• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISASI DAN PATOGENISITAS PROTEIN ECP Streptococcus agalactiae PADA IKAN NILA

(Oreochromis niloticus)

Abstrak

Pengembangan vaksin dari toksin protein dapat dilakukan dengan mengetahui fraksi protein dalam ECP yang berperan terhadap respons imun ikan nila. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi toksisitas protein ECP S. agalactiae hasil fraksinasi dengan SDS-PAGE. Protein dengan berat molekul 76,52 kDa (ECPP76,52); 89 kDa (ECPP89) dan 132,92 kDa (ECPP132,92) dari ECP pekat yang difraksinasi dengan SDS-PAGE dan diisolasi dari gel acrilamid. Ikan nila berat 25 g secara intraperitonial (i.p.) masing-masing diinjeksi dengan protein dosis 1, 2, 4, 8 dan 16 µg mL-1. Sebagai kontrol positif ikan diinjeksi dengan bakteri utuh S. agalactiae 1x104 CFU mL-1 (WCB) dan ECP crude S.

agalactiae (ECPC). Sebagai kontrol negatif ikan diinjeksi larutan PBS. Ikan dipelihara selama 15 hari dengan kepadatan 10 ekor (70 L air). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan nila yang diinjeksi dengan ECP89, WCB dan ECPC mengalami gejala khas penyakit S. agalactiae. Mortalitas pada perlakuan ECP89 secara umum lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan ECPC namun lebih rendah (p<0.05) dibandingkan dengan WCB. Gejala khas terserang S. agalactiae

dan mortalitas ikan tidak terjadi pada perlakuan ECPP76,52; 132,92 kDa dan kontrol PBS. Hasil ini menunjukkan bahwa ECPP89 merupakan protein toksin dari ECP S. agalactiae yang berpotensi sebagai antigen yang imunogenik, sehingga perlu diuji sebagai kandidat vaksin protein.

Kata kunci : patogenisitas, ikan nila, Streptococcus agalactiae, produk ekstraselular

Abstract

The development of the vaccine from a toxin protein started with identifying the antigenic proteins in crude extracellular products (ECP) by testing the toxicity of proteins with different molecular weights. This purpose of study was to evaluate the toxicity of the protein with various molecular weight ofS. agalactiae

ECP. Nile tilapia weighing approximately 25 g each were injected intraperitoneally with ECPP89 protein at doses of 1, 2, 4, 8, and 16 µg mL-1 (coded ECPP89-1, ECPP89-2, ECPP89-4, ECPP89-8, and ECPP89-16, respectively). The positive controls fish were injected with 1x104 CFU mL-1 S. agalactiaewhole-cell bacteria (WCB) andS. agalactiaecrude ECP (ECPC). The negative control fish was injected with PBS solution. The fish were kept for 15 days at a density of 10 individuals 70 L water-1. The results of this study showed that Nile tilapia injected with ECPP89 demonstrated specific signs of S. agalactiaeinfection such as changes in external anatomy, changes in appetite, and changes in swimming patterns. The mortality in the ECPP89 treatment was generally higher (p<0.05) than the ECPC treatment, but it was lower than the WCB treatment. Fish mortality in ECPP89-4, ECPP89-8, and ECPP89-16

treatments were not distinct but it were significantly higher than in ECPC and the other two dosages of ECPP89 (p<0.05). The negative control fish did not die or demonstrate clinical changes. This suggests that ECPP89 is a toxin ECP protein ofS. agalactiae.

Keywords: pathogenicity, Nile tilapia, Streptococcus agalactiae, extracellular products

Pendahuluan

Patogenisitas merupakan kemampuan mikroba untuk menyebabkan suatu penyakit pada organisme inang. Mikroba mengekspresikan patogenitasnya melalui virulensi yang berbanding lurus dengan kemampuan organisme menyebabkan penyakit. Tingkat virulensi bakteri yang tinggi ditentukan oleh kemampuan bakteri menghasilkan toksin yang merupakan mekanisme penting pada hampir semua bakteri patogen penyebab penyakit. Toksin merupakan zat racun yang dibentuk dan dikeluarkan oleh organisme yang dapat menyebabkan kerusakan radikal secara struktural, merusak secara keseluruhan tubuh inang atau efektifitas bagian tertentu dari organisme.

Toksin yang berasal dari bakteri adalah komponen racun terlarut yang diproduksi oleh bakteri dan menyebabkan pengaruh negatif terhadap sel-sel inang dengan cara mengubah metabolisme normal dari sel inang tersebut. Toksin yang berhubungan dengan sel bakteri disebut sebagai endotoksin sedangkan toksin yang dapat berdifusi secara ekstraselular disebut sebagai eksotoksin. Eksotoksin biasanya protein yang bertindak secara enzimatik atau bertindak secara langsung pada sel inang dan merangsang berbagai respons inang (Todar 2012).

Toksisitas bakteri ditandai dengan proses lisosomal yang tidak stabil, fagositosis yang tidak berhasil dan perubahan fungsi fagositosis sel. Hal ini menyebabkan kemampuan hewan untuk mempertahan diri terhadap patogen dan penyakit menular secara signifikan berkurang (Jovanovi et al. 2012). Meskipun mekanisme patogenik bakteri belum diketahui dengan tepat (Wang et al. 2010), namun beberapa faktor virulensi bakteri seperti protein eksotoksin dapat mematikan inangnya melalui aktivitas protease, dermatotoxin, hemolisin, siderophore dan resistensi terhadap fagosit (Supraptoet al.1996).

Toksin yang merupakan produk ekstraselluler (extracellular product/ECP) dihasilkan oleh bakteri S. agalactiae merupakan komponen protein terlarut yang disekresikan oleh bakteri pada fase pertumbuhan eksponensial yang berfungsi seperti enzim dan memiliki sifat-sifat enzim yaitu terdenaturasi oleh panas, asam dan enzim proteolitik dengan potensi toksik yang tinggi dan bersifat antigenik. Pengembangan vaksin dari toksin protein dapat dilakukan dengan mengetahui fraksi protein dalam ECP yang berperan terhadap respons imun ikan nila. Namun protein dalam ECPcrudeini belum diketahui dan dipelajari, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui toksin protein dari ECP bakteri S. agalactiae dengan melakukan pemisahan dan pemurnian protein berdasarkan berat molekulnya. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi protein yang menyusun ECP crude S. agalactiae berdasarkan berat molekulnya dan selanjutnya mengevaluasi toksisitas protein tersebut.

Bahan dan Metode

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada April 2012 hingga Mei 2013. Preparasi ECP bakteri S. agalactiae dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), IPB dan Laboratorium Kesehatan Ikan Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar (Balitbangdita) Sempur, Bogor. Fraksinasi dan isolasi protein ekstraseluler bakteri S. agalactiae sebagai kandidat vaksin dilakukan di Laboratorium Biologi Balai Budidaya Ikan Hias Depok, uji toksikologi protein ECP dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan Balitbangdita, Sempur, Bogor.

Isolasi ECP

ECP diisolasi dari S. agalactiae tipe non-hemolitik N14G koleksi Balitbangdita Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bogor. Isolat uji diinokulasikan dalam media brain hearth infussion agar (BHIA) berdasarkan Hardi (2011). Isolasi ECP berdasarkan pada pola pertumbuhan populasi maksimal yaitu 72 jam pasca inokulasi pada media BHI (Klesius et al. 1999) dan Evans et al. (2004). Supernatan yang berisi ECP diaduk menggunakan shaker kemudian disaring dengan filter miliphore steril 0,22 µm (membran solution MS® CA

syringe filter) dan disimpan pada suhu -20°C.

Pengukuran Kadar Protein

Penentuan kadar protein ECP crude dilakukan dengan spektrofotometer pada 595 nm dengan metoda Bradford (1976) dalam Bollag & Edelstein (1991). Sebanyak 100 µL sampel ditambah dengan 1 mL pereaksi Bradford kemudian divortex dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 595 nm. Pereaksi Bradford berasal dari larutan stok yakni: 100 mL etanol 95%, 200 mLphosphoric acid88% dan 350 mg Serva Blue G. Sebanyak 30 mL larutan stok ditambah 425 mL akuades, 15 mL etanol 95% dan 30 mL phosphoric acid 88%. Campuran tersebut diencerkan dua kali sebelum digunakan untuk analisis protein. Konsentrasi protein sampel dihitung berdasarkan kurva standar yang dibuat dari

bovine serum albumin (BSA). Khusus pada tahap pemurnian, protein dimonitor dengan cara mengukur serapan pada panjang gelombang 280 nm (A280).

Fraksinasi Protein Produk ECP BakteriS. agalactiae

Fraksinasi protein bakteri S. agalactiae dilakukan untuk memisahkan protein yang terdapat dalam toksin bakteri berdasarkan berat molekulnya. Fraksinasi protein dilakukan dengan metode SDS-PAGE (Laemmli 1970). Sebelum dilakukan fraksinasi, terlebih dahulu dilakukan pemekatan konsentrasi

ECP dengan menggunakan vivaspin konsentrator sentrifugal 6 ml (vivaspin centrifugal concentrator, GE Healthcare Bio-Sciences AB Björkgatan 30 751 84 Uppsala Sweden) (Gambar 2a, 2b) yang disentrifugasi pada 12.500 rpm pada suhu 4°C. 20 mL ECPcrude dipekatkan dengan vivaspin hingga diperoleh ECP pekat sebanyak 1 mL. Hasil pemekatan ECP sebanyak 100 µL dilarutkan dalam 50 µL buffer, kemudian diseparasi menggunakan SDS-PAGE dengan konsentrasi gel 12% dan tebal 1,5 mm.

Setelah proses elektroforesis, gel diangkat dan dipotong selebar 7-10 mm dari sisi kiri dan kanan. Potongan gel kecil ini dipreparasi untuk pewarnaan menggunakan silver staining. Hasil pewarnaan ini dijadikan frame untuk memotong gel akrilamid.

Pewarnaan Gel denganSilver Staning

Pewarnaan dimulai dengan melakukan fiksasi gel dengan larutan fiksatif (25% methanol, 12% asam asetat) selama 1 jam, direndam dalam etanol 50%, selama 20 menit. Selanjutnya direndam kembali dalam etanol 30%, selama 20 menit sebanyak 2 kali, dienhancer (0.1 g Na2S2O35H2O) dalam 500 ml akuades selama 1 menit, dicuci dengan akuabides 20 detik, diulang 3 kali. Kemudian dicelupkan ke dalam larutan perak nitrat (0.4 g AgNO3dicampurkan dengan 70

μ L formaldehid dalam 200 ml akuabides) selama 30 menit. Gel dibilas dengan akuabides sebanyak 2 kali selama 20 detik dan dicelupkan ke dalam larutan (15 g Na2CO3 + 120 μ l formaldehid + 250 ml akuabides). Pada saat terlihat pita

berwarna hitam, dicuci dengan larutan fiksatif hingga ada gelembung dan selanjutnya dicuci dengan akuabides.

Isolasi Protein dari Gel Akrilamid

Isolasi protein toksin bakteriS. agalactiae bertujuan untuk mengisolasi dan memurnikan protein berdasarkan berat molekulnya setelah dilakukan fraksinasi protein. Isolasi protein toksin dari hasil fraksinasi gel akrilamid SDS-PAGE dilakukan dengan electro-eluter. Sampel pita hasil SDS-PAGE dengan berat molekul 76,52 kDa, 89 kDa dan 132,92 kDa dipotong melintang (Gambar 2c, 2d), dimasukkan ke glass tube yang telah terpasang pada modul dalam bentuk potongan kecil. Elusi dilakukan pada 8-10 mA/glass tube selama 3-5 jam. Setelah proses elusi, modul elektro eluter dikeluarkan dari chamber, glass tube dikeluar dari modul. Glass tube yang berisi buffer dikeluarkan, kemudian dilepas dari adaptor silikon dan selanjutnya protein di dalam silikon diambil dan dimasukkan ke dalam eppendorf dan disimpan pada suhu -20ºC.

Keterangan : a) Vivaspin 6 ml dan b) vivaspin 1 ml (vivaspin centrifugal concentrator, GE

Healthcare Bio-SciencesAB Björkgatan 30 751 84 Uppsala Sweden), c) Gel hasil

pewarnaan dijadikanframeuntuk memotong gel, d) gel dipotong untuk elusi.

Gambar 2. Vivaspin untuk memekatkan ECP dan pemotongan gel akrilamid hasil fraksinasi SDS-PAGE

Protein ECP dan Pemeliharaan Ikan

Ikan nila dengan bobot sekitar 25 g ekor-1 berasal dari satu sumber ditampung di bak penampungan untuk proses aklimatisasi dan penentuan status kesehatan ikan melalui pengamatan mikroskopis dan fisiologis serta penyeragaman (seleksi) ukuran ikan. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan ikan berukuran seragam dan sehat memenuhi asumsispecific pathogen free.

Ikan dipelihara pada akuarium berukuran (60x30x40 cm) dengan kepadatan 10 ekor akuarium-1. Jenis protein yang diujikan pada pengujian toksisitas protein ECP terdiri atas tiga jenis protein hasil fraksinasi dari ECP S. agalactiae dengan berat molekul 76,52 kDa (ECPP76,52); 89 kDa (ECPP89) dan 132,92 kDa (ECPP132,92), masing-masing dengan dosis 1, 2, 4, 8, 16 µg mL-1. Pengenceran protein sesuai dosis perlakuan dilakukan dengan menggunakan PBS dan diukur konsentrasinya dengan Nanodrop 2000 Spectrophotometer thermo scientific

dengan absorbansi 1 pada 280 nm. Dua kontrol positif terdiri atas bakteri utuh S. agalactiae1x104CFU mL-1(WCB) dan ECP crudebakteriS. agalactiae(ECPC) dan satu kontrol negatif larutan PBS. Ikan diinjeksi secara intraperitonial (i.p.) 0,1 mL ek ikan-1sesuai perlakuan. Selanjutnya ikan dipelihara selama 15 hari dan dilakukan pengamatan gejala klinis ikan, perubahan tingkah laku renang dan

a b

perubahan tingkah laku makan dan mortalitas ikan. Ikan yang menunjukkan gejala klinis terinfeksiS. agalactiaedijadikan sampel untuk pengamatan histologi pada organ mata, ginjal dan otak. Sedangkan ikan yang mati dihitung untuk mengetahui persentase mortalitasnya.

Analisis Data

Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Data persentasi mortalitas dianalisis secara statistik pada taraf p<0,05 (dua arah) menggunakan program SPSS 17 for Windows. Perlakuan yang menunjukkan perbedaan diuji lanjut dengan uji lanjut Duncan.

Hasil

Fraksinasi dan Pemurnian Protein

Konsentrasi protein total ECP bakteri S. agalactiae isolat N14G yang dikultur selama 72 jam pada media BHI (Tabel 1), menunjukkan bahwa konsentrasi protein ECPcrudesebesar 8,6 ppm. Fraksinasi protein toksin bakteri

S. agalactiae dengan metode SDS-PAGE bertujuan untuk memisahkan protein berdasarkan berat molekulnya. Hasil elektroforesis dan pewarnaansilver staining

terdapat 3 pita protein dengan berat molekul 76,52 kDa; 89 kDa dan 132,92 kDa (Gambar 4). Pita protein dengan berat molekul 76,52 kDa; 89 kDa dan 132,92 kDa dipotong (Gambar 2c, 2d) dan diisolasi dari gel akrilamid dengan electro- eluter sehingga diperoleh protein murni yang selanjutnya dievaluasi sebagai protein toksin.

Gambar 3. Kurva standar protein total ECP crude bakteri Streptococcus agalactiaeisolat N14G y = 0.0044x + 0.0266 R² = 0.9877 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 0.5 0 20 40 60 80 100 120 A b so rb an si p ad a 5 95 n m Konsentrasi (μ g mL-1)

Keterangan : a) hasil fraksinasi diperoleh protein dengan berat molekul 76,52 kDa, 89 kDa dan

132,92 kDa, b) hasil isolasi dan pemurnian protein toksin 89 kDa denganelectro-

eluter, m) marker

Gambar 4. Hasil fraksinasi protein toksin dari ECP bakteri Streptococcus agalactiae dengan metode SDS-PAGE yang dipekatkan dengan vivaspin

Tabel 1. Konsentrasi protein total ECP crudebakteri S. agalactiaeisolat N14G sebelum fraksinasi menggunakan standar protein bovine serum albumin (BSA) Rataan absorbansi 595 nm pada Sampel Rataan absorbansi 595 nm pada Blanko S–B a b Protein (µg mL-1) 0.773 0.3675 0.4055 0.0044 0.0266 8.6

Keterangan : S) larutan sampel, B) larutan blanko, a) intercept, b) koefisien regresi

Perubahan Anatomi luar

Hasil pengujian patogenitas protein toksin dengan injeksi secara i.p. dapat dilihat pada Tabel 2. Setelah pemaparan protein, semua ikan perlakuan tidak mengalami kelainan anatomi hingga jam ke-24. Setelah hari ke-3 beberapa ekor ikan mulai menunjukkan perubahan warna tubuh menjadi gelap setelah diinjeksi ECPP89 (dosis 4, 8, 16 µg mL-1), ECPC dan WCB secara i.p. 0,1 mL ek-1. Selanjutnya pada hari ke-4, ikan yang sebelumnya telah berwarna gelap mengalami clear operculum dan menunjukkan pengerutan mata (Gambar 6)

sehingga terlihat mata hitam ikan menjadi kecil. Pada tahap selanjutnya terjadi eksophtalmia (Gambar 5) dan tubuh ikan berbentuk huruf C. Perubahan organ luar ikan ini terjadi pada perlakuan ECPP89 (dosis 2, 4, 8, 16 µg mL-1), ECPC dan WCB, tetapi tidak terjadi pada protein toksin ECPP89 dosis 1 µg mL-1dan semua dosis perlakuan ECPP76,52 dan ECPP132,92 serta kontrol PBS.

Tabel 2. Perubahan anatomi luar, pola renang, pola makan dan mortalitas ikan nila (Oreochromis niloticus) setelah penginfeksian protein.

Perlakuan Konsentrasi

(µg mL-1)

Perubahan pada ikan Mortalitas (%) ECPP76,52 1 - 0d 2 - 0d 4 - 0d 8 - 0d 16 - 0d ECPP89 1 - 0d 2 a, b, c, d 5d 4 a, b, c, d, e, f, g, h, i 35b 8 a, b, c, d, e, f, g, h, i 40b 16 a, b, c, d, e, f, g, h, i 35b ECPP132,92 1 - 0d 2 - 0d 4 - 0d 8 - 0d 16 - 0d WCB a, b, c, d, e, f, g, h, i 55a ECPC a, b, c, d, e, f, g, h, i 20c PBS - 0d

Keterangan : a) ikan berenang lemah dan diam didasar, b) ikan soliter, c) perubahan warna tubuh,

d) penurunan nafsu makan, e) clear operculum, f) mata mengkerut, g)

eksophthalmia, h) tubuh membentuk huruf C, i) whirling. ECPP76,52 (protein

dengan BM 76,52); ECPP89 (protein dengan BM 89); ECPP132,92 (protein dengan

BM 132,92); WCB (bakteriS. agalactiae); ECPC (ECP crude S. agalactiae); PBS

(larutan PBS). Huruf superskrip yang sama pada kolom mortalitas menunjukkan tidak ada perbedaan antar perlakuan pada taraf 0,05.

Perubahan Pola Renang

Pola renang ikan nila tidak banyak mengalami perubahan pasca injeksi protein. Ikan terlihat stress ditandai dengan pergerakan ikan yang tidak normal terjadi hanya beberapa jam pasca penginfeksian. Perubahan pola renang ikan terjadi pada hari ketiga pasca injeksi dimana ikan diam dan soliter di dasar akuarium pada perlakuan ECP89 (dosis 4, 8, 16 µg mL-1) dan WCB. Perubahan pola renang seperti ini terjadi pada perlakuan ECPC dan ECPP89 (dosis 2 µg mL- 1) setelah hari kelima. Sedangkan perlakuan ECPP-76,52 dan ECPP-132,92 serta kontrol negatif PBS tidak mengalami perubahan pola renang (Tabel 2).

Kelainan pola renang berputar (whirling)terjadi pada hari ke-7 pasca peng injeksi ECP89-4, ECP89-8 ECP89-16 dan WCB dan hari ke-8 pada perlakuan ECPC. Sedangkan perlakuan ECPP76,52 dan ECPP132,92 serta kontrol negatif PBS tidak mengalami kelainan pada pola renang ikan.

Perubahan Tingkah Laku Makan

Tingkah laku makan berupa penurunan nafsu makan ikan tidak mengalami perubahan selama 48 jam pasca penginfeksian. Perubahan tingkah laku makan terjadi pada hari ketiga bersamaan dengan terjadinya perubahan warna ikan menjadi gelap, terjadinya pengerutan mata dan eksopthalmia pada perlakuan ECPP89 (dosis 2, 4, 8, 16 µg mL-1), WCB dan ECPC. Namun pola tingkah laku makan ikan tidak terjadi pada perlakuan ECPP76,52; ECPP132,52; ECPP89 dosis 1 µg mL-1dan PBS (Tabel 2).

Histopatologi

Perubahan-perubahan patologi pada otak, mata dan ginjal ikan yang diinjeksi dengan ECPP89 berdasarkan hasil histopatologi adalah terjadinya vakuolisis, kongesti, nekrosa, hemorhagik, melanomacrofag centre (MMC), dan infiltrasi sel radang. Histopatologi otak, mata dan ginjal ikan yang diinfeksi dengan perlakuan ECPP89 sama dengan kelainan yang ditimbulkan oleh WCB maupun ECPC. Perubahan patologi yang terjadi pada otak ikan adalah terjadinya gangguan aliran darah (kongesti/pembendungan), vakuolisis, hemorhagik dan nekrosis. Kelainan histologi pada ginjal diantaranya adalah MMC, infiltrasi sel radang dan nekrosis, sedangkan pada mata hanya ditemukan vakuolisis (Gambar 7).

Mortalitas Ikan

Mortalitas ikan nila setelah penginjeksian menunjukkan variasi berdasarkan perlakuan. Mortalitas ikan yang diinjeksi secara i.p. dengan perlakuan ECPP89 dosis 4, 8 dan 16 µg mL-1 secara signifikan lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan dengan perlakuan ECPP76,52 dan ECPP132,92 semua dosis dan perlakuan ECPP89 dosis 2 dan 1 µg mL-1 (Tabel 2). Mortalitas ikan antara perlakuan ECPP89 dosis 4, 8 dan 16 µg mL-1 tidak berbeda secara siginifikan (p>0,05), namun lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan WCB (p<0,05).

Keterangan : a) perubahan warna tubuh ikan menjadi gelap, b) dan c) mata keruh, d)

eksopthalmia, d) mata ikan lisis, f)whirling.

Gambar 5. Perubahan anatomi luar ikan nila (Oreochromis niloticus) setelah penginfeksian ECPP89, WCB dan ECPC.

a

b

c

d

f

e

Keterangan : a) mata mengkerut, b) mata ikan normal

Gambar 6. Pengerutan mata ikan nila (Oreochromis niloticus) setelah penginfeksian ECPP89, WCB dan ECPC.

Pembahasan

Pemurniaan Protein ECP

Protein total ECP crude bakteri S. agalactiae isolat N14G yang dikultur selama 72 jam pada media BHI memiliki konsentrasi sebesar 8,6 ppm (Tabel 1). Hasil fraksinasi ECP S. agalactiae isolat N14G yang diinkubasi pada media BHI selama 72 jam diperoleh tiga jenis protein dengan berat molekul 76,52 kDa; 89 kDa dan 132,92 kDa (Gambar 4). Konsentrasi protein ECP ini hampir sama dengan hasil penelitian Hardi (2011) sebesar 8,18 ppm, namun konsentrasi protein hanya 2,73 ppm apabila dikultur pada media BHIA selama 24 jam. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa media kultur dan lama inkubasi berpengaruh pada konsentrasi protein ECPcrude S. agalactiae.

Hasil fraksinasi ECP S. agalactiae isolat N14G pada penelitian ini berbeda dengan penelitian Pasniket al. (2005), di mana vaksin ECP yang segar didapatkan protein dengan berat molekul berkisar 47-75 kDa yang didominasi oleh protein 54 dan 55 kDa. Sedangkan vaksin yang telah disimpan setahun menunjukkan adanya protein 47; 54 dan 55 kDa yang lemah dan tidak ada protein 75 kDa. Penelitian ini juga berbeda dengan hasil penelitian Hardi (2011) yang mendapatkan protein 62,3 dan 55,8 kDa pada media BHI selama 72 jam dan protein 65,8; 60,1; 55,8 kDa apabila dinkubasi pada media BHIA selama 24 jam. Demikian pula penelitian Sugiani (2012), dengan isolat yang sama mendapatkan protein 55,80 dan 17,10 kDa pada media BHIB selama 72 jam. Sementara itu Chen et al. (1997) mendapatkan protein 14-65 kDa pada ECP Mycobacteriumspp. Perbedaan profil protein di antara penelitian di atas kemungkinan disebabkan oleh perbedaan media inokulasi bakteri, lama inkubasi, perbedaan konsentrasi ECP dan strain bakteri.

a

Keterangan : Organ ginjal (A), otak (B) dan mata (C). V (vakuolisis), K (kongesti), N (nekrosis),

H (hemorhagik), M (melanomacrofag centre) dan I (infiltrasi sel radang).

Gambar 7. Histologi ikan nila (Oreochromis niloticus) setelah diinjeksi ECPP89, WCB dan ECPC.

Pemurnian protein adalah suatu proses yang bertujuan untuk mengisolasi protein dari campuran yang kompleks. Berbagai langkah dalam proses pemurnian akan melepaskan protein dari matriks yang mengikatnya dan memisahkan protein dan bagian yang bukan protein dari campuran larutan sehingga diperoleh protein yang diinginkan dan telah murni (Coligan et al. 1995). Salah satu teknik yang digunakan untuk memisahkan protein adalah dengan menggunakan SDS-PAGE berdasarkan panjang rantai polipeptida atau bobot molekulnya dalam medan listrik. Campuran protein yang akan dipisahkan dilarutkan dalam SDS, merupakan suatu jenis detergen anionik. SDS ini akan mendenaturasi struktur sekunder dan ikatan non-disulfida dari struktur tersier menjadi struktur linear/primer. Selain itu SDS juga akan memberikan muatan negatif pada struktur linear protein dengan perbandingan bergantung pada bobot protein.

Perubahan Gejala klinis Ikan Setelah Penginfeksian

Protein ECPP89 bersifat toksik dengan menyebabkan terjadinya perubahan anatomi luar perubahan pola renang dan perubahan pola makan serta kematian ikan nila, sedangkan protein ECPP76,52 dan ECPP132,92 tidak toksik. Hasil pengujian patogenitas ECPP89 (Tabel 2) menyebabkan kelainan anatomi seperti perubahan warna tubuh menjadi gelap, pengerutan pada mata, eksophthalmia dan tubuh berbentuk huruf C. Perubahan pola renang hingga ikan berenang berputar (whirling) dan perubahan pola makan ikan nila. Perubahan gejala klinis, pola renang dan pola makan setelah pemaparan ECPP89 sama dengan gejala klinis yang terjadi pada ikan nila yang diinjeksi dengan WCB dan ECPC. Namun gejala klinis di atas tidak terjadi ECPP89 (dosis 1 µg mL-1) dan semua dosis perlakuan ECPP76,52 dan ECPP132,92 serta ikan yang diinjeksi dengan PBS.

Hasil penelitian ini mendukung penelitian Baya et al. (1990), Eldar et al.

(1995), Evans et al. (2002) di mana ikan yang terserang S. agalactiae

menunjukkan kolonisasi septicaemia sejumlah organ seperti nares, otak, ginjal dan usus; gejala klinis setelah terjadi infeksi seperti anorexia, C-shaped, erratic swimming, whirling dan mati. Penelitian Salvador et al. (2005) pada ikan nila yang dibudidayakan di karamba yang terserang bakteri Streptococcus

menunjukkan gejala klinis seperti ikan berenang tidak menentu dan whirling, penurunan nafsu makan, unilateral atau bilateral exophthalmia sebagai gejala klinis utama. Demikian pula dengan Pretto-Giordano et al. (2010) dimana ikan kontrol yang diinfeksi dengan S. agalactiae menunjukkan perubahan dengan gejala klinis seperti anoreksia, lesu, berenang tidak menentu, eksophthalmia dan

ascites. Secara makroskopik terjadi pendarahan kulit, splenomegali, hepatomegali. Pada hari pertama setelah pemaparan ikan berenang lesu di bagian bawah tangki, mengalami perubahan warna kulit dan anoreksia. Sedangkan pada hari ke-2, gejala klinis semakin jelas seperti berenang tidak menentu, unilateral

dan bilateral exophthalmia,opacity kornea. Sedangkan Pasnik et al. (2009) pada penelitian fecal string menunjukkan bahwa pada hari ke-7 pasca uji tantang, ikan nila menunjukkan tanda-tanda klinis seperti nafsu makan yang rendah, pergerakan lesu, exophthalmia bilateral, berenang tidak menentu dan akhirnya mati (Gambar 5).

Mortalitas Ikan Setelah Penginfeksian

Setelah menyebabkan kelainan patologi ikan seperti di atas, ikan nila yang diinjeksi dengan ECPP89 pada akhirnya menyebabkan kematian ikan Gejala ini sama dengan ikan yang diinjeksi dengan WCB maupun ECPC meskipun dengan persentase mortalitas berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa ECPP89 merupakan protein toksik yang tidak hanya menginfeksi ikan seperti pada penjelasan di atas,

Dokumen terkait