wacana menggunakan ungkapan linguistik untuk mengacu pada suatu bagian tertentu dari wacana yang lebih luas (baik teks tertulis maupun lisan) tempat terjadinya ungkapan-ungkapan tersebut. Perhatikan contoh tuturan berikut:

“Kami harap Pak Jokowi dapat membawa Indonesia menjadi lebih baik, seperti saat kinerjanya mengatasi masalah di Jakarta”.

Tuturan tersebut mengandung mengandung deiksis wacana, yaitu dikaitkan dengan kinerja Pak Jokowi saat menjadi gubernur Jakarta. Masyarakat memandang bahwa kinerja Pak Jokowi saat itu sudah cukup baik. Deiksis wacana yang digunakan dapat memunculkan konteks dalam tuturan tersebut. Konteks tuturan tersebut adalah Harapan rakyat kepada pak Jokowi yang terpilih sebagai presiden saat ini.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa bentuk bahasa yang digunakan untuk menunjuk sesuatu berdasarkan referen tertentu (persona/ orang, tempat, sosial, dan wacana) merupakan deiksis. Melalui contoh-contoh yang dipaparkan di atas, keempat jenis deiksis tersebut dapat memunculkan konteks yang digunakan untuk menginterpretasikan maksud suatu tuturan.

5) Referensi

Lynons (1977) dan Strawson (1950) dalam Brown dan Yule (1996:28) mengungkapkan referensi adalah ungkapan seorang penutur yang didasarkan pada acuan suatu bentuk linguistik tertentu. Pendapat tersebut didukung oleh Yule (2008:28) yang mengungkapkan bahwa referensi dalam jangkauan yang luas didasarkan pada asumsi penutur terhadap apa yang sudah diketahui pendengar.

Berdasarkan pendapat kedua ahli di atas dapat disimpulkan bahwa referensi adalah suatu tuturan yang didasarkan pada rujukan bentuk linguistik tertentu yang sebelumnya juga sudah diketahui oleh mitra tutur. Rujukan tersebut dapat berupa tuturan atau perilaku mitra tutur sebelumnya yang menimbulkan tanggapan dari penutur. Referensi ini juga dapat digunakan untuk mengetahui konteks suatu tuturan, misalnya pada contoh tuturan berikut.

“Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu. Sekarang kamu tahu kan hukuman yang harus kamu terima”

(Seorang penutur merasa simpati karena temannya dihukum oleh guru karena ketahuan membolos saat pelajaran berlangsung).

Konteks tuturan tersebut diketahui melalui fenomena referensi, yaitu rujukan perilaku mitra tutur sebelumnya yang membolos saat pelajaran berlangung. Penutur dam mitra tutur sebelumnya sudah sama-sama mengetahui kesalahan apa yang dimaksud dalam tuturan.

6) Inferensi

Inferensi merupakan penyimpulan penutur mengenai kejadian tertentu (Yule,2006:28). Pendapat tersebut dilengkapi oleh Brown dan Yule (1996:33) yang mengungkapkan bahwa referensi merupakan usaha menarik kesimpulan untuk dapat menafsirkan ujaran-ujaran atau hubungan antra ujaran. Penarikan kesimpulan tersebut berdasarkan pada banya fakta mengenai suatu hal sebelumnya sehingga penutur berbicara berdasarkan penarikan kesimpulan atas fakta-fakta yang ia miliki sebelumnya mengenai suatu hal. Inferensi tersebut dapat memunculkan sebuah konteks, misalnya dalam contoh tuturan berikut.

“Sepertinya saat ini sudah memasuki musim kemarau”

(Cuaca siang itu sangat cerah dan tidak ada awan. Disamping itu, udara di pagi hari sangat dingin).

Konteks tuturan tersebut dimunculkan melalui fenomena referensi karena sebelumnya penutur mempunyai beberapa fakta mengenai ciri-ciri musim kemarau sehingga penutur dapat menyimpulkan bahwa saat ini sudah memasuki musim kemarau.

7) Latar Belakang Penutur

Latar belakang penutur pengetahuan sebelumnya yang dimiliki oleh mitra tutur mengenai seorang penutur. Brown dan Yule (1997:38)

mengungkapkan bahwa pengetahuan tentang penutur pada peristiwa komunikatif tertentu memungkinkan mitra tutur membayangkan apa yang mungkin dikatakan oleh penutur.

Jika seorang mengetahui latar belakang penutur, maka mitra tutur dapat memprediksi apa yang akan dikatakan oleh penutur baik dari segi bentuk maupun isi. Latar belakang penutur ini juga dapat memengaruhi kepercayaan mitra tutur terhadap apa yang diucapkan oleh penutur, misalnya pada contoh tuturan berikut.

“Saat ini terdapat banyak mafia migas yang meraup keuntungan”.

(Tuturan tersebut dikatakan oleh seorang pengamat migas yang mengetahui seluk beluk migas termasuk praktik kecurangan mafia migas).

Konteks dalam tuturan diatas diketahui berdasarkan latar belakang penutur, yaitu berupa pekerjaan. Mitra tutur dapat memercayai perkataan penutur karena dari segi pekerjaan ia telah lama menggeluti dunia migas sehingga kebenaran tuturannya dapat dipertanggungjawabkan.

Berbagai aspek pragmatik yang dipaparkan diatas digunakan untuk mengetahui maksud penutur yang diungkapkan melalui suatu tuturan. Maksud tuturan dapat dilihat melalui konteks yang diketahui melalui fenomena praanggapan, implikatur, tidak tutur, deiksis, referensi, inferensi, dan latar belakang penutur. Suatu tuturan selalu diikuti dengan konteks tertentu. Keberadaan maksud menjadi sangat penting saat kita hendak mengetahui daya bahasa dan nilai rasa bahasa yang muncul dalam suatu tuturan.

2.2.3 Unsur Intralingual

Unsur intralingual merupakan segala unsur didalam bahasa yang dapat berupa bunyi, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Unsur intralingual sering disebut juga dengan bahasa verbal. Menurut Liliweri (1994:2) bahasa verbal merupakan penggunaan tanda-tanda atau simbol-simbol untuk menjelaskan suatu konsep tertentu. Pemakaian bahasa verbal memiliki unsur utama berupa kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Pendapat tersebut sejalan dengan Pranowo (2013), yang mengungkapkan bahwa kajian intraingual meliputi bunyi, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Kajian intralingual tersebut tidak hanya sebatas pada aspek kebahasaan saja, melainkan sampai pada makna. Aspek-aspek bahasa tersebut tanpa dimaknai tidak akan ada artinya.

Unsur intralingual ini dapat digunakan dalam bahasa lisan maupun bahasa tulis. Unsur intralingual yang digunakan dalam bahasa tulis ditandai dengan penggunaan jeda pendek, sedang, panjang, dan panjang sekali dapat juga berupa pemisahan kata, tanda koma, tanda titik, pergantian paragraf, dan pergantian wacana, sedangkan unsur intralingual yang digunakan dalam bahasa lisan ditandai dengan jeda berupa intonasi, tekanan, dan irama. Di samping itu, bahasa lisan juga memanfaatkan permainan bunyi, permainan kata, gaya bahasa, dan idiom yang dapat memberi efek komunikatif bagi mitra tutur. Dengan kata lain, nilai rasa bahasa dapat terjadi dalam bahasa lisan maupun bahasa tulis tetapi cara memasukkan nilai rasa bahasa berbeda-beda. Secara ringkas, macam-macam unsur intralingual tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.

1) Bunyi

Ilmu yang mempelajari tentang bunyi disebut dengan fonologi. Menurut KBBI (2008:396), fonologi merupakan bidang linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Pendapat tersebut didukung oleh Muslich (2008:1), fonologi merupakan ilmu yang mengkaji bunyi-bunyi ujaran secara mendalam. Ilmu fonologi ini tidak terbatas pada bunyi saja, melainkan berkaitan dengan fungsi dari rentetan bunyi tersebut. Aspek paling penting dalam kajian bunyi sebagai unsur intralingual ini adalah makna yang dihasilkan dari rentetan bunyi tersebut. Bunyi tidak akan ada artinya bila bunyi tersebut tidak mempunyai makna.

Sudaryanto (1989) mengidentifikasikan bahwa bunyi memiliki makna tertentu. Pada tataran bunyi, bunyi /i/ memiliki makna yang dapat menggambarkan keadaan yang dipersepsi sebagai sesuatu yang kecil pada suatu benda seperti pada kata “kerikil, kutil, kerdil, dan sebagainya. Namun, sebelum kata-kata yang mengandung bunyi /i/ dipakai dalam suatu konteks tuturan tertentu, daya bahasanya belum muncul. Misalnya saat orang mengatakan:

“Masalah ini hanya merupakan kerikil kehidupan”.

Tuturan tersebut mempunyai makna bahwa „masalah‟ yang sedang dihadapi saat ini merupakan masalah yang kecil. Kata “kerikil” bermakna „batu kecil‟ sebagai pengungkapan masalah yang kecil. Pada tuturan tersebut terdapat daya bahasa yang meyakinkan mitra tutur bahwa masalah yang sedang

dihadapinya bukanlah masalah yang berat sehingga menimbulkan keyakinan di benak mitra tutur bahwa ia mampu menyelesaikan masalah tersebut.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa bunyi merupakan unsur paling dasar sebelum membentuk suatu kata. Aspek bunyi yang sangat kecil pun dapat menjadi pembeda makna pada suatu kata. Bunyi tidak akan ada apa-apanya tanpa dimaknai. Dengan kata lain, aspek bunyi sangat berhubungan dengan makna. Aspek bunyi ini dapat dikatakan sebagai unsur intralingual yang dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. 2) Kata dan Pilihan Kata (Diksi)

Kata ialah satuan bebas yang paling kecil. Kata terdiri dari dua macam satuan, yaitu satuan fonologik dan satuan gramatik. Sebagai satuan fonologik, kata terdiri dari satu atau beberapa suku, dan suku itu terdiri dari satu atau beberapa morfem. Misalnya kata belajar terdiri dari tiga suku kata, yaitu be, la, dan jar, sedangkan sebagai satuan gramatik, kata belajar terdiri dari dua morfem yaitu ber- dan ajar (Ramlan, 2009:33).

Setiap kata pasti mengandung makna tertentu yang ingin mengungkapkan sebuah gagasan atau sebuah ide. Kata-kata adalah alat penyalur gagasan yang akan disampaikan kepada orang lain. Kata-kata ibarat „pakaian‟ yang dipakai oleh pikiran kita. Tiap kata memiliki jiwa. Setiap anggota masyarakat harus mengetahui „jiwa‟ setiap kata, agar ia dapat menggerakkan orang lain dengan „jiwa‟ dari kata-kata yang dipergunakannya (Keraf, 1987:21). Namun perlu diingat juga, kata merupakan bagian dari

kalimat. Kata tidak dapat menjadi ekspresi yang lengkap dan penuh jika ia tidak menjadi kalimat sendiri (Parera, 1988:3).

Kata sebagai satuan dari perbendaharaan kata sebuah bahasa mengandung dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi dan aspek isi makna. Bentuk atau ekspresi adalah segi yang dapat diserap melalu pancaindra, yaitu dengan mendengar atau dengan melihat. Sebaliknya, segi isi atau makna adalah segi yang menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengar atau pembaca karena rangsangan aspek bentuk tadi. Dengan kata lain, pengertian yang tersirat dalam suatu kata mengungkapkan sebuah gagasan atau ide penutur dengsn maksud dan tujuan tertentu terhadap mitra tutur.

Semakin banyak kata yang dikuasai seseorang, semakin banyak pula ide atau atau gagasan yang dikuasainya dan diungkapkannya (Keraf, 1987:21). Dengan menggunakan pilihan kata atau diksi yang tepat, maka pesan yang akan kita sampaikan kepada mitra tutur akan lebih mengena. Diksi juga dapat digunakan untuk mengungkapkan hal-hal yang lebih santun (berhubungan dengan nilai rasa bahasa). Misalnya pada tuturan berikut:

“Orang buta itu lewat di depan rumah”

Ungkapan tersebut terasa lebih kasar karena menggunakan kata „orang buta‟. Tuturan tersebut sebenarnya dapat diperhalus dengan diksi „tuna netra‟

Dokumen terkait